13. Berdua
Setelah perdebatan panjang dan alot, akhirnya adik-adik Bu Amelia memutuskan untuk tidak mengikutsertakan si suami yang tidak setia itu ke rumah duka.
Yanto menerima keputusan itu dengan lapang dada, tetapi Pak Engkus ragu-ragu. Nata tahu si sopir ambulans khawatir akan terjadi sesuatu pada Yanto kalau ditinggal di rumah. Meski isi botol obat serangga itu sudah tumpah semuanya, tetapi masih ada cara-cara lain untuk mengakhiri hidup. Pak Engkus mencoba membujuk Bu Sintia tanpa membocorkan perbuatan Yanto, tetapi keputusan si adik sulung sudah bulat.
Saat mereka bersiap-siap menuju ke rumah duka, Bu Selvi mendekati Pak Engkus.
"Pak, saya kepingin Mas Yanto juga ikut kita," bisik si adik bungsu. "Tapi gimana caranya ya, Pak? Sintia nggak mau Mas Yanto ikut di ambulans atau di mobilnya. Masih ada satu mobil lagi, tapi nggak ada yang bisa nyetir..."
"Wah gimana ya, Bu..." Pak Engkus tampak bingung.
"Saya saja."
Selvi dan Pak Engkus menatap Nata.
"Saya bisa nyetir," Nata mengajukan diri. Dia melirik Pak Engkus, khawatir si sopir ambulans membeberkan cara menyetirnya yang ugal-ugalan, tetapi pria itu diam saja. "Saya punya SIM. Lagi pula, Bu Amelia baru bisa dirapikan jika sudah sampai di rumah duka."
"Terima kasih banyak Mbak Nata!" Selvi menyalami Nata kuat-kuat. "Akan saya ambilkan kunci mobilnya. Nanti Mbak Nata ditemani sama Dennis, anak saya. Kalian bisa menyusul rombongan paling terakhir, ya. Supaya nggak ketahuan Sintia."
"Saya mengerti," angguk Nata. Dia merasa bangga pada dirinya sendiri, karena berhasil mencegah hilangnya satu nyawa lagi.
...
Angin berembus sedikit keras, membawa hawa dingin. Nata merapatkan ujung blazer yang dipinjamnya dari Soraya. Di kejauhan, kapal yang membawa kakak beradik Bu Amelia dan Yanto itu tampak kecil, seperti mainan. Kapal itu sedang berlayar sejauh satu setengah kilometer dari pantai, sesuai peraturan pemerintah.
Kerja bagus, Nata. Si perias jenazah menyemangati dirinya sendiri.
Keluarga Bu Amelia sedang melarung abunya di laut. Sesuai wasiat dari almarhumah, proses kremasi langsung dilakukan setelah ibadah penghormatan di rumah duka. Prosesi melarung abu itu sendiri baru dilakukan keesokan paginya. Karena rumah duka menerima empat klien sekaligus sepanjang hari itu, Avi meminta Nata untuk stand-by dan menemani keluarga Bu Amelia setelah selesai merias ketiga klien yang lain. Jadi selama dua puluh empat jam Nata melakoni tiga tugas sekaligus: sebagai pengganti Mio, sopir dadakan, sekaligus perias jenazah.
Kabar berpulangnya Bu Amelia menyebar dengan cepat. Ibadah penghormatannya ramai didatangi pekabung meski Bu Amelia baru meninggal subuh kemarin. Rupanya para sahabat dan kerabat Bu Amelia sudah mendengar soal kondisi kesehatannya yang menurun. Sepanjang ibadah, para pekabung itu tidak berhenti menitikkan air mata. Yanto terpaksa diberi obat penenang karena suami Bu Amelia itu begitu larut dalam kesedihan. Pihak keluarga khawatir kondisi Yanto yang sudah stroke akan makin terpuruk. Selesai ibadah, semalaman penuh Sintia dan adik-adiknya menjaga Bu Amelia di aula. Meski sudah disiapkan tiga kamar untuk beristirahat, tetapi mereka menolak.
Lalu proses kremasi baru dilakukan subuh tadi. Ada beberapa surat yang perlu diajukan keluarga, seperti surat keterangan kematian dari kelurahan, dokter, rumah sakit, dan surat izin pengabuan dari dinas pemakaman dan pertamanan setempat. Rumah duka ikut membantu urusan administrasi ini sehingga tidak terlalu membebani pihak keluarga.
Di kejauhan, tampak kapal itu sedang melakukan putaran pertama dari tiga putaran yang sudah disetujui. Nata merasa agak nelangsa karena riasannya akan dibakar menjadi abu, tetapi itu adalah pilihan Bu Amelia sendiri. Lagi pula, kremasi adalah salah satu metode yang populer di rumah duka Lux Aeterna. Namun selama ini Nata tidak pernah ikut-ikutan melihat proses kremasi. Tapi karena hari ini dia bertugas full mendampingi keluarga Bu Amelia, Nata minta izin pada Boy si petugas kremasi untuk mengintip prosesnya dari pintu samping.
Sebelum peti dimasukkan ke dalam pembakaran, diadakan doa pelepasan singkat. Selanjutnya keluarga dipersilakan menunggu di luar sampai proses kremasi selesai.
Oven yang dipakai akan mengeluarkan panas sampai seribu lima ratus derajat Celcius untuk memastikan proses pembakaran yang sempurna. Selama dua puluh menit pertama, bagian-bagian tubuh yang lunak seperti kulit, rambut, otot dan jaringan-jaringan lain akan dibakar hingga menyisakan tulang-tulang dan tengkorak. Empat puluh menit hingga satu jam berikutnya, tulang-tulang dan tengkorak itu akan dilebur hingga menyisakan abu seberat dua kilogram saja. Kata Boy, berat abu tergantung dari ukuran jenazah serta ketebalan peti. Kemudian abunya akan didinginkan memakai kipas sebelum disedot dan dimasukkan ke dalam plastik dan ditempatkan di dalam guci. Nata menghitung keseluruhan proses kremasi memakan waktu sekitar satu setengah jam.
Setelah beres, pihak keluarga berbondong-bondong pergi ke pantai untuk melarung abu.
Peristiwa duka ternyata memang seperti itu, ya... pikir Nata sambil mengamati kapal yang membawa keluarga Bu Amelia melakukan putaran terakhir. Melelahkan secara emosional dan fisik. Tapi orang baik hati seperti Bu Amelia pantas mendapatkan penghormatan terakhir yang layak.
Angin laut sudah terlalu dingin untuk Nata, jadi gadis itu memutuskan kembali ke mobil jenazah. Setelah semua ini selesai, dia kepengin pulang dan mandi air panas.
Di dalam mobil, Nata mendapati Pak Engkus sedang tepekur menatap pantai. Dia tetap terjaga, ditemani kopi yang dibawanya di dalam termos. Padahal laki-laki itu juga tidak tidur semalaman seperti Nata. Sang sopir setia menemaninya mengurusi jenazah Bu Amelia, dan Nata amat bersyukur karena itu.
"Bapak nggak istirahat?"
"Udah biasa bergadang, Neng. Lagi pula sayang lautnya."
"Lautnya?"
"Iya. Lautnya cantik," komentar Pak Engkus. Matanya yang abu-abu tampak cerah karena pantulan cahaya matahari pagi.
Nata turut memandangi laut itu. Karena kampung halamannya terletak di kaki gunung, Nata tidak terlalu menyukai pantai. Di benaknya sudah terpatri bahwa pantai itu hanya tempat untuk menghanguskan kulit.
"Apa semua abu jenazah selalu dilarung di sini, Pak?"
"Nggak juga. Sesuai permintaan keluarga klien aja, Neng."
"Apa Bu Amelia sudah berpesan supaya abunya dilarung di pantai ini?"
"Soal itu, Bu Amelia nggak titip pesan apa-apa. Kemarin Bu Sintia tanya, jadi Bapak nyaranin tempat ini." Pak Engkus tersenyum samar. "Bapak suka pantai ini."
"Bapak sering ke tempat ini?"
"Baru sekali. Udah bertahun-tahun yang lalu." Si sopir menambahkan cepat-cepat. "Tapi Bapak rasa Bu Amelia bakal suka pantai ini."
Pilihan yang bagus, pikir Nata. "Saya rasa juga begitu."
"Suasananya lebih bagus lagi saat matahari terbenam. Lebih romantis."
"Wah, jangan-jangan dulu ini tempat pacaran Bapak."
"Aduh... bukan kok, Neng." Pak Engkus terkekeh. "Kan tadi Bapak bilang baru sekali mampir ke sini. Bukan sama pacar, tapi sama istri."
Pak Engkus menarik dompetnya yang bocel-bocel dan mengambil selembar foto lusuh.
"Namanya Tantri," Pak Engkus menunjuk wanita gempal berwajah ramah yang sedang bersanding dengannya di pelaminan. "Itu foto di acara pernikahan kami, dua puluh lima tahun yang lalu. Dulu saat pacaran, kami sering jalan-jalan. Tapi sejak berkeluarga, Bapak jadi sibuk dan tidak pernah mengajak Tantri jalan-jalan lagi. Akhirnya hari itu kami punya waktu. Bapak mengajak Tantri ke sini, untuk melihat laut. Baru sekali itu kami pergi jalan-jalan sebagai suami istri. Bapak ingat, Tantri girang sekali..."
"Kenapa Bapak nggak mengajak Bu Tantri ke sini lagi?"
Pak Engkus mengusap wajah istrinya di foto. "Karena Tantri sudah nggak ada, Neng."
...
Seumur hidup, rasanya aku tidak pernah sebahagia seperti di hari pernikahanku.
Tantri, gadis pujaan hatiku itu, menerima lamaranku dan bersedia kunikahi. Orang-orang sering bilang, seorang laki-laki bisa tahu apakah seorang wanita adalah belahan jiwanya sejak pandangan pertama. Aku tidak terlalu memercayai kata-kata itu, sampai aku bertemu Tantri. Saat pertama kali melihatnya, aku langsung tahu kami ditakdirkan untuk hidup bersama.
Belakangan saat kutanyai, Tantri mengaku dia juga merasa seperti itu saat melihatku. Jadi kurasa omongan orang-orang itu ada benarnya juga.
Dua puluh lima tahun kami lewati sebagai suami-istri. Banyak teman-teman kami yang sangsi kalau kubilang tidak pernah bertengkar dengan Tantri. Aneh memang, tapi pernikahan kami memang adem ayem saja. Entah aku yang berkepala dingin atau Tantri yang tidak pernah ribut-ribut, pokoknya selama seperempat abad itu kami hidup tenang-tenang saja. Bahkan setelah Tantri tahu dirinya tidak bisa punya anak.
Orangtuaku menyalahkan Tantri. Aku ingat Ibu sempat nyeletuk begini setelah kami pulang dari rumah sakit: "Percuma saja benihnya bagus tapi tanahnya yang tidak subur. Ndak bakal tumbuh apa-apa." Karena kepengin menggendong cucu, mereka membujukku untuk menceraikan Tantri. Tentu saja kutolak. Aku tidak menyalahkan Tantri. Saat menikah, aku sudah berjanji untuk menerima kelebihan dan kekurangannya, apa adanya. Aku mengagumi kecantikan parasnya, keramahan sikapnya dan kelembutan hatinya. Aku tidak keberatan menerima rahimnya yang lemah.
Vonis itu membuat Tantri terpukul. Selama tiga tahun kami berobat; mulai dari dokter kandungan hingga pengobatan tradisional. Namun semuanya tidak membuahkan hasil. Janin-janin yang tumbuh di rahim Tantri meluncur keluar selang beberapa minggu, seolah-olah mereka tidak tahan bertumbuh di sana. Keguguran demi keguguran itu menguras inti hidup Tantri, mengubahnya dari wanita cerita menjadi seseorang yang lesu dan putus asa. Biasanya tiap hari dia membuatkanku bekal makan siang sebelum pergi ke sekolah dan memasak makan malam, tetapi belakangan dia tidak melakukannya lagi. Tantri menjalani hari-harinya seperti robot—hanya berbuat seperlunya saja.
Melihat perubahan sikapnya, aku amat sedih. Bukannya aku menuntut macam-macam sebagai suami, tetapi aku tahu Tantri yang sekarang bukan Tantri yang kukenal. Dia wanita yang penuh semangat dan ceria. Dan kehilangan-kehilangan itu juga berat buatku—kami berdua terpengaruh karenanya.
Namun aku meyakinkan Tantri bahwa kami masih punya harapan. Di dunia ini ada banyak anak yang tidak punya orangtua. Kami bisa mengadopsi salah satu dari anak-anak itu.
Gagasan itu kedengarannya cukup masuk akal. Kami mulai mencari-cari informasi dari panti asuhan soal proses adopsi. Ternyata mengadopsi anak secara sah itu cukup merepotkan—dan mahal. Tantri seorang guru bergaji pas-pasan, sementara aku hanya seorang sopir angkot. Uang kami sudah habis dipakai untuk berobat. Kalau kami betul-betul ingin mengadopsi seorang anak dari panti asuhan, kami harus menyiapkan sejumlah besar uang. Terlebih lagi, kedua orangtuaku tidak mendukung ide itu. Mereka bilang boleh-boleh saja mengangkat anak—sebatas hanya pancingan supaya kami bisa punya anak sendiri. Tampaknya sulit sekali bagi mereka untuk menerima kenyataan bahwa rahim Tantri sulit menampung seorang anak.
Meski penuh tantangan, kami tetap berusaha untuk mengadopsi. Awalnya aku masih optimis, tetapi ketika permintaan-permintaan kami ditolak oleh hampir semua panti asuhan, barulah aku tersadar. Anak-anak di panti asuhan itu menjalani hidup yang berat tanpa orangtua. Mereka perlu orang-orang yang bisa meringankan kehidupan mereka, dan pasangan guru-sopir angkot seperti kami rupanya dianggap kurang bisa memenuhi kewajiban itu.
Kekecewaanku berubah menjadi amarah. Aku tidak mengerti mengapa Tuhan begitu "pelit" pada kami. Dia memberi pasangan-pasangan lain anak, bahkan ada yang sampai dua, tiga, empat, bahkan lima. Namun kami tidak diberi satu pun, meski sudah berdoa, bertakwa dan beramal selama bertahun-tahun. Aku memprotes Tuhan karena keputusan ini; bersungut-sungut pada-Nya karena merasa aku dan Tantri adalah calon orangtua yang baik, dan kami pantas diberi seorang anak.
Tapi tampaknya Tuhan bergeming terhadap doa-doa kami.
Pernikahan kami akhirnya mencapai usia tujuh tahun. Kami merayakannya dengan sederhana: hanya aku, istriku, dan tumpeng kecil yang dibuat Tantri sendiri. Aku terkejut karena Tantri yang menyiapkan semua itu. Melihat hasil masakannya, aku merasa ada sesuatu yang berbeda pada istriku. Apa yang terjadi padanya?
Kami duduk di meja makan dan mengucap doa syukur. Kemudian Tantri memotong puncak tumpeng dan menaruhnya di piringku.
"Seandainya aku memang nggak ditakdirkan jadi ibu, kamu gimana Mas?" katanya sambil menyerahkan piring kepadaku.
Dia belum pernah melontarkan pertanyaan seperti itu. "Yah, mau bagaimana lagi..."
"Tapi kamu kepingin sekali punya anak."
Rupanya Tantri tahu aku sudah kecewa pada Tuhan. Aku tidak pernah cerita padanya atau terang-terangan menunjukkan kekecewaanku, tetapi istriku itu bisa tahu. "Kita udah coba segala cara, tapi nggak diberi anak juga."
Tantri menyendok nasi untuk dirinya sendiri dan tertunduk diam.
"Memangnya kamu nggak mau punya anak, Tri?"
"Aku rasa, kalau Tuhan memang nggak mau kasih kita anak... ya nggak apa-apa," kata istriku itu. Tatapannya masih terpaku pada hidangan di piringnya. "Nggak bagus memaksakan kehendak kita, kan? Tuhan tahu yang terbaik."
Pernyataan itu membuatku terkejut. Selama ini, Tantrilah yang paling bertekad untuk punya anak. Dia yang rutin mencari dokter baru, pengobatan lain, atau panti asuhan berikutnya yang bisa menjadikannya seorang ibu.
Tantri mendongak dan menatapku lurus-lurus. "Aku udah ikhlas, Mas."
Rasanya ada sesuatu yang luruh di dalam diriku, seperti tembok batu yang selama ini membuat napasku sesak. Mendengar itu, sekonyong-konyong aku merasa lepas.
"Kamu yakin, Tri?"
"Iya." Dia meraih tanganku dan mengelusnya. "Aku yakin, Mas. Kalau Tuhan mau memberi kita anak, aku percaya Dia akan menemukan caranya. Aku udah nggak bisa mengandung, tapi aku nggak mau kehilangan hidupku juga. Aku memang nggak punya anak, tapi aku sudah diberi seorang suami. Bagiku itu sudah cukup."
"Kalau kita berdua aja sampai selamanya, kamu juga mau?"
Tantri tertawa. Tawa pertama yang kulihat setelah berbulan-bulan. "Selama sama kamu, sampai kapan pun aku mau, Mas."
Kusambut tangan Tantri dan kucium dengan sayang. "Terima kasih."
Sejak hari itu, kami mulai menjalani hari-hari kami dengan lebih ringan. Berdua saja, tanpa bayang-bayang harus memiliki anak. Orang-orang yang menuntut kami untuk punya anak terus mendesak keinginan mereka, tetapi aku dan Tantri sudah tidak lagi terpengaruh. Kami sudah membuat keputusan untuk melanjutkan hidup.
Hari demi hari berlalu, tanpa terasa menjadi tahun-tahun yang panjang. Setiap hari, Tantri setia menjalani tanggung jawabnya sebagai istri: menyiapkan bekal makan siang untukku. Kami setuju untuk memasak makan malam bersama-sama. Sesekali kami masih merindukan kehadiran seorang anak, tetapi kami sudah bisa mengontrol diri.
Kupikir kami akan menjalani hari-hari yang tenang seperti itu hanya berdua saja, sampai ajal menjemput nanti. Tapi aku keliru. Tanpa sepengetahuan kami, sesuatu sedang tumbuh dalam diri Tantri, dan itu bukan seorang anak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top