17. Dilema


Avi mematikan monitor komputernya. Siaran berita yang ditontonnya barusan membuatnya resah. Dia menimbang-nimbang apa yang akan dilakukan Nata setelah ini.

Padahal dia sudah bisa tersenyum lagi.

Cowok itu mengerling pada foto Nata di map di atas mejanya. Map itu berisi biodata karyawan rumah duka. Sebagai karyawan terbaru, foto Nata terpampang paling atas. Di foto itu, si perias jenazah tampak tersenyum lebar. Penampilannya berbeda sekali dengan foto yang tadi kulihat di berita, pikir Avi. Sepertinya itu foto tahun lalu, saat Nata sedang disidang.

Dia memikirkan kemungkinan terburuk: Nata berhenti. Artinya Avi harus mencari perias jenazah baru. Bukan perkara mudah, mengingat hanya sedikit sekali orang yang berani menjalani pekerjaan itu. Dia menyayangkan hal itu kalau sampai terjadi, karena menurutnya Nata bisa diandalkan dalam bertugas.

Tapi itu kan kemungkinan terburuk, cowok itu mengingatkan dirinya sendiri. Kurasa sebaiknya aku bertanya dulu padanya. Ini keputusannya.

Si manajer rumah duka bangkit berdiri dan mengambil jasnya. Saat hendak ke luar rumah, ada panggilan dari nomor asing yang masuk ke ponselnya. Dia ingat nomor itu sudah meneleponnya beberapa kali sejak dua hari lalu.

Dia mengabaikan panggilan itu.


...


Karena tidak punya jam kerja, sebetulnya Nata hanya perlu datang ke rumah duka jika ada klien saja. Tapi menurut jadwal hari ini hanya ada satu klien, dan Nata tidak betah hanya berdiam diri sendirian di apartemen (Jeje sedang ada fashion show). Jadi Nata memutuskan untuk tetap datang ke rumah duka di pagi hari. Selalu ada pekerjaan yang bisa dilakukannya, dan itu membantunya mengurai pikirannya yang sedang kalut.

Saat tiba di taman samping, tempat yang direncanakan Avi untuk pembangunan kolumbarium baru, Nata merasa ponselnya bergetar di dalam tas. Dia mengeluarkannya dan melihat ada panggilan video call dari ibunya. Nata mematikannya dan menelepon ibunya balik lewat voice call.

"Halo, Ma. Pakai suara aja, ya."

"Oh, iya Nat. Mama cuma mau ngecek... apa kamu baik-baik aja?"

Nata merapat di salah satu pilar untuk bersembunyi. Dia khawatir ada yang menguping pembicaraannya lagi. "Iya, aku baik-baik aja. Mama gimana?"

"Mama baik," balas ibunya lambat-lambat. "Mama cuma mau mastiin keadaan kamu soalnya malam Mama lihat berita soal penangkapan Sam dan Cherry di Belanda. Kamu belum telepon Mama."

Nata sudah menduga ibunya melihat berita itu. Sejak berita penangkapan itu tersiar, Nata memang belum menelepon keluarganya. Nata memutuskan tidak membahas soal penangkapan Sam dan Cherry dengan siapa pun, termasuk Jeje yang ikut menonton berita itu.

"Iya Ma."

"Kamu nggak senang mereka akhirnya tertangkap?"

"Aku senang kok, Ma."

"Kamu kedengarannya lesu. Kamu lagi sakit, Nat?"

"Enggak, Ma." Nata menjauhkan ponsel itu dari mulutnya dan membuang napas keras-keras. Dia tidak merasakan apa pun setelah menyaksikan berita itu. Nata sadar itu aneh; apa yang dilakukan Sam dan Cherry dengan Flawless Beauty sudah memporak-porandakan hidup Nata dan seharusnya dia senang kedua penjahat itu berhasil diringkus.

"Kamu mau bersaksi di pengadilan mereka nanti?"

"Kayaknya aku nggak punya pilihan deh, Ma. Apalagi kalau dipanggil pengadilan."

"Kamu... nggak mau melakukannya ya, Nat?"

Mama dan insting keibuannya yang jarang salah. "Iya, Ma." Nata menyerah. "Aku udah ikhlas kalau seandainya mereka tetap buron. Waktu di penjara, aku bertekad untuk memulai lagi hidup aku setelah bebas. Mulai lagi dari nol. Aku nggak mau disangkutpautkan lagi sama Flawless Beauty. Bagian hidup aku yang itu udah selesai, Ma."

Tapi sekarang sepertinya aku harus berhubungan dengan merk sialan itu lagi.

"Mama tahu hidup kamu jadi berat gara-gara Flawless Beauty. Wajar kamu udah jengah dengan urusan itu," kata ibunya dengan nada prihatin. "Apa masih ada haters yang nyerang kamu sampai hari ini?"

Nata mengangguk, lupa bahwa ibunya tidak bisa melihatnya. Akun Instagram dan TikTok-nya sampai harus ditutup karena terus-terusan diserang haters. Padahal Nata setengah mati mengumpulkan jutaan followers di keduanya sebelum dia mempromosikan Flawless Beauty. Tadinya Nata berharap masih mengandalkan endorsement sosial medianya sebagai sumber penghasilan setelah dia bebas dari penjara. Tapi melihat betapa bencinya orang-orang padanya gara-gara meng-endorse kosmetik berbahaya, Nata tahu tidak ada gunanya mempertahankan Instagram dan TikTok-nya. Dia malah terus-terusan sakit hati karena setiap hari dimaki-maki netizen. Bahkan ada yang mengiriminya ancaman pembunuhan segala.

"Enggak Ma. Udah nggak ada yang ngata-ngatain Nata lagi kok." Setidaknya di media sosial. Di kehidupan nyata, masih ada orang yang menggosipinya. Nata teringat para model yang hadir di pemakaman Mona tempo hari.

Ibunya menghela napas dengan berat, kedengarannya sungguh terluka.

"Mama rasa kamu bisa menolak ikut sidang. Bilang aja kamu nggak enak badan atau sejenis itu. Para koruptor itu selalu berdalih begitu kalau dipanggil KPK, kan?"

"Aku akan... pikir-pikir dulu, Ma."

"Apa ini karena Sam?"

Nata hampir tersedak mendengar itu. Dia ingin membalas ibunya tetapi tidak bisa. Lidahnya terkunci. Sam. Karena dialah aku menerima tawaran jadi brand ambassador itu.

"Mama tahu ini berat buat kamu, Nat," lanjut Mama. "Tapi kamu harus ingat, Sam sama Cherry udah merugikan banyak orang, termasuk diri kamu sendiri."

Terlalu banyak orang, suara kecil di hati Nata turut mengingatkannya.

"Oke Ma."

"Atau kamu mau pulang dulu ke rumah untuk menenangkan diri?"

Aku belum punya uang untuk membeli tiket pesawatnya. "Aku... belum dapat cuti, Ma."

"Kamu belum cerita sama Mama soal pekerjaan kamu sekarang, Nat. Kata Nolan, kamu kerja di event organizer?"

"Iya, Ma. Jadwal acaranya padat terus Nata kan masih baru, jadi belum dapat cuti."

"Kalau kamu butuh uang untuk tiketnya—"

"Nggak perlu, Ma. Nata punya uang kok." Tidak banyak, tetapi cukup untuk bertahan hidup.

"Dengerin Mama dulu, Nat," balas ibunya dengan tegas. "Beberapa bulan ini Nolan rutin kasih uang buat Mama. Nino juga udah kerja jadi guru di kursus online untuk anak-anak SMA. Dan belakangan Mama banyak terima pesanan kue untuk acara-acara gereja. Mama udah menyisihkan uangnya sedikit, cukup untuk beli tiket. Kalau kamu udah punya uang..." Wanita itu cepat-cepat menambahkan ketika Nata bergumam, siap menolak. "Kamu bisa ganti uang Mama. Lagi pula Mama udah kangen pengen ketemu kamu, Nat. Udah tiga tahun kamu nggak pulang kampung."

Aku juga kangen Mama. Nata berusaha keras menahan air matanya yang nyaris jatuh. "Iya Ma. Kalau udah dapat cuti, Nata pasti pulang, kok."

"Yang kuat ya, Nat. Kalau ada apa-apa, jangan lupa kasih tahu Mama, ya."

"Pasti, Ma."

Nata mengakhiri panggilan itu. Dia memeluk ponselnya sambil membayangkan sedang memeluk ibunya. Mama selalu mengerti. Setelah apa yang sudah dialaminya belakangan ini, Nata bersyukur punya ibu yang memahaminya.

Tiba-tiba terdengar suara orang bersin.

Nata menoleh dan melihat Avi berdiri sambil menggosok-gosok hidungnya di pilar berjarak dua meter darinya. "Maaf," katanya. "Serbuk bunga selalu bikin hidungku gatal."

"Kamu nguping lagi, ya?"

Cowok itu berkedip-kedip lalu mengangkat bahu. "Kebetulan lewat."

"Kalau begitu kenapa nggak jalan terus aja? Kalau sengaja berhenti terus menguping, bukan kebetulan namanya!"

"Aku memang sengaja lewat di sini untuk mengecek daerah ini," Avi menunjuk taman di seberang koridor. "Rencananya di sini bakal dibuat taman arwah yang baru. Soraya udah pernah kasih tahu kamu soal itu, kan?"

Alasan yang payah, Nata mendengus kesal. Bilang aja nggak mau ngaku!

"Ngomong-ngomong, kurasa kamu harus bersaksi di persidangan itu," sambung Avi.

"A-aku..." Nata gelagapan. Tuh kan. Dia betulan menguping! "Belum memutuskan."

"Sam itu... mantan pacar kamu, kan?"

"Kamu menyelidiki aku lagi, ya?"

"Ada di berita lho," Avi mengangkat ponselnya dengan lagak tidak mau disalahkan. "Gara-gara berita penangkapan itu, kasus Flawless Beauty jadi dibahas lagi."

Nata mendesah kalah. Satu lagi alasan aku benci banget sama Flawless Beauty! Dia mengutuk semua media yang sudah merusak privasinya dan mengorek-ngorek masa lalunya. Seolah aku belum cukup menderita gara-gara dipenjara dan dicaci maki netizen, sekarang mereka membahas kisah cinta masa laluku juga!

"Sam memang mantan aku," Nata mengaku dengan pasrah. "Dia terinspirasi untuk bikin bisnis yang berhubungan dengan makeup karena melihat pekerjaan aku sebagai MUA. Lalu kami ketemu sama Cherry. Dia teman kuliah Sam dulu, dan Cherry tertarik untuk join. Cherry bilang kita bisa bikin merk kosmetik sendiri, kebetulan dia punya kenalan produsen produk-produk kosmetik. Sebetulnya aku kurang paham soal produksi kosmetik, tapi Sam bilang ini ide yang bagus. Dia yakin followers aku bakal tertarik untuk beli, ditambah lagi Cherry bisa nge-backup bisnisnya, maka... lahirlah Flawless Beauty."

"Jadi kamu nggak tahu sama sekali soal bahan-bahan berbahaya di Flawless Beauty?" tanya Avi.

Samar-samar Nata mendapat kesan kalau cowok itu tertarik pada ceritanya. Dia menggeleng. "Karena aku memang nggak punya background di situ, aku menyerahkan semua produksinya ke Cherry, termasuk perizinannya. Selama beberapa waktu, penjualannya luar biasa. Tapi ternyata Cherry curang. Diam-diam dia bersekongkol sama Sam buat mengambil Flawless Beauty. Lalu ketika kami digugat, mereka malah menjadikan aku kambing hitam dan kabur ke luar negeri."

"Flawless Beauty by Nalia Tambajong," celetuk Avi.

"Iya. Flawless Beauty memang pakai nama aku supaya pamornya naik. Dan karena itu pula Sam sama Cherry bisa menjatuhkan semua kesalahan ke aku. Padahal mereka yang tahu soal produksi Flawless Beauty, aku sendiri lebih banyak fokus ke urusan bisnisnya."

Avi diam. Dia menunduk menatap sepatu kulitnya yang disemir mengilap.

"Kamu harus hadir di sidang itu," katanya.

"Aku udah capek dikait-kaitkan—"

"Mereka udah merugikan banyak orang."

"Aku memang lalai karena nggak mengecek pekerjaan mereka. Aku juga salah, Avi."

"Kalau kamu nggak bersaksi..." Avi mendekati Nata. "Kamu membiarkan kedua orang itu lepas tanggung jawab setelah menghancurkan hidup kamu dan kesehatan orang-orang yang percaya sama kamu. Polisi udah bersusah payah menangkap mereka."

"Jaksa punya cukup bukti untuk memenjarakan Sam sama Cherry."

"Tapi apa setelah itu kamu puas?" Cowok itu menatap Nata lurus-lurus. "Aku nggak ragu jaksa punya bukti-bukti kuat. Bukannya aku memaksa kamu untuk balas dendam, tapi kalau kamu nggak bersaksi... aku rasa kamu belum membersihkan reputasi kamu. Kamu berhak mendapat nama baik kamu kembali."

"Reputasi aku udah hancur, Avi. Kamu lihat aku sekarang? Aku merias mayat!"

Avi terdiam lagi. Rahangnya yang tirus bergerak-gerak seakan dia sedang mengunyah lidahnya, tapi akhirnya cowok itu hanya mengangkat bahu. "Kamu punya kesempatan itu. Kalau kamu harus izin untuk datang ke persidangan, aku nggak keberatan."

Apa dia serius? Nata nyaris tidak memercayai telinganya. Setelah ceramah panjang tentang memberikan pelayanan terbaik, dia mau memberiku izin?

Avi berbalik untuk kembali ke dalam, dan tiba-tiba Nata teringat sesuatu. Dia menarik bahu si manajer kuat-kuat hingga nyaris membuat cowok itu terjengkang.

"Tunggu sebentar!"

"Apa?" Avi berbalik, wajahnya mengernyit tidak senang. "Jangan tiba-tiba menyerang orang dari belakang begitu!"

"Ma-Maaf." Nata menarik tangannya. "Aku mau tanya sesuatu. Apa... rumah duka ini baik-baik aja?"

"Maksud kamu?"

"Bukannya aku mau ikut campur atau apa. Tapi... tempat ini nggak mau dijual, kan?"

Avi menegakkan diri hingga menjulang di depan Nata. Kernyitan di wajahnya lenyap, digantikan ekspresi kosongnya yang biasa.

"Itu gagasan yang konyol sekali," katanya. "Buat apa aku melakukan itu? Lagi pula kalau tempat ini dijual, kamu dan para pegawai yang lain akan dapat uang dari mana?"

Benar juga sih, pikir Nata. "Tapi dua hari lalu aku ketemu dua orang—"

"Tidak ada yang dijual," kata Avi dengan nada final. Lalu seperti sebelumnya, cowok itu langsung berbalik pergi sebelum Nata bisa mengatakan hal lain.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top