24. Masalah


Nata keluar dari mobil dan pergi ke lahan pemakaman. Tadi pagi dia memang meminjam mobil Jeje karena harus cepat-cepat pergi ke rumah duka untuk bertanya soal Tante Norma. Jadi dia tidak menumpang bersama mobil rumah duka untuk pergi ke sini.

Upacara pemakaman sedang berlangsung. Nata melihat Avi berdiri tegap, agak jauh dari makam Bruno sambil mengamati. Sebagai pegawai rumah duka, mereka memang tidak boleh mengganggu prosesi dan harus membaur di latar belakang.

Nata ingin menyapa Avi, ketika dia melihat si gadis bergaun biru mendekat. Nata segera menghentikan langkah dan bersembunyi di balik sebuah minivan silver.

"Nama saya Paula," kata gadis itu, mengajak Avi salaman. "Terima kasih atas bantuan yang tadi, di aula."

Avi menyambut jabat tangan itu dengan formal. "Sama-sama. Senang bisa membantu."

"Saya nggak tahu kalau Mas bisa main alat musik dan bernyanyi."

Avi diam saja. Nata hanya bisa melihat pundak lebar cowok itu yang bergerak-gerak.

"Apa Mas Avi bermusik juga? Saya rasa—"

"Dandelion itu lagu yang bagus," Avi memotong. "Bruno komposer yang hebat."

"Dia punya passion bermusik," Paula mengakui. "Bruno bergabung di sebuah band, dan saya manajernya. Yah, kami memang belum dapat tawaran rekaman sih... tapi kami sering tampil di kafe-kafe. Nama band-nya The Razzle Dazzle, sering disingkat The RD."

"Apa yang terjadi?"

Paula gelagapan. "Maksud Mas?"

"Petugas pemulasaraan kami bilang bahwa Bruno adalah atlet futsal atau sepakbola. Bentuk kakinya berbeda, mengindikasikan jam-jam latihan yang panjang."

"Oh, ya. Soal itu..." Paula tertunduk dan meremas tepi blusnya. "Ayah Bruno mantan atlet sepakbola. Ibunya pelatih renang di KONI. Bruno anak tunggal, orangtuanya berharap dia mewarisi bakat olahraga mereka. Jadi sejak kecil dia sudah digembleng jadi atlet, meski akhirnya ambisi itu tidak terwujud. Bruno lebih suka bermusik. Di sela-sela latihan, dia belajar otodidak cara main alat musik dan komposisi lagu lewat YouTube. Orangtuanya tidak tahu sama sekali bahwa Bruno diam-diam berlatih musik.

"Bassist The RD: Andra, main di klub futsal yang sama dengan Bruno. Waktu itu vokalis band kena radang tenggorokan parah sehingga nggak bisa tampil. Andra sering dengar Bruno menyanyi di kamar ganti, jadi dia menawari Bruno untuk jadi vokalis pengganti. Meski baru satu kali mendengar lagu-lagu The RD, Bruno bisa membawakannya dengan sangat baik. Saya terpesona dengan penampilannya."

"Orang-orang dengan bakat musik punya pendengaran yang baik," Avi menimpali.

"Benar sekali," angguk Paula. "Orang-orang seperti Bruno disebut pitch perfect: punya ketepatan yang luar biasa terhadap nada. Nah, vokalis yang digantikan Bruno sebetulnya suka bertingkah, dan anggota band yang lain sering mengeluh karena sikapnya itu. Tapi mereka belum berani berbuat apa-apa, karena belum punya pengganti. Kebetulan orang itu mau kuliah ke luar kota, jadi kami menganggap itu sebagai pertanda bahwa Bruno harus bergabung di The Razzle Dazzle. Saya menawari posisi itu, dan Bruno langsung menerima."

"Berapa lama Bruno bergabung di The Razzle Dazzle?" tanya Avi.

"Sekitar dua tahun," sahut Paula. "Jadwal manggung kami mulai padat sejak Bruno bergabung. Beberapa kafe minta kami untuk jadi pengisi acara tetap. Meski begitu, Bruno tetap berlatih futsal. Semangatnya luar biasa: selepas berlatih, dia masih ikut manggung.

Suatu hari, seorang teman Bruno di KONI menembaknya. Namanya Natasha, dia salah satu siswa renang ibu Bruno. Natasha ditolak, Bruno menganggapnya terlalu keras kepala dan ambisius. Natasha tidak terima, gadis itu sakit hati. Dia tahu Bruno main musik karena sering menguntitnya tampil di kafe-kafe. Natasha memberitahu ibu Bruno.

Malam itu, sehabis latihan futsal, Bruno dilabrak oleh ayahnya. Orangtuanya marah besar. Mereka menggeledah kamar Bruno dan menghancurkan semua komposisi musiknya. Dandelion adalah lagu terbaru Bruno, dan dia memberikan komposisinya pada saya sehari sebelumnya supaya anak-anak band bisa berlatih. Makanya karya itu selamat. Bruno kecewa berat pada orangtuanya dan mau kabur dari rumah. Dia menelepon saya, memberitahu apa yang terjadi. Saya bilang dia boleh menginap sementara di rumah saya atau rumah anak-anak yang lain sampai suasana tenang kembali. Lalu tiba-tiba, saat sedang bicara di telepon... dia..."

Paula tercekat. Dua butir air besar-besar terjatuh dari matanya.

"Saya pikir dia tersedak. Saya memanggil-manggilnya tetapi tidak dijawab. Saya kaget dan ketakutan, tetapi tidak berani memutuskan panggilan telepon itu. Saya langsung lari ke kantor polisi, dan lewat panggilan itu, mereka bisa melacak posisi ponsel Bruno. Menjelang tengah malam, kami menemukannya tergolek di pinggir jalan, sudah tidak bernapas... Kami membawanya ke rumah sakit, tetapi Bruno tidak bisa diselamatkan..."

Paula mengeluarkan saputangan pinjaman dari Avi dan menyeka matanya. Mendengar itu, hati Nata ikut terenyuh. Dia beruntung punya passion yang didukung keluarga. Sementara banyak orang lain di luar sana yang seperti Bruno.

"Saya pikir, serangan jantung itu juga disebabkan oleh syok," lanjut Paula. "Orangtua Bruno kaget setelah tahu apa yang terjadi. Mereka sangat menyesal, tapi sudah terlambat..."

"Saya turut berdukacita," kata Avi. "Semoga Anda, anggota The Razzle Dazzle, pihak keluarga, dan semua orang yang menyayangi Bruno diberi ketabahan."

Dia bisa mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu puluhan kali dalam sehari, dengan nada yang sama pula. Orang yang baru pertama kali mendengarnya akan mengira Avi sungguh-sungguh, padahal itu sudah dilatihnya. Nata sendiri harus berlatih berkali-kali mengucapkan belasungkawa di depan cermin saat baru pertama kali bekerja di Lux Aeterna. Bukannya berpura-pura, tetapi para pekerja rumah duka perlu membatasi diri soal emosi. Mengingat mereka berurusan dengan kedukaan tiap hari, bisa-bisa mereka depresi kalau terlalu terbawa perasaan. Terkadang Nata masih sering gagal, tetapi Avi sudah pro.

Namun kali ini Nata menangkap ketulusan dalam kata-kata cowok itu.

"Terima kasih banyak," kata Paula. "Saya yakin Bruno juga berterima kasih pada Anda karena sudah memperdengarkan karya terakhirnya untuk orang-orang."

Avi membungkuk sedikit. Paula berbalik dan bergabung dengan keluarga dan para pelayat yang berdiri di sekitar makam. Nata keluar dari persembunyiannya dan mendekat.

"Avi..."

Cowok kurus jangkung itu mengerling padanya sekilas, lalu langsung masuk ke sedan hitam milik rumah duka. Mobil itu berderum dan pergi meninggalkan pemakaman.

Dia kabur? Nata tidak habis pikir. Aku bahkan belum ngomong apa-apa!

"Pak Engkus!" Nata melihat si sopir keluar dari ambulans. "Si Avi ke mana?"

"Oh, itu Neng... Avi ada urusan lain, makanya buru-buru."

"Maksud Bapak, klien baru? Kok aku nggak tahu?"

"Bukan klien, Neng. Avi cuma bilang ada urusan, gitu. Bapak juga kurang tahu."

"Oke deh. Makasih ya, Pak."

Nata kembali ke mobil Jeje dan menyetirnya ke luar kompleks pemakaman. Hari ini pekerjaannya sudah selesai, dia sudah boleh pulang, tetapi dia berpikir untuk mengekor Avi. Jangan-jangan Avi pergi ke tempat Tante Norma? Atau ibunya?

Di jalan, sedan hitam itu sudah tidak terlihat.


...


Malam itu, Nata tidak bisa tidur. Dia hanya berputar-putar di kasur, risau memikirkan apa yang akan terjadi besok.

Firasatnya mengatakan pembeli rumah duka itu akan segera datang. Dia tidak mau kalau itu terjadi besok, tapi waktu itu Tante Norma kedengaran yakin sekali, jadi pasti dalam hari-hari ini. Si pemilik yang baru pasti akan menutup rumah duka itu. Nata memikirkan apa yang akan dia lakukan seandainya dia betul-betul kehilangan pekerjaan. Padahal dia sudah kerasan bekerja di rumah duka itu. Nata terlalu lelah untuk mencari pekerjaan baru—penjara dan huru-hara Flawless Beauty sudah menyedot habis seluruh energi hidupnya.

Pegawai rumah duka yang lain punya "bakat" lain yang bisa mereka jadikan pekerjaan. Soraya jago nge-MC bisa bergabung di EO betulan, atau jadi MC freelance untuk acara-acara pernikahan. Cher bisa menjahit dan punya bakat fashion, dia bisa bekerja di rumah mode. Pak Engkus punya pengalaman puluhan tahun menjadi sopir, kota yang sibuk ini selalu butuh pengemudi. Teddy dan timnya bisa jadi supplier untuk toko-toko furnitur atau galeri seni.

Sedangkan aku? Nata bergidik memikirkan dia hanya bisa merias. Aku bisa apa lagi?

Mungkin aku bisa bekerja jadi admin, pikirnya, teringat Soraya yang merangkap jadi sekretaris. Atau buka kios bunga bareng Cher? Jadi driver taksi online juga bisa, Pak Engkus pasti mau membantu menghafal jalan-jalan di kota ini. Atau jika terpaksa, aku nggak masalah bantu-bantu di workshop kayu Teddy.

Nata berusaha menenangkan pikirannya dengan berbenah sepanjang pagi. Sekitar jam sebelas, dia mendapat pesan WA dari Soraya. Ada satu klien yang harus segera ditangani. Nata sudah mandi dan makan siang, jadi dia langsung berangkat ke rumah duka. Karena mobil dibawa Jeje pergi pemotretan, Nata naik ojek online.

Suasana rumah duka sudah sibuk seperti biasa. Nata pergi ke kantor untuk mencari Avi, tetapi Cher memberitahunya bahwa klien sudah selesai dirapikan oleh Caka. Jadi Nata segera pergi ke ruang persiapan dan menemukan almarhumah Bu Helena: wanita berumur delapan puluh dua tahun yang meninggal karena usia tua. Klien yang meninggal usia tua tidak perlu dirias terlalu heboh, karena biasanya pihak keluarga dan pelayat sudah memaklumi. Namun menurut Tante Meyti, ada juga yang minta riasan full, misalnya jika klien tersebut tokoh masyarakat, mantan pejabat, selebriti, atau orang penting.

Keluarga Bu Helena tidak bilang apa-apa, jadi Nata hanya membuat wajah almarhumah kelihatan cerah dan menyemprot sedikit hairspray di rambutnya supaya rapi. Pemakamannya akan dilaksanakan besok pagi. Artinya klien akan menginap satu malam di Aula Cateleya.

Saat Nata pergi ke kantor untuk melapor pada Soraya, dia bertemu Tante Norma.

Wanita itu sedang berjalan lambat-lambat di koridor, ditemani seorang laki-laki kurus dan agak bungkuk yang mengingatkan Nata pada burung bangau. Suara mereka keras sekali; Tante Norma menjelaskan tentang luas gedung sambil menunjuk-nunjuk.

Nata bersembunyi di balik pilar dan membekap mulutnya. Itu pembelinya! Bagaimana dia bisa masuk? Apa para satpam tahu soal ini?

Dia berlari memutari taman arwah menuju ke belakang. Sepanjang jalan, Nata tidak bertemu siapa pun. Rumah duka itu tampak lengang, orang-orang yang tadi lalu lalang seolah lenyap karena ada Tante Norma dan si pria bangau.

Di workshop, Nata melihat para pegawai rumah duka sudah berkumpul.

"Ada Tante Norma!" kata Nata dengan napas tersengal. "Dan pembelinya..."

"Calon pembeli," koreksi Cher.

"Tunggu. Kalian udah tahu soal rumah duka mau dijual?"

"Saat kamu merias klien tadi, Tante Norma udah bilang ke kita semua," sahut Teddy. Wajahnya yang biasanya ceria tampak muram. "Si pembeli itu namanya Pak Brotoseno."

Para pegawai rumah duka mulai berbisik-bisik gusar.

"Tidak perlu panik," Soraya berteriak sedikit untuk mengatasi kegaduhan itu. "Tante Norma tetap tak akan bisa menjual tempat ini tanpa tanda tangan Avi. Dia ahli warisnya."

"Bukannya Tante Naomi, mama Avi?" celetuk salah satu anak workshop.

Soraya menggeleng.

"Kalau begitu Avi di mana?" Nata geregetan. "Dia kok nggak kelihatan?"

"Dari tadi pagi Avi belum keluar rumah, Neng." Pak Engkus mendekati Nata dan berbicara dengan raut serius. Dia mengerling ke bangunan putih di dekat pagar yang jadi tempat tinggal Avi. "Kami udah telepon-telepon tapi nggak diangkat."

Berbagai gagasan buruk berkelebat di benak Nata. Ini masalah besar. Jangan-jangan cowok itu depresi gara-gara rumahnya mau dijual dan... dan...

"Kalau begitu..." Nata bergidik, "kenapa nggak disamperin aja di rumahnya?"

Semua orang menatap bangunan rumah Avi seolah-olah itu zona perang.

"Kami nggak berani," kata Cher datar. "Kamu mau coba?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top