19. Penguin


Mana mungkin Anna bertunangan dengan dua laki-laki? 

Nata mengernyit heran. "Maaf, aku nggak paham."

"Alex itu cinta sejati Anna," kata Teddy sambil menyilakan Nata duduk di kursi. Lukas dan Gian kembali menekuni pekerjaan mereka. "Seperti yang kita lihat, Anna itu dari keluarga kaya. Sedangkan Alex cuma pemadam kebakaran, penghasilannya nggak seberapa. Keluarga Anna nggak merestui hubungan mereka. Alex cerita ke aku semuanya tadi."

"Anna itu kan fashion designer..." Nata mencoba memahami cerita itu. "Kok dia bisa ketemu Alex yang pemadam kebakaran? Aku nggak bisa membayangkan di mana mereka bertemu."

"Suatu hari butik milik Anna kebakaran," sahut Teddy. "Anna sedang tidur di lantai tiga. Api sudah melahap lantai satu dan dua saat dia terbangun. Tampaknya bangunan butik itu akan roboh dan nggak ada yang berani menolong Anna. Cuma Alex yang nekat menerobos kobaran api untuk menjemput gadis itu, meski dia juga berisiko kehilangan nyawa. Singkat cerita, Anna berhasil diselamatkan. Alex mengalami luka bakar yang lumayan parah di punggung, tetapi dia berhasil pulih. Anna tersentuh dengan ketulusan hati Alex dan mereka..."

"Jatuh cinta," sambung Nata, tersentuh. "Itu romantis banget."

Teddy manggut-manggut. "Setelah mengenal Alex lebih jauh, Anna melihat bahwa Alex berbeda dengan pemuda-pemuda dari keluarga kaya yang dikenalnya. Itu membuatnya makin jatuh hati pada Alex. Tapi hubungan mereka tidak bisa berlanjut setelah ketahuan keluarga Anna. Mereka malah menjodohkannya dengan Richard, anak pengusaha tekstil."

Simbiosis mutualisme, pikir Nata getir. "Menikahi Richard lebih... menguntungkan buat Anna."

"Pasti begitu," angguk Teddy setuju. "Keluarga Anna pebisnis. Mereka mau supaya Anna menikah dengan pria dari kalangan pebisnis juga, apalagi yang bisa mendukung usaha butiknya. Richard pilihan yang tepat. Tapi Anna nggak mencintai Richard.

Meski tahu saingannya mustahil dilawan, Alex tetap nekat ingin meminang Anna. Dia ingin menunjukkan kesungguhan hatinya pada keluarga Anna. Makanya dia bekerja keras dan mengumpulkan uang untuk membeli kedua cincin pertunangan itu. Tapi keluarga Anna memaksanya untuk segera menikahi Richard. Ini membuat Anna stres. Dia punya penyakit autoimun, dan tekanan dari keluarganya membuat penyakitnya makin parah. Alex tidak tahu soal penyakit Anna. Hingga suatu hari penyakit itu kambuh, dan Anna tidak tertolong lagi..."

Nata teringat wajah Anna saat dirias. "Mata Anna tidak tertutup rapat."

"Oh, ya?"

"Ya. Aku sampai harus menutupnya dengan perekat." Kegetiran di diri Nata berubah menjadi kesedihan. "Kata Tante Meyti, jenazah yang matanya tidak tertutup berarti sedang menunggu seseorang. Awalnya aku kurang percaya hal-hal seperti itu, tapi setelah mendengar cerita kamu, aku jadi mengerti. Anna menunggu kekasih sejatinya."

Teddy berhenti sejenak dan tertunduk. "Mereka memang soulmate."

"Kamu melakukan hal yang benar dengan menyelundupkan Alex," Nata menyenggol pundak Teddy. Meski kecil, pundak Teddy ternyata tegap, hasil kerja keras di workshop setiap hari. "Alex jadi bisa bertemu dengan kekasih hatinya, meski situasinya seperti itu."

Semua orang di workshop itu terdiam. Tak lama kemudian, para pegawai workshop kembali bekerja. Nata melihat Teddy memutar-mutar penguin logam kecil yang menjadi bandul kalungnya.

"Teddy, kamu nggak apa-apa?"

"Ya," jawab cowok itu segera. "Aku baik-baik aja."

Nata tidak begitu yakin. Dari ekspresi Teddy, dia merasa pengrajin peti jenazah itu sedang memikirkan sesuatu, tetapi tidak mengucapkannya.

"Yang memberikan kalung itu pasti orang yang sangat berarti buat kamu," kata Nata. "Sampai kamu nggak pernah melepasnya."

Teddy menegakkan kepala dan tersenyum. "Padahal kalung ini kekanakkan, kan?"

"Nggak juga. Aku suka kok."

Teddy melepas kalung itu dan menunjukkannya kepada Nata. Nata meraih kalung itu dan mengamatinya. Bagian rantainya terbuat dari titanium antikarat berwarna perak, sedangkan bandulnya...

"Ini..." Nata tercengang. Saat menyentuh penguin mungil itu, dia baru menyadarinya. "Dari kayu?"

Teddy mengangguk.

Penguin kayu itu dibuat sangat halus dan dicat rapi sekali sehingga terlihat seperti logam. Ukurannya yang seperempat ibu jari Nata, meyakinkannya bahwa ini karya yang hebat.

Penguin itu berdiri menghadap ke samping sambil menundukkan kepalanya, seperti memberi hormat. Posisinya aneh. Setelah membolak-baliknya, Nata menyadari hal lain.

"Penguin ini... apa ada pasangannya?"

Teddy tersenyum lebar. "Pasangannya udah nggak ada."


...


Kalau anak lain membeli mainan mereka dari toko, aku membuat mainanku sendiri.

Aku tidak pernah merasa punya bakat bangun membangun, aku hanya melakukannya begitu saja. Kurasa aku jadi tertarik pada kayu karena rumah kami berada tepat di belakang pabrik kayu. Setiap hari, di sekitaran halaman, kami menemukan potongan-potongan kayu sisa dari pabrik. Ukurannya macam-macam, ada yang hanya berupa serpihan, hingga balok-balok seukuran telapak tangan. Jumlahnya banyak—dalam sehari aku bisa mengumpulkan sampai dua karung. Karena pabrik itu beroperasi setiap hari, maka jumlahnya tidak pernah berhenti.

Ayahku bekerja di pabrik kayu itu. Tapi tugasnya mengecat perabot-perabot kayu yang dibuat di sana, jadi dia tidak tahu cara merakit sesuatu dari kayu. Ayah memakai sisa-sisa kayu yang terbuang itu untuk kayu bakar. Menurutnya, kayu-kayu itu pemberian Tuhan, karena kami jadi bisa berhemat gas untuk memasak. Jadi di dapur kami masih punya tungku untuk membuat bara. Kupikir kami mungkin satu-satunya keluarga di sekitar itu yang masih memasak pakai kayu bakar. Kami punya kompor gas, tetapi hampir tidak pernah dinyalakan. Pokoknya selama kami masih "diberi" kayu-kayu itu, Ibu akan selalu memakainya.

Sisa-sisa kayu yang terlalu kecil untuk terbakar diberikan padaku. Karena keluarga kami miskin, aku tidak pernah dibelikan mainan. Kayu-kayu itu adalah mainanku. Aku suka mengamati bentuk-bentuknya. Kalau bosan, aku tinggal menumpuknya saja dan membiarkan imajinasiku bekerja. Ditumpuk lurus ke atas, jadilah menara. Dijejerkan lalu diikat dengan seratnya, terbentuklah kereta.

Tapi lama-lama aku bosan karena hanya membuat mainan yang itu-itu saja. Suatu hari, tanpa sengaja aku mengintip ke dalam pabrik. Sebetulnya Ayah melarangku masuk ke sana. Banyak gergaji dan mesin-mesin berat yang bekerja—aku bisa terluka. Tapi waktu itu aku nekat masuk. Kebetulan pintunya terbuka karena sedang ada truk yang mengangkut kiriman kayu. Sudah lama aku penasaran apa yang sebetulnya terjadi di pabrik itu.

Saat itulah pertama kalinya aku melihat kayu diolah.

Aku terkagum-kagum bagaimana satu batang pohon bisa berubah menjadi meja tulis dengan kaki-kaki yang penuh ukiran. Bentuk awal dan akhirnya berbeda sekali—gelondong kayu itu tampak tidak menarik, sementara meja itu amat cantik. Saat menyaksikannya, ada yang bergetar di dalam diriku dan sejak itu aku tahu inilah yang ingin kulakukan.

Aku pergi dari pabrik dan memberitahu Ayah niatku untuk belajar mengolah kayu. Kupikir sebagai tukang kayu, Ayah bakal mengizinkanku. Namun ternyata dia melarangku. Dia bilang, aku harus menjadi lebih baik darinya, bukan hanya sekedar tukang kayu. Padahal aku tidak melihat ada yang salah dengan pekerjaan Ayah. Malah setelah mengintip proses bekerjanya, aku makin terkesan. Tapi Ayah tetap melarangku. Dia bilang jadi tukang kayu banyak risikonya--selain pekerjaan berat, risiko celakanya juga tinggi. Banyak tukang kayu yang kehilangan jari karena terpotong gergaji. Ayah memintaku untuk fokus sekolah, supaya bisa dapat pekerjaan yang "benar".

Aku tidak mendengarkannya. Diam-diam aku belajar sendiri cara mengolah kayu. Awalnya sulit, tapi lama-kelamaan jari-jariku seperti sudah tahu harus berbuat apa. Aku paling senang membuat ukiran—bagiku, ini proses yang paling seru dari pekerjaan seorang tukang kayu. Karena suka binatang, aku membuat banyak boneka binatang dari kayu. Seorang pekerja pabrik bernama Pak Luan, mengajariku cara mengukir. Dia juga meminjamiku alat-alatnya.

Lama-lama keterampilanku semakin meningkat. Hasil karyaku semakin halus. Ibu memajang karya-karyaku di teras depan, dan setiap orang yang melihatnya terpukau dengan keindahannya. Banyak yang tertarik untuk memintaku mengukir perabotan mereka. Mulai dari pajangan hingga jam antik, pesanan rutin berdatangan ke rumah, sehingga aku bisa mendapat uang. Aku pun semakin mantap ingin menekuni bidang ini.

Suatu hari, aku sedang mengerjakan patung ayam pesanan seseorang. Aku sedang memotong bagian kepalanya, ketika gergaji mesin yang kupakai tiba-tiba selip. Ada serbuk kayu yang mengendap di roda giginya, sehingga mesin itu mandek dan melukai jariku.

Aku segera dibawa ke puskesmas. Di desa kami, dokter tidak selalu praktik, hanya di hari-hari tertentu saja. Aku khawatir jari-jariku tidak akan bisa diselamatkan, karena darahnya banyak sekali. Di saat sedang panik dan kesakitan, seorang gadis mendatangiku.

Dia mengenalkan diri sebagai Intan, mantri yang berjaga di puskesmas. Dia bilang aku tidak perlu khawatir, telunjuk dan jempol kananku hanya robek sedikit. Dia bisa menjahitnya. Aku diberi obat pereda rasa sakit dan tertidur selagi dia menjahit lukaku.

Saat bangun, tanganku bengkak dan diperban. Kulihat Intan berjaga di sampingku.

"Ibu kamu lagi pergi beli makan siang," katanya. "Makanya aku gantiin jaga."

"Terima kasih," balasku sungguh-sungguh. "Telunjuk aku..."

"Akan pulih dalam sebulan," Intan tersenyum menenangkan. "Dua minggu lagi kamu harus datang ke sini untuk diperiksa. Untuk sementara, jari-jarinya jangan dipakai dulu. Terus perbannya harus selalu kering, ya."

Ada sesuatu dalam diri Intan yang membuatku langsung suka padanya saat itu juga. Gabungan dari kata-katanya yang menyejukkan, senyumnya yang ramah dan gerakannya yang lembut membuatku terpana. Apalagi dengan seragam mantrinya yang berwarna putih, Intan tampak seperti malaikat. Sekonyong-konyong, aku tidak lagi memusingkan orderan yang pasti bakal menumpuk gara-gara jari-jariku yang belum bisa dipakai.

"Kamu kenapa?" Dia menyentuh tanganku. "Kok bengong begitu?"

"Oh, bukan apa-apa." Segera kualihkan tatapanku. "Namaku Teddy."

"Aku tahu." Intan mengangkat bahu dengan lumrah. "Kamu si pengrajin kayu itu."

Pengrajin kayu. Aku suka sebutan itu. Rasanya lebih cocok untukku ketimbang "tukang kayu". Dan Intan tahu tentang karya-karyaku. Mendengarnya aku jadi sedikit malu.

"Ngomong-ngomong," Intan menunjuk sesuatu di atas meja dekat kepalaku. "Ini mau dibuat jadi apa?"

Potongan kepala patung ayam yang tadi sedang kukerjakan ada di sana.

"Kamu menggenggamnya saat dibawa ke sini," jelas Intan, melihat tampang heranku.

"Sebetulnya itu kepala patung ayam yang lagi kukerjakan. Tapi sepertinya udah nggak bisa dipakai." Kuambil sepotong kayu itu dan kutunjukkan pada si mantri. "Potongannya salah. Lebih baik dibuang saja."

"Eh, jangan dibuang." Intan merebut kayu itu. "Coba lihat, kalau dibalik begini, bisa jadi patung penguin kecil, kan?"

"Penguin?"

"Iya. Itu lho, burung di kutub yang warnanya hitam putih."

"Aku tahu apa itu penguin." Aku tertawa. "Maksud aku, ini sama sekali nggak mirip penguin."

"Untuk sekarang, belum." Intan menarik kursinya mendekatiku. "Tapi kalau bagian yang ini dibulatkan lagi, maka akan jadi kepalanya. Untuk paruhnya, kamu bisa tempelin kayu segitiga. Lalu bagian yang melengkung ke depan ini badannya. Penguin badannya kayak huruf D besar, kan?"

Intan benar. Aku bisa melihat potongan kayu yang tampak kacau itu menjelma jadi patung penguin kecil. "Lalu bagian sama kakinya hanya perlu diukir sedikit."

"Betul sekali." Gadis itu mengembalikan potongan kayu itu ke genggaman tanganku yang sehat. "Jadi jangan dibuang, ya. Aku yakin kamu bisa melakukannya."

Tampaknya dia lebih optimis dariku. "Tangan kananku lagi diperban, lho."

"Kamu kan pengrajin yang berbakat." Dia menepuk-nepuk pundakku. "Aku percaya kamu mampu, meski cuma bekerja dengan tangan kiri."

"Te-terima kasih."

"Tapi janji, ya." Dia berlagak galak dan menuding-nudingku. "Kamu harus hati-hati. Jangan sampai tangan yang satunya terluka lagi, ya."

Dia keliru. Sejujurnya aku tidak keberatan tangan kiriku terluka juga, karena dengan begitu aku bisa mampir lagi ke puskesmas untuk bertemu dengannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top