s a t u

s a t u | 668 words

Prompt: [1] Tetangga vampir mengetuk pintu, meminta darahmu. Kau mengiyakan, dan berkata, "Silakan. Tapi darah di tubuhku adalah soda." Dan kau tidak berbohong.

:。・:*:・゚’🎃,。・:*:・゚’

Kupandangi refleksi seorang gadis cantik di cermin.

Ia sudah rapi memakai seragam kerjanya. Rambutnya terkuncir rapi dengan pita berwarna oranye, poni pendek menutupi dahinya, berikut bando tanduk iblis berwarna merah di kepala.

Yah, itu aku—yang memutuskan untuk tampil biasa saja di malam Halloween kali ini.

Kepalaku tertoleh saat mendengar ketukan dari pintu rumah. Aku mengernyit. Itu pasti anak tetangga-tetanggaku mulai melancarkan aksi mereka di hari perayaan ini.

"Ya, tunggu," balasku sedikit berteriak. Aku memakai celemek yang biasa kupakai bersama seragam kerja, setelah itu buru-buru keluar kamar untuk menyambut mereka.

Keranjang labu oranye tersodor padaku tepat saat aku membuka pintu. Kusipitkan mata untuk mengenali bahwa dua bocah laki-laki di hadapanku ini adalah anak dari tetangga vampirku.

"Trick or treat!" Suara bocah yang di kanan terdengar nyaring. "Berikan sekantung darah atau kami akan mengacau rumahmu!"

Inilah salah satu alasan aku malas merayakan Halloween. Karena anak-anak vampir suka memaksa banyak maunya.

Aku merogoh kantung, ingat ada segenggam permen yang kujejalkan di dalamnya. Saat ingin memberikan permen itu, suara bocah di kiri menghentikanku.

"Kami tidak mau permen." Ia menatap mataku dengan percaya diri. Anak ini cukup berani. "Coklat ataupun cookies. Apalagi kue jiwa." Ia menggeleng.

Aku menghela napas. "Baiklah, silakan saja. Tapi darah di tubuhku adalah soda. Aku sama sekali tak punya darah untuk dibagikan."

Bocah di sebelah kiri menatapku tak suka. "Pembohong!"

Dan bocah di sebelah kanan manggut-manggut, seolah menyetujui perkataan saudaranya. "Kau pembohong jika tidak mau menunjukkannya pada kami." Ia merengut. "Bila kau ketahuan berbohong, kami berdua akan menghisapmu hingga kering!"

Aku mengangguk, sama sekali tidak takut dengan ancaman mereka yang terdengar serius. "Masuklah, kalau kalian ingin tahu."

Kedua bocah itu duduk di sofa panjang sementara aku pergi ke dapur, mengambil pisau lipat. Di ruang tamu, kedua bocah vampir itu tampak tak sabaran. Oh, biar kudeskripsikan rupa mereka sebentar.

Bocah yang tadi di kanan (sekarang pun duduk di sebelah kanan), tengah memandang dekorasi Halloween yang kubuat seadanya di dalam rumah. Matanya menyorotkan rasa tertarik dan bibir pucatnya terbuka melengkung. Menunjukan seolah ia bahagia setiap saat. Keranjang labu kecil terdekap di dadanya.

Sementara yang satunya lagi, terlihat lebih mati. Kulit putih dan bibirnya lebih pucat dari saudaranya. Wajahnya mengerut tak suka, alisnya menukik tajam. Seolah ada sesuatu yang terus-terusan membuatnya kesal. Matanya menyorotkan rasa jijik saat melihat dekorasi Halloween-ku yang sederhana. Seakan yang kugantung di dinding adalah organ dalam manusia dan bukannya hiasan labu kertas serta laba-laba mainan.

Aku duduk di sofa yang berbeda. Di sofa tunggal yang posisinya dekat dengan bocah di sebelah kanan.

"Mana kantung darah untuk kami?" desak Bocah Kiri. "Kau benar-benar ingin kami hisap hingga kering, ya?"

Bocah Kanan mengangguk. Memasang tampang menyetujui.

Kesal karena terus didesak dan mereka tidak kunjung percaya, aku membuka pisau lipat. Mereka tampak tertarik saat aku tanpa ragu menggoreskan pisau di tangan, tepat di nadi.

Namun, wajah mereka tampak kecewa sekaligus mengerut heran saat soda benar-benar mengalir dari luka goresan yang lebar ini—alih-alih darah. Aku mengambil gelas terbalik—yang sebelumnya sudah kutata rapi di meja—dan menggunakannya untuk menadahkan soda-ku.

Aku mengambil plester yang selalu kubawa ke mana-mana dalam saku, lalu menutup luka di tanganku tepat saat gelasnya hampir penuh. Aku bahkan tidak merasa sakit sama sekali saat pisau lipat membelah kulitku. Kurasa darah soda telah mengubah berapa hal di tubuhku. Aku ini memang ajaib ... dan cantik.

"Kalian masih mau darahku?" Kusodorkan segelas soda pada dua anak vampir itu. Lantas menyeringai saat mereka menggeleng—tidak mau soda.

Tiba-tiba Bocah Kiri bangkit, wajahnya kesal. Yah, memang begitulah wajahnya.

"Kami permisi," katanya sambil berpaling dan pergi duluan. Saat itu juga Bocah Kanan ikut bangkit. Wajahnya yang ramah mencoba ikut-ikut menampilkan ekspresi tak suka padaku seperti saudaranya. Menjadikan dirinya terlihat seperti sedang menahan kentut.

"Kami permisi!" Suaranya melengking. "Kau membosankan!"

Bocah Kanan ikut pergi keluar, dan pintu tertutup kencang setelahnya. Aku mengangkat bahu. Memangnya siapa yang peduli kalau aku membosankan?

Kuhabiskan segelas soda itu dalam sekali teguk dan menaruh gelas kosongnya hingga berbunyi saat beradu dengan meja. Aku bangkit sambil menepuk pelan celemekku. Kubetulkan pita di rambutku yang sedikit mengendur.

Baiklah. Waktunya membuka toko permen soda milikku.

:。・:*:・゚’🎃,。・:*:・゚’


Menyadari sesuatu? '-'

🎃,
fadilaira

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top