Hari Pertama
Prompt hari pertama:
[ Buat cerita yang berawalan. "Hari ini ketika aku terbangun, aku melihat ...." ]
PS: kata ganti aku boleh diganti menjadi yang lain misalnya saya, gue, dsb. Boleh juga menggunakan kata ganti orang ke-3 misalnya dia atau nama karakter jika menggunakan POV 3
+++++++
Hari ini ketika Moneta terbangun, dia melihat seekor kucing berbulu kelabu tengah bergelung di sudut kasurnya. Gadis itu refleks menoleh ke kiri, ke arah jendela kamarnya berada. Dilihatnya tirai jendela menari-nari serupa tentakel monster laut yang berusaha menggapai ke segala penjuru.
Semalam, listrik rumahnya sempat mati. Moneta tidak tahan kepanasan dan memutuskan membuka daun jendela lebar-lebar. Saat listrik sudah kembali menyala, Moneta telah terlelap dan sibuk berkejaran dengan anak-anak rusa dalam mimpi, tidak sempat menutup lagi jendela. Andaikan ibu Moneta tahu kecerobohan putrinya, wanita itu pasti sudah mengomel sampai telinga Moneta terasa penuh.
Kucing itu menggeliat malas ketika Moneta mengelus punggungnya. Matanya terbuka setengah, balas menatap Moneta sejenak, lalu kembali terpejam ketika makhluk berbulu itu merasa Moneta bukan ancaman baginya. Dengkuran halus kembali terdengar dengan irama yang makin lama makin teratur, membuat Moneta merasa gemas pada si tamu tidak diundang yang bertingkah seperti raja.
"Mou! Cepat turun, atau kau akan terlambat ke sekolah!" Suara melengking ibu Moneta terdengar dari dapur, diiringi denting spatula yang beradu dengan wajan.
"Ya, Ma!" Moneta membuka pintu kamarnya dan balas berteriak. Aroma bawang putih yang ditumis dengan margarin memenuhi udara. Cacing-cacing di perut Moneta mulai berdemonstrasi, tetapi Moneta harus bersiap-siap lebih dulu. Ibunya pasti tidak akan memperbolehkannya makan jika masih mengenakan piyama yang berbau keringat.
Tidak ada cukup waktu untuk mandi, jadi Moneta hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Gadis tujuh belas tahun itu kemudian memakai deodoran, menyemprotkan parfum banyak-banyak, dan menukar piyamanya dengan pakaian bersih. Dia berharap tidak akan ada yang menyadari bahwa dia belum mandi pagi ini. Moneta tidak ingin dicap sebagai gadis jorok yang jarang mandi oleh teman-temannya.
Ketika Moneta tengah mengepang rambut pirang pucatnya di meja rias, kucing itu bangun dan menghampirinya. Moneta menunggu, penasaran apa yang akan dilakukan oleh si kucing.
Kucing itu mengeong pelan sambil menggosok-gosokkan badannya ke kaki Moneta.
Moneta tidak pernah memiliki hewan peliharaan karena ibunya selalu melarang. Kini, tiba-tiba saja dia ingin memelihara seekor kucing. Dia berjongkok dan berusaha menggendong kucing bertubuh tambun itu, tetapi sayangnya si kucing memberontak dan melompat turun. Tidak lama kemudian, kucing itu kabur melalui jendela tempat dia menyusup semalam. Entah kenapa, Moneta kecewa. Ada perasaan kehilangan yang mengisi hatinya, padahal kucing itu tidak pernah menjadi miliknya.
----
Seperti hari-hari lain, jam pelajaran terasa begitu membosankan bagi Moneta. Satu-satunya hal yang menghibur Moneta hari ini adalah Hannah yang berulang kali bersin selama di kelas, sampai-sampai Miss Stevenson menyuruh Hannah memeriksakan diri ke klinik sekolah.
Sahabat karib Moneta itu memiliki alergi terhadap bulu kucing. Moneta menyadari bahwa kemungkinan besar dialah yang memicu reaksi alergi Hannah. Mungkin ada bulu kucing yang menempel di pakaian Moneta, lalu berpindah ke pakaian Hannah saat mereka berpelukan tadi. Moneta berniat meminta maaf sepulang sekolah, tetapi Hannah justru memanfaatkan kondisinya untuk memperoleh izin pulang lebih cepat. Hal itu membuat Moneta sebal. Bisa-bisanya Hannah meninggalkannya begitu saja.
Untuk meredam kekesalannya, Moneta memutuskan mampir ke toko buku sepulang sekolah, sekadar untuk cuci mata. Udara sejuk menampar wajah Moneta saat dia membuka pintu toko. Moneta seperti seorang pengembara yang menemukan oase setelah tersesat di padang pasir berhari-hari. Rupanya pemilik toko telah memperbaiki pendingin ruangan yang rusak.
"Halo, Mou," sapa penjaga toko dari balik meja kasir yang telah hafal dengan wajah Moneta. Toko itu hanyalah sebuah toko buku kecil di kota yang sepi, jadi Liam juga merangkap sebagai kasir dan staf kebersihan. Liam tiga tahun lebih tua dari Moneta, satu dari sedikit pemuda yang bertahan di kota itu. Kebanyakan pemuda langsung kabur ke kota yang lebih besar begitu lulus SMA.
Moneta menghampiri pemuda kurus itu, lalu mengambil permen dari mangkuk kecil di meja kasir. "Ada buku baru yang datang, Liam?" tanya Moneta sambil merobek bungkus permen dan melemparkan isinya ke dalam mulut.
"Memangnya kalau ada, kau akan beli?"
Moneta terkekeh. Dia mengedikkan bahu dengan cepat, lalu berjalan menuju rak berisi buku cerita anak-anak. Liam membuntuti gadis itu. Pengunjung toko hanya Moneta seorang, jadi tidak ada yang akan mengantri di meja kasir sampai beberapa waktu ke depan.
"Tumben, kau datang sendiri?" tanya Liam sambil mengawasi Moneta. "Biasanya kau datang dengan si redhead itu."
"Hannah pulang duluan karena sakit," jawab Moneta sambil lalu. Jemarinya sibuk menelusuri deretan buku yang tertata rapi di rak.
"Sakit apa? Kenapa kau tidak menjenguknya? Dia sahabatmu, kan?" Liam tidak berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya. Sesungguhnya, sikap usil dan jailnya kepada Hannah hanya kedok semata. Jauh di dalam lubuk hati pemuda itu, dia menyukai Hannah. Sayangnya tidak ada tanda-tanda bahwa perasaannya itu bersambut.
"Kalau kau penasaran, kenapa tidak kau tanyakan langsung kepadanya? Aku sudah memberikan nomor Hannah kepadamu, kan?"
Sebelum Liam sempat menjawab pertanyaan Moneta, seorang wanita muda masuk toko. Liam pun bergegas meninggalkan Moneta sendiri untuk menyambut si calon pembeli.
Moneta menarik sebuah buku bersampul tebal dari rak. Buku itu terlihat begitu mencolok karena warna dan ukurannya yang berbeda dari buku-buku lain.
Kucing yang Terbuat dari Abu.
Gambar seekor kucing kelabu--sangat mirip dengan kucing yang Moneta temui pagi tadi--tampak di bagian sampul. Gadis itu pun mulai membalik-balik halaman buku karena penasaran.
Buku itu bercerita tentang seorang gadis yatim yang selalu merasa kesepian. Dia selalu menyendiri di pinggir hutan. Setiap kali anak-anak sebayanya mengajak bermain, dia akan mengarang alasan untuk menolak. Suatu hari, dia bertemu seorang penyihir. Gadis itu mengeluhkan hidupnya yang membosankan. Sang penyihir kemudian menciptakan seekor kucing dari abu perapian untuk menemani gadis itu.
Hidup gadis itu menjadi tidak membosankan lagi sejak kehadiran kucing ajaib pemberian penyihir. Namun tentu saja, ada konsekuensinya jika hendak memelihara hewan yang diciptakan dengan sihir. Kucing itu harus diberi makan bara api setiap hari.
Semakin hari, kucing itu makan semakin banyak. Sampai akhirnya si gadis kehabisan kayu untuk dibakar. Dia pun membakar hutan desanya untuk mendapat bara api lebih banyak. Namun sayangnya, semua itu tetap belum cukup. Kucing tersebut pada akhirnya kembali menjadi abu ketika tidak ada lagi bara api untuk dimakan.
Pada halaman terakhir, Moneta melihat gambar si gadis tokoh utama berdiri di atas puing-puing desanya. Semua orang telah meninggalkan desa, termasuk ibu dan teman-temannya.
Moneta merasa, cerita itu terlalu suram untuk dibaca anak-anak. Tidak ada akhir bahagia layaknya dongeng yang biasa Moneta baca waktu kecil.
"Kalau kau jadi gadis itu, apa kau juga akan membakar hutan hanya untuk seekor kucing?"
Mulanya, Moneta pikir Liam yang berbicara. Namun ternyata, pertanyaan itu berasal dari seorang pemuda berambut cokelat yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Mata biru pemuda itu berkilat-kilat penasaran, menanti jawaban dari Moneta.
"Ini hanya dongeng. Tidak ada yang sebodoh gadis itu di dunia nyata. Menghancurkan desa untuk seekor kucing hanya karena kesepian? Padahal dia bisa saja berteman dengan gadis-gadis lain." Moneta tidak berniat berujar dengan nada sesinis itu, tetapi entah kenapa kata-kata meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Tapi bukankah banyak orang yang rela menukar keluarga dan teman-temannya untuk kebahagiaan semu?"
Moneta menatap tajam ke arah lawan bicaranya. Siapa, sih, pemuda itu? Tiba-tiba saja mengajaknya mengobrol tentang hal-hal filosofis semacam itu. Awalnya, Moneta ingin mengintimidasi supaya pemuda itu lekas enyah dari hadapannya. Akan tetapi, justru dia yang merasa jengah. Seringai yang terukir di bibir pemuda itu memancarkan rasa percaya diri yang tinggi, membuat Moneta merasa minder dan ingin cepat-cepat pergi.
Seolah dapat membaca pikiran Moneta, pemuda itu berkata, "Aku Jovis, tetangga barumu. Apa kau lupa? Kemarin kita sempat berkenalan, saat aku mengantarkan pai buatan ibuku ke rumahmu."
Potongan-potongan ingatan mulai terangkai di kepala Moneta. Kemarin sore, ibunya memang memintanya turun untuk berkenalan dengan seseorang yang katanya baru pindah ke seberang rumah mereka. Moneta berbasa-basi sekilas, lalu bergegas kembali ke kamar. Sekejap saja dia sudah melupakan sosok dan nama tetangga barunya itu. Jika Hannah sampai tahu bagaimana Moneta melupakan begitu saja sosok pemuda setampan Jovis, sahabatnya itu pasti akan mengejeknya habis-habisan.
"Aku ingat, kok." Monita berkilah. Dia mengembalikan buku ke rak, lalu berjalan ke arah pintu keluar.
"Kau tidak membelinya?" Jovis mengikuti Monita keluar.
"Aku sudah membacanya."
"Lama-lama, toko ini bisa bangkrut jika semua orang membaca gratisan sepertimu," ledek Jovis. Tawanya berderai di udara, serupa duri yang menusuk-nusuk telinga Moneta.
Gadis itu mendadak mengerem langkahnya dan berbalik badan menghadap Jovis. Untung saja Jovis memiliki refleks yang bagus. Kalau tidak, mereka berdua pasti sudah bertabrakan.
"Berhenti mengikutiku!" pekik Moneta kesal.
"Aku tidak mengikutimu," Jovis terlihat menahan tawa, "aku hanya ingin pulang ke rumahku, kok."
Moneta mendengus dan lanjut berjalan. Berusaha mengabaikan Jovis sebisa mungkin. Ketika mereka melewati rumah kosong di ujung blok perumahan mereka, seekor kucing melompat dari balik semak-semak.
"Oh, hai, Carlos. Ternyata kau bersembunyi di sini. Mom mencarimu ke mana-mana semalam," ujar Jovis dengan suara riang, seperti sedang berbicara kepada bayi. Dia menggendong kucing berbulu kelabu itu dengan penuh sayang.
Moneta memperhatikan kucing itu. Tidak salah lagi, kucing bernama Carlos itulah yang semalam menyelinap ke kamarnya dan menumpang tidur di kasurnya. Saat melihat Moneta, Carlos mengeong.
Jovis menoleh ke arah Moneta. "Oh, semalam kau tidur di tempat Mou. Tidak boleh begitu, Carlos. Tidak sopan menumpang tidur di kamar seorang gadis tanpa izin," ucapnya sambil terus membelai bulu Carlos.
Moneta berjengit nyeri. Bagaimana Jovis tahu kalau Carlos tidur di kamarnya semalam? Pemuda itu tidak mungkin bisa berbicara dengan kucing, kan?
Kaki Moneta berayun cepat, berusaha lari sejauh mungkin dari tetangga barunya. Sayup-sayup terdengar suara Jovis memanggil-manggil, menyerukan permintaan maaf atau sejenisnya. Entahlah, Moneta tidak terlalu jelas mendengarnya.
Sesampai rumah, Moneta segera mengunci diri di kamar. Dia kemudian membuka jendela dan mengintip ke rumah bertingkat dua di seberang. Dilihatnya Jovis berusaha membuka pintu. Seperti memiliki mata di belakang kepalanya, Jovis menoleh ke arah kamar Moneta. Moneta buru-buru merunduk untuk menyembunyikan diri.
Jantung Moneta berdentum tidak karuan. Dia seolah dapat merasakan tatapan Jovis menembus tembok rumahnya. Dia bahkan dapat membayangkan seringai Jovis yang terlihat mengancam.
Freak!
Moneta memutuskan untuk sebisa mungkin menjauhi pemuda itu.
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top