Bab 1.3 Panti Asuhan dan Kutukannya
Suara sol sepatu yang berbenturan dengan lantai beton menggema, menjadi satu-satunya pemecah kesunyian di ruang gelap beraroma lembab. Sepasang telinga berdenyut menangkap suara, seakan memindai asalnya. Ketika dapat mengenali irama langkah tersebut, kepala yang tertunduk lemah, lantas terangkat. Kelopak matanya perlahan membuka dan memperlihatkan iris emas yang berkilat tajam.
Gema langkah kaki hening beberapa saat, berganti menjadi dentingan besi bersambut derit pintu yang seakan tidak terbiasa dibuka. Netra emas menatap lekat sosok di tengah kegelapan yang semakin mendekat.
"Kau masih hidup?" Suara yang tak asing menyergap pendengarannya. "Kuharap setelah ini kau berlaku lebih baik."
Sebuah tarikan dari tangan kurus menyentaknya. Ia dipaksa berdiri dan diseret keluar-meninggalkan ruang bawah tanah. Matanya menyipit kala pintu terbuka dan cahaya matahari langsung menerpa, membuat keningnya mengernyit. Sedikit merapat, ia mencoba bersembunyi di balik tubuh ramping Rose yang mengenakan gaun merah tua kesukaannya.
Satu minggu telah berlalu sejak terakhir kali Arion berpisah dengan Adele. Terkurung dalam kesendirian dan gelapnya ruang bawah tanah membuatnya memikirkan banyak hal bahkan suara-suara aneh mulai bermunculan dalam otaknya, memanasi dan menertawakan kehilangan yang menimpa, hingga kemuakkan tercipta lebih pekat dari sebelumnya.
Rose menghentikan langkahnya dan mendelik tajam pada Arion. "Bersihkan tubuhmu dan bersikap baiklah!"
Arion hanya diam, menatap datar dan melanjutkan perjalanan menuju lantai dua. Langkahnya terhenti kala melewati tiga orang anak seusianya yang sedang duduk bersandar di sudut lorong bawah tangga.
"Sudah dua hari George menghilang. Bagaimana ini, apakah nanti giliran kita?" bisik salah satu dari mereka.
"Jangan berkata seperti itu!"
"Kapan seseorang datang dan membawa kita pergi dari sini?" sahut yang lain dengan suara bergetar-menahan tangis.
"Aku takut. Aku tidak mau di sini selamanya."
"Kalau tidak mau tinggal di sini. Kabur saja!" celetuk Arion.
Ketika anak itu terperanjat, mereka mengira tepergok petugas, tapi kehadiran Arion juga tidak menciptakan kelegaan.
"Bi-bicara saja mudah. Kabur dari sini artinya mati," sahut salah satu dari mereka tanpa berani menatap langsung ke mata emas di hadapannya.
"Mau kubantu?"
Mereka terdiam dan saling berpandangan.
"Aku bisa membantu kalian terbebas dari tempat ini," lanjut Arion. Namun, allih-alih mendapat jawaban, ia malah ditinggal pergi.
****
Ketiadaan Adele mengembalikan keseharian Arion yang begitu hening, bahkan kali ini terasa lebih senyap. Namun, suara aneh yang terus berbisik di dalam kepalanya, mengisi kekosongan dari kehilangan yang melanda. 'Kau tidak punya banyak waktu, Arion.'
Maka ketika lubang pada dinding belakang berhasil menganga, sudut bibirnya terangkat sempurna.
Arion akan menepati janjinya.
Makan malam kala itu terasa lebih menyenangkan, dadanya berdegup kencang dan darahnya mengalir lebih cepat. Pertama kalinya ia merasa begitu bersemangat. Bahkan bubur menjijikkan di piring dapat dilahapnya dengan mudah.
"A-rion," sapaan seorang gadis yang berdiri di sampingnya, kontan menghentikan suapannya.
Ketika Arion hanya menatap tanpa menjawab, gadis dengan bibir kering dan mengelupas itu semakin gelisah-matanya melirik ke sana-ke mari, tangannya meremas tepian gaun lusuh abu-abu dengan tambalan besar di tengahnya. "Tentang ucapanmu mi-minggu lalu."
Sebelah alis Arion terangkat, mencoba mengingat tapi tidak berniat menyela; membiarkan gadis itu melanjutkan ucapan yang tersendat karena kegugupannya sendiri.
"Ka-kami ingin pergi da-"
"Duduklah!" potong Arion, membuat gadis itu tersentak. Namun, ia menurut dan duduk dengan pandangan yang masih tertunduk-seolah pemandangan di atas meja kayu membuatnya lebih tenang dibanding menatap lawan bicaranya.
"Akan kubantu," jawab Arion tanpa menunggu gadis itu melanjutkan perkataannya.
"C-caranya?"
"Kalian tidak perlu tahu. Tunggu saja hasilnya."
"Tapi ... tapi kami ingin kita semua pergi dari tempat ini!" bisiknya.
"Tentu saja. Kita semua akan pergi dari tempat ini." Arion mengulas senyum yang begitu tipis hingga mungkin tidak akan ada yang sadar. Ia segera berdiri seraya menenteng piring kosong dan meninggalkan ruang makan.
Gemuruh menggelegar ketika Arion baru saja keluar. Kilat sesekali menyambar, disertai embusan angin dingin yang menerbangkan dedaunan kering hingga menyusup masuk dari jendela yang masih terbuka. Obor yang tergantung di dinding seketika padam dan lorong yang ia lalui menjadi semakin gelap.
Tidak lama, hujan mengguyur deras disertai badai-menggetarkan jendela kayu yang sebagian belum terkunci. Arion terus berjalan, kali ini lebih cepat tanpa takut derap langkahnya akan terdengar sebab tersamarkan oleh petir yang menggelegar di luar sana. Malam yang sempurna untuk memulai sebuah rencana besar.
Saat semua orang telah terlelap di tengah badai yang masih mengamuk di luar sana, Arion turun dari ranjang, lalu meraih sebilah pisau dari bawah tempat tidur-yang sengaja disembunyikannya. Ia berdiri di tengah ruangan, mengamati setiap wajah tidur anak-anak yang lain. Pisau di tangan kanannya terangkat dan memantulkan mata beriris emas miliknya.
Arion mendekati satu anak; menyibak selimutnya, lalu menutup wajah itu menggunakan bantal sekuat tenaga. Dirasa tidak ada pergerakan lagi, tangannya menancapkan pisau tepat di dada anak itu dan mencabutnya kembali hingga darah menyiprati wajah dan kemeja putih lusuhnya.
Bibirnya menyunggingkan senyum kepuasan, walau hanya sebentar sebab tangannya langsung bergetar. Isi perutnya seakan hendak keluar, naik ke tenggorokan ketika aroma amis darah menyergap indra penciumannya. Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri, dan ketika mata itu kembali membuka bersambut kilatan yang menyelinap masuk dari lubang angin di atas jendela, netra emasnya berkilat dengan iris vertikal yang tipis membentuk garis lurus.
Senyum kembali terulas, ia merasakan sebuah kepuasan ketika tubuh di hadapannya tidak lagi bergerak. Tatapannya beralih pada anak kedua dan melakukan hal yang sama padanya. Lalu anak ketiga, keempat, dan seterusnya hingga seisi kamar-satu persatu tangan kurusnya membunuh mereka semua dalam gemuruh badai yang menyamarkan segala suara napas yang tercekat karena merenggang nyawa.
Arion menyeka keringat di pelipisnya. Masih banyak anak-anak di ruangan, tapi ia tidak punya waktu lama. Usai memastikan semua ruangan terkunci sempurna, kaki tanpa alasnya berjalan santai menuju dapur, meninggalkan jejak darah di setiap langkahnya. Ia mengambil minyak tanah dan menyiramkannya ke penjuru ruangan, termasuk kamar Rose secara sembunyi-sembunyi.
Sialnya, wanita paruh baya itu terbangun dan mendapati anak laki-laki berkulit putih pucat itu berdiri tidak jauh dari kaki tempat tidurnya. Tidak ada rasa cemas atau takut saat Rose melotot bengis ke arahnya.
"Apa yang kau lakukan, anak sialan?" raung Rose.
Arion tersenyum dan mengguyur wanita itu dengan minyak tanah, lalu melemparkan obor menyala ke arahnya. Seketika semua menjadi kuning kemerahan dan panas. Rose berteriak, meraung ketika api melahap sekujur tubuhnya, lalu menyambar benda di sekitar hingga kebakaran tersulut.
Arion bergegas ke pintu keluar, tetapi kakinya terhenti di depan cermin besar di ujung koridor. Ia menatap ke arah pantulannya, lalu bayangan tersebut seolah bicara padanya, "Pembunuh!"
"Aku bukan pembunuh," jawab Arion dengan raut datar.
"Tapi kau membunuh semuanya!"
"Aku tidak membunuh. Aku hanya ... membantu mereka terbebas dari tempat ini." Senyuman terulas di bibirnya. Pupil yang sedari tadi berbentuk vertikal, semakin menipis hingga warna emas dari netra itu tampak lebih indah dari biasanya, memantulkan kobaran api yang semakin besar.
"Kau pembunuh!"
Senyumannya lenyap dan tatapannya menggelap. Ia melempar vas bunga di sampingnya ke cermin tersebut hingga pecah. "Aku. Bukan. Pembunuh."
Arion menyapukan pandangan ke penjuru ruangan yang kini sudah dijilat api. "Aku hanya membantu mewujudkan keinginan Adele dan mereka semua agar terbebas dari neraka." Tatapannya kembali ke arah cermin yang hanya tersisa setengahnya karena berhamburan di lantai. "Dan sekarang semuanya telah berakhir."
****
Arion berdiri di balik pagar pembatas yang terdapat lubang menganga seukuran tubuhnya. Ia menatap panti asuhan yang tampak seperti api unggun raksasa. Semuanya terbakar, tidak menyisakan apa pun. Sayup ia mendengar teriakan orang-orang dari dalam, meminta pertolongan. Namun, tidak ada raut penyesalan dari wajahnya.
Saat itu badai telah reda dan menyisakan gerimis yang tidak akan sanggup memadamkan api. Arion berbalik memasuki hutan, sekarang ia telah bebas, tapi tidak ada rasa kelegaan sedikit pun di hatinya. Seakan masih ada banyak hal mengganjal yang membuatnya enggan untuk sedikit berbahagia.
Suasana hutan yang gelap tidak mengurungkan niatnya untuk masuk lebih dalam. Langkahnya semakin jauh menyibak pepohonan hingga suara langkah kaki lain menghentikannya. Arion mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak banyak yang dapat dilihat, hanya berharap pada sinar remang rembulan yang perlahan mengintip dari sela awan hitam yang kian memudar.
Matanya menyipit saat melihat sekitar lima orang muncul dari kegelapan. "Siapa?" tanyanya.
Orang-orang yang wajahnya tidak terlihat itu hanya diam dan semakin mendekat. Mereka berhenti setelah berjarak kurang lebih satu meter dari Arion. Sebuah cahaya berwarna putih muncul dan membuat Arion refleks menutup mata. Namun, kesadarannya lenyap dan tubuhnya terkapar di atas tanah basah berlumut.
"Lagi-lagi, reinkarnasi yang terlahir dengan kekuatan gelap," keluh seseorang bersuara serak.
"Kita harus segera membunuhnya dan menunggu reinkarnasi berikutnya!" sahut suara lain.
"Tapi kita tidak punya waktu lagi sebelum segel itu terlepas."
"Segala ritual yang dilakukan untuk menyucikan jiwanya juga tidak ada yang berhasil. Jika seperti ini terus ...."
Arion yang telah terbangun sedari tadi karena suara di sekitarnya, membuka mata perlahan dan melihat samar orang-orang berjubah hitam tengah mengelilinginya. Lalu, salah satu dari mereka mendekat-tampaknya sadar bahwa Arion sudah bangun.
"Maafkan kami. Ini belum waktunya," ucapnya, tangan itu terulur hendak menyentuh Arion, diikuti kilatan hijau yang terpancar dari telapaknya.
Ketika cahaya itu mengenai kening Arion, rasa sakit segera menjalar ke sekujur tubuh kecilnya. Ia menggeliat, mengerang, dan mencoba menjauhkan tangan itu. "S-SAKIT!"
Arion paham kalau saat ini mereka ingin membunuhnya tetapi ia belum mau mati. Sekuat tenaga mencengkeram tangan orang itu, hingga terpental ke belakang.
Udara berembus begitu kencang dan memadamkan semua lilin serta obor yang berada di dalam ruangan berdinding batu. Sekeliling tubuh Arion diselubungi cahaya ungu gelap yang membuat siapa pun tidak dapat menyentuhnya. Menggunakan tenaga yang tersisa, ia berusaha bangkit dan pergi dari tempat itu.
Orang-orang berjubah itu mencoba menghadang, tetapi saat Arion mengibaskan tangan, cahaya ungu pekat dari tubuhnya menyambar dan membuat mereka terkapar. Tanpa peduli apa yang telah terjadi, ia bergegas pergi-ini adalah kesempatannya untuk kabur.
Setiap langkah dari kaki tak beralasnya meninggalkan bekas hangus di rerumputan yang terinjak. Tidak tahu arah, ia memasuki hutan yang semakin rapat, dipenuhi pohon-pohon tinggi dengan akar besar menyembul dari tanah, membuat pijakan menjadi tidak rata.
Rasanya sudah jauh ia berjalan tetapi sama sekali tak ada arah pasti yang hendak dituju. Cahaya di tubuhnya pun mulai meredup. Sinar rembulan yang mengintip malu di sela ranting pohon menjadi satu-satunya penerangan. Gerimis telah berhenti sempurna, meninggalkan tetes air yang masih tertinggal di dedaunan yang sesekali terjatuh kala angin menggoyangkannya.
Setelah semua cahaya di tubuhnya lenyap sempurna, Arion terbatuk dan berlutut di tanah lembab. Semua tenaganya habis dan kakinya tidak sanggup dilangkahkan. Ia memilih duduk bersandar di sela akar pohon, untuk sekadar mengistirahatkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian, Ia kembali bangkit dan melanjutkan perjalanan, bahkan kali ini semakin cepat karena mendengar langkah kaki lain dari kejauahan.
Pasti mereka adalah orang-orang yang ingin membunuhnya tadi.
Suara gemerisik dedaunan, raungan serigala, dan suara langkah kaki dari makhluk malam menjadi lagu pemecah keheningan. Ia terus berjalan, melewati pepohonan dan semak belukar yang terkadang menggores tubuhnya.
Langkahnya berhenti kala kakinya semakin berat untuk digerakkan. Ia mencapai batasnya. Arion menoleh ke belakang. Suasana sunyi menyergap. Suara napas yang tersengal menjadi sangat jelas di tengah keheningan. Ia mencoba menenangkan diri. Sepertinya tidak ada lagi yang mengejar. Namun, nyatanya salah satu dari orang-orang berjubah gelap sudah berdiri tidak jauh di belakangnya.
Arion mempercepat langkah, tapi sebuah anak panah menggores bahunya. Ia tersungkur sekali tapi lekas bangkit dan kembali berlari. Sempat terpikir untuk menyerah dan membiarkan mereka membunuhnya, tetapi sisinya yang lain seakan menentang.
Entah apa yang salah dengannya hingga orang tidak dikenal pun ingin membunuhnya. Apakah ini hukuman karena telah membunuh teman-temannya? Namun, ia tidak berniat jahat, semua hanya untuk membebaskan mereka dari masa depan yang buruk.
Arion terus berlari tidak tentu arah,sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengejar. Akan tetapi, ia malah terperosok ke jurang dangkal dan berguling jatuh. Sekujur tubuhnya perih, tenaganya habis, dan napasnya memburu. Tekad yang kuat terus memacunya untuk bangkit walau tertatih. Ia lanjut berjalan-berharap tak ada lagi yang akan menangkapnya, tapi kakinya tersandung dan sekali lagi terjatuh.
"Kau tidak apa?" Sebuah suara membuat tengkuk Arion meremang, apakah akhirnya ia tertangkap? Namun, sebelum sempat melihat orang yang menghampirinya, Arion kembali tumbang untuk kesekian kalinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top