7
Prompt Hari Ketujuh:
[ Pilih satu karakter dari cerita orang lain yang kamu suka (bisa novel baik sudah terbit fisik/digital, bisa film, series, bebas) lalu deskripsikan dia dari sudut pandang karaktermu. ]
-->Karakter yang saya pilih adalah Thor Odinson yang diperankan Chris Hemsworth di Marvel Cinematic Universe
-----
Ketika membuka mata, Moneta menemukan dirinya telah berada di dalam kamarnya sendiri, berbaring di antara bantal-bantal empuk. Aroma lavender tercium dari lilin aromaterapi yang menyala di atas nakas. Moneta coba mereka-reka kembali kejadian yang menimpanya. Seingatnya, dia tengah berbicara dengan Jovis, lalu tiba-tiba saja muncul wajah-wajah asing silih berganti, layaknya sebuah film yang diputar lebih cepat. Setelah itu, ia merasakan kepalanya seakan mau pecah, disusul pandangannya yang dengan seketika berubah menjadi gelap.
Pintu kamar Moneta berderit terbuka, lalu muncul wajah Louise. Wanita itu mengembuskan napas lega saat melihat putrinya duduk bersandar di tempat tidur.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Mou? Apakah akhir-akhir ini kau kurang tidur?" Louise duduk di dekat kaki Moneta.
"Iya, Ma. Akhir-akhir aku sulit tidur." Moneta memutuskan jujur, meski tidak mungkin dia mengungkapkan semuanya.
"Untung saja ada Jovis. Dia langsung meneleponku dan memberi tahu kau tiba-tiba pingsan di teras." Louis meraih tangan Moneta dan mengusapnya lembut. "Apa kau ada masalah di sekolah?"
Monera terdiam. Apakah ibunya akan percaya jika dia bilang semua ini terjadi sejak kehadiran Jovis?
"Kau ingin ke dokter?" tanya Louise.
Louise paham benar bahwa sejak kecil Moneta membenci rumah sakit. Jika tidak benar-benar butuh, gadis itu memilih untuk beristirahat dan mengobati sendiri penyakitnya. Moneta sebisa mungkin akan menghindari pergi ke dokter.
"Apa Mama yang membawaku ke sini?" Moneta justru balik bertanya.
Tawa Louise mengalun di udara. "Tentu saja bukan. Kau kan bukan anak kecil lagi, Mou. Mama terpaksa minta tolong Jovis tadi. Besok jika sudah baikan, kau harus minta maaf dan berterima kasih kepadanya."
Hanya anggukan kepala yang bisa Moneta berikan. Rasa-rasanya dia masih belum bisa berpikir jernih. Seakan ada banyak sekali cerita yang dijejalkan di kepalanya. Moneta perlu waktu untuk menyusun keping-keping ingatan yang berserakan di kepalanya, meski dia sendiri tidak tahu sebanyak apa waktu yang dia butuhkan.
-----
"Tidak perlu khawatirkan aku, Ma. Aku baik-baik saja. Mama tidak perlu ambil cuti." Moneta bersikeras tidak mau ditunggui. Disuruhnya Louise untuk berangkat bekerja.
"Bagaimana kalau kau pingsan lagi, Mou?" Suara bariton Mark menyela. "Biarkan ibumu menemanimu. Aku akan lebih tenang."
"Kemarin itu, aku terlambat makan, dan kurang tidur di malam sebelumnya. Semalam aku tidur nyenyak sekali. Kalian juga sudah memaksaku makan dua porsi lebih banyak. Jadi tidak perlu khawatir." Moneta mendorong kedua orang tuanya ke pintu. "Kalau ada apa-apa, aku akan langsung menelepon kalian."
Akhirnya, Mark dan Louise dengan berat hati meninggalkan putri mereka. Hari ini, Moneta sengaja tidak berangkat ke sekolah. Dia perlu waktu sendirian untuk merenungkan rentetan kejadian aneh yang menimpanya.
Begitu orang tuanya pergi, Moneta langsung mengunci pintu dan naik ke kamarnya. Dia kemudian menyalakan laptop dan mulai melakukan pencarian di Google tentang nama-nama yang diingatnya kemarin.
Tentu saja pencarian Moneta tidak mudah. Seperti sedang mencari jarum di tumpukan jerami. Moneta hanya mengingat nama panggilan orang-orang yang dicarinya, dan nama-nama itu adalah jenis nama yang pasaran.
Kemarin, Jovis mengisyaratkan bahwa Valerie dan Carlos merupakan ingatan terakhir. Anggap saja cerita Jovis tentang reinkarnasi itu benar terjadi, maka Valerie dan Carlos pastilah hidup di rentang waktu yang paling dekat dengan mereka. Mungkin, Moneta bisa menemukan jejak digital kedua orang itu.
Sayangnya, lewat tengah hari, usaha Moneta belum membuahkan hasil yang berarti. Begitu banyak nama Valerie dan Carlos yang bertebaran di internet. Namun, tidak satu pun yang fotonya mirip dengan wanita dan pria dalam mimpi Moneta.
Andaikan seseorang tidak mengetuk--setengah menggedor--pintu depan, Moneta pasti masih menenggelamkan wajahnya di depan layar laptop.
"Sebenarnya kau sakit apa, Mou?" todong Hannah begitu Moneta membuka pintu.
"Hanya sedang tidak enak badan." Moneta menjengkitkan bahu. Hidungnya mengendus-endus udara. Tercium aroma yang tidak asing dari balik punggung Hannah.
Sesuai dugaan Moneta, sahabatnya itu membawakan sekantong pretzel yang ditaburi gula dan bubuk kayu manis.
"Aku bawa ini untuk menemani kita menonton," kata Hannah sembari mengayun-ayunkan kantung kertas berisi pretzel di depan hidung Moneta.
Senyum lebar Hannah berhasil membuat Moneta melupakan kegalauannya sejenak. Dia merebut kantung itu dari tangan Hannah dan mengajak sahabatnya itu naik ke lantai dua.
Kedua gadis itu berdesakan di atas kasur single di kamar Moneta. Laptop Moneta diletakkan di meja kecil di dekat kaki mereka, menayangkan sebuah film superhero yang sempat viral beberapa tahun lalu.
"Kau mau tahu siapa yang mirip dengan Thor?" tanya Hannah dengan mata berbinar-binar saat film telah usai.
"Siapa?"
Hannah tidak lekas menjawab. Gadis itu menyimpul senyum penuh arti, seakan sengaja membuat Moneta penasaran. "Siapa lagi kalau bukan Jovis. Tetangganu yang ganteng itu," jawab Hannah sambil terkikik menahan tawa.
"Mirip dari mananya? Dia kerempeng begitu," ketus Moneta kesal. Saat menonton film tadi, dia sempat melupakan Jovis dan segala misterinya. Kini, Hannah justru mengungkit-ungkit masalah Jovis dan membuatnya ingat pada penyelidikannya yang gagal.
"Mata biru. Tubuh tinggi tegapnya, yah, walau memang kurang kekar, itu bisa diatur nanti. Kau tinggal memintanya lebih sering berolahraga untuk membentuk otot."
"Hei, hei. Maksudmu apa? Memangnya aku siapa mengatur-atur hidupnya." Moneta mengomel dengan tangan bersilang di depan dada.
"Dia menyukaimu, Mou."
"Jangan sok tahu!"
"Kau pikir kenapa aku datang menemanimu siang ini?"
Moneta tertegun. Ditatapnya Hannah dengan bingung. "Karena kau mengkhawatirkanku, kan?"
"Ya, memang. Itu salah satunya." Hannah lagi-lagi menyungingkan senyum. "Juga karena tadi Jovis menemuiku di kelas dan memintaku menjengukmu. Katanya, kau sendirian di rumah dan mungkin perlu teman."
"Jangan mengarang cerita tidak masuk akal!"
"Ini sungguhan. Aku sedang tidak bohong, Mou."
Moneta menggigit bagian dalam bibirnya. Dalam hati, dia bertanya-tanya kenapa bukan Jovis yang menjenguknya sendiri. Bukankah pemuda itu senang sekali mengusik hidup Moneta?
"Jovis itu nama lain dari Jupiter alias Zeus, Mou. Dewa petir, seperti Thor Odinson. Thor superhero favoritmu, kan? Bukankah ini yang namanya kesempatan?" Kali ini, Hannah tidak menahan tawanya. Gadis itu tergelak keras dan memasang ekspresi puas karena berhasil menggoda sahabatnya.
"Aku tidak suka Thor," elak Moneta.
"Oh, benarkah? Bukankah saat film ini baru tayang di bioskop kau sampai merengek-rengek kepada orang tuamu agar diizinkan menonton?"
"Aku hanya tidak ingin dianggap kuper oleh yang lain. Waktu itu, semua anak menonton Thor."
"Kau membahas Thor berhari-hari denganku, Mou. Katamu, kau suka sikapnya yang ceria dan terkadang jahil. Kau juga bilang Thor itu hero paling kuat di alam semesta dan kau ingin menikah dengannya ketika sudah dewasa."
"Thor itu arogan dan hanya memikirkan diri sendiri. Dia suka bertindak seenaknya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain." Moneta terus mendebat tidak terima. Entah sebenarnya siapa yang sedang dia bicarakan, apakah masih tentang si tokoh pahlawan fiksi atau pemuda yang tinggal di seberang rumahnya.
Sebenarnya, Hannah tidak sedang membual. Waktu masih kecil, Moneta memang sempat tergila-gila pada Thor yang diperankan oleh Chris Hemsworth.
"Dulu aku sempat bilang begitu kepadamu, tapi kau justru marah saat kubilang Thor itu terlalu percaya diri dan mau menang sendiri. Kaubilang Thor telah berubah menjadi bijaksana sejak dihukum Odin." Hannah tidak mau kalah.
Moneta masih ingat jelas bagaimana dia menatap kagum ke layar bioskop setiap Thor bertarung melawan musuh. Dia juga suka sikap Thor yang tidak mendendam pada Loki. Walaupun sering mengjaili Loki, Thor menunjukkan kasih sayang seorang saudara laki-laki dengan caranya sendiri. Moneta sangat ingin memiliki kakak laki-laki seperti Thor.
Namun ketika Hannah mulai membandingkan putra Odin itu dengan Jovis secara serampangan, Moneta menjadi berubah pikiran. Jika dipikir-pikir lagi, gaya bicara dan gestur tubuh Jovis memang mirip sosok Thor di film. Dan itu membuat Moneta kesal.
"Kalau kau hanya ingin bertengkar denganku, lebih baik kau pulang. Aku malas meladenimu." Moneta membuang muka.
"Hei, Moneta sayang. Jangan ngambek gitu, dong. Ayo kita lanjutkan saja nonton filmnya." Hannah mendekap Moneta erat-erat. "Aku cuma bercanda, kok."
"Kita nonton film lain saja. Jangan dari Marvel Universe," pinta Moneta. Dia tidak berminat menonton film selanjutnya. Setiap melihat wajah Chris Hemsworth di layar laptopnya, bisa-bisa dia justru akan terbayang wajah Jovis, orang yang paling tidak ingin dia ingat-ingat.
"Terserah kau saja. Hari ini, aku akan menuruti semua permintaanmu."
Tubuh Moneta seakan membeku. Dia seperti baru mengalami deja vu. Kalimat yang diucapkan Hannah membangkitkan sebuah ingatan di kepala Moneta.
Terserah kau saja, Ellie. Mulai hari ini, kau adalah istriku. Aku akan menuruti semua permintaanmu.
Moneta melihat wajah simpatik seorang pria berambut pirang kecokelatan menatapnya. Rahang persegi pria itu melembut saat tersenyum. Seragam militer yang dikenakan pria itu mirip seperti yang digunakan para bangsawan Eropa pada abad kedelapan belas.
"Mou. Mou, kau baik-baik saja, kan?" Hannah menepuk-nepuk pipi Moneta. Kedua matanya menyiratkan rasa panik karena sang sahabat tidak merespons panggilannya sejak tadi.
------
Entah kenapa tiba-tiba saya masukin Thor ke sini wkwkwkwk. Beneran di luar rencana. Moga-moga masih sesuai prompt ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top