26. Lima Tahun Yang Lalu


"Avi?" Soraya tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Tante Norma mau ketemu kamu di kantor."

Para pegawai rumah duka yang lain ikut masuk, mereka berdiri berhimpitan di ambang pintu. Nata menebak sedari tadi mereka sudah menguping dari luar.

Avi menatap wajah-wajah penuh harap itu dan mengembuskan napas. Dia tahu dia tidak bisa mangkir lagi. Akhirnya si manajer mengangguk dan pergi ke luar. Soraya mengisyaratkan pada anak-anak yang lain untuk mengikutinya. Rombongan itu pergi berduyun-duyun. Hanya Soraya yang tetap tinggal. Ketika semua orang sudah pergi, si sekretaris mendekati Nata dan menepuk pundaknya.

"Aku udah coba kasih tahu dia," kata Nata. "Tapi... dia keras kepala sekali."

"Bukan keras kepala, Nat. Avi cuma takut."

"Takut?"

Soraya mengangguk. Dia membimbing Nata duduk di sofa, seperti seorang guru. "Apa Avi udah cerita ke kamu soal orangtuanya?"

"Dia cuma bilang ke aku kalau papanya meninggal. Soal ibunya yang selingkuh, aku udah tahu."

Soraya terdiam sejenak. Dia melepaskan kancing blazer-nya, mengendurkan kerah kemejanya dan bersandar di sofa.

"Sebetulnya dulu Avi benci sekali tempat ini. Sejak kecil, dia sering di-bully karena orangtuanya mengurusi jenazah. Dia berharap orangtuanya punya pekerjaan lain. Ibunya juga berselingkuh karena malu harus tinggal di rumah duka. Tapi setelah ayah Avi meninggal dunia, Bu Naomi sadar akan kesalahannya. Dia mewariskan tempat ini pada Avi untuk menunjukkan rasa bersalah—atau, menurut Tante Norma, sekedar melepas tanggung jawab. Kami nggak tahu mana yang sebenarnya. Cuma Avi udah nggak mau lagi berurusan sama mamanya."

"Eh, apa ini sejenis rahasia?" Nata ikut duduk. "Aku jadi nggak enak, nih."

"Bukan, bukan rahasia, kok." Soraya terkekeh. "Semua pegawai di sini udah tahu. Kami... menebak-nebak dan suatu kali Tante Norma mengonfirmasinya. Wanita itu memang bermulut besar. Cuma kamu yang belum tahu, jadi... kurasa kamu berhak tahu juga."

"Kalau Avi memang benci tempat ini... apa dia bertahan hanya karena kewajiban?"

"Dia merasa berutang budi sama papanya. Namanya Pak Anton," kata Soraya lambat-lambat. "Waktu tahu soal kelakuan ibunya, Avi marah. Dia menyalahkan Pak Anton yang kukuh mempertahankan rumah duka ini. Menurut Avi, seandainya ayahnya menjual tempat ini, ibunya nggak akan kabur dengan laki-laki lain. Dia nggak akan di-bully. Mereka bisa jadi keluarga yang 'normal', tanpa harus berhubungan dengan orang mati setiap hari.

"Tapi sebetulnya Pak Anton hanya menghormati pemberian dari mertuanya. Kakek nenek Avi—orangtua Bu Naomi dan Tante Norma—mereka pengusaha. Mereka punya banyak bisnis yang diturunkan pada anak-anaknya. Tante Norma sendiri diwarisi bisnis rental mobil. Cuma bisnis rumah duka ini saja yang... kurang diminati. Karena Bu Naomi anak yang terakhir menikah, dia mendapat satu-satunya bisnis yang tersisa, yaitu rumah duka ini. Bu Naomi sendiri enggan menjalani bisnis ini, tetapi Pak Anton menerima dengan lapang dada. Pak Anton dari keluarga sederhana: orangtuanya sudah meninggal dan dia anak tunggal. Keluarganya nggak mewariskan apa-apa dan sebelum menikah dia cuma seorang sales motor. Meski begitu, Pak Anton pekerja keras. Nggak seperti istrinya, dia bersyukur dapat tempat ini dan menjalankan bisnisnya dengan sungguh-sungguh."

Nata membayangkan berada di posisi ayah Avi. Baru menikah, dan 'dihadiahi' bisnis rumah duka. Entah harus tersinggung atau bersyukur. Tapi sepertinya Pak Anton optimis dan tidak berego tinggi. Tipe menantu idaman.

Lagi pula, meski rumah duka terkesan 'seram', ini usaha halal yang membantu banyak orang.

"Waktu itu Avi masih remaja, jadi dia belum mengerti keputusan ayahnya," lanjut Soraya. "Menjelang kelulusan SMA, Avi bilang pada ayahnya bahwa dia kepengin sekolah musik. Pak Anton keberatan, dia menyarankan Avi mengambil jurusan yang lebih menjanjikan, seperti bisnis atau manajemen. Mendengar itu, Avi menganggap Pak Anton merencanakan dia menjadi penerus bisnis rumah duka ini—sesuatu yang sangat nggak diinginkan Avi. Dia jadi makin sebal sama ayahnya. Di saat-saat tegang seperti itu, Avi juga memergoki Bu Naomi selingkuh."

Tanpa sadar, Nata sudah menahan napas karena tegang. "Itu pasti pukulan yang berat buat Avi."

"Sangat berat," angguk Soraya. "Dia mengambil uang kas rumah duka dan kabur dari rumah. Waktu itu umurnya baru tujuh belas tahun. Selama tujuh bulan dia bersenang-senang di Bali... dan, yah... kamu bisa bayangin apa saja yang dilakukan cowok tujuh belas tahun dengan uang puluhan juta di tangan dan tanpa pengawasan orangtua. Dia memutuskan kontak, nggak ada yang tahu di mana keberadaannya saat itu."

Tato-tato itu... Nata seketika mengerti apa yang terjadi. Jadi dia memang mantan anak berandalan. "Tapi... kenapa Avi pulang?"

"Uangnya habis." Soraya mendengus. "Dia sempat luntang-lantung sebulan di Surabaya. Keluarga Bu Naomi yang lain enggan menampungnya. Mereka menganggap Avi bisa membawa sial bagi bisnis mereka karena setiap hari berurusan dengan jenazah. Akhirnya Avi menyerah dan pulang ke rumah. Saat itu dia tahu kalau Pak Anton sudah meninggal."

Nata menutup mulutnya dengan tangan.

"Pak Anton syok karena istri dan anak tunggalnya kabur dari rumah. Seminggu setelah Avi kabur, Pak Anton kena serangan jantung. Beliau meninggal di ruang kerjanya, dan baru ditemukan oleh para pegawai rumah duka keesokan harinya. Karena waktu itu Bu Naomi juga tidak jelas keberadaannya, Tante Norma yang mengurusi jenazah iparnya. Tante Norma mau mengambil alih tempat ini, tapi ternyata Pak Anton sudah menjadikan Avi sebagai ahli waris. Avi nggak tahu sama sekali soal semua itu."

"Jadi... Pak Anton memang mau supaya Avi jadi penerusnya?"

Soraya tidak menyahut. Dia bangkit berdiri dan pergi ke meja kerja di seberang. Nata mengikutinya dengan penasaran. Soraya mengambil sebuah kotak hitam besar dari tumpukan kertas dan buku-buku, lalu menyerahkannya pada Nata.

Nata membuka kotak itu dan melihat isinya. Sekonyong-konyong, dia merinding.


...


Pak Engkus, Cher, Teddy, dan para pegawai rumah duka menunggu di koridor depan kantor dan itu membuat mereka cemas. Dari balik pintu kaca buram, mereka bisa mendengar seruan-seruan melengking Norma, diselingi protes tajam Brotoseno, si calon pembeli. Mereka sama sekali belum mendengar suara sang manajer.

"Apa kita dobrak aja?" usul salah satu pekerja workshop.

Teddy mendesis, menyuruhnya tutup mulut.

Dari gerbang depan, datang seorang wanita. Dia berjalan cepat, setengah berlari. Begitu sampai di depan kantor, dia bertanya pada orang-orang yang berkumpul di sana.

"Saya Naomi, mamanya Avi. Di mana Norma?"

Para pegawai rumah duka langsung gempar. Selama ini mereka hanya mendengar tentang Naomi dari cerita-cerita Avi atau Tante Norma, tetapi belum pernah melihat sosoknya secara langsung.

Pak Engkus menunjuk pintu kantor. Naomi berterima kasih dengan sopan dan mengetuk pintu itu keras-keras. "Avi! Ini Mama! Tolong buka pintunya!"

Para pegawai yang menonton saling tatap dengan heran.

"Norma, tolong. Aku memang salah. Jangan jual tempat ini!"

Pintu itu bergeming.

"Avi, Mama salah karena udah ninggalin kamu dan almarhum Papa." Naomi mulai terisak. "Maaf karena Mama ibu yang nggak bisa diandalkan. Keluarga kita jadi berantakan karena Mama, itulah yang sebenarnya. Papa kamu juga kena serangan jantung karena Mama pergi. Jadi tolong jangan salahkan diri kamu sendiri." Ketukan Naomi makin mendesak, tetapi pintu itu tidak terbuka juga. "Mama bodoh karena terlambat menyadari keluarga kita lebih berharga daripada rumah duka ini. Mama terlena dengan kebahagiaan palsu. Nggak seharusnya Mama pergi, apalagi ketika kamu sedang bergumul untuk menentukan masa depan kamu. Lima tahun belakangan ini Mama tersiksa dengan rasa bersalah, karena Mama belum berani mengakui kesalahan itu. Mama juga ragu-ragu untuk bicara sama kamu, karena Mama merasa kamu benci sama Mama. Tapi sekarang Mama nggak peduli lagi, Mama mau mengakui segalanya. Tolong maafin Mama..."

Rasa bersalah Naomi amat dalam sehingga turut mempengaruhi orang-orang yang menontonnya. Cher mengeluarkan selembar saputangan hitam berenda dan menyeka matanya.

"Kalau kamu kasih Mama kesempatan, Mama mau memperbaiki segalanya." Naomi sesengukan dengan pedih. "Mama mau mengelola tempat ini."

Suasana mendadak begitu hening hingga desiran angin pun bisa terdengar.

Ceklek.

Pintu kantor terbuka. Avi berdiri di balik pintu, menatap tajam ibunya dalam diam. Naomi mendongak menatap si manajer, sekilas dia kaget melihat betapa jangkung putranya itu. Di dalam, Norma dan Brotoseno duduk di sofa tamu. Tampang mereka masam.

"Serius?"

Naomi mengangguk sungguh-sungguh. "Ya."

"Nggak akan kabur lagi?"

"Nggak. Mama janji."

Tatapan Avi melembut sedikit. Cuping hidungnya bergerak-gerak, seperti menahan sesuatu. "Bisnis ini udah berubah sejak lima tahun lalu. Nggak sama lagi."

"Mama akan berjuang keras." Naomi mengedik pada para pegawai yang menunggu di belakangnya. "Lagi pula, Mama yakin teman-teman di sini akan membantu Mama. Bersama-sama kita bakal mengelola bisnis ini, seperti yang dilakukan Papa dulu."

Para pegawai rumah duka tersenyum lebar, menyambut permintaan Naomi.

"Ya sudah," kata Avi pelan. "Aku juga akan bantu-bantu."

"Kamu harus main musik!"

Dari koridor yang mengarah ke halaman belakang, Nata dan Soraya berlari menuju kantor. Nata memegang sebuah kotak gitar besar berwarna hitam.

"Kamu harus mengejar mimpi kamu..." Si perias jenazah terengah-engah saat tiba. "Untuk jadi pemusik. Itu yang diinginkan almarhum Papa kamu. Dan aku yakin Mama kamu juga setuju."

Naomi mengangguk terharu. Para pegawai rumah duka saling tatap dengan bingung. Nata membuka kotak gitar itu dan mengeluarkan isinya: sebuah gitar akustik elektrik warna hitam mengilap. Gitar itu tampak baru, seolah tidak pernah disentuh. Nata membalik alat musik itu dan menunjukkan bagian belakang bodinya. Ada sebaris tulisan yang diukir di sana.

"Untuk putraku, Avicenna," Nata membaca teks itu keras-keras. "Dari Papa."

Wajah Avi berubah merah padam, entah karena malu atau marah. "Kamu... mengacak-acak barang-barang aku, ya?"

"Kenapa kamu nggak pernah memainkan gitar ini? Padahal ini gitar bagus."

Avi diam saja dan membuang muka.

"Lima tahun lalu, papa kamu membeli gitar ini buat kamu dua hari sebelum beliau kena serangan jantung. Waktu itu kamu ada di Bali," sahut Nata masa bodoh, disertai anggukan Soraya. "Papa kamu mau kamu main musik dengan sungguh-sungguh, Avi. Papa kamu tahu kamu passion terbesar kamu adalah di musik dan beliau mendukung kamu."

"Itu cuma... mimpi yang kekanak-kanakan," kata Avi. "Aku punya tanggung jawab yang lebih besar sekarang: mengurus rumah duka ini."

"Mimpi yang kekanak-kanakan?" Nata maju dan mendorong gitar itu ke arah Avi. "Kalau begitu kenapa rumah kamu penuh alat musik dan partitur lagu? Kamu nggak bisa berhenti bermusik karena kamu menyukainya. Meski kamu harus mengurus tempat ini, kamu nggak bisa begitu saja mengenyahkan keinginan kamu untuk bermusik, kan? Itu yang disebut passion—dan itu nggak bisa kamu pendam. Saat kamu menyanyi di pemakaman Bruno, aku tahu kamu berbakat. Aku yakin orang-orang di sini pun setuju. Lagu-lagu yang kamu tulis itu—orang lain nggak bisa mengarang lagu begitu saja kayak kamu, Avi!"

Jari-jari kurus Avi terjulur untuk menyentuh gitar itu, tetapi dia masih ragu. Dari jarak dekat, Nata melihat kulit di ujung jari-jarinya kapalan, ciri khas orang yang rutin bermain gitar.

"Kita semua punya tanggung jawab untuk mengembangkan bakat anugrah kita. Apalagi kalau orang-orang di sekitar kita juga mendukung," lanjut Nata. "Aku rasa, tanggung jawab kamu untuk bakat bermusik itu lebih besar daripada tanggung jawab rumah duka ini!"

Soraya mendekat dan mendorong tangan Avi untuk menyentuh gitar itu. Para pegawai rumah duka yang lain mengikutinya. Pak Engkus, Cher, Teddy, Caka, Desi, Disa, para pekeja workshop... mereka semua mengelilingi Avi, menaruh tangan di atas gitar itu dan memeluknya dalam satu pelukan raksasa yang hangat.

"Mama setuju." Naomi yang terakhir menaruh tangannya. "Selama ini kamu udah kerja keras mempertahankan rumah duka ini, Avi. Sekarang kamu harus mengejar mimpi kamu."

Avi menatap semua orang di sekitarnya berganti-ganti. Matanya melebar, tatapan sayu yang muram perlahan-lahan berubah, memancarkan harapan.

Nata tersentuh melihat perubahan sorot mata itu. Cowok ini...

Aku mengerti sekarang. Sikapnya yang dingin itu adalah topeng untuk menutupi duka di dalam hatinya. Setiap hari dia membantu mengurusi orang-orang yang berduka padahal di dalam hatinya ada kesedihan besar karena kehilangan keluarga dan mengorbankan mimpinya.

Nata bisa merasakan sesuatu sedang bangkit di dalam diri Avi: cita-cita yang selama ini terkubur di antara timbunan dukacita dan rasa bersalah yang menyesakkan, semangat yang berkobar kembali. Orang-orang di sekelilingnya tersenyum, merasakan harapan yang sama.

Seseorang baru saja bangkit dari kematian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top