9. Boneka
Nata melirik ke koridor. Avi dan Soraya sedang berbicara dengan dua orang petugas polisi. Cher yang menelepon mereka. Gaby tidak terlihat, wanita itu dikurung di kantor Avi.
Pasti akan runyam, pikir Nata saat melihat kedua polisi itu minta izin pada Avi untuk masuk ke kantor. Tapi untungnya Gaby tidak lagi menutup-nutupi perbuatan pacarnya.
Peristiwa ini kini menjadi tindak pidana, jadi Gaby dan pacarnya Gary harus diurus. Polisi minta jenazah Ghea divisum untuk barang bukti sehingga gadis itu akan dipindahkan ke rumah sakit. Meski sedih, Nata tahu keadilan harus ditegakkan untuk Ghea.
Karena belum ada klien baru, Nata berpikir untuk mampir ke workshop dan mengobrol dengan Teddy dan timnya yang selalu punya cerita-cerita lucu. Dia butuh sesuatu untuk mencerahkan mood-nya. Namun saat berbelok menuju workshop, dia melihat Cher duduk di bangku taman. Penampilan gothic gadis itu dan busananya yang serba hitam kontras sekali di antara gerumbulan bunga warna-warni.
Entah kenapa, Nata merasa dia harus menghampiri sang florist.
Nata tidak melihat kalau Cher sedang memangku boneka kesayangannya—boneka anak perempuan yang pernah Cher bilang sebagai boneka arwah. Meski waktu itu Soraya sudah bilang Cher cuma bercanda, Nata tidak langsung percaya. Dia berhati-hati supaya tidak menyentuh si boneka kalau mampir ke ruangan Cher. Namun para pegawai rumah duka yang lain tidak terlalu ambil pusing dengan boneka itu.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Nata.
Cher mengangguk. Tangannya menyelinap ke dalam tudung berenda yang menutupi kepalanya untuk menyeka matanya dengan sehelai saputangan hitam.
"Kamu nggak apa-apa, Cher?"
"Monster seperti apa yang tega menyakiti anak kecil?"
Kata-kata itu meluncur dengan penuh kemarahan dari mulut Cher.
"Gaby bilang dia nggak tahu kalau Gary sering main tangan sama Ghea."
"Terus kamu percaya? Walau belum menikah, Gaby dan Gary sudah tinggal serumah. Mustahil Gaby nggak tahu anaknya dianiaya. Umurnya tiga tahun, dia bisa melapor ke Gaby."
"Kecuali dia diancam," timpal Nata.
Cher memejamkan mata dan mengembus keras sampai tudungnya terangkat sedikit.
"Polisi curiga Gary melakukan hal yang lebih... biadab ke Ghea."
"Pastilah begitu."
"Gaby dan Gary akan diringkus. Mereka akan mendapat balasan setimpal."
"Aku sudah telepon nenek Ghea soal ini," kata Cher sambil menyeka eyeliner-nya yang luntur. "Sang nenek tinggal di luar kota, tapi sedang dalam perjalanan ke sini. Ghea itu cucu perempuan satu-satunya, neneknya sayang sekali sama dia."
"Kamu kenal sama keluarga Gaby? Aku kira Gaby cuma orang asing yang datang minta tolong sama kamu diikutkan program CSR kita."
"Aku nggak kenal keluarga Ghea. Tapi setelah melihat apa terjadi, aku memutuskan untuk mencari tahu," Cher mengerling pada ponselnya di dalam tas manik-manik kecil. "Aku nggak bisa membiarkan orang-orang bejat seperti Gaby dan Gary lolos."
"Kamu melakukan hal yang benar, Cher. Seandainya kamu nggak ngotot mengajukan nama Ghea, perbuatan Gaby dan Gary nggak akan pernah terungkap."
"Kamu juga membantu. Kamu yang menemukan luka-luka itu."
Ini bukan pertama kalinya aku melihat luka-luka di tubuh klien yang kurias. Beberapa tahun lalu, seorang penyanyi yang pernah dirias Nata minta tolong agar luka lebam di sekitar lehernya disamarkan dengan makeup. Wanita itu jadi korban KDRT suaminya, tapi dia tidak mau para wartawan tahu. Sejak saat itu Nata jadi lebih sensitif saat merias seseorang.
"Beberapa orang memang nggak punya hati nurani."
"Mereka lebih pantas disebut binatang."
"Setuju. Ibu macam apa yang tega membiarkan anaknya jadi kantong tinju pacarnya sampai meregang nyawa begitu? Memangnya dia nggak punya kontak batin dengan anaknya?"
Orang yang dimabuk asmara sering bertingkah konyol. Nata sendiri pernah melakukan kesalahan besar seperti itu yang berujung kehancuran. Padahal Jeje sudah mewanti-wantiku untuk berhati-hati, cuma aku terlanjur dimabuk kepayang....
Cher membenamkan wajahnya di saputangan hitam itu. Nata merasa terpukul—belum satu bulan dia bekerja di sini tetapi sudah menemukan hal-hal yang menyayat hati. Namun sepertinya Cher lebih terpengaruh. Padahal selama ini Nata mengira Cher agak mirip Avi: jenis orang yang tidak mudah menunjukkan perasaan mereka.
"Cher... kamu baik-baik aja?"
"Nggak ada anak yang minta dilahirkan. Mereka ada di dunia ini karena keputusan atau perbuatan orangtuanya. Ketika seorang perempuan melahirkan seorang anak, maka dia bertanggung jawab atas hidup anak itu. Kalau Gaby lebih memilih Gary, seharusnya dia menyerahkan Ghea pada neneknya yang jelas-jelas lebih sayang sama Ghea."
Nata tertegun. Pemikirannya mendalam. Gadis ini baru sembilan belas tahun, kan?
"Ada banyak anak nggak beruntung yang lahir dari orangtua yang nggak menginginkan mereka," lanjut Cher. "Banyak yang harus berakhir seperti Ghea. Itu sering bikin aku sedih."
Dia terdengar seolah sudah paham tentang menjadi orangtua, pikir Nata. Diliriknya boneka di pelukan Cher. Tiba-tiba Nata teringat sesuatu. Kemarahan berapi-api ini... Caranya mengutuk perbuatan Gaby...
"Cher, nama boneka kamu Dita, bukan?"
"Iya."
"Dita itu..." Aku mungkin salah, tapi... "Dia anak kamu, ya?"
Cher mendesah lalu mengangguk kecil.
Hati Nata terasa seperti dicemplungkan ke dalam bak berisi es. "Apa yang terjadi?"
...
Usiaku enam belas tahun saat peristiwa itu terjadi. Aku masih duduk di kelas sebelas SMA.
Aku sudah mendengar desas-desus itu sejak semester lalu. Semua cewek-cewek di kelas kami membicarakannya. Putra, kakak kelas pemain basket itu, naksir padaku. Awalnya kupikir itu hanya lelucon payah yang dibuat oleh teman-teman sekelasku yang suka menjodoh-jodohkan orang seenak perut. Namun setelah mengamati gerak-gerik Putra, kurasa teman-temanku benar. Cowok itu memang suka padaku.
Aku tidak tahu kenapa Putra suka padaku. Maksudku, dia anak basket. Ada standar khusus untuk calon pacar para pemain basket: cewek-cewek ceking yang suka mencatok rambut dan terang-terangan memakai makeup di sekolah meski dilarang guru. Aku bukan jenis yang seperti itu. Aku juga tidak pernah menggoda cowok-cowok atau muluk-muluk bermimpi berpacaran dengan anak basket. Malah sebetulnya aku tidak tertarik dengan urusan romansa.
Kehidupan SMA-ku sudah cukup sibuk dengan belajar, menjabat sekretaris OSIS, dan kegiatan-kegiatan lain yang bisa menambah nilai CV-ku. Jadi terima kasih banyak—pacaran bukan prioritas. Setahun lagi aku akan berkompetisi dengan ratusan lulusan SMA lainnya dari seluruh dunia dalam seleksi masuk International Fashion Academy, sekolah fashion beken di Paris yang jadi tujuanku. Dari kecil, aku bermimpi jadi fashion designer.
Jadi aku tidak menghiraukan segala jurus pamungkas yang diluncurkan Putra—baik yang sembunyi-sembunyi ataupun yang begitu frontalnya sehingga memalukan. Nyalinya patut diacungi jempol, karena dia berani mengikutiku di semua akun sosial mediaku. Cowok itu juga mengirimkan pesan-pesan receh lewat direct message, yang semuanya hanya kubalas dengan sekedarnya.
Lama-lama dia makin kreatif. Pertanyaan-pertanyaannya berubah dari yang standar seperti "Lagi apa?" menjadi "Kamu tahu nggak kalau menurut legenda Jepang ada kelinci di bulan?" Kurasa ada yang mengkisikinya bahwa aku cewek edgy yang tertarik pada hal-hal Meski begitu, aku tetap tidak mau mengambil risiko mengacaukan rencana masa depanku dengan berpacaran.
Putra cukup oke, tapi kata-kata Ariana Grande adalah motoku: thank you, next.
Dan tiba-tiba saja, cowok itu mencalonkan diri jadi ketua seksi bidang kesenian dan olahraga di OSIS menjelang festival sekolah. Momennya pas betul: Fahmi, pejabat sekbid kesenian dan olahraga OSIS ikut orangtuanya pindah keluar kota.
Tentu aku bisa membaca motifnya: Putra melakukan itu supaya bisa dekat denganku. Kurasa dia sudah nyaris putus asa. Kelas dua belas tidak punya alasan untuk mengurusi OSIS, setengah kaki mereka bisa dibilang sudah di luar sekolah. Tapi Putra sibuk mengusulkan berbagai macam proposal kegiatan dan berpura-pura melakukan kesalahan supaya bisa "memperbaikinya" denganku, si sekretaris OSIS. Lagi-lagi aku hanya menanggapinya sambil lalu. Mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan itu sangat tidak profesional.
Namun aku terlambat menyadari bahwa seorang cowok yang terlalu lama diabaikan bisa bertindak nekat. Apalagi tipe seperti Putra yang tidak biasa menerima penolakan.
Sore itu suasana sekolah sudah sepi. Tersisa dua minggu menuju festival sekolah, dan OSIS sedang sibuk-sibuknya. Ketua OSIS sedang kena flu, jadi aku harus menggantikannya. Aku tinggal lebih lama di ruang OSIS untuk mengecek beberapa persiapan. Aku tidak sadar tertinggal sendirian, sampai Putra masuk sambil cengar-cengir.
"Hai, Calista. Aku mau bahas teknis lomba voli antarkelas, nih."
Lomba voli antarkelas sangat eksplisit: itu lomba voli, dan pesertanya dari setiap kelas. Teknis apa lagi yang perlu dibahas?
"Memangnya ada apa?"
"Kok ketus banget? Aku kan cuma mau tanya."
Ketus ya? Salah sendiri... gaje. "Coba sini kuperiksa."
Putra mendekatiku sambil menyodorkan sebuah map. Kulihat dia sudah mengetik sebuah dokumen di situ, entah apa isinya. Dia duduk di sebelahku seolah menuntutku untuk segera membaca dokumen itu. Kuturuti saja—aku kepengin cepat pulang.
Aku sibuk membaca mekanisme peraturan yang dibuat Putra itu sampai tiba-tiba kusadari tangannya mendarat di atas paha kiriku. Kupikir dia tidak sengaja, jadi kutepis. Tapi tangannya kembali meraba pahaku. Kudorong lagi dan sekarang Putra menahan tangannya.
"Kamu apa-apaan sih? Jangan pegang-pegang!"
Putra tidak menggubrisku. Dia menyambar bahuku dan membalikkan tubuhku sehingga menghadapnya. Aku meronta untuk melepaskan diri, tetapi dia lebih kuat dariku—latihan basket sekian lama itu sudah membentuk otot-ototnya. Aku berteriak, tetapi Putra membekap mulutku dan menerjangku seperti serigala yang kelaparan sehingga kursiku terjengkang dan aku jatuh terpelanting. Ruangan itu penuh sesak dengan tumpukan kardus dan peralatan sound system yang akan dipakai untuk festival sekolah nanti, menyembunyikan kami dari luar.
Putra berlari ke arah pintu dan menguncinya. Kutarik kemejanya supaya dia terjatuh dan kupukul punggungnya sekuat tenaga, tetapi Putra menangkap tanganku dan memuntirnya. Dia menggendongku seolah dan menidurkanku di lantai di balik speaker. Ditempelkannya mulutnya ke mulutku untuk memendam teriakanku; aku memalingkan wajah dan kugigit balik bibirnya, tetapi dia ganas sekali... betul-betul seperti binatang liar.
Aku tidak ingat persisnya sisa kejadian itu. Tapi satu hal yang tidak mungkin kulupakan adalah kesakitan luar biasa yang menembusku, membuat tubuhku terasa seperti robek menjadi dua. Semuanya samar-samar sesudahnya, seolah hidupku melebur menjadi adegan-adegan film yang diputar terlalu cepat.
Sejak hari itu, aku tidak pernah sama lagi.
Aku terlalu malu dan takut untuk memberitahu siapa pun. Di sekolah, aku berhasil menghindari Putra dan berpura-pura ceria, meski rasanya seperti memakai topeng. Namun setelah aku tidak lagi menstruasi, aku tahu ada yang tidak beres. Hari berubah menjadi minggu, dan aku bisa merasakan sesuatu sedang bertumbuh di dalam perutku—sesuatu yang mungil sekali, nyaris kasat mata, tetapi mendenyutkan kehidupan.
Perutku kian membesar, dan percuma saja memakai kemeja longgar. Akhirnya ibuku tahu apa yang terjadi. Mama melapor ke kepala sekolah, laporannya menggemparkan semua orang. Putra dikeluarkan dari sekolah hanya tiga bulan sebelum ujian kelulusan. Dan kepala sekolah berpikir tidak adil kalau hanya jahanam itu yang didepak, jadi aku juga dikeluarkan. Mama memprotes sengit, tetapi Kepala Sekolah bergeming.
Mama melaporkan Putra ke polisi, tetapi ayahnya adalah anggota dewan di kota kami jadi perbuatan bejatnya menguap begitu saja.
Hidupku hancur. Mimpi untuk menjadi fashion designer di Paris yang semula terasa begitu dekat kini menjadi khayalan di siang bolong. Sebaliknya, berhari-hari aku mengalami mimpi buruk: Putra mendatangi kamarku dan menggerayangiku lagi. Aku melahirkan selusin anak dan tidak akan pernah punya masa depan. Dan setiap kali Mama membangunkanku, perutku terasa hangat. Aku diingatkan akan "suvenir" kecil yang telah dititipkan cowok keparat itu di dalam tubuhku.
Lama-lama, aku tidak tahan lagi. Ini tidak adil, ini bukan rencanaku. Aku ingin kembali ke diriku sebelum peristiwa itu—Calista yang dulu, yang punya mimpi besar, yang punya masa depan cerah. Aku tidak mau anak ini menjadi penghalang.
Aku memberitahu niatku itu pada Mama.
Dia murka saat tahu aku diperkosa dan rela melakukan apa saja supaya Putra dihukum. Tapi ketika aku bilang ingin aborsi, Mama malah ragu-ragu. Waktu itu usia kandunganku sudah tujuh setengah bulan. Mama bilang, yang ada di dalam perutku ini bukan lagi janin, tetapi bayi. Jadi kalau aku menggugurkannya, aku tidak lebih baik dari Putra. Mama mengucapkan kata-kata klasik yang sudah kudengar ratusan kali itu:
"Bayi kamu nggak berdosa, Calista. Dia nggak tahu apa-apa."
Reaksi Mama membuatku makin kecewa dan marah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk mempertahankan bayi ini? Aku sama sekali tidak menginginkannya. Bayi ini adalah kecelakaan—musibah yang tidak kuantisipasi. Tidak peduli seberapa keras aku menolak, Mama tetap tidak mengizinkan. Mama tahu aku tidak akan menyerah pada penolakan, jadi dia selalu memastikan aku tidak melakukan hal-hal bodoh seperti bunuh diri atau minum obat penggugur bayi.
Dua bulan kemudian, anak itu lahir.
Saat para perawat menyandarkannya ke sisi tubuhku setelah dilahirkan, aku tidak sanggup menatapnya. Para ibu lain menangis karena haru melihat bayi mereka yang baru lahir, tetapi aku menangis karena melihat betapa miripnya wajah anak itu dengan ayahnya. Mata, hidung, dan bibirnya diwarisi dari cowok brengsek itu. Hanya alis dan bentuk wajahnya saja yang menyerupaiku.
Aku merasa Tuhan mengejekkku. Aku makin yakin tidak menginginkannya.
Mama malah gembira. Dia senang karena anakku lahir sehat. Dia berkali-kali bilang bayi itu cantik sepertiku—upaya sia-sianya untuk membuatku peduli padanya. Setiap kali melihat wajah anak itu, aku teringat perbuatan keji yang dilakukan ayahnya kepadaku.
Mama menamainya Dita, yang berarti pemberian yang berharga
Bodo amat. Aku sudah melahirkannya. Kalau Mama menyayangi anak itu, dia boleh mengambilnya. Urusanku sudah selesai. Saatnya mengambil hidupku kembali.
Mama berusaha menahanku. Tapi kuperingatkan dia, aku sudah mempertahankan bayi itu dan melahirkannya sesuai keinginan Mama. Jadi kalau dia masih memaksaku juga, aku akan bertindak nekat. Mama membujukku, namun aku tetap sulit menerima anak itu.
Karena tidak tahan dengan bujukan Mama yang lama kelamaan mulai berubah menjadi paksaan, aku memutuskan untuk pindah ke kota yang berbeda. Karena sekolahku tidak tuntas, aku harus mengulangi kelas sebelas. Memakai dokumen-dokumen palsu, aku mendaftar ke SMA baru dan mengganti namaku menjadi Cher—karakter utama dalam Clueless, film favoritku. Aku juga mengubah penampilanku. Makeover besar-besaran ini menjadi tanda matinya Calista si korban pemerkosaan dan lahirnya gadis baru calon fashion designer: Cher.
Di kota ini, aku mengarang kisah masa lalu yang baru; membohongi teman-teman dan guru-guruku bahwa orangtuaku bekerja di kapal pesiar sehingga aku ditinggal sendirian. Tanpa banyak cincong, mereka memercayainya. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, aku bekerja paruh waktu di sebuah toko bunga sebagai florist. Ternyata aku lumayan pintar merangkai bunga—aku memang punya bakat artistik. Belajar sambil bekerja amat menguras tenaga, tetapi aku tidak keberatan. Mimpi-mimpi buruk itu berkurang, sekarang aku bisa tidur dengan tenang. Untuk pertama kalinya setelah satu tahun yang gelap itu, aku merasa hidup kembali.
Aku tidak pernah menelepon ke rumah dan tidak kepengin tahu juga kabar Mama dan Dita. Kurasa Mama mencariku, tetapi aku ragu dia bisa menemukanku dengan identitas baru ini. Mungkin suatu hari saat Dita sudah mengerti, Mama bisa mengarang cerita soal orangtua aslinya. Pokoknya aku tidak mau tahu—anak itu sekarang adalah urusan ibuku.
Dua setengah tahun berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, waktu kelulusan SMA tiba. Sekolah kami mengadakan upacara graduation yang meriah. Semua orangtua dan wali siswa kelas dua belas diundang. Aku sudah mengantisipasi hal ini, jadi aku membayar sepasang suami istri untuk berpura-pura menjadi orangtuaku.
Di hari upacara kelulusan, pasangan Bakti muncul sesuai rencana. Aku mengenalkan mereka pada teman-teman dan para guruku, dan mereka senang akhirnya bisa bertemu orangtuaku. Hari itu kami sukses memainkan peran keluarga kecil yang bahagia.
Selesai pembagian ijazah, acara dilanjutkan dengan ramah tamah. Selagi pasangan Bakti menikmati makanan mereka, aku bersama teman-teman sekelasku berfoto di lingkungan sekolah untuk mengabadikan momen kelulusan kami. Di lapangan, kami berkumpul untuk foto bersama. Aku begitu gembira sehingga rasanya akan terbang.
Tiba-tiba dari balik gerbang, aku mendengar teriakan seorang wanita.
"Calista!"
Aku tertegun. Sudah lama tidak ada yang memanggilku dengan nama itu.
Beberapa teman-temanku menoleh ke luar gerbang sekolah. Aku menoleh dan melihat di seberang jalan, Ibuku sedang melambai penuh semangat. Dia menggandeng seorang anak perempuan berumur dua setengah tahun. Di tangannya yang mungil, gadis cilik itu memegang sekuntum bunga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top