15. Awan Gelap
*Catatan penulis (20 Februari 2023)
Mulai bab ini, bahasanya bakal lebih santai ya. Maaf karena perubahan ini. Terima kasih yang sudah memberi masukan soal ini ya. Bahasa di bab-bab sebelumnya akan diubah bertahap menjadi lebih santai.
----------------------------------
Nata dipuji karena berhasil mengurus Bu Amelia dan keluarganya. Soraya mendatanginya di pagi sesudah acara melarung abu di laut untuk memberinya selamat.
"Terima kasih sudah mau melakukan hal yang di luar pekerjaan kamu, Nata."
Dipuji begitu, Nata malu sekali. Dia merasa pujian itu lebih pantas ditujukan untuk Pak Engkus. Si sopir yang banyak membantunya kemarin.
"Aku nggak melakukan apa-apa Soraya."
"Oh, kamu jelas melakukan sesuatu." Si sekretaris tersenyum. "Avi senang sekali dengan kemajuan kamu. Sejujurnya dia nggak menyangka kamu akan bertahan lama di sini."
Cowok itu bilang begitu? Nata tidak menganggap Avi sebagai atasan yang suka memuji pekerjaan para pegawainya. Tapi si manajer jelas sudah meremehkan Nata. Yah, uang bisa membuat orang melakukan hal-hal yang mereka pikir tidak mampu mereka lakukan. Awalnya Nata menerima pekerjaan ini karena butuh uang, tetapi lambat laun dia menyadari bahwa ini lebih dari sekedar merias jenazah. Di rumah duka ini, Nata tidak hanya mendapatkan uang untuk menafkahi hidup saja.
"Hari ini kita cuma punya dua klien. Yang pertama lagi dijemput Pak Engkus untuk dibawa ke sini." Soraya menunjuk daftar di clipboard-nya. "Jadi kalau sudah selesai, kamu bisa langsung pulang."
"Oke deh. Terima kasih, Soraya."
"Sama-sama."
Sambil menunggu, Nata pergi ke tempat Cher. Hubungan mereka sudah lebih akrab sejak Cher bercerita tentang masa lalunya. Kadang-kadang gadis itu masih sedikit nyeleneh, tetapi Nata sudah paham. Siapa pun akan sedikit terguncang jika mengalami kemalangan seperti Cher.
Di ruang kerjanya yang sedingin lemari es, Cher sedang duduk di tengah setumpuk bunga, seperti ratu pohon. Tangannya yang bersarung jala hitam bergerak lincah membentuk krans bunga. Desi dan Disa bekerja tak jauh dari si florist senior—kedua saudara kembar itu sedang menggunting pita-pita.
Cher mendongak saat Nata masuk dan tersenyum. Senyuman Cher lebih mirip cebikan. Nata menyapanya dan bertanya apa ada yang bisa dibantu. Cher menunjuk lembaran karton hitam yang sudah digaris-garis tetapi belum digunting. Karton itu nanti akan digunting menjadi pelat ucapan duka yang akan ditempelkan ke krans bunga.
"Avi udah datang?" tanya Cher selagi mereka bekerja.
Nata tidak menyadari. "Di kantor cuma ada Soraya. Apa dia pergi ngejemput klien?"
"Setahuku nggak."
"Mungkin Avi nggak enak badan?"
"Rumahnya kosong kok."
"Lho, kamu pergi ke rumah Avi?"
"Yep."
"Dia tinggal di mana?"
"Ehm..." Cher mengerucutkan bibirnya yang dipoles lipstik ungu. "Di dekat sini."
Nata baru tahu soal itu. Setelah diingat-ingat, Nata memang tidak pernah melihat Avi naik kendaraan. Soraya dan Cher naik ojek online. Pak Engkus membawa mobil tua pemberian Bu Amelia. Teddy menyetir mobil pickup yang sering ditebengi para pekerja workshop (bukti bahwa cowok imut itu sudah cukup umur untuk punya SIM). Sedangkan Avi... pasti cowok itu berjalan kaki ke sini.
Di antara para pegawai rumah duka yang lain, Avi yang paling misterius. Ada banyak hal yang ingin Nata ketahui tentang cowok itu, misalnya kenapa dia jadi manajer rumah duka (orangtuanya kok mengizinkan?) dan kenapa Avi begitu ketus (sifat bawaan atau gara-gara pekerjaan?). Tapi Nata tidak mau dicap cewek kepo, jadi dia hanya bertanya di saat-saat tertentu saja, misalnya seperti sekarang ini.
Desi—atau bisa saja Disa—mengangkat ponselnya dan menunjuk tanggal di layarnya. Sekarang tanggal tiga puluh satu.
"Ah, ya." Cher mendesah misterius. "Bisa jadi."
"Bisa jadi apa?" tanya Nata.
"Avi ada... ehm, urusan." Cher bergerak-gerak risau. "Hari ini. Penting banget."
Entah kenapa Nata membayangkan Avi sedang tidur di dalam peti mati di ruang bawah tanah yang gelap. Dia kan bukan vampir, Nata cepat-cepat menghapus bayangan menggelikan itu. Kenapa aku bisa membayangkan hal seperti itu?
Tapi... kalau melihat kulitnya yang pucat dan tubuhnya yang kurus...
"Tenang aja, Avi bakal balik sebelum klien pertama datang," kata Cher sambil mengecek jam tangannya. Ada tengkorak-tengkorak kecil di ujung jarum-jarumnya. "Kamu lagi nyariin dia, ya?"
"Umm—iya, aku... mau membahas kontrak kerja aku," dusta Nata. Avi sudah mengurus perpanjangan kontrak Nata dua hari yang lalu.
"Oh, hari ini masa percobaan kamu berakhir ya?" Cher tersentak. Matanya yang berbalut eyeshadow warna hitam membeliak. "Semoga diperpanjang ya. Kami senang bekerja bareng kamu, lho. Apalagi Tante Meyti sudah dilarang anaknya untuk bekerja lagi. Jadi kita butuh banget kamu"
"Aku harap juga begitu," Nata balas tersenyum. Lagi pula, di mana lagi aku bisa dapat pekerjaan?
...
Klien yang dijemput Pak Engkus tiba lebih dulu, jadi Nata segera melaksanakan tugasnya. Semasa hidupnya, Nyonya M pernah menjabat sebagai ketua organisasi masyarakat adat di daerahnya, sehingga keluarga memperkirakan akan ada banyak pelayat.
Saat merapikan busana jenazah di peti, Nata dibantu adik Nyonya M yang bernama Bu Naeng. Dia tipikal wanita cerewet yang banyak maunya. Nata agak kewalahan karena terus-terusan dianggap salah dalam mengatur letak kain ulos dan mengatur kebaya adat yang membalut tubuh Nyonya M. Padahal dia sudah sangat berhati-hati.
"Mbak Nata, nanti sasaknya dibuat yang tinggi ya," kata Bu Naeng saat Nata bersiap memoles wajah Nyonya M dengan riasan.
Nata minta izin pada sang klien dan mengangkat rambutnya. "Segini Bu?"
"Kurang. Lebih tinggi lagi." Bu Naeng menjulurkan dua sisir emas pada Nata. "Terus sisir ini juga jangan disisipkan terlalu ke samping, tetap harus terlihat ya. Penting ini. Jangan lupa."
"Baik Bu."
Nata mengerti. Tante Meyti sudah memberitahunya tentang jenis klien yang seperti ini. Ada beberapa orang yang menyamakan tinggi sasak rambut dengan status sosial. Semakin tinggi kedudukan klien, maka sasaknya harus semakin tinggi.
Butuh banyak hairspray nih, pikir Nata. Tapi karena itu permintaan keluarga, maka dia tidak menolaknya. Setelah selesai menata rambut, dia pindah ke bagian wajah.
"Makeup-nya dibikin yang cerah ya Mbak."
"Baik, Bu."
"Iya. Soalnya kakakku itu orangnya ceria. Nggak mau dia kalau mukanya kelihatan pucat begitu. Bisa komplain dia sama aku nanti lewat mimpi."
Yang ini bukan lagi pucat, tapi menguning. Tanpa perlu melihat surat kematian, Nata bisa tahu bahwa Nyonya M meninggal karena penyakit hati. "Dari warna kulitnya, bisa ketahuan penyebab kematiannya apa," begitu kata Tante Meyti saat mengajari Nata. "Orang yang sakit jantung biasanya kulitnya menghitam. Kalau kena diabetes, biasanya kulitnya memerah. Makeup-nya harus disesuaikan supaya warna kulitnya tetap terlihat normal."
Nata mengamati wajah Nyonya M. Berarti harus memilih foundation yang terang.
Selain mempertebal riasan, tak lupa Nata menyemprot dengan setting spray supaya riasannya tidak luntur. Keluarga Nyonya M adalah tipe yang tidak ragu untuk mengelus wajah jenazah (sambil menangis tersedu-sedu), dan Nata yakin para pelayat akan melakukan hal yang sama nanti. Dia juga menyelipkan sepotong karton untuk memastikan sasakan rambut Nyonya M tidak melempem. Setelah selesai, Nata turut melapisi tangan Nyonya M dengan foundation dan bedak agar warnanya serasi dengan wajahnya.
Saat mengatur posisi tangan Nyonya M, Bu Naeng kembali mencecar Nata. Nyonya M sudah menikah dan memakai cincin kawinnya, sehingga posisi tangannya tidak boleh membujur di kedua sisi tubuh seperti yang diatur Nata. Kedua tangannya harus terlipat di perut, dengan posisi tangan kanan di atas agar cincinnya terlihat. Nata melakukan semua itu dengan patuh. Ini pengalaman pertamanya mengurusi jenazah secara adat dan ternyata permintaannya jauh lebih rumit. Atau mungkin Bu Naeng saja yang banyak maunya?
"Saya sudah selesai," Nata mengumumkan.
Bu Naeng bangkit berdiri dan mengitari Nyonya M. Hidungnya mengerut tidak puas. "Hmm, kok kayak kurang pas ya..."
"Saya menambahkan blush on merah supaya kulit Nyonya M kelihatan cerah."
"Bukan itu, Mbak. Cuma... dia kok jadi bukan kayak kakakku ya."
Mana mungkin jenazah ini berubah menjadi orang lain? "Sanggulnya juga sudah saya naikkan, sesuai permintaan Ibu."
"Ya, saya tahu. Tapi tetap saja, saya kurang suka. Kakakku kelihatan kayak orang lain, gitu."
Makeup memang mengubah penampilan orang, kan? Ini bukan pertama kalinya Nata bertemu orang yang kaget setelah melihat kerabatnya dirias. Apalagi jika orang yang dirias tersebut tidak biasa memakai makeup. Penampilannya bisa berubah total.
Tapi melihat perhiasan Nyonya M yang bertumpuk-tumpuk, rasanya semasa hidup beliau akrab dengan makeup. Emosinya mulai terpancing karena Bu Naeng terus-terusan mencecarnya dari tadi. Diam-diam dia menarik napas agar lebih tenang.
"Ada bagian yang mau dipoles lagi, Bu?" Nata mencoba mengkompromi.
"Aduh, apa ya... Makeup Mbak bikin kakakku itu kelihatan terlalu... merona. Nggak pas kali kelihatannya."
"Saya mencoba menyamakan riasannya dengan kepribadian Nyonya M yang ceria..." sesuai permintaan Ibu, lanjut Nata dalam hati. Tadi katanya terlalu pucat?
Bibir Bu Naeng bergerak-gerak. "Nggak, saya nggak suka. Tolong diganti."
Tidak mungkin merombak riasan yang sudah disemprot setting spray. Jadi Nata menambahkan lapisan bedak warna netral di daerah-daerah yang ditempeli blush on untuk menyamarkan ronanya. Dia juga menghapus warna merah lipstik Nyonya M dan menggantinya dengan warna nude yang kurang mencolok.
"Hmm..." Wajah Bu Naeng masih cemberut. "Kalau sekarang terlalu minimalis. Kayak nggak di-makeup. Saya bilang kurangi saja sedikit, kok malah dihapus semuanya."
"Makeup-nya nggak dihapus, Bu. Cuma saya samarkan—"
"Aduh, gimana ini? Sebentar lagi ibadahnya mulai. Mbak kok nggak paham maksud saya."
"Tapi tadi Bu Naeng bilang—"
"Kau kan yang makeup artist-nya, masak kau yang nyalahin aku?" Nada suara Bu Naeng meninggi. Logat Bataknya kental sekali. "Baru sekarang kau merias orang ya? Tahu begitu aku bawa anakku dari Medan, jago dia urusan begini nih. Susah kali aku ngejelasin hal sepele begini sama kau!"
"Saya hanya melakukan—"
"Aah! Tak usah kau banyak alasan. Terus gimana ini, sebentar lagi orang-orang datang, bisa malu kita kalau kakakku mukanya berantakan kayak begini. Nggak becus kali kerja kau!"
Riasannya nggak berantakan kok! Nata membantah dalam diam. Dia tahu para kerabat Nyonya M yang ada di situ tidak setuju dengan Nyonya Naeng, tetapi rupanya mereka terlalu takut untuk mendebat Nyonya M.
"Maaf, Bu Naeng..." Tiba-tiba ada tangan kurus yang muncul dari belakang Nata dan menarik bahunya. "Soraya yang akan membetulkan riasan Nyonya M."
Nata berbalik dan melihat Avi sedang tersenyum manis pada Nyonya M. Soraya ada di dekatnya. Dia mengulurkan tangannya, meminta kotak peralatan makeup Nata.
...
Nata terdiam sambil mengamati prosesi pemakaman yang sedang berlangsung. Awan gelap bergulung-gulung di langit, senada dengan perasaannya. Dia kesal karena ada yang mengomentari riasannya. Sisa egonya yang tidak seberapa itu terluka. Apa mereka nggak tahu aku siapa? Para selebriti itu membayarku jutaan rupiah untuk kurias. Dulu Nata tidak akan mentolerir komentar miring seperti yang diucapkan Bu Naeng—dia bisa "jual mahal" dan tidak meladeni klien macam itu. Tapi di rumah duka ini Nata tidak bisa bertindak sesukanya.
Ditambah lagi sekarang reputasiku sudah hancur lebur.
Setelah "diamankan" Avi, Nata mengintip apa yang dilakukan Soraya. Si sekretaris tidak melakukan banyak, hanya patuh menuruti instruksi Bu Naeng, menambahkan polesan di sana-sini atau menghapus bagian-bagian tertentu. Anehnya, Bu Naeng puas. Padahal menurut Nata, riasan Nyonya M hasil permak Soraya tidak jauh berbeda dengan hasil karyanya.
"Nggak ada yang menyalahkan kamu," komentar Avi tiba-tiba. Cowok itu sedang ikut menonton di sebelah Nata.
"Itu memang bukan salah aku. Aku sudah mencoba menuruti permintaan Bu Naeng."
Avi bergumam rendah. "Kalau begitu kenapa harus marah?"
"Aku nggak marah!"
Cowok itu melirik Nata sekilas lewat matanya yang seperti orang mengantuk. "Kamu jelas-jelas marah. Kelihatan dari muka kamu."
Nata cepat-cepat menghapus ekspresinya dengan perasaan dongkol.
"Aku nggak mengerti kenapa Bu Naeng sampai marah-marah gara-gara makeup," kata Nata, berusaha kedengaran biasa-saja. "Padahal semua yang dia suruh udah aku lakuin."
"Dia nggak marah karena makeup kamu jelek," sahut Avi. "Dia marah karena... sedih."
"Sedih?" Itu kedengaran kontradiktif bagi Nata. "Gimana orang marah bisa sedih?"
"Itu sering terjadi," Avi melepas dua kancing teratas jasnya, padahal udara dingin. "Kepergian Nyonya M cukup mendadak—keluarganya nggak memperkirakan hal itu. Mereka tidak siap dengan perpisahan ini. Mereka sedih dan terluka. Seringkali keluarga klien membawa kesedihan itu dan melampiaskannya pada orang lain, misalnya pada pegawai rumah duka seperti tadi. Dalam situasi seperti itu, cara terbaik untuk mengatasinya adalah bukan melawan. Cukup diiyakan saja."
Sedih boleh-boleh saja, tapi jangan sembarangan melampiaskan begitu dong! "Dari mana kamu tahu soal itu?"
"Kalau kamu udah bekerja di bisnis ini cukup lama, kamu bisa belajar untuk nggak menganggap serius komentar-komentar dari keluarga klien," kata Avi kalem.
Dia kan cuma bocah ingusan, pikir Nata sambil melempar lirikan kesal pada Avi, berharap cowok itu tertohok. Pasti lebih muda dariku. "Memangnya sudah berapa lama kamu jadi manajer rumah duka?"
"Cukup lama untuk tahu caranya bersikap."
"Aku juga udah mencoba menahan diri."
"Maaf, tapi belum cukup baik."
Nata teringat cerita Pak Engkus soal manajer sebelumnya—manajer yang menjabat di rumah duka saat dia melamar. "Apa kamu diajari oleh manajer sebelumnya?"
"Diajari apa?"
"Cara menjadi robot?"
Pipi tirus Avi menegang. Cowok itu tidak merespon.
"Jadi kamu menggantikannya? Manajer sebelum kamu itu?"
Jakun Avi bergerak turun. Dia pura-pura menghalau daun yang jatuh di rambutnya. "Jangan mengalihkan topik begitu. Kita sedang membahas kamu."
"Aku cuma kepengin tahu."
"Nggak selamanya sifat penasaran itu baik."
Sok bijak, ejek Nata dalam hati. Dia selalu merasa serba salah kalau bicara dengan Avi. Rasanya seperti bicara dengan tembok.
"Lain kali berusahalah untuk tidak terlalu emosional," ujar cowok itu.
"Itu susah, tahu? Aku kan manusia yang punya perasaan."
"Tidak emosional membantu kita melaksanakan pekerjaan ini lebih baik."
"Maksud kamu, aku harus jadi seperti kamu?"
"Sebagai manajer aku berhak menuntut performa terbaik dari kamu," kata Avi dengan sedikit tajam. "Apalagi kamu menggantikan Tante Meyti yang sudah profesional."
Aku juga profesional kok, keluh Nata. Tapi dia tidak menyuarakannya. Dia mengakui yang tadi itu dia sedikit emosi menghadapi Bu Naeng. Siapa juga yang nggak bakal gerah menghadapi orang seperti itu?
"Usaha rumah duka itu nggak seperti seperti toko atau tempat usaha lainnya," lanjut Avi. "Para klien kita bukanlah orang-orang biasa. Ini akan jadi kunjungan pertama sekaligus terakhir mereka—tidak ada manusia yang bisa mati dua kali. Bagi kita, ini adalah kesempatan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Nggak ada pekerjaan lain yang menuntut kesempurnaan pelayanan seperti jasa rumah duka. Jadi lain kali tolong berusaha lebih keras lagi untuk tidak terbawa emosi."
Nata paling benci kalau Avi sudah mulai bersikap seperti ini. Dia merasa digurui seorang anak kecil. Atau perasaanku yang tersinggung?
Gerimis mulai turun. Nata melirik mobil yang mereka tumpangi. Ternyata Pak Engkus tidak ada di sana. Dia sedang bersama beberapa petugas pemakaman, membantu memindahkan peti Nyonya M ke liang kubur. Peti itu besar karena keluarga Nyonya M memasukkan banyak barang-barang pribadi milik almarhumah. Tenda yang menaungi liang juga dipadati dengan para pelayat. Nata pesimis mereka bisa berteduh di sana.
"Avi, kamu punya kunci mobilnya?"
Cowok itu menggeleng. "Ada di Pak Engkus."
"Kita harus masuk ke mobil. Kalau nggak bisa kehujanan."
"Tunggu saja di sini sebentar. Pak Engkus sedang sibuk."
Atasan yang kejam! "Tapi—"
SRET!
Tiba-tiba jas Avi mendarat di kepala Nata. Dia kaget melihat si manajer melakukan itu. Kupikir tadi dia melepas kancing jasnya karena gerah. Apa dia sudah tahu bakal hujan?
"Nggak perlu bersikap ksatria begini lho," sindir Nata. Dia sudah geregetan mencari kesempatan untuk membalas atasannya.
"Supaya kamu nggak sakit."
"Aaw. Bukannya itu bersikap ksatria?"
"Kalau kamu sakit, kamu nggak akan masuk kerja. Kamu satu-satunya perias jenazah kita. Klien kita bisa terlantar. Lagi pula kamu sudah mengambil gaji kamu bulan ini di depan. Sebagai manajer aku punya kewajiban menjaga standar kualitas pelayanan rumah duka ini."
Mendengar jawaban itu, Nata jadi kepengin melemparkan kembali jas itu ke muka Avi. Tapi aku juga tidak mau kebasahan. Ini blazer baru yang kudapat setelah lulus tiga bulan masa percobaan. Aku belum punya penggantinya!
Jadi dia menelan kekesalannya dan meringkuk di balik jas Avi.
Butiran air setipis jarum membasahi mereka. Suara nyanyian yang sendu mengalun dari tenda, mengantarkan peti Nyonya M ke peristirahatannya yang terakhir. Nata melihat Bu Naeng menangis tersedu-sedu di tepi liang. Sekujur tubuhnya gemetar dahsyat karena dilanda kesedihan. Sosoknya berbeda sekali dengan wanita galak yang memarahi Nata tadi.
Avi benar. Itu bukan kemarahan, tapi kesedihan.
Dari balik kerah jas, Nata mengintip wajah Avi. Cowok itu kebasahan, air menetes-netes dari wajahnya yang tirus. Dia menyapu poninya yang lepek karena hujan ke atas. Ternyata alisnya lumayan tebal juga. Seketika Nata bisa melihat sepasang matanya dengan jelas untuk pertama kalinya.
Si penata rias tertegun.
Itu adalah sepasang mata dengan tatapan paling sedih yang pernah dilihatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top