25. Unsung Melodies
"A-aku?"
"Iya, kamu." Cher nyengir. "Mungkin kamu bisa berhasil."
"Cher benar," dukung Pak Engkus. "Mungkin Nata bisa berhasil. Selama ini kami udah mencoba, tetapi selalu gagal. Avi nggak mau mendengarkan kami. Bisa aja Avi segan pada Nata karena dia pegawai baru, jadi mau mendengarkannya."
Nata kelabakan. "Mendengarkan apa?"
"Melawan Tante Norma," balas Cher. "Wanita itu udah lama kepengin mengambil tanah sama bangunan rumah duka ini, tapi nggak bisa karena bukan haknya. Tante Naomi udah mewariskan tempat ini sama Avi. Tante Norma marah; sebagai anak sulung, dia merasa yang paling berhak untuk mendapatkan tempat ini. Dia udah berkali-kali mencoba membujuk Avi untuk menjualnya, sampai mengancam-ancam segala. Tapi selama ini Avi cuma diam."
Nata terkenang saat dia pertama kali melihat Tante Norma. Hari pertama bekerja. Wanita itu sudah mencak-mencak di halaman belakang. Jadi begitu ceritanya...
Soraya merogoh sesuatu dari jaket blazer-nya dan maju. "Ini," dia menyerahkan sebuah kunci kecil ke tangan Nata. "Kunci cadangan untuk buka pintu belakang."
"Se-sebentar. Aku nggak bisa menerobos masuk begitu saja."
"Kamu pakai kunci," koreksi Teddy. "Jadi secara teknis nggak menerobos, lho."
"Aku harus bilang apa ke Avi?"
"Berhenti bersembunyi dan lawan Tante Norma," tukas Cher tanpa tedeng aling-aling. Para pegawai rumah duka langsung menyorakinya.
"Kamu mau melakukan ini atau nggak?" Soraya menatap Nata dengan serius.
"Aku..." Nata menimbang-nimbang kunci itu di tangannya. Meski benda itu kecil, tetapi rasanya seperti sebongkah batu. Para pegawai rumah duka yang lain memandanginya, dan itu membuat Nata makin tertekan. Mereka saja gagal membujuk Avi keluar, apalagi aku?
Tiba-tiba Nata teringat keluarganya di rumah, orang-orang yang membutuhkannya. Kalau aku nggak kerja, mereka makan apa? Orang-orang ini juga punya keluarga, kan? Kami semua menggantungkan hidup kami pada rumah duka ini. Kalau dipikir-pikir, rumah duka adalah bisnis yang mengambil keuntungan dari dukacita orang lain. Tapi... Nata membalik perasaannya. Kami juga membantu orang-orang yang kehilangan itu. Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk para klien dan keluarganya. Kami melakukan apa yang kebanyakan orang enggan lakukan: berurusan dengan orang mati.
Kalau nggak ada rumah duka, siapa yang akan mengurusi para jenazah itu?
Nata meremas kunci itu, merasakan geriginya menusuk kulit telapak tangannya.
Rumah duka ini tidak boleh ditutup!
"Akan kulakukan!"
Orang-orang itu bersorak lagi. Nata menarik napas dalam-dalam, menegakkan diri, dan melangkah dengan mantap menuju ke rumah Avi.
"Salah, yang itu WC umum!" teriak Teddy. "Pintu masuknya di samping!"
"Oh, iya. Maaf!"
Nata memutar ke samping dan menemukan sebuah pintu putih yang tertutup. Dia memasukkan kunci pemberian Soraya. Pintu itu menceklik terbuka. Nata melangkah masuk.
Aku sedang melanggar privasi bosku.
Dia ngeri membayangkan hal itu, tetapi rasa takutnya karena kehilangan pekerjaan jauh lebih besar. Nata memantapkan hati dan menyusuri koridor di depannya. Ada sebuah ruangan lain di ujung koridor.
"Permisi..."
Nata berhadapan dengan sebuah ruangan persegi yang mirip apartemen studio ukuran luas. Ada sekat-sekat yang memisahkan antara kamar tidur dan dapur, menyisakan ruang tengah yang luas. Tempat itu cukup rapi untuk ukuran rumah seorang pemuda. Salah satu sisi ruangan adalah dinding kaca dengan tirai warna krem yang melambai-lambai. Di depan dinding itu ada meja kerja panjang, dengan komputer berlayar ganda, dan sebuah keyboard musik. Di seberangnya ada sofa biru tua panjang. Nata mendekati sofa itu, mengira Avi sedang tidur di sana. Tapi sofa itu kosong. Dia melihat ada tumpukan kertas partitur dan sebuah gitar listrik.
"Avi?"
Nata mengitari ruangan itu dan menemukan lebih banyak alat musik: di dekat meja, agak tertutupi tumpukan kardus, ada satu set drum. Di rak buku, ada kotak hitam besar yang sepertinya berisi biola. Saat meraba dindingnya, Nata menyentuh lapisan gabus lembut yang ditempel di tembok. Dia menyelidiki seisi ruang tengah itu dan menyadari bahwa setiap jengkal dindingnya berlapis gabus.
Ini seperti di studio rekaman!
Si perias jenazah tercengang. Pantas saja kami tidak pernah mendengar apa-apa dari luar! Jadi dia betul-betul suka bermusik.
Di dinding belakang sofa, terpajang beberapa foto dalam pigura. Foto yang paling besar dan terletak di tengah adalah foto keluarga. Nata melihat Avi yang beberapa tahun lebih muda, berpose diapit kedua orangtuanya. Rambut cowok itu masih normal, matanya yang sayu masih bisa terlihat jelas. Tante Naomi tampak lebih gempal dibandingkan dengan versi yang dilihat Nata di kafe. Ayah Avi jangkung dan berambut ikal, seperti putranya. Mereka bertiga tampak seperti keluarga yang sempurna.
Perselingkuhan itu...
Seperti cerita Tante Norma, pasti perselingkuhan Tante Naomi yang membuat keluarga Avi berantakan. Nata yakin gara-gara itu Avi menjauh dari ibunya. Tapi ke mana ayahnya?
Nata berjingkat-jingkat menuju kamar. Dia ingin mengetuk, tapi menahan diri. Aku sudah masuk tanpa izin ke rumahnya begini, dan sekarang aku akan mengintip ke kamarnya? Nata pindah ke kamar mandi. Samar-samar dari balik pintu, dia mendengar suara air mengalir. Sepertinya Avi sedang mandi.
Dia kembali ke sofa dan memutuskan menunggu di sana.
Kertas-kertas partitur yang berserakan di sekitar sofa dan di atas meja kopi di dekat situ. Notasi-notasi not balok mengisi setiap lembaran: naik turun, sambung menyambung. Ada huruf-huruf ramping dan kurus Avi di bawahnya, berisikan lirik. Nata membaca lirik-lirik itu. berharap dia bisa membaca not balok karena dia penasaran bagaimana melodi setiap lagu itu. Dia kagum pada orang yang bisa mencipta lagu dari udara kosong seperti ini, karena bagi orang sepertinya, mengkomposisi musik terasa seperti menerbangkan roket ke Bulan.
Di bawah tumpukan kertas itu, Nata menemukan sebuah headset. Bukan jenis headset yang biasa dipakai menelepon, tetapi headset berkabel setengah lingkaran dengan bantalan tebal. Nata iseng memakai headset itu dan telinganya langsung tertutup penuh—dia tidak mendengar apa-apa lagi. Nata menelusuri kabel dan menemukan headset itu terhubung dengan alat pemutar musik. Ada CD di dalam alat itu. Nata langsung menekan Play.
"Track 1..." Suara Avi terdengar, jernih sekali. "Through The Blue."
Denting piano menyapa telinga Nata. Melodi-melodi yang lembut dan ramah, seperti semilir angin di sore hari. Suara Avi muncul, sedikit lebih tinggi dan lirih dari suaranya saat berbicara. Lagu itu berbahasa Inggris, menceritakan tentang kehampaan yang luas, seperti laut biru tak bertepi. Kehampaan itu memenuhinya—si penyanyi—seolah-olah ingin menelannya, sampai membuatnya ingin menyerah, "tenggelam". Nata tertegun mendengarkannya. Tanpa sadar dia sudah bersandar di jok sofa yang empuk, nyaman dibuai melodi.
Ini tidak kedengaran seperti Avi yang kutahu. Nata teringat saat Avi menyanyikan Dandelion ciptaan Bruno. Dia bisa membayangkan sosok Avi yang berbeda saat bernyanyi: bukan cowok ketus, jutek dan kaku seperti yang selama ini dikenalnya.
Di bagian refrain, liriknya berubah: menggemakan tekad untuk menembus "laut biru" itu. Meski terkesan ringan, ternyata suara Avi cukup bertenaga. Dia bisa mengerang di saat-saat yang tepat dan mampu menembak nada-nada tinggi tanpa falsetto. Rambut-rambut halus di tengkuk Nata meremang. Sekonyong-konyong dia paham arti lagu itu.
Aku juga seperti itu. Sebelum bekerja di sini, aku dikuasai kehampaan.
Ada yang mengetuk pundaknya.
Nata berbalik dan menjerit. Ada sosok yang hanya berbalut handuk di belakangnya. Setengah wajahnya tertutup rambut.
"Pergi!" Gadis itu memejamkan mata rapat-rapat dan memukul-mukul. "Pergi sana!"
"Hei! Hei, ini aku!"
Avi menyentakkan headset itu hingga terlepas dan menarik pergelangan tangan Nata. Dia balas berteriak, menyuruh Nata berhenti menjerit. Nata teringat dinding bangunan ini yang dipasang peredam. Tidak ada gunanya dia berteriak.
Perlahan-lahan, dia mengintip. Avi menyibakkan rambutnya yang lembab dan terjuntai sehingga wajahnya terlihat jelas.
Langsung dihardiknya cowok itu. "Kenapa kamu nggak pakai baju?"
"Karena aku baru selesai mandi!" balas Avi ketus. "Kamu sendiri ngapain di sini?"
"Itu... aku..." Nata mengerjap-ngerjap, tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Kulit Avi pucat sekali, nyaris putih. Ada tato berwarna yang memanjang dari sisi pinggangnya hingga ke rusuknya yang membekas di kulit, terus naik hingga ke ketiak dan pundak kanannya. Saat cowok itu bergerak, Nata melihat lebih banyak tato di punggung dan sikunya.
Dia... anggota yakuza?
"Kenapa kamu di sini?" Avi mengguncang pundak Nata. "Hei, jangan bengong begitu!"
"Kamu kok tatoan begitu, sih?"
Avi melepaskan tangannya dan menatap tubuhnya sendiri. Dia mencibir tidak puas dan menuding Nata. "Kamu nggak menjawab pertanyaan aku."
"Tapi... tapi..." Nata menjauh dan terpojok di sofa. Tapi apa? Avi punya banyak tato seperti ini, tapi apa urusannya dengan denganku? Toh saat bekerja, penampilan Avi selalu rapi dalam setelan jas. Malah dia kelihatan seperti pengantin laki-laki.
Nata menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku diutus ke sini. Dia mencari cara bagaimana memberitahu manajernya setelah terpergok menyelinap.
"Begini, Soraya kasih kunci—"
"Kamu tadi dengar apa?" Tatapan Avi jatuh pada headset itu. Di balik poni, ternyata dia punya alis tebal yang membuat sorot matanya terlihat tegas.
"Aku nggak sengaja. Tadi aku menunggu kamu—"
"Kita nggak punya janji," tepis Avi. "Kamu belum jawab pertanyaan-pertanyaan aku. Ngapain kamu di sini? Apa yang kamu dengar dari headset ini?"
"Aku ke sini karena diminta anak-anak yang lain." Nata berdiri, karena duduk seperti tadi membuatnya merasa kecil. Berdiri ternyata tidak lebih baik, Avi masih menjulang di depannya. "Ya, aku mendengar lagu kamu. Track pertama, Through the Blue."
Avi bersedekap. Lalu tiba-tiba dia berbalik, dan berjalan cepat ke kamar.
"Hei! Kok kabur?"
"Aku mau pakai baju! Kamu senang ya lihat aku cuma handukan begini?"
"Sembarangan! Kata siapa?"
Pintu kamar membanting tertutup di depan Nata. Dia menunggu sambil menggerutu. Kok sifatnya di depan klien dan para pegawai berbeda sekali dengan saat bernyanyi? Apa dia berkepribadian ganda?
Pintu terbuka kembali. Avi keluar memakai hoodie hitam gombroh dan celana training. Poninya sudah turun kembali, menutupi matanya. Dia melewati Nata seolah tidak melihatnya, berhenti di pintu depan, lalu membukanya lebar-lebar.
"Silakan pergi. Hari ini aku cuti, jadi nggak bisa membahas pekerjaan."
"Cuti? Kamu nggak bisa cuti! Avi—"
"Setiap pegawai rumah duka berhak mendapat cuti dua belas hari, termasuk manajer."
"Tante Norma dan orang yang mau membeli tempat ini ada di aula!"
Avi tertegun. Dia melirik Nata sekilas, lalu cepat-cepat memalingkan muka.
"Ada orang yang mau merampas tempat ini, tapi kamu malah mengurung diri di sini?" Nata tidak tahan lagi. "Sebagai manajer, kenapa kamu cuma diam aja? Lakuin sesuatu, dong! Apa kamu tahu, anak-anak yang lain lagi cemas menunggu kamu di luar?"
Avi masih diam. Nata melihat rahangnya mengetat.
"Kalau tempat ini dijual, kami semua bakal kehilangan pekerjaan!" lanjut Nata. "Kamu juga bisa kehilangan rumah ini. Apa kamu nggak kepikiran sampai situ?"
"Tante Norma memang sudah lama mengincar tempat ini," tukas Avi pendek.
"Tapi tempat ini warisan kamu, kan? Cher tadi cerita. Apa kamu mau ngebiarin Tante Norma seenaknya merebut hak kamu?"
"Tante Norma lebih berhak." Avi menatap Nata dengan tajam. "Kakekku memberikan tempat ini ke ibuku sebagai hadiah perkawinan. Tapi Mama..." Avi terhenti dan membuang muka. "Pernikahan mereka nggak bertahan. Aku paham kenapa Tante Norma marah-marah. Pernikahan yang sudah hancur seperti itu tidak perlu 'dihadiahi' lagi."
"Aku tahu apa yang terjadi," Nata mengaku. "Aku ketemu mama kamu sama Tante Norma di sebuah kafe beberapa hari lalu."
Avi memicing keheranan. Nata menceritakan pertemuan rahasia di Kafe Ceria yang dia saksikan bersama Jeje. Avi mendengarkan sambil bersedekap, seperti ragu-ragu.
"Meski Mama kamu udah pergi, tapi masih ada Papa kamu, Avi. Dia pasti—"
"Papaku udah meninggal."
Nata sedikit yakin soal itu, tetapi dia tidak menyangka Avi akan mengatakannya dengan begitu gamblang. "A-aku... turut berdukacita."
"Nggak perlu. Papa meninggal lima tahun yang lalu."
Nata menghitung cepat. Seingatku Tante Norma bilang Avi baru berumur dua puluh dua tahun. Artinya ayahnya meninggal saat dia berumur tujuh belas.
"Jadi karena itu... kamu diwarisi tempat ini?"
Avi mendesah. "Kenapa kamu kepo sekali, sih? Apa kamu selalu kayak begini?"
"Kalau aku nggak kepo, aku nggak bakal tahu. Aku cuma bertanya."
Avi melirik foto keluarga di dinding, seperti meminta izin pada kedua orangtuanya. "Setelah papaku meninggal, tempat ini diberikan kepada mamaku. Tapi waktu itu dia sedang dimabuk asmara bersama kekasih gelapnya, makanya dia nggak bisa mengurus rumah duka ini. Keluarga Mama yang lain enggan ikut campur karena ini jenis bisnis yang tidak biasa. Kuputuskan mengambil alih, karena bisnis ini harus terus berjalan. Tidak cuma para pegawai, tetapi banyak klien yang membutuhkan rumah duka ini." Dia berhenti sejenak. "Jadi kalau kamu berpikir aku nggak peduli sama tempat ini, kamu salah besar."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top