Hari Ketiga

Prompt hari ketiga:

[ Buat tulisan dengan tema "Cinta Pertama" ]

------

Malam itu, Moneta tidak bisa tidur. Pukul sepuluh dia telah mematikan lampu kamar, tak lupa menutup jendela rapat-rapat. Dari kejadian sore tadi, Moneta menyimpulkan bahwa Jovis menempelkan semacam alat pelacak pada Carlos. Setelah Moneta ingat-ingat kembali, kucing kelabu itu memang mengenakan kalung dengan bandul bulat yang sedikit cembung. 

Kalung-kalung semacam itu memang biasanya dipasangi GPS. Sangat bermanfaat memang, terutama bagi orang-orang yang khawatir hewan peliharaannya hilang. Namun di lain sisi, menyeramkan juga. Moneta tidak tahu apa saja fungsi alat itu. Bagaimana kalau ada fungsi perekam atau kamera tersembunyi, lalu Jovis dapat memata-matai Moneta melalui Carlos.

Moneta menelan ludah. Dia tahu pemikirannya terlalu paranoid, tapi semua itu dapat saja terjadi, kan? Jovis tiba-tiba saja muncul dan bersikap seakan telah mengenalnya bertahun-tahun. Mengetahui hal-hal yang seharusnya tidak diketahui orang yang baru datang di kehidupan Moneta. Bagaimana Moneta tidak curiga, kan?

Keesokan paginya, Moneta terbangun dengan mata merah. Kantung matanya menebal, kepalanya pun sedikit berkunang-kunang karena kurang tidur. Semua ini gara-gara tetangganya yang freak itu. Untaian kata-kata yang diucapkan Jovis kemarin terus bergaung di kepala Moneta.

"Kenapa matamu merah? Semalam kau tidak begadang menonton film, kan?" tanya ayah Moneta saat gadis itu turun ke ruang makan. 

Mark-ayah Moneta-adalah seorang pria tinggi besar dengan rambut dan janggut berwarna cokelat gelap sepanjang bahu. Banyak orang mengira Mark adalah pria yang kasar, tetapi sebenarnya tidak begitu. Sepanjang hidupnya, Moneta tidak mengenal pria yang lebih sopan dan welas asih dari ayahnya. Yah, walaupun pendapatnya itu bisa jadi terlalu subjektif.

"Tidak tahu, Pa. Sepertinya, aku sedang tidak enak badan," keluh Moneta. Kepalanya terus berdentam sejak tadi. Seperti ada yang sedang menabuh tong kosong di dekat telinganya.

"Kalau begitu istirahatlah," saran ayahnya.

"Itu karena kau kurang berolahraga, Mou." Louise--ibu Moneta--yang baru selesai merawat tanaman-tanamannya ikut berpendapat. "Manusia perlu banyak bergerak supaya terus sehat."

Moneta memilih diam supaya tidak memancing nasihat-nasihat lain dari ibunya.

Berkebalikan dengan Mark, badan Louise pendek dan kurus. Orang-orang sering khawatir wanita lincah itu akan terbang saat angin bertiup terlampau kencang. Louise memiliki rambut pirang pucat seperti Moneta dan mata mungil yang selalu bergerak-gerak memindai sekeliling.

"Mou akan berolahraga, tapi tidak sekarang. Hari ini, sebaiknya dia istirahat saja di kamar." Mark coba membela.

Louise menyentuh kening Moneta. "Agak demam. Mungkin ayahmu benar. Setelah sarapan, sebaiknya kau beristirahat."

Terlepas dari tubuhnya yang terasa ngilu di mana-mana tanpa alasan yang jelas, pagi itu Moneta menjalani akhir pekannya dengan normal. Tidak ada kucing kelabu yang menyelinap ke rumahnya. Tidak ada tetangga baru yang hobi mengusiknya. Hidupnya kembali berjalan dengan aman dan tentram, tanpa riak-riak yang mengganggu, setidaknya sampai beberapa hari berikutnya.

----

Senin itu, mendung menggantung sejak pagi. Louise berulang kali mengingatkan Moneta untuk membawa payung, padahal gadis itu selalu menyimpan payung di tasnya.

Saat Moneta berjalan melintasi gerbang sekolah, Hannah merangkul lehernya dari belakang. "Jadi, apa saja yang kalian obrolkan saat pulang bersama kemarin?" tanyanya dengan suara mendayu yang terkesan berlebihan. Rambut merah sepundaknya tampak kusut dan mencuat ke sana kemari. Moneta langsung menyimpulkan bahwa sahabatnya itu berangkat ke sekolah dengan membonceng motor seseorang--kemungkinan besar Liam, tidak banyak orang yang memiliki motor di kota itu--tanpa mengenakan helm.

"Tidak ada," ketus Moneta sembari terus berjalan ke arah loker mengikuti arus siswa yang baru datang. Hannah berjalan di sisinya sambil bersiul riang. Setelah menyimpan barang-barang yang tidak diperlukan di loker, mereka menuju ke kelas pertama hari itu.

"Ngomong-ngomong, Mou. Aku bertemu Andy kemarin. Dia pulang untuk education day minggu depan."

Moneta berusaha tidak peduli, tapi sebenarnya jantung gadis itu sempat melewatkan satu detakan saat nama Andrew Henderson disebut.

Andy sepantaran dengan Liam. Bedanya, Liam hanya pemuda biasa yang memiliki hidup biasa-biasa saja, sedangkan Andy selalu menjadi pusat perhatian sejak kecil. Begitu lulus SMA, Andy langsung melanjutkan kuliah ke Sydney. Pemuda itu bahkan memilih melintasi negara bagian untuk kabur dari kota kecil mereka sejauh mungkin.

Pada suatu waktu di masa remajanya, Moneta sempat diam-diam mengagumi Andy, seperti remaja perempuan lainnya. Moneta tidak suka keramaian, tetapi jika Andy sedang bermain kriket, dia rela berdesak-desakan dengan gadis-gadis lain untuk menonton pertandingan. Bisa dibilang, Andrew Henderson adalah cinta pertama Moneta.

"Andai saja nilai-nilaiku lebih bagus, mungkin aku akan menyusul dia ke Sydney." Hannah mengeluh. "Tapi kalau kau, kurasa masih punya peluang."

"Orang tuaku pasti tidak mengizinkanku kuliah sejauh itu," timpal Moneta sambil meletakkan buku-bukunya di atas meja.

Hannah masih berdiri di samping Moneta. Dia sedikit membungkukkan badan dan menumpukan kedua lengan di meja. "Tapi setidaknya, kau punya alasan untuk mengajaknya ngobrol. Kau bisa pura-pura bertanya tentang kampusnya." Dia berbisik ke telinga Moneta.

Pipi Moneta memanas. Hanya karena membayangkan berbicara dengan Andy, Moneta menjadi salah tingkah. Bohong kalau Moneta mengaku tidak menunggu-nunggu datangnya education day. Pada hari itu, alumni sekolah Moneta akan berdatangan untuk mempromosikan kampus masing-masing kepada para siswa yang bingung apa yang harus dilakukan ketika masa SMA berakhir. Moneta tahu, Andy selalu datang setiap tahun. Ah, Andy bukan sekadar cinta monyet ataupun cinta pertama Moneta, melainkan juga satu-satunya cinta yang pernah Moneta rasakan, meski hanya bertepuk sebelah tangan.

----

Gimnasium disulap layaknya sebuah ruang pameran. Satu sisi ruangan dipenuhi deretan stan sekolah kejuruan dan universitas. Yang paling ramai tentu saja stan mahasiswa Charles Darwin University, sebagian besar alumni melanjutkan kuliah di sana. Darwin memang kota ideal bagi mereka, menawarkan pengalaman baru tetapi juga tidak terlalu jauh dari rumah. Di sisi yang lain, terdapat stan berisi produk-produk lokal. Sebagian siswa turut berjualan di sana untuk mendapatkan dana tambahan bagi klub mereka.

Ketika masuk gimnasium, Moneta secara otomatis mencari stan yang Andy jaga. Seperti yang sudah Moneta duga, sosok Andy begitu mencolok di tengah kerumunan.  Sayangnya, dia tidak bisa serta merta menyapa Andy, lebih tepatnya dia tidak berani. Maka dari itu, Moneta mengekori Hannah yang mampir ke setiap stan, ikut mengumpulkan brosur dan suvenir yang dibagikan, serta memasang raut serius kala mendengarkan pemaparan masing-masing penjaga stan.

“Halo, Tetangga.” Sebuah suara yang telah Moneta hafal menyapanya. 

Gadis itu berjengit. Tidak menyangka akan bertemu dengan orang yang paling dia hindari di sekolah. Seharusnya, Moneta dapat menebak. Jovis seusia dengannya, sudah sewajarnya jika mereka juga bersekolah di tempat yang sama. Tidak ada SMA lain di kota mereka.

“Bukannya kau masih kelas sebelas? Kau sudah mulai memikirkan akan kuliah di mana?” Jovis bertanya dengan setengah berbisik.

“Oh, Halo, Jovis. Akhirnya kita bertemu lagi.” Tentu saja yang berbicara adalah Hannah. Berkebalikan dengan Moneta, gadis itu tampak senang saat melihat Jovis. “Tidak kusangja ternyata kau senior kami,” ucapnya saat melihat pin yang tersemat di baju Jovis. Saat berkenalan tempo hari mereka memang tidak sempat membahas tentang sekolah. Hannah dan Liam terlalu sibuk bertengkar, sementara Jovis hanya memperhatikan. 

Sekolah mereka mewajibkan para siswanya mengenakan pin enamel sebagai tanda identitas. Tiap angkatan memiliki warna pin yang berbeda. Sebagai siswa kelas sebelas, Hannah dan Moneta mengenakan pin berwarna hijau tua, sedangkan Jovis mengenakan pin cokelat keemasan. Artinya, pemuda itu duduk di kelas dua belas. Hal itu menjelaskan kenapa Moneta tidak pernah melihat Jovis di sekolah. Mereka beraktivitas di bagian gedung yang berbeda.

“Hanya beda setahun,” kata Jovis ringan. Dia pun lanjut bercakap-cakap dengan Hannah. 

Moneta merasa tidak nyaman dengan kehadiran Jovis. Saat Hannah dan Jovis berhenti di stan selanjutnya, Moneta justru terus berjalan menuju stan Andy.

Kekesalan terhadap Jovis seolah melunturkan perasaan gugup Moneta. Entah mendapat keberanian dari mana, Moneta telah berdiri di hadapan Andy dan meminta salah satu brosur yang dibagikan pemuda itu.

“Kau Moneta, kan?”

Sayangnya begitu mendengar suara Andy, Moneta kembali kehilangan rasa percaya dirinya. Lidahnya mendadak kelu, jadi Moneta hanya mengangguk. Dia hanya bisa berdiri kaku saat Andy mulai menjelaskan program-program yang ditawarkan kampusnya. Akan tetapi, pikirannya justru terbang ke mana-mana.

Seperti ada angin puting beliung yang tengah mengobrak-abrik dada Moneta. Gadis itu tidak menyangka Andy mengenalinya. Kedua ayah mereka bekerja di perusahaan asuransi yang sama. Sewaktu Moneta masih kecil, dia pernah ikut orang tuanya memenuhi undangan makan malam dari keluarga Henderson. Andy selalu bersikap ramah dan mengizinkan Moneta bermain dengan koleksi mobil-mobilannya.

“Bagaimana dengan biaya hidup di sana? Pasti cukup mahal, kan?”

Pertanyaan Jovis memecah lamunan Moneta. Entah sejak kapan pemuda itu berdiri di sampingnya. Moneta mencari-cari sosok Hannah, tetapi sahabatnya itu justru menghilang entah ke mana.

Andy menjawab pertanyaan Jovis dengan antusias. “Selama kita bisa berhemat, tidak juga. Kalau pandai mengatur waktu, kita juga bisa bekerja paruh waktu untuk mendapatkan tambahan uang saku.”

Moneta memutuskan meninggalkan stan diam-diam. Hatinya selalu gelisah setiap berdekatan dengan Jovis. Sayangnya, tidak lama kemudian, Jovis menyusulnya.

“Kenapa kau menghindariku?” Jovis menarik lengan Moneta.

Sambil menyentak tangan Jovis, Moneta balik bertanya, “Kenapa kau terus mengikutiku ke mana-mana?” Moneta mengucapkannya dengan nada rendah, tetapi ada ketajaman di setiap ujung kata-katanya.

“Karena aku sudah lama mencari-carimu, Mou. Saat ingatan itu kembali, hanya kau yang memenuhi pikiranku. Setiap hari yang kulewati tanpamu terasa begitu menyiksa.”

Muncul kerutan di kening Moneta. Matanya menyipit penuh curiga. Dia tidak dapat memahami maksud perkataan Jovis. “Aku tidak pernah bertemu denganmu sebelum ini.”

“Kau masih belum ingat?”

“Ingat apa? Kita tidak pernah bertemu sebelumnya!” tegas Moneta sekali lagi.

Sorot kesedihan membayang di mata Jovis. Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Moneta melihat pemuda itu berwajah muram.

“Seharusnya kau sudah ingat, seperti sebelum-sebelumnya,” ucap Jovis dengan suara lirih dan sarat dengan kekecewaan.

Kerutan di kening Moneta semakin dalam. Gadis itu tidak dapat menebak arah pembicaraan mereka.

“Kita berdua ditakdirkan untuk selalu saling menemukan, Mou.” Kata-kata Jovis seolah mengandung mantra yang mengikat kaki Moneta. “Orang-orang pikir, cinta pertama adalah saat pertama kalinya kita menyukai seseorang di hidup kita. Seperti kau yang mengira lelaki tadi sebagai cinta pertamamu. Tapi sebenarnya, sebelum kita lahir ke dunia, kita telah bertemu dengan belahan jiwa kita dan saling jatuh cinta. Itulah cinta pertama yang sesungguhnya. Sayangnya, kebanyakan orang langsung melupakannya begitu dilahirkan.”

“Ja-jangan mengada-ada. A-aku tidak akan tertipu dengan ceritamu.” Suara Moneta bergetar. Perkataan Jovis tidak dapat diterima akal sehat, tetapi seperti ada sebuah suara lain di kepalanya yang membantah habis-habisan.

“Beberapa pasangan diberi kesempatan untuk mengingat kehidupan sebelumnya karena memiliki misi khusus. Kau dan aku salah satunya, Mou.”

“Kau gila!” sentak Moneta, lalu berlari meninggalkan Jovis. Tidak mungkin dia percaya pada racauan pemuda itu.

Jauhi Jovis! Jauhi Jovis!

Batin Moneta terus berteriak. Namun, semakin lama, Moneta semakin tidak yakin. Kepalanya terasa sakit karena begitu banyak suara yang tumpang tindih di dalamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top