6. Telepon
Telapak tangan Nata licin oleh keringat. Ponsel yang digenggamnya nyaris meluncur jatuh.
"Nat?" Suara Nolan, kakaknya, terdengar dari seberang. "Kamu nangis?"
Berengsek. Nata menjauhkan ponsel itu, mengelap hidunya yang beler dengan tangan, dan mengusap air matanya. "Nggak. Cuma... pilek sedikit."
"Pakai jaket kalau dingin. Belakangan cuacanya memang nggak menentu. Jaket singa itu kamu tinggal, sih."
Nata terkejut. Dia tidak mengira kakaknya akan ingat. Jaket singa itu. Nata terkenang jaket kulit hitam dengan sulaman singa di saku dadanya. Terlalu macho untuk seorang gadis, jaket itu memang aslinya milik Nolan. Sejak kami SMA, dia selalu meminjamkannya padaku sampai-sampai aku yang lebih sering memakainya. Padahal Nolan menyetir motor.
Namun sejak Nata sudah memutus kontak dengan Nolan, dia sudah tidak pernah lagi memakai jaket itu. Sekarang benda itu tersimpan entah di mana di rumah ibu mereka.
"Dengar, Nat, ini bukan apa-apa. Kebetulan aku lagi ada rezeki, jadi bisa bayar uang kuliah Nino sama bantu-bantu Mama. Kamu tidak nggak merasa bersalah, atau sungkan."
"Aku nggak merasa seperti itu."
Nata berbohong. Tentu saja dia merasa bersalah dan sungkan. Selama ini dialah yang membiayai hidup ibu dan adiknya yang masih kuliah, Nino. Nolan pergi dari rumah sejak lulus SMA untuk mencari kehidupannya sendiri. Tanpa peringatan, dia meninggalkan kedua adik dan ibu mereka yang sudah pensiun sebagai perawat. Nata marah sekali. Nolan memang tipe pemberontak tidak mau ambil pusing, yang hanya memikirkan diri sendiri. Awalnya Nata menyangka Nolan hanya ingin menenangkan diri. Kepergian ayahnya yang tiba-tiba karena serangan jantung mengguncang semua orang terguncang.
"Nolan butuh waktu," kata Mama waktu itu. "Nanti dia pulang, kok."
Hari berganti jadi minggu dan bulan. Nata tidak tahan lagi. Dia menelepon Nolan, tetapi jawaban yang diterimanya tidak disangka-sangka.
"Jangan menghubungi aku lagi."
Tidak ada penjelasan atau permintaan maaf. Sejak saat itu, setiap panggilan telepon dan pesan yang dikirim Nata tidak dibalas Nolan. Kakaknya betul-betul meninggalkan mereka.
Ibu mereka kecewa berat. Seolah tidak cukup kehilangan suami, sekarang dia juga harus kehilangan si sulung. Sadar bahwa tanggung jawab keluarga beralih ke pundaknya, Nata nekat merantau ke Jakarta. Dia mati-matian mengasah kemampuan meriasnya hingga perlahan-lahan dia makin dikenal. Kliennya bertambah banyak—orang-orang penting dan kaya raya—membuat pundi-pundinya tak pernah kosong. Dengan itu Nata bisa menghidupi Nino dan ibunya. Dia tidak merasa membutuhkan Nolan lagi.
Sampai dia tersandung urusan Flawless Beauty itu dan kehilangan segalanya.
"Nino bilang, kamu jadi minderan setelah keluar dari penjara..." kata Nolan.
"Aku nggak mau ngebahas itu, oke?"
"Tolong dengerin aku dulu. Sekali ini saja. Selama ini kami semua berhati-hati supaya nggak menyinggung soal itu karena menghormati perasaan kamu, Nat. Tapi kamu jelas-jelas masih down, dan harus ada yang kasih tahu ke kamu."
Nata mengerang dalam hati. Hal terakhir yang dia inginkan sekarang adalah ceramah dari kakaknya soal Flawless Beauty. Selama ini Nata berhasil berpura-pura seolah satu tahun yang gelap itu hanya mimpi buruk yang terlalu panjang. Sekarang dia sedang berjuang mengisi lembaran baru hidupnya, terima kasih banyak.
"Itu bukan kesalahan kamu," lanjut Nolan. "Semua orang tahu itu. Kamu dijebak. Para polisi yang mengurus kasus ini memang nggak becus—"
"Aku yang menerima tawaran Sam sama Cherry."
"Tapi waktu itu kamu nggak tahu kalau kamu bakal ditipu, kan? Aku mengikuti persidangan kamu di TV. Tolong berhenti menyalahkan diri kamu sendiri, Nat."
"Oke," kata Nata, sekedar untuk membungkam kakaknya.
Hidup Nata berubah drastis setelah keluar dari penjara. Tanpa pekerjaan, untuk tidur pun dia harus menumpang di apartemen Jeje, sahabatnya. Kiriman uang ke kampung terhenti. Kemarin Nino mengirim pesan yang membuat hati Nata perih: adiknya bersedia cuti kuliah seandainya tidak bisa membayar uang semester. Selama ini Nino sudah bekerja paruh waktu di kedai kopi untuk menutupi biaya sehari-hari, tapi kalau untuk uang semester....
Dan saat sedang merias Mona, tiba-tiba Nolan menelepon Nata. Kakaknya itu bilang dia bersedia menanggung Nino dan ibunya. Nata tidak terima. Nolan sudah lama menghilang, dan mendadak dia muncul menawarkan bantuan, seperti pahlawan kesiangan. Kenapa baru sekarang mau membantu? Nata mendesak Nolan di ruang persiapan, tanpa sadar dia sudah berteriak-teriak di telepon. Aku tidak butuh kamu! Aku masih sanggup berusaha sendiri!
Rupanya Nino yang nekat minta bantuan Nolan. Dia berhasil menemukan akun Instagram si kakak sulung dan mengirimi Nolan pesan. Nata terkejut mendengar itu. Setelah dikonfrontasi, Nino mengaku dia tidak tega merepotkan Nata yang sedang terpuruk. Nata jadi tidak tega memarahi Nino. Dia tersentuh dengan kepedulian adiknya itu, tapi masih belum bisa menerima bantuan dari Nolan.
"Sekarang usaha distro aku memang belum besar, tapi penghasilannya lumayan," kata Nolan, karena Nata hanya diam di telepon. "Cukup untuk menghidupi keluargaku sendiri, sama Nino dan Mama. Aku tahu kalau kamu lagi kesusahan."
Nata memejamkan mata dan bergidik. Ini hanya sementara. Dia ingin memaki Nolan, tapi tahu bahwa kakaknya itu benar. Setelah hidupnya terpuruk, Nata berdoa supaya Tuhan memberinya bantuan, tapi bantuan-bantuan yang datang sejauh ini tidak sesuai harapannya.
Beggars can't be choosers.
Kata-kata Jeje bergema di pikiran Nata, menamparnya dengan keras. Orang yang tidak punya apa-apa seperti dirinya saat ini, tidak boleh jadi pemilih.
"Baiklah," ucap Nata dengan lirih. "Kalau kamu memaksa."
"Aku akan kirim uangnya ke rekening Nino."
Selama lima tahun terakhir, Nata bergumul untuk memaafkan kakaknya, sampai dia tanpa sengaja mendengar percakapan Joan dengan Soraya tadi pagi. Waktu itu Nata ke luar aula karena untuk mencari udara segar, dan menguping obroaln Soraya dengan Joan di taman.
Dia tidak mau tenggelam dalam penyesalan seperti yang dialami Joan.
"Nino bilang kamu udah dapat pekerjaan sekarang," kata Nolan.
"Ya. Job makeup. Di satu... EO kecil. Gajinya lumayan."
"EO?"
"Event organizer." Bukan sepenuhnya bohong, tapi tidak benar juga.
"Baguslah. Kalau kamu juga butuh bantuan—"
"Nggak. Buat Nino sama Mama aja."
Nata menimbang-nimbang apakah dia sudah terlalu kasar pada Nolan, tapi akhirnya kakaknya itu hanya bergumam mengiyakan. "Simpan nomor aku. Kalau perlu apa-apa—"
"Ya, ya. Terima kasih, Lan."
"Jaga kesehatan, makan yang cukup. Kapan-kapan pulang kampung, ya."
Nata membalas dengan gumaman, dan mengakhiri panggilan itu. Dia merasa ada yang baru saja terlepas dari dirinya. Pundaknya sekarang lebih ringan.
Terdengar ketukan dari pintu. "Udah?"
Itu suara Avi, si manajer rumah duka. Nata terlonjak dan segera membuka pintu yang disandarinya. Avi sedang berdiri sambil melipat tangan di sana, matanya yang seperti orang mengantuk itu membuatnya terlihat bosan.
"Sejak kapan kamu ada di balik pintu ini?"
"Sejak tadi."
Apa dia menguping obrolanku? "Kenapa nggak kamu ketuk pintunya?"
"Karena kamu lagi menelepon sambil bersandar di baliknya. Nggak sopan mengganggu percakapan orang lain," kata Avi dengan nada sudah-jelas-kan. "Sekarang minggir."
Nata merapat ke birai pintu supaya Avi bisa masuk. Ujung jas hitamnya berkelepak saat dia lewat, seperti menjulurkan lidah pada Nata.
Dia mengira Avi akan melakukan sesuatu yang penting di taman arwah, tapi cowok itu hanya melihat-lihat derertan guci abu yang bertengger di rak-rak. Nata memang sengaja memilih ruang ini untuk menjawab telepon Nolan tadi, karena taman arwah lumayan sepi dibandingkan ruangan-ruangan lain di rumah duka ini. Secara harfiah Nata memang tidak sendirian; dia dikelilingi ratusan abu orang-orang yang sudah meninggal, tapi setidaknya mereka tidak bisa membocorkan obrolannya dengan Nolan sekalipun menguping.
"Kamu mau apa di sini, Avi?"
"Ngecek aja. Kamu mau teleponan lagi?"
"Ng-nggak. Udah selesai kok."
"Teleponan di saat jam kerja itu sangat tidak profesional—"
"Ma-maaf. Panggilan itu tiba-tiba masuk, dan... penting sekali."
"Aku belum selesai tadi."
"Oh. Maaf."
"Teleponan di saat jam kerja itu sangat tidak profesional," ulang Avi sambil mengusap debu dari sebuah guci dengan ujung jarinya. "Tapi bisa ditolerir untuk hal-hal yang mendesak. Apalagi untuk menyelesaikan masalah yang sudah menggantung bertahun-tahun."
Jadi cowok ini betul-betul menguping!
Nata malu sekali sampai-sampai rasanya dia sudah melebur menjadi abu seperti isi di guci-guci itu. Dia tidak keberatan kalau yang menguping adalah Soraya, Cher, atau pegawai rumah duka yang lain. Asal jangan Avi! Cowok ini bosnya. Karyawan mana yang curhat pada atasannya?
"Avi, tolong rahasiakan apa yang kamu dengar tadi dari yang lain, ya."
"Bahwa kamu baru saja berbaikan sama kakak kamu?"
"Kami nggak pernah berseteru."
"Cuma berhenti bicara selama lima tahun."
Nata terkejut karena Avi tahu soal itu. Namun dia ingat bahwa cowok ini sudah menyelidikinya sebelum menawarinya pekerjaan. "Yah, masa lalu aku kelam. Aku cuma nggak mau yang lain terganggu."
"Semua orang punya masa lalu," balas Avi. Dia mengatupkan tangan di depan dada dan membungkuk hormat ke guci abu itu. "Nggak ada gunanya memikirkan yang sudah lewat."
Cowok itu merogoh sakunya dan melemparkan saputangan pada Nata. Gadis itu menangkapnya, terheran-heran dengan reaksi atasannya. Kemudian sebelum Nata berterima kasih, Avi sudah pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top