2. Tawaran


Setahun berlalu, dan ingatan Avi akan kejadian di jalan tol itu sudah nyaris sepenuhnya mengabur. Itu bukan pertama kalinya dia menghadapi orang histeris dan mencak-mencak. Malah bisa dibilang Avi menghadapi orang-orang seperti itu nyaris setiap hari, akibat tuntutan pekerjaan. Dan dia sudah terbiasa.

Hari ini cowok itu sedang mondar mandir di kantornya. Seorang gadis yang berpenampilan seperti boneka versi gothic duduk di dekatnya sambil memencet-mencet layar ponsel, tampangnya agak kalut. Nama gadis itu Cher.

"Cika baru balas," kata Cher sambil menyibakkan gelung-gelung besar rambutnya. "Katanya dia lagi liburan ke Bali. Mas Yanto juga lagi ada job di Abadi."

"Siapa lagi yang bisa kita hubungi? Waktunya makin mepet."

Cher mencebik dan lanjut mengutak-atik daftar kontak di ponselnya, kali ini dengan tekad lebih besar.

Tiba-tiba Soraya menghambur masuk ke dalam kantor.

"Udah ada!" kata wanita itu sambil terengah-engah. Sepertinya dia berlari sepanjang koridor tanpa melepas high-heels-nya. "Cewek yang rambutnya setengah hitam setengah pink itu... dia bersedia. Dia pakai kosmetik temannya."

Avi tersentak mendengar kabar itu. "Keluarga bawa perias jenazah sendiri?"

"Dia pekabung. Datang terakhir sama salah satu model, katanya MUA terkenal."

"Jadi bukan perias jenazah?"

"Bukan. Tapi makeup-nya bagus. Keluarga klien puas."

"Maksud kamu, dia udah turun tangan? Memangnya orang ini tahu trik-triknya?"

"Kamu lihat sendiri aja deh!"

Soraya mengapit tangan Avi dan menariknya menuju Aula Seruni. Dari luar, suasana di dalam aula tampak ramai. Begitu sampai di depan pintu aula, Avi dan Soraya berhenti sebentar. Keduanya serempak memasang ekspresi datar, lalu melangkah masuk.

Avi pergi ke barisan depan kursi dekat peti jenazah disemayamkan. Dia membungkuk sedikit di dekat ayah sang almarhumah, lalu berbisik, "Pak Budi, maaf... kami belum bisa—"

"Nggak apa-apa, Mas Avi." Pak Budi mengedik ke arah peti putrinya. "Kebetulan teman Mona itu makeup artist."

"Mantan makeup artist," bisik seorang model di kursi belakang Pak Budi dengan tajam.

Avi mendongak dan melihat si makeup artist misterius itu sedang menambahkan polesan terakhir ke wajah klien. Tangannya bergerak lincah seperti sedang melukis, dan dia tidak kelihatan takut. Malah tampangnya serius, seperti sedang merias orang yang masih hidup. Entah mengapa, Avi merasa dia pernah bertemu dengan gadis itu.

Sang perias jenazah itu rupanya tahu dia sedang diamati. Gadis itu berhenti dan menoleh ke belakang. Tatapannya berserobok dengan Avi. Kotak bedak dan kuas yang dipegangnya nyaris terjatuh.

"Kamu!"


...


Awan hitam menggantung di atas area pemakaman, mengguyurkan gerimis setipis jarum. Hujan yang sudah turun sejak pagi itu membuat udara terasa menggigit. Meski begitu, para pekabung tetap khidmat mengikuti prosesi penguburan.

Dari dalam kaca mobil yang gelap, Avi melihat sang penata rias di antara para pekabung itu. Dia berdiri agak menjauh di belakang, nyaris di luar tenda. Rambutnya panjang sepunggung sekarang, dan persis seperti yang disebutkan Soraya: setengah berwarna pink, sisanya hitam.

Lebih ringkas dibanding pertemuan pertama kami di jalan tol waktu itu. Avi sudah ingat kapan persisnya dia bertemu dengan penata rias misterius itu. Waktu itu, si gadis terlihat sangat glamor dan agak angkuh, padahal mobilnya nyaris menabrak ambulans rumah duka. Dan sekarang, mereka bertemu lagi. Avi memang belum sempat banyak bicara dengan gadis itu waktu di aula, karena ibadah pemberkatan jenazah harus segera dimulai.

"Kamu tahu soal kasus Flawless Beauty?" tanya Soraya yang duduk di sebelahnya.

"Nggak. Kasus apa?"

Soraya menyodorkan ponselnya. Ada satu laman berita berisi artikel dan foto si penata rias yang memakai rompi tahanan. Wajahnya agak berbeda dengan gadis yang sedang berdiri di dekat liang makam itu, tapi Avi yakin mereka adalah orang yang sama.

Avi membaca isi beritanya. Jadi begitu.

"Aku rasa dia bakal mau," kata Soraya.

"Sepertinya banyak terjadi sama dia setahun belakangan ini."

"Hal-hal yang nggak menyenangkan," Soraya mengangguk. "Kamu bilang waktu di jalan tol itu, dia ngamuk?"

"Sampai menuding-nuding Avi segala," Pak Engkus terkekeh dari kursi sopir. "Padahal dia yang menyalip."

"Sepertinya emosional, ya." Soraya kedengaran sedikit khawatir.

"Tadi Bapak lihat dia udah nggak pakai Mercy lagi," kata Pak Engkus. "Mungkin menebeng mobil temannya."

"Itu!" Soraya menyenggol pundak Avi. "Mereka udah mau pulang."

Si penata rias berlari-lari kecil menuju sebuah mobil listrik di parkiran ditemani seorang gadis jangkung berpostur mirip model. Avi mengambil payung hitam dari belakang kursi dan keluar dari mobil.

Didekatinya gadis itu. "Selamat sore."

Si penata rias mendelik, ekspresinya kaget bercampur tidak suka. "Ya?"

"Saya Avi, manajer rumah duka ini. Mungkin kamu lupa, tapi kita pernah ketemu—"

"Mana mungkin saya lupa?" Gadis itu mendengus. "Dengar, ya. Kalau kamu mau komplain gara-gara saya merias Mona, saya cuma membantu. Mona itu teman saya. Udah satu setengah jam jenazahnya dibiarkan begitu, belum dirias juga. Lain kali jangan begitu. Namanya nggak profesional!"

"Perias jenazah kami mengalami kecelakaan pas mau datang ke rumah duka. Kakinya patah," kata Avi. " Bukannya kami sengaja menelantarkan almarhumah, kami cuma kebingungan mencari perias pengganti. Untung kamu bersedia mengambil alih. Riasannya bagus dan keluarga puas sama hasilnya. Karena ada kamu, kami jadi tertolong. Makanya saya mau berterima kasih."

Bibir gadis itu bergerak-gerak. Sepertinya dia ingin mencibir, tapi akhirnya hanya mendengus.

"Kebetulan aja saya datang dan Jeje punya makeup di mobil," gadis itu mengedik pada temannya si model yang sudah duduk di dalam mobil. "Peralatannya kurang sih, tapi saya rasa Mona nggak keberatan. Mau gimana lagi."

Tentu saja Avi tidak menyalahkan gadis itu. Dia merasa kemunculan gadis itu hari ini di rumah duka dengan peralatan makeup bukan sekedar kebetulan. "Maaf, saya belum tahu nama kamu."

"Nata." Gadis itu bersedekap, tidak mengajak salaman. "Kamu mau apa?"

"Saya mau menawarkan sesuatu," Avi mengambil kartu nama rumah duka dari saku jasnya. "Mungkin yang tadi itu pertama kalinya kamu merias jenazah, tapi kalau kamu tertarik, kamu bisa—"

Nata langsung berjengit menjauh. "Kamu menawari saya jadi perias jenazah?"

"Ya. Pekerjaannya mirip dengan merias orang hidup, hanya perlu sedikit trik—"

"Kamu bercanda, ya?"

"Buat apa saya bercanda?"

"Saya makeup artist! Bukan perias jenazah!"

"Saya tahu." Avi mencoba tetap tenang. "Kemampuan makeup kamu bagus dan kamu terkenal. Tapi kamu sempat dipenjara delapan bulan gara-gara—"

Wajah Nata langsung pucat pasi. "Kamu memata-matai saya?"

"Cuma membaca apa yang tertulis di media."

"Itu namanya memata-matai! Sa-saya masih dapat banyak job dari... dari orang hidup! Saya nggak perlu merias orang yang udah mati buat cari nafkah!"

"Kamu baru melelang rumah sama mobil kamu di media sosial." Avi mengangkat ponsel Soraya di tangannya, laman berita itu masih tersemat di layar. "Tolong jangan salah paham. Saya cuma mau menawari pekerjaan. Saya rasa kita bisa saling membantu."

Nata membekap mulutnya. Tubuhnya melengkung ke depan seolah baru ditonjok di perut. Saat mengerling pada Avi, tatapannya penuh kemarahan. "Kamu nggak tahu apa-apa!" Gadis itu menjauh, rambutnya yang belang-belang itu lepek karena hujan. "Saya nggak butuh pekerjaan, apalagi merias jenazah—terima kasih banyak!"

"Setidaknya tolong ambil kartu nama—"

Dengan satu entakan marah, Nata berbalik dan masuk ke dalam mobil. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top