Bab 10.2 Hiduplah!
Arlan memanggil lantang ketika mendengar jeritan Freya. Ia tidak bisa melihat apa pun karena kabut tebal. William berdiri, menciptakan embusan angin kencang yang menyapu semua kabut menggunakan sihirnya. Pandangan langsung membaik, memperlihatkan pria bertopeng dengan satu tangan yang telah buntung berdiri dengan senyum penuh kemenangan.
Sebuah kristal kecil berwarna biru dengan sinar yang perlahan pudar telah tergenggam di tangan berlumuran darah. Sementara itu Grey tersandar di dinding dengan perut terluka, sedangkan Freya tergeletak tidak sadarkan diri.
"FREYA!" Arlan menyerang pria bertopeng itu, diikuti oleh Ramond dan Charles
Pria yang tampak sangat kacau itu agaknya tergopoh melawan banyak orang sekaligus apalagi dengan kondisi terluka. Pasukan yang lain juga ikut mengepung dan menyerang, semakin mendesak.
Serangan kuat dari Arlan melayang mendekat dan memotong tangan terakhirnya. Kristal Dayna terlepas, berikut topeng yang selama ini menutupi wajahnya. Pria dengan mata kelabu itu jatuh. Kepalanya terangkat memperlihatkan wajah yang masih terbilang muda dengan lingkar mata hitam dan urat pipi berwarna hitam menyembul.
Arlan segera mendekati Freya, mendekapnya erat dengan pedang yang membentang di depan, memberi peringatan untuk tidak ada yang mendekat. William memungut kristal dari potongan tangan pria itu. Cahayanya telah lenyap, kembali seperti dulu—ketika belum memilih 'sang pewaris'.
"Aku memang tidak butuh kristal ini tapi kau juga tidak pantas untuk menyimpannya," gumam William.
"Harusnya, kubunuh saja 'sang pewaris' itu sekalian!" geram pria bertopeng yang kedua tangannya telah buntung.
"Masih berani mengoceh rupanya!" tukas August. Ia bersiap memenggal kepala pria itu tapi dihentikan oleh Barzanqi Ranfel.
"Jangan dibunuh. Aku membutuhkannya. Dia adalah orang yang menggunakan sihir iblis, akan kujadikan koleksiku."
August merengut, tidak suka pekerjaannya terganggu. Tidak lama, ia menurunkan pedangnya, membiarkan Barzanqi berbahagia karena mendapatkan mainan baru. Sementara William menatap seluruh pasukan seraya menggenggam Kristal Dayna.
"Mulai hari ini, Raja Ferdinand sudah mati. Dibunuh oleh 'para pendosa', begitu pula Putri Freya dan kesatrianya!" titah William. "Maka, saya William James Grenzill, selaku putra terakhir keturunan Grenzill, akan memimpin kerajaan ini untuk selanjutnya."
August hanya mendengkus geli. Ini diluar rencana. Seharusnya yang menjadi kambing-hitam pembunuhan raja adalah Freya. Semua telah menyepakatinya. Namun, William masih memiliki belas kasih di balik dendam dan kebencian yang terpendam.
Semua orang di ruangan itu berlutut memberi hormat. "Hidup raja yang baru. Hidup Raja William!"
****
"Yang Mulia, bagaimana dengan Putri Freya?"
"Apakah dia sudah mati?"
"Sepertinya belum."
"Lebih baik mati, kan!"
"Harusnya dia yang menjadi pelaku pembunuhan. Pasti akan sangat menyenangkan!" Tawa Granado menggelegar di tengah kebisingan penuh cemooh.
Suara itu membuat telinga Arlan memanas. Grey yang tersadar segera memulihkan lukanya sendiri, setidaknya pendarahan dapat berhenti. Ia berusaha merangkak mendekati Freya yang semakin pucat di pangkuan Arlan. Mereka menjadi tontonan.
Ketragisan nasib sang putri mahkota seperti sebuah drama yang lucu. Arlan dengan segala harga diri dan amarah yang tersisa, menyerahkan Freya pada Grey, lalu berdiri menantang puluhan mata yang menatap rendah ke arah mereka.
"Jangan harap kalian akan menikmati pengkhianatan ini untuk waktu yang lama!" kecamnya. Amarahnya tertumpuk pada sosok yang paling dikenali dari semua orang. Asgard Bartin—lelaki yang katanya memegang teguh kesetiaan itu telah memangkas habis ideologinya sendiri. Arlan bersyukur tidak pernah menganggap mereka sebagai keluarga.
Kebencian Arlan terhadap keluarganya sudah berakar sejak ia kecil. Hidup dalam keluarga Bartin seperti terlahir di tengah tentara. Kekuatan pun menjadi tolak ukur segala hal, mulai dari kadar perhatian hingga kasih sayang.
Sebagai bungsu dari empat bersaudara, Arlan selalu dipandang sebelah mata. Ketiga kakaknya memiliki kemampuan yang bagus, membuat Arlan jadi terlihat biasa saja. Hal itu menciptakan sifat yang suka membuat onar agar perhatian tertuju padanya. Arlan ... juga ingin dipandang oleh keluarganya. Akan tetapi, ia malah dikirim ke Istana sebagai salah satu kesatria Putri Freya.
Sebuah cara untuk membuangnya dari Argour.
Setelah tahun demi tahun ia mencoba berdamai dengan keadaan dan memaklumi keluarga yang memang mengabdikan diri pada Destrion sebagai kesatria pelindung, Arlan malah harus dihadapkan pada kenyataan kalau keluarganya malah membelot dan ikut melakukan kudeta. Ternyata, memang sudah sepantasnya ia membenci Bartin dan seisinya.
"Kita mundur. Sekarang!" bisik Grey.
Arlan melirik Freya yang tidak sadarkan diri. Peluh membanjiri pelipisnya. Ia ingin menebas mereka semua—para pengkhianat itu, tapi keselamatan Freya lebih penting. Sebuah portal sihir terbuka di belakang dan secepat mungkin mereka masuk—menggendong Freya. Granado hampir melenyapkan portal itu, untung saja mereka lebih dulu menghilang.
"Sebaiknya bereskan semua kekacauan. Biar aku yang mengurus mereka bertiga!" titah William. Ia menggunakan Kristal Dayna untuk melacak keberadaan Freya. Sejenis sihir yang menggunakan sisa energi dalam sebuah benda untuk mencari jejak pemiliknya.
Energi sihir Arlan sudah terkuras,nia tidak dapat membawa mereka pergi lebih jauh. Harusnya untuk saat itu mereka sudah aman tapi William muncul dan berdiri menghadang. Selain itu, seseorang yang sedari tadi tidak ditemukan keberadaannya, kini menampakkan diri. Dolhaf berjalan mendekat. Ia tidak memberi hormat atau melayangkan sihir kutukan. Hanya berdiri, seolah menentang dalam keterdiaman.
"Kau marah padaku, Guru?" tanya William, menatap datar pada lelaki paruh baya yang berdiri menengahi mereka.
"Kau dan caramu sangat mengecewakanku!" tegur Dolhaf. Kemudian menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "tapi ... kutitipkan Destrion padamu!"
"Dolhaf!" hardik Arlan. "Kau juga berada di pihaknya?"
Lelaki tua itu meliriknya, dalam sekejap membuat pemuda 18 tahun itu tidak sadarkan diri dengan sihirnya.
"Jangan ... jangan bunuh Freya!" Grey berucap lirih sebelum ikut dibuat pingsan.
"Mereka akan kubawa!" ucap Dolhaf lagi. "Tapi, jika suatu saat kau tidak sanggup mengubah Destrion sendirian, ingatlah bahwa kau masih memiliki saudara." Ia memandang Freya. "Entah karma macam apa yang kalian tanggung hingga harus berakhir seperti ini."
"Ini bukan karma, Guru. Kami hanya sedang sial, terlahir di dunia yang bobrok seperti ini," papar William. Ia mendekati Freya, berlutut untuk dapat menyentuh gadis itu. Tangannya merogoh seuntai kalung berbandul permata merah delima dari saku dan mengalungkannya pada Freya. "Ini adalah kalung kesayangan ibu. Freya lebih pantas menyimpannya."
William juga manusia; seorang kakak, anak sulung dari tiga bersaudara yang lahir dari keluarga yang dipenuhi hasrat untuk berkuasa, tanpa ajaran kasih sayang yang nyata. Ia tidak bisa benar-benar membenci dan menyalahkan adiknya. Toh, pada dasarnya mereka itu sama. Sama-sama sedang berjuang untuk hidup dan meraih kebahagiaan yang begitu sulit untuk didapatkan tanpa sebuah pengorbanan.
****
Destrion berduka esok harinya, kala kabar pertama diumumkan oleh pihak istana—raja mereka telah mati terbunuh. Acara pemakaman juga berlangsung seadanya di tengah keadaan yang sedang tidak baik-baik saja.
Kabar itu beredar dengan sangat cepat, menyebar ke penjuru negeri Destrion. Bahkan sampai ke telinga Arion yang baru saja memasuki desa dengan napas tersengal akibat berlari membelah hutan tanpa henti. Melalui jalan panjang menuju sosok yang teramat ia rindukan.
Raja dan Putri Freya, berikut kesatrianya telah mati dibunuh 'para pendosa', katanya.
Tentu Arion tidak percaya begitu saja. Freya, Arlan, dan Grey tidak mungkin mati. Mereka telah berjanji untuk terus bertahan hingga impian Freya terwujud. Sebuah janji agar tidak akan membiarkan salah satu dari mereka merasakan kehilangan untuk kesekian kalinya.
Semua kabar itu pasti hanya rumor!
Tanpa rasa ragu ataupun takut, Arion menyusup ke dalam istana. Padahal hanya beberapa minggu ia pergi dari sana, tapi keadaan sudah sangat berubah. Orang-orang yang ia lihat, berbeda dari biasanya, dan satu hal yang paling janggal adalah keberadaan Ranfel, Ardious, dan Bartin di dalamnya.
Meskipun tahu kalau ia adalah buronan, Arion memberanikan diri mengelilingi istana secara diam-diam. Menyamar menjadi salah satu penjaga dan mencuri dengar tentang apa yang terjadi pada Destrion. Ketika kebenaran itu akhirnya terungkap dari mulut seorang pelayan, rasa kecewa dan amarah membuatnya sekali lagi membunuh, memisahkan kepala seorang pelayan dari badannya.
"William!" gerutunya. Tangannta mengepal erat hingga terluka oleh kukunya sendiri.
Arion berlari, menuju ruangan raja yang baru, menerjang pintu besar tak terkunci dan mendapati William yang tengah berdiri seolah menanti kehadirannya.
"Akhirnya kau berniat menyerahkan diri?" tanya William, sarkas.
"Di mana Freya?"
"Sudah mati."
"JANGAN MEMBOHONGIKU."
"Dia sudah mati." William memperlihatkan Kristal Dayna yang sudah tidak bersinar. Hanya seperti batu Saphire biasa yang menjadi penghias mahkota. "Dan kau akan menyusulnya!"
Arion terdiam, terpaku. Tidak tahu harus melakukan apa—bentuk dari puncak tertinggi sebuah amarah. Telinganya berdengung keras, tidak ada suara jelas yang dapat ia tangkap, hanya bunyi gema yang membuat kepala berdenyut. Mata emas itu enggan berkedip, seakan tengah menyaksikan rekaman ulang kebersamaan yang pernah dilalui.
William mengeluarkan pedangnya—pedang Raja Ferdinand, hendak menebas pembunuh adiknya. Sosok yang paling dibenci. Yang sudah lama ingin ia bunuh tanpa alasan. Harusnya hanya beberapa sentimeter lagi hingga pedang itu berhasil memenggal kepala Arion. Akan tetapi semua terhenti.
"Kau ... matilah terhina di depan semua orang!" William mengeluarkan sihir untuk membuat tali yang perlahan menjalar untuk mengikat tubuh Arion.
****
Malam setelah raja terbunuh, Elliot yang sibuk dengan buku-bukunya terkejut akibat sebuah dobrakan keras. Jelas itu bukan kakaknya. Ia segera bersembunyi di bawah ranjang tanpa bersuara. Terdengar beberapa orang asing masuk mencari keberadaannya.
Dirasa tidak ada orang, mereka kembali keluar. Elliot bernapas lega dan keluar dari persembunyiannya. Langkahnya begitu hati-hati, tidak mau menimbulkan suara, mengendap mengintip keluar dan betapa kagetnya ketika seseorang berdiri di hadapannya. Ia ketahuan.
Tanpa banyak bicara, Elliot berlari sekuat tenaga menghindari kejaran prajurit. Kaki kecilnya terus berlari, melewati gelimpangan mayat di sepanjang jalan. Napasnya tercekat, merasakan sebuah dejavu. Ketika tragedi Akkadia terjadi, pemandangan seperti ini juga yang dirasakannya. Berlari tak tentu arah, meninggalkan mereka yang terbunuh di belakang.
Elliot memanggil kakaknya, Grey, tapi tidak ada sahutan dari arah mana pun. Sebuah kutukan mengenai kakinya. Elliot terjatuh. Namun, ia kembali bangkit, terpincang melewati taman belakang istana.
Grey pernah bilang, ada lubang di pagar belakang yang bisa ia lewati untuk keluar dari istana. Ia akan menuju ke sana. Elliot tidak mau berakhir sekarang. Ia sudah berjanji akan menjadi Kepala Keluarga Grandwill dan melindungi kakaknya. Jadi, sebelum itu terjadi, ia tidak boleh mati!
Langkah terseok diiringi tawa mengejek dari orang-orang yang mengejar, tak menyurutkan tekadnya untuk lari dan terus hidup. Ia pernah membaca sebuah buku, di sana tertulis bahwa singa yang meremehkan anak rusa akan mati kelaparan—dikecoh oleh kesombongannya sendiri.
Anak lelaki berambut putih bersih itu berhasil mencapai lubang di balik semak-semak dan keluar dari istana, tapi masih saja diikuti seolah dipermainkan. Hingga langkah kaki kecil itu membawanya ke tepian hutan. Salah satu dari pengejarnya meluncurkan anak panah dan menancap pada punggungnya.
Napasnya tercekat, perih menghujam, dan seluruh tubuhnya terasa begitu berat. Harusnya ia tumbang, tapi dengan semangat hidup yang tinggi, ia tetap berdiri, terus berjalan hingga menghilang di dalam hutan. Orang-orang yang mengejarnya menyerah. Menurut mereka, anak kecil itu pasti akan mati dengan sendirinya.
Kaki kecil semakin menyeret, terus berjalan memasuki hutan dengan sisa tenaganya. Hingga akhirnya ia tumbang dengan tubuh tertelungkup dan anak panah masih menancap di bagian punggung.
"A-aku tidak boleh mati!" Matanya semakin berat. Pandangan mengabur, dan paru-parunya kesulitan mengatur udara yang masuk dan keluar.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang berdiri di sampingnya, tapi tidak sanggup menoleh untuk sekadar melihat siapa gerangan. Hanya erangan yang tiba-tiba muncul ketika anak panah yang menancap pada punggungnya dicabut paksa. Sebuah tangan membalik badannya, terlentang.
Kini ia dapat melihat orang itu. Dia ....
"Bukankah kau Elliot?" Sepasang mata sewarna darah menatap lekat—menyelami iris biru pucat milik bocah kecil itu.
Alih-alih menjawab, ia malah bergumam lemah, "Aku ... tidak mau mati."
Lelaki berambut hitam panjang itu tersenyum, menampilkan sepasang taring tajam di sela bibirnya. Mata merahnya berkilat tajam. "Aku bisa menyelamatkanmu. Tapi kau harus membuat perjanjian denganku!"
"Akan kulakukan apa pun, tolong ... aku!" Elliot berusaha menggerakkan tangan menggapai rambut hitam yang tergerai di hadapannya, menggenggamnya seerat mungkin.
Lelaki itu menyeringai, lalu menancapkan taringnya ke perpotongan leher Elliot.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top