Epilog
(A/N) = aku bakal unpublish lagi untuk revisi (semua part bakal diunpublish)
*
*
*
*
"Ratu Rin? Anda mendengar saya?"
Rin mengerjap cepat, menatap sekitarnya yang tiba-tiba berubah menjadi ruang rapat kerajaannya, Len yang berada di sisinya dan para petinggi kerajaan lain yang menatapnya heran.
Rin memasang wajah layaknya orang bodoh. Sepertinya tadi, dia dan Len sedang membeli permen kapas untuk merayakan jika dirinya dan Len bisa bersentuhan kembali.
Tetapi, kenapa sekarang malah?
"A-apa?"
"Anda kenapa, Ratu? Apakah Anda sedang tidak enak badan? Kita bisa menunda rapatnya jika benar," ucap Len menolehkan kepalanya ke arah Rin.
"Ti-tidak, aku tidak apa-apa, ayo lanjutkan rapatnya." Rin mencoba mengendalikan dirinya. Keadaan yang seperti ini membuat Rin sama sekali tidak mengerti, dia kembali ke masa lalu? Atau yang baru saja dia lalui hanya bayangannya?
Tidak.
Tidak mungkin bayang-bayang, itu sangat lama, kecuali jika rapat ini telah berjalan berhari-hari.
"Kami menyarankan untuk menghancurkan desa ini-" salah satu petinggi menunjukkan bagian peta, di sana tergambar tanah luas dengan nama Green Country, "desa ini cuma desa kecil, mudah menghancurkannya, dan kita dapat memperluas wilayah di sana, rakyat yang sedikit dan tanah yang sangat subur akan menguntungkan kita."
Wajah Rin mengeruh saat mendengar penjelasan itu. Jika memang apa yang tadi dilihat Rin adalah masa depannya, mungkin Rin dapat mengubahnya dengan mengubah dirinya sendiri. Kapok, tentu saja. Dia akan menjadi orang baik mulai sekarang.
Lagipula dia masih ingat apa yang akan terjadi jika berurusan dengan Green Country, di sana ada Miku, 'kan?
"Boleh aku lihat rencana yang tersusun?" Rin mengulurkan tangannya dengan wajah datar.
"Tentu, Ratu." Petinggi itu memberikan berkas yang telah disusun dengan muka cerah, menganggap jika Sang Ratu menyetujui usul mereka.
Srek.
Semua yang berada di ruang rapat terkejut melihat Rin merobek berkas itu menjadi dua, meremasnya menjadi bola-bola dan melemparnya ke tong sampah.
"Lupakan rencana itu, kita tidak bisa membunuh orang tak bersalah. Lagipula, apa maksudmu dengan desa itu sangat subur? Kau ingin mengatakan jika kerajaan ini tidak subur? Tidak mampu menghasilkan sesuatu yang berkualitas, begitu?" tanya Rin dengan tatapan mata yang tajam.
"Ti-tidak, saya tidak bermaksud untuk mengatakan itu, Ratu." Para petinggi menundukkan kepalanya.
Rin bangun dari duduknya, menatap satu-persatu para petinggi dengan tatapan dingin, "Sudahi rapat ini, aku tidak menyetujui usul kalian, kerajaan ini sudah cukup besar."
Rin berjalan meninggalkan ruang rapat yang dilanda keheningan, ia tahu para petinggi sangat marah, itu lebih baik daripada ia mengulangi kesalahan yang sama. Len pun segera mengikuti Rin setelah membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kepada para petinggi.
Len berjalan mendahului Rin untuk membuka pintu kamar Rin, membungkukkan badannya mempersilakan Rin untuk masuk dan kembali menutup pintunya setelah ia juga telah berada di dalam.
"Kau melakukan hal di luar dugaan, Rin. Apa ada sesuatu yang membuatmu seperti ini?" Len akhirnya membuka suaranya saat keheningan menyelimuti mereka salama beberapa menit.
Rin menghempaskan badannya ke kasur dan membenamkan wajahnya ke bantal, kakinya menghentak-hentak ke arah kasur, "Aaaaah! Len, bagaimana ini?! Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan setelah ini, aku pusing sekali!"
"A-ada apa? Ada sesuatu yang telah terjadi?" Keringat sebesar biji jagung muncul di kepala Len yang saat ini tengah kebingungan menghadapi Rin yang tiba-tiba berubah sikap dalam waktu beberapa detik.
"Sesuatu, hancur, mati, lalu hidup lagi, dan menderita lagi, lalu bahagia, dan terulang lagi, aku tidak tahu!" pekik Rin mengacak-acak rambutnya kesal.
Sebenarnya bukan kesal karena Rin tidak mengerti, tetapi kesal karena—hei, dia baru saja memulai hidup bahagia dengan saudara kembarnya di kehidupan modern, lalu tiba-tiba kembali ke sini! Ingin sekali rasanya Rin berteriak di atas tebing mengungkapkan rasa kesalnya.
"Apanya yang hancur? Siapa yang mati? Siapa yang menderita?!" tanya Len panik dan mengguncang-guncangkan badan Rin, membuat Rin merasa dunianya berputar.
"Aku!" Rin mendorong tubuh Len menjauh, menggeleng ribut untuk mengusir pusing yang dirasakannya.
"Hah?! Kapan?! Siapa yang membuatmu seperti itu?! Sini, akan kuhancurkan dia!" Len memasang sikap siaga.
"Bukan sekarang, tapi nanti! Suatu saat!" Rin meremas-remas udara dengan kesal, "Bagaimana ini, aku akan segera berakhir!"
"Ri-Rin tenanglah! Sebenarnya ada apa? Kau jadi aneh sejak melamun di ruang rapat tadi. Apa kau saat ini tengah ketempelan hantu?" Len memegang kedua pundak Rin agar Rin merasa tenang, padahal dirinya sendiri yang tidak tenang.
"Tidak ada apa-apa!" Rin menggeleng ribut. Lalu, sebuah lampu 20 watt tiba-tiba menyala terang di atas kepalanya, "Aku tahu! Ayo panggil Meiko sahabat kecilmu kemari, cepat!"
"Eh, uh? Baiklah, baiklah." Len dengan kebingungan membiarkan dirinya di seret untuk menuju keluar dari kamar Rin. Tapi, ada sesuatu yang disadarinya.
"Sejak kapan kau tahu bahwa Meiko adalah sahabat kecilku?!"
Brak!
Terlambat.
Rin telah menutup pintu kamarnya dengan keras, tanda bahwa Len harus melaksanakan apa yang diperintahkan Rin.
Dalam hati ia berdoa semoga Meiko tidak akan diapa-apakan oleh Rin.
Dan untung saja, mata Len melihat siluet Meiko yang tengah melintasi lorong.
"Meiko!"
Meiko pun menoleh, melambaikan tangannya pada Len dan menghampirinya, "Ada apa?"
Mereka pun berjalan bersama, dengan Len yang memimpin dan Meiko yang mengikutinya.
"Kau, dipanggil oleh Ratu," ucap Len dengan ragu.
Mata Meiko membelalak kaget, seingatnya ratu tidak akan memanggil siapa pun kecuali orang itu punya masalah yang besar.
"A-apa aku berbuat salah? Aku hanya mencuri satu jeruk di tempat makan!" pekik Meiko panik.
"Tidak! Se-sepertinya tidak ada masalah, aku tahu dari cara ratu memerintahkanku tadi, wajahnya tidak masam, tapi mungkin dia terlihat, panik?" Len merasa tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. "Dan apa yang kau katakan tadi?! Jadi kau yang mencuri jeruk itu?! Itu punyaku!"
Len menghimpit kepala Meiko di ketiaknya dengan kesal sampai Meiko mengaduh kesakitan. Itu jeruk bagian dia tahu! Gara-gara Meiko, Len jadi tidak memakan jeruk itu, padahal itu adalah kesempatan langka saat Rin mau membagi buah kesukaannya itu!
"Adu-duh! Maaf!! Aku 'kan tidak tahu, lepaskan!" Meiko mengelus kepalanya yang pening setelah berhasil melepaskan diri dari Len, "omong-omong, dia panik kenapa?"
"Mana kutahu. Ratu Rin menjadi aneh saat setelah ia berhenti melamun di ruang rapat tadi. Kupikir dia mungkin ketempelan hantu, bahkan saat sampai di kamar ia berteriak kesal sambil berkata jika ia akan hancur, mati, lalu menderita," ucap Len panjang lebar, disertai tarikan nafas panjang.
"Serius? Itu parah sekali! Mungkin dia benar ketempelan hantu! Kau harus membawa pengusir hantu ke istana, Len!" ucap Meiko berapi-api.
"Itu tidak mungkin benar," ucap Len menggelengkan kepalanya.
Keduanya berhenti melangkah saat tiba di depan pintu dengan ukiran emas—pintu yang terbesar dari pintu-pintu yang ada di lorong itu.
Len membuka pintu itu dan mempersilakan Meiko untuk masuk.
"Bukannya kau tidak sopan langsung membuka tanpa mengetuk dulu?" tanya Meiko heran, meski begitu ia tetap masuk.
"Ahahahaha, a-aku lupa." Len tertawa canggung.
"Meiko!! Penyelamat hidupku!!" Teriak Rin yang entah datang darimana dan langsung memeluk tubuh Meiko, membuat Meiko mengangakan mulutnya terkejut.
Meiko menatap Len dengan pandangan terkejut, sementara Len membalas tatapan Meiko dengan tatapan yang mengatakan: 'kan sudah kubilang.
"Meiko~ kau benar-benar datang, penyelamatku!" Rin mempererat pelukannya.
"Ekhm, Ratu? Ada apa memanggil saya kemari?" tanya Meiko dengan bersikap setenang mungkin, meski hatinya sedang berdisko ria—takut jika Sang Ratu benar-benar ditempeli hantu.
Ratu yang biasanya dia lihat itu, berwajah datar, sedatar dadanya—bukan, sedatar papan triplek, dan sangat menyeramkan, tapi apa ini?
"Oh iya, benar!" Rin menepuk tangannya satu kali, jarinya kemudian mengacung menunjuk Len.
"Aku mau kau melepas ikat rambutmu dan pura-pura menjadi diriku!"
"Hah?!"
*
*
*
*
Malam harinya, Len mematikan lampu tidur Rin. Dirinya masih dalam kegiatan mari-menjadi-Rin, tak habis pikir apa yang akan dilakukan oleh Rin selanjutnya.
"Apa pun itu, dia pasti sedang melakukan hal yang jahil sekarang," ucap Len seraya berbaring ke tempat tidur Rin dan menyelimuti dirinya sendiri.
"Ah, nyaman sekali," gumam Len. Ia pun menyelami mimpi tak lama kemudian.
Pintu kamar Rin dibuka secara perlahan,
Seseorang mengendap-endap dengan belati tajam di tangan kanannya, mendekatin Rin—yang sebenarnya adalah Len—yang tengah terlelap dalam tidurnya.
Tangannya terangkat, bermaksud ingin menghabisi Rin–Len, saat itu juga.
Tetapi pergerakannya terhenti begitu belati lain teracung di depan lehernya, siap untuk menggores leher orang itu.
"Apa yang ingin kau lakukan terhadap Ratu Rin?" tanya Meiko dengan suara rendahnya, matanya menajam menatap petinggi negara yang hanya diam tak berkutik.
"Ti-tidak, saya bisa jelaskan–saya tidak bermaksud untuk membunuh Ratu Rin."
Klang.
Belati yang dipegang oleh petinggi negara itu terjatuh, menimbulkan suara nyaring yang membuat Len bangun dari tidurnya. Matanya terbelalak melihat pemandangan yang ada di hadapannya, sedikit takut, banyak terkejutnya.
"Ah, maafkan saya yang telah membangunkan anda, Ratu Rin. Tolong istirahatlah kembali, saya akan mengurus penghianat ini." Meiko membungkuk, lalu pamit pergi dengan menyeret petinggi negara itu untuk dihakimi.
Kamar itu terasa lenggang sejenak. Len masih dalam mode terkejut karena tidak menyangka bahwa adik kesayangannya sempat menjadi target pembunuhan.
"Leeeen!"
Rin datang dan langsung menghambur ke pelukan Len, membuat Len sadar akan keterkejutannya.
"Ri-Rin, kau sudah tahu ini akan terjadi?" tanya Len sembari memandang wajah Rin serius.
"Yah, aku kurang lebih tahu bagaimana sifat para petinggi negara saat rencananya ditolak, apalagi aku sampai merobeknya. Aku sudah menduga ini akan terjadi, makanya aku menyuruhmu menggantikanku tidur di sini dan aku mengarahkan Meiko," jelas Rin panjang lebar, "ngomong-ngomong, kau cocok dengan gaun tidur itu."
"Hei! Salah siapa aku pakai baju ini, hah? Dasar adik kurang ajar, menumbalkan kakaknya sendiri!" Len menggelitiki Rin sampai Rin mengaduh-aduh dan memohon untuk berhenti.
Sampai mereka pun tertidur dengan tangan saling bertautan.
*
*
*
*
"Leeeen!"
Len yang terkejut mendengar teriakan itu hampir saja menjatuhka adonan yang sudah dibuatnya dengan susah payah.
"Ada apa, Rin? Jangan berteriak begitu, kau membuatku terkejut," tegur Len dan melanjutkan membuat brioche untuk Rin.
"Buat briochenya yang banyak ya!" ucap Rin dengan mata berbinar saat melihat adonan briochenya telah dimasukkan ke panggangan.
"Kau ingin makan banyak brioche? Nanti kau tambah gendut," ucap Len asal.
Perempatan siku-siku muncul di pelipis Rin, "Enak saja! Bukan untukku tahu! Buatkan saja aku brioche yang banyaaak! Aku tunggu!"
Rin kemudian berlalu, membuat Len menggelengkan kepalanya heran. Semenjak kejadian itu, sikap Rin benar-benar berubah 180°, ia jadi lebih ramah terhadap rakyatnya dan sering mengumbar senyum. Len sih tidak masalah akan itu, ia hanya bingung kenapa tiba-tiba Rin berubah, bahkan hanya dalam waktu hitungan menit. Jangan-jangan Rin dimasuki hantu baik hati, lalu diceramahi habis-habisan oleh hantu itu?
Len menggelengkan kepalanya kencang, berusaha menepis pemikiran itu, "Apa yang kau pikirkan Len, lebih baik buat lebih banyak brioche atau ratu manja itu akan mengamuk."
Beberapa menit kemudian, semua brioche telah matang, dan kebetulan, pada saat yang sama, Rin muncul dengan gembiranya.
"Len! Apakah briochenya sudah matang? Kalau begitu cepat dikemas lalu taruh di kereta kuda yang kupersiapkan di halaman!" seru Rin dengan mata berbinar-binar.
Len pun menuruti keinginan Rin meski dalam hati bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan oleh Rin kali ini?
Saat brioche telah dimasukkan semua ke dalam kereta, Len diminta untuk naik dan duduk di sebelah Rin.
"Kita akan ke mana, Ratu?" tanya Len penasaran.
"Kau akan tahu nanti," ucap Rin sambil tersenyum, "Pak, ayo jalan."
*
*
*
*
Sekali lagi, Len dibuat terpengarah oleh kelakuan Rin akhir-akhir ini.
Dimulai dari kelakuannya yang berubah seratus delapan puluh derajat, yang membuat para pekerja istana terkejut bukan main, membantu ini itu, dan masih banyak lagi.
Dan sekarang Len dibuat terpengarah saat melihat Rin yang membagikan brioche –yang notabenya adalah makanan kesukaannya– kepada para orang tidak mampu yang berada di pinggiran istana Evilania.
Rin membagikan briochenya kepada orang-orang dengan senyum yang merekah, "Tolong terimalah brioche ini sebagai tanda maaf, aku telah mengabaikan kalian dan tutup mata selama ini, kumohon maafkan aku."
"Ini serius Rin atau bukan, sih?" Len mengelus tengkuknya bingung, tetapi tetap membagikan brioche atas perintah Rin.
Bahu Rin ditepuk pelan, membuat Rin menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya dengan perut buncit, "Ra-ratu Rin, bisakah Anda mengelus perut saya? Saya ingin anak saya nanti cantik seperti anda," pintanya.
Rin tersenyum, tangannya terulur mengelus perut sang wanita, "Tentu saja!" serunya, "Semoga anak Anda menjadi anak yang baik hati, tidak sombong, dan tentu saja cantik!"
Pukul Len saat ini juga.
Segerombolan anak kecil menghampiri Rin, "Ratu Rin, bisakah kita berfoto bersama? Kami ingin ini sebagai kenangan," ucap salah satu di antara mereka.
"Tentu!" Rin berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka, "Ayo peluk aku!"
Seorang pria yang memegang kamera pun menghitung mundur, " 3, 2, 1, senyum!"
Kilat kamera menyala beberapa saat kemudian, dan sebuah gambar berhasil ditangkap.
*
*
*
*
Rin mengintip dari balik pohon, menatap Kaito yang tengah berbaring dengan paha Miku sebagai bantalan dengan ekspresi sedih.
Meski pun dia sudah berusaha merelakan Kaito untuk Miku, tetap saja dia sedih. Kaito adalah cinta pertamanya. Banyak yang berkata jika cinta pertama susah untuk dilupakan, dan itu benar adanya.
Rin menghela napas, "Yasudah lah. Mungkin aku akan menemukan yang lebih dari dia."
Rin berbalik, hendak pergi dari sana sesaat sebelum retinanya menemukan Len yang juga bersembunyi di belakang pohon sepertinya dan tengah memperhatikan Miku dengan sendu.
Rin mengerjapkan matanya, otaknya memproses cepat pemandangan yang ada di hadapannya.
Len suka Miku?
Mendadak Rin merasa bersalah karena dulu pernah memerintahkan Len untuk membunuh Miku. Len pasti sangat tersiksa saat itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Rin memutuskan untuk buka suara.
"Eh, lho? Sejak kapan kau ada di sini?" Len menatap Rin dengan wajah blank-nya.
Perempatan siku-siku muncul di dahi Rin, "Aku di sini sejak tadi, bodoh!" tangan Rin terkepal dan memukul kepala Len, membuat Len mengaduh kesakitan.
"Hawamu tidak terasa, aku jadi tidam sadar!" ucap Len membela dirinya sendiri.
"Lupakan." Rin melambaikan tangannya, "Apa yang kau lakukan di sini?"
"A-aku tidak melakukan apa pun!" sanggah Len cepat.
"Hmm? Masa? Kulihat kau dari tadi memperhatikan Miku, tuh." Rin menatap Len dengan pandangan pura-pura curiganya.
"Aku tidak-!"
"Kau iya." Rin menghembuskan napasnya, "sudahlah, Miku itu sudah milik Kaito, kau tidak boleh merebutnya."
"lagipula kita sama," gumam Rin pelan.
"Hah? Apa yang kau katakan tadi?" tanya Len memastikan dengan raut bingung.
"Lalalala, aku tidak mengatakan apa pun. Ayo pergi dan belikan aku es krim." Rin berlalu sambil sesekali melompat bak anak kecil.
"Hei! Tunggu aku! Rin! Jelaskan apa maksudmu dengan kita sama? Kau menyukai Kaito ya?!" seru Len sembari berlari mengejar Rin yang berada lumayan jauh.
*
*
*
*
"Lalu Yellow Country hidup makmur dengan ratu yang telah merubah dirinya, selesai." Pria paruh baya itu menutup ceritanya dengan senyuman, menatap anak kembarnya yang terlelap dengan pandangan sayang.
"Kalian benar-benar mirip seperti mereka. Berbuat baiklah dan kalian akan hidup bahagia," ucapnya sembari mengecup kening kedua anaknya.
Ia pun beranjak dari duduknya, mematikan lampu kamar dan menutup pintu.
[DONE]
UDAH BERAKHIR!
YEEEY!
2300+ word,
Semoga kalian bisa tidur nyenyak setelah ini!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top