Bab 1.1 Panti asuhan dan Kutukannya
7 tahun lalu – Tahun 1420
Netra emas menatap lurus ke arah taman berumput di balik jendela di lantai dua bangunan tua, sebuah menara berdiri kokoh di kiri-kanan. Tidak ada apa pun yang dapat menarik perhatiannya melebihi pemandangan di luar sana, di terik matahari musim panas, seorang gadis kecil berambut cokelat-gelap tengah terikat di tiang kayu—sebuah hukuman yang biasa terjadi di Panti Asuhan Durchan—terletak di Kota Restel yang berada di kawasan non-penyihir.
Arion, anak laki-laki berusia dua belas tahun bermata kuning emas itu beranjak pergi melewati koridor, ada lima kamar yang berderet di sebelah kanan. Kakinya melewati anak tangga, turun ke lantai bawah. Pandangannya lurus ke depan, seolah tidak peduli pada sekitar yang dipenuhi anak-anak seusianya yang sedang terduduk lesu dan bersandar di dinding koridor.
Tidak ada keceriaan layaknya tempat yang dipenuhi anak kecil. Sebab setiap harinya adalah duka.
Ia menuju kamar di ujung ruangan. Berisi sepuluh tempat tidur yang berderet berpasangan dengan satu lemari kecil di samping masing-masing ranjang. Ia hendak masuk, tapi urung ketika seorang petugas wanita berambut cokelat ikal sedang mencambuk kaki dua anak laki-laki di dalam sana.
"Sudah kubilang, jangan berlari di koridor. Anak nakal!" hardik petugas itu.
Enggan menyaksikannya, Arion beranjak pergi menuju bagian belakang bangunan—ada halaman kecil yang menghadap ke dinding tinggi yang berbatasan dengan hutan lebat. Di sana sangat sepi, sehingga Arion sering mengunjunginya hanya untuk sekadar melarikan diri dari kemuakan pada segala hal.
Baru saja menginjakkan kaki tanpa alas pada rumput taman, ia mendengar jeritan seorang gadis dari atas menara sebelah kiri. Sekali lagi, ini bukan hal yang mengejutkan, sebuah suara yang pasti berasal dari menara hukuman.
Jeritan itu terus menggema untuk beberapa saat. Memilukan dan membuat siapa pun yang mendengarnya akan mengernyit ngeri. Seolah terbayangkan betapa sakit yang tengah ia rasakan hingga pekik itu tercipta.
Arion sama sekali tak terganggu, ia malah fokus pada dinding setinggi hampir dua meter yang di atasnya terdapat kawat berduri. Mencoba mendekati pagar batu tersebut, tangan meraba dan meneliti tiap teksturnya. Terus berjalan mengikuti bentangan pagar, tak ia hiraukan panas yang menyengat. Ada sesuatu yang dicarinya dan harus segera ditemukan.
Sebuah retakan.
Sudut bibirnya terangkat. Jemari menyusuri retakan kecil yang memanjang menuju semak kecil di bagian tersudut. Badan kurusnya menyusup ke dalam semak dan menemukannya. Ini keberuntungan yang tidak akan datang dua kali, maka semua akan dimulai hari ini.
Perlahan saja. Tidak perlu terburu-buru sebab ia punya segudang kesabaran yang telah terlatih selama dua belas tahun hidupnya.
****
Makan malam adalah saat yang paling ditunggu anak-anak penghuni panti. Meskipun apa yang akan mereka makan nanti tidak pernah sepadan dengan pengharapan di sepanjang hari. Hanya ada dua kali jatah makan, pagi berupa sepotong roti keras berjamur dan malam disuguhi sepiring bubur beraroma tajam. Hidangan sama setiap harinya.
Arion hanya duduk di depan meja panjang yang berbaris membentang di tengah ruangan. Makanannya masih dianggurkan, sementara anak-anak lain yang duduk berjarak darinya tengah menyantap hidangan dengan lahap—meski tidak berbahagia.
Tidak lama waktu berselang sejak makan malam dimulai, Arion berdiri dan meninggalkan ruang makan terlebih dahulu, membuat berpasang mata teralih padanya. Kala melewati koridor bagian depan, ia menoleh ke arah jendela yang terbuka, memperlihatkan gadis yang terikat di tiang kayu, tapi kali ini tidak lagi menangis—hanya diam dan tertunduk, entah masih hidup atau sudah mati.
Arion tidak sedang mengasihi, tapi tengah memikirkan kapan akan bernasib sama seperti itu. Semua hanya perkara waktu, tidak ada yang dapat menghindar dari hukuman yang dapat merenggut nyawa mereka kapan saja. Sebab bagi Arion, setiap langkah anak-anak yang berada di sana, tengah diawasi malaikat maut.
"Arion!" panggil Rose—pemilik panti. "Kau lupa pada aturan di sini?"
Anak laki-laki pemilik mata emas itu berbalik untuk menghadap wanita paruh baya dengan dandanan nyentrik—bergaun merah yang begitu menyakitkan mata—tatapan tajam dan dagunya yang terangkat seakan merendahkan lawan bicara.
"Ikut!" perintahnya dan berbalik pergi.
Untuk sekali lagi Arion melirik ke arah taman, lalu melangkah mengikuti Rose. Malam ini akan menjadi sangat panjang.
Suara cambuk menggema di sepanjang koridor. Bunyi yang berasal dari sebuah kamar menjadi satu-satunya musik di kesunyian malam. Arion menggigit bibir, perih menghujam punggungnya yang ringkih. Ia tidak boleh menangis, sebab hukuman dapat menjadi lebih berat karenanya.
Rose kembali mencambuknya hingga meninggalkan jejak merah dan bercak darah yang keluar dari kulit yang mengelupas. Udara malam berembus dari satu-satunya jendela di ruangan itu. Dingin dan perih menyergap tubuh Arion yang tanpa atasan, tangannya terikat menyatu di atas kepala. Ia menggantung lemah dengan kaki gemetar, tidak sanggup untuk menopang.
"Lain kali, kau harus menghabiskan makananmu. Paham?" hardik Rose, matanya berkilat tajam. Arion mengangguk lemah. Tubuhnya langsung terkapar ketika Rose membuka ikatannya. "Jangan bertingkah lagi, Arion. Bunda sangat sedih saat kau tidak mau memakan masakan bunda." Tatapan Rose yang awalnya tajam, kini berubah menjadi lebih lunak. Akan tetapi tidak ada kehangatan dari mata itu.
Rose meninggalkan Arion yang tidak sanggup berdiri untuk kembali ke kamarnya. Tubuh kecil itu terasa remuk dan perih berdenyut. Hanya karena tidak mau makan malam, ia harus menerima sepuluh kali cambukan pada punggungnya.
"Siapa juga yang mau memakan makanan seperti muntahan penuh jamur itu," rutuk Arion, tangan kecilnya mengepal dan memukul kasar pada lantai kayu tempat ia terbaring, hingga kemudian pandangannya kabur dan tidak sadarkan diri.
Esok paginya, Arion terbangun karena tepukan lembut pada bahunya. Masih dengan posisi yang sama—tertelungkup di ruang hukuman tanpa atasan—kesadarannya mulai terkumpul.
"Rion?" Panggilan dari suara yang amat dikenal membuatnya segera membuka mata dan melihat gadis yang sudah duduk di sampingnya tengah menatap dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan.
Adele sempat terkejut karena selintas ia melihat pupil Arion memanjang vertikal layaknya hewan buas, tapi hanya sepersekian detik mata itu kembali seperti biasa—kuning emas yang memikat. "Bagian mana yang terluka?" tanyanya kemudian.
Perih di punggung Arion sudah menghilang, tidak menyisakan apa pun. Walau terasa aneh karena seharusnya untuk beberapa hari ke depan luka di punggung akan membuatnya kesulitan untuk tidur terlentang. Namun, pada akhirnya ia hanya dapat bernapas lega. Setidaknya, hal buruk itu tidak terjadi.
"Rion, kau baik-baik saja?" Adele, Gadis berambut cokelat-lurus-sepunggung itu kembali memastikan.
"Aku baik-baik saja," jawab Arion dengan nada lemah. Tatapan dari mata emas yang biasanya dingin dan kosong, kini berubah lembut. Sudut bibirnya terangkat meski samar. "Sungguh," lanjutnya meyakinkan ketika Adele masih memandang penuh kekhawatiran.
"Semalam kau dicambuk bukan? Di mana? Kaki?" tanya Adele seraya memeriksa setiap bagian tubuh Arion.
"Punggung, seperti biasa."
Adele terdiam sejenak, lalu berkata, "Tapi, tidak ada jejak apa pun. Tak ada bekas luka di punggungmu."
Semuanya baik-baik saja—hanya punggung kurus berkulit pucat penuh keringat.
"Aneh, semalam rasanya seperti tercabik," gumam Arion.
Gadis empat belas tahun itu menghela napas dan tersenyum penuh kelegaan. "Tapi syukurlah kau tidak terluka."
Arion mengangguk, lalu berusaha berdiri. Meskipun tidak perih, tapi badannya terasa remuk karena semalaman tergeletak di lantai. Adele membantunya berdiri dan membimbingnya kembali ke kamar di lantai bawah. Langkah mereka sempat terhenti di depan jendela koridor lantai satu. Keduanya menatap ke arah taman. Di tiang kayu itu, gadis yang kemarin terikat, masih ada di sana.
"Sudah seharian dia seperti itu," lirih Adele, menatap sendu. Sementara Arion hanya diam, tapi tidak melepas pandangan dari sosok gadis yang tertunduk dengan rambut menutupi wajah.
****
Usai sarapan dan terpaksa mengunyah roti hambar yang keras, Arion segera naik ke bagian paling atas menara Selatan untuk mencari udara segar dan menenangkan isi perutnya yang hendak keluar. Demi apa pun, setiap hari memakan makanan yang sama dengan rasa dan bentuk menjijikkan, pasti akan membuat lambungmu enggan untuk mencernanya.
Panti Asuhan Durchan tidak terlalu besar. Di sekelilingnya terdapat halaman luas berumput hijau serta pagar tinggi mengelilingi. Dari atas menara bangunan dua lantai itu, sudah cukup bagi Arion untuk melihat jauh ke luar. Mengamati sekitar yang bangunannya berjarak cukup jauh dari panti—seolah terisolasi dari dunia luar.
Arion berdiri di dekat pagar kayu pembatas, menatap ke bawah—ke arah taman. Di sana, gadis yang terikat di tiang sudah dilepaskan tapi dengan kondisi tidak bernyawa. Ini bukan hal yang mengejutkan, bahkan Arion telah menduga kalau pada akhirnya gadis itu tidak akan bertahan. Terikat lebih dari sehari di musim panas tanpa makan dan minum adalah salah satu hukuman mati terbaik di tempat itu.
"Jika kau terlalu lama di sini, Bunda akan marah." Kedatangan gadis bersuara lembut itu tidak membuatnya terkejut. Walau tidak menoleh untuk sekadar melihat, Arion tahu betul siapa yang menghampirinya—Adele.
Arion diam sejenak dan memejamkan mata. Merasakan embusan udara pagi kala matahari sudah sepenggalan naik. Rambutnya yang hitam agak panjang dan menutupi dahi, berombak kala diterpa angin dari arah hutan. Tidak lama kemudian, ia bersuara, "Apa kita juga akan berakhir sama?"
Adele berdiri di sampingnya dan ikut menunduk untuk melihat ke arah taman. Di sana, seorang gadis yang telah terbujur kaku di tanah berumput, dikelilingi tiga petugas wanita. Mereka bergegas mengangkatnya ketika Rose datang dan berdiri berkacak pinggang.
"Selama tidak membuat masalah." Adele menoleh pada Arion. "Selama kau menjadi anak baik dan menghabiskan makananmu." Kali ini ia ikut menatap langit. "Selain itu, bisa saja kita diadopsi oleh seseorang dan bebas dari tempat ini."
"Diadopsi? Sudah lebih dari dua tahun tidak ada adopter yang datang. Tapi anak-anak banyak yang hilang atau mati karena hukuman," tukas Arion. "Apa kita masih bisa berharap?"
Adele kembali menoleh dan tersenyum—senyum kecut—seolah membenarkan pernyataan Arion. Memang ada banyak anak yang hilang di tempat itu dan tidak ada penjelasan apa pun dari ketiga petugas panti apalagi Rose. Mereka juga tidak berani mempertanyakan, sebab orang yang banyak bertanya juga akan mendapat hukuman.
"Kita kabur saja dari sini," usul Arion.
"Kabur ke mana?"
Bocah berambut hitam itu tidak tahu harus menjawab apa. Dia memang sudah memikirkan sebuah tujuan, tapi masih enggan mengatakannya. Lagi pula, yang terpenting adalah keluar dari tempat itu, dia tidak mau berakhir mati begitu saja seperti yang lain.
"Kita tidak bisa pergi tanpa tujuan yang jelas!" tegas Adele.
"Aydril. Kita akan ke Aydril!"
Adele refleks tertawa, tangannya terangkat untuk mengusap kepala Arion. "Tapi itu hanya dongeng, Rion. Tempat itu tidak nyata!"
"Aku akan mencarikannya untukmu. Yang terpenting kita pergi dari sini."
Gadis yang lebih tinggi satu jengkal dari Arion itu masih terkekeh kecil. Aydril sering disebut dalam dongeng. Sebuah tempat ajaib yang dihuni oleh Elf dan makhluk gaib lainnya. Daerah yang dikatakan damai dan indah layaknya surga. Memang masih banyak anak kecil yang memercayai keberadaannya, tapi Adele tidak menyangka kalau Arion juga meyakininya.
"Pokoknya kita harus pergi dari sini!" tegas Arion.
"Maaf, Rion. Sepertinya aku tidak bisa ikut."
"Kenapa?"
"Bunda bilang, ada bangsawan penyihir yang ingin mengadopsiku untuk diajari sihir."
Arion tersenyum timpang. "Sihir? Mana mungkin!"
"Bisa saja, kan. Aku cukup pintar dan termasuk yang paling cantik di sini. Pasti para bangsawan akan tertarik padaku." Adele tertawa canggung oleh perkataannya sendiri—mencoba mencairkan suasana walau gagal. "Jadi, kau tak perlu khawatir."
"Adele, kumohon ... ikutlah bersamaku!" Arion bersikukuh. Tidak ada cara lain untuk selamat selain kabur dari sana.
Adele menggenggam kedua tangan Arion, menyalurkan kehangatan ke tangan itu. "Dengarkan aku baik-baik." Ia menatap serius, langsung ke mata emas di hadapannya. "Jika aku berhasil menjadi penyihir, semua akan berubah. Saat itu tiba aku akan kembali dan mengadopsi anak-anak lain agar mereka terbebas dari tempat ini."
"Itu lebih terdengar seperti dongeng," celetuk Arion. Walau tidak pernah melihat dunia luar secara nyata, Arion tahu bagaimana dunia yang saat ini ia tinggali. Ada banyak buku di perpustakaan yang menceritakan betapa kelamnya sejarah yang telah dilalui, terutama tentang penyihir yang masih membayangi kehidupan mereka.
Adele menggeleng. "Tidak. Semua itu bisa saja terwujud. Makanya, aku akan berusaha keras nantinya."
"Tapi ...."
"Rion, kaburlah sendiri. Carilah jalan menuju Aydril. Lalu, suatu saat kita akan bertemu kembali dan bawa aku ke sana!" Adele kembali berucap—meyakinkan Arion.
"Bukankah tadi kau yang bilang kalau tempat itu tidak nyata."
"Tapi kau meyakininya, kan?" Adele kembali tersenyum. "Jika Arion meyakininya, aku juga."
"Kalau begitu, kita cari bersama!"
Adele menggeleng, senyuman lembut masih menghiasi bibirnya. "Maaf, aku tidak bisa. Kita akan melalui jalan yang berbeda untuk ke sana."
Pembohong. Arion tahu kalau gadis itu hanya mencoba menenangkannya. Ada yang tidak beres dengan orang yang akan mengadopsinya. Semua kekhawatiran Arion bukan sesuatu yang tidak berdasar. Panti Asuhan Durchan bukan panti biasa, tempat itu seolah terpencil dan berada di dekat hutan terlarang sehingga, apa pun yang terjadi di sana, siapa anak yang mati, ataupun menghilang, tidak akan menjadi masalah besar bagi warga Restel di luar sana.
Apalagi, kehadiran penyihir di Restel adalah sebuah pelanggaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top