12. Dua Puluh Lima Tahun
Karena Pak Engkus kelihatannya masih ingin berbicara, Nata menahan diri.
"Saya bekerja selama sepuluh tahun sebagai sopir Bu Amelia," lanjut si sopir. "Ibu adalah dosen yang aktif dan mengajar di beberapa kampus. Saya bertugas mengantar jemput Ibu setiap hari. Selama saya sopiri, Ibu tidak pernah minta macam-macam. Beliau memilih terlambat datang ke kampus daripada saya mengebut di jalan."
Nata agak malu. Dia termasuk orang yang suka ngebut di jalan— Avi pasti dengan senang hati akan memberitahu semua orang. Tapi itu dulu, waktu dia masih punya mobil.
"Pernah suatu ketika, mobilnya mogok kena banjir," tutur Pak Engkus. "Saya turun buat mendorong mobil. Nggak berapa lama, Ibu menyusul. Beliau menggulung celananya dan ikut mendorong mobil. Saya kaget dan malu sekali, tapi Ibu bilang dia nggak mungkin cuma duduk-duduk selagi saya ngedorong. Kalau ada kelas siang atau rapat yang berlangsung seharian, Ibu nggak pernah lupa memberi saya uang untuk membeli makanan. Beliau baik sekali sama saya dan Bik Siti, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah."
"Bu Amelia bos yang baik, ya," komentar Nata, hatinya tersentuh.
"Ibu bos terbaik," Pak Engkus mengangguk dalam-dalam. "Pas pensiun, Ibu masih jadi dosen tamu dan peneliti di beberapa universitas selama lima tahun. Tapi kemudian ginjalnya mulai bermasalah dan Ibu harus sering dicuci darah. Ibu memutuskan berhenti total mengajar, dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Karena udah jarang bepergian, saya mengundurkan diri sebagai sopir. Ibu minta saya tetap bekerja, tetapi saya nggak enak hati karena hampir nggak pernah menyetir lagi. Akhirnya Ibu menerima pengunduran diri saya. Mobilnya Ibu kasih untuk saya. Mati-matian saya tolak, tapi Ibu memaksa. Katanya hadiah..."
Hubungan yang hangat antara sopir dan majikan, Nata tersenyum di dalam hati. "Apa Bu Amelia tahu setelah itu Pak Engkus pindah ke Lux Aeterna?"
"Ibu yang kasih tahu saya soal lowongan di Lux Aeterna," jawab Pak Engkus. Matanya tampak berkaca-kaca. "Waktu itu saya berencana jadi sopir taksi online, pakai mobil pemberian beliau. Tapi Ibu kasih nasihat, bilang sebaiknya saya cari pekerjaan yang lebih pasti. Apalagi mengingat kondisi mobil yang udah tua, kemungkinan bakal perlu sering diservis kalau dibuat taksi online. Persyaratan jadi sopir mobil jenazah nggak sulit; yang penting nggak mengemudi ugal-ugalan, nggak merokok, dan punya pengalaman sebagai sopir. Gajinya jgua lebih pasti. Menurut Ibu, saya bisa menjalani pekerjaan itu dengan baik. Ibu orang pintar, dia bisa memikirkan hal-hal seperti itu." Bibir Pak Engkus bergetar, seperti ingin menangis. "Itu sudah tujuh tahun yang lalu. Suatu hari, Ibu muncul di rumah duka..."
Pak Engkus terhenti. Dia mengembus dengan berat.
"Saya kaget melihat Ibu. Beliau bilang mau lihat bagaimana keadaan saya di tempat kerja yang baru, tetapi saya kurang percaya. Rumah duka kan bukan tempat yang layak dikunjungi. Waktu itu Bu Amelia sempat mengobrol dengan Pak Manajer, tetapi saya nggak tahu kalau beliau sedang merencanakan acara pemakamannya..."
Pak Manajer? Nata tertegun. Bukannya Pak Engkus memanggil Avi dengan namanya saja? Atau yang dimaksud Pak Engkus itu manajer yang lain?
Nata ingin bertanya lebih jauh, tetapi tidak enak mengganggu cerita Pak Engkus. Tampaknya beliau sedang terkenang pada mantan bosnya yang baik hati itu. Pak Engkus melanjutkan dengan menceritakan kebaikan-kebaikan Bu Amelia yang lain.
Akhirnya mereka sampai di rumah Bu Amelia. Mereka disambut dengan ramah adik-adik Bu Amelia—sambutannya nyaris seperti anggota keluarga. Sambutan itu membuktikan baiknya hubungan Pak Engkus dengan keluarga Bu Amelia. Beliau adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Selain anggota keluarga, para tetangga dan mantan anak didik Bu Amelia juga banyak yang datang melayat.
Setelah dua bulan bekerja di rumah duka, Nata membuktikan sendiri kata-kata: orang yang selama hidupnya baik, akan terbukti saat meninggal. Sebelumnya dia keliru mengartikan itu dengan jumlah pelayat yang datang. Dalam hal ini, kuantitas tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas. Seorang pejabat publik yang korup bisa saja didatangi banyak pelayat. Namun pelayat jenis ini biasanya datang hanya sekedar untuk menghormati saja—mereka tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan yang berarti. Tetapi ada orang lain yang sungguh-sungguh ditangisi oleh para pelayatnya—bukti nyata bahwa sewaktu di dunia, yang berpulang tersebut telah menyentuh hidup banyak orang.
Nata mengamati, Bu Amelia adalah tipe yang kedua.
Suasana haru dan menyesakkan dalam acara kematian seringkali menular. Saat melihat orang-orang menangis dan meratap, hati Nata ikut bergetar. Dia masih belum begitu ahli menyamarkan perasaannya, tetapi cukup mahir menyembunyikan tangisnya. Sebetulnya Nata merasa wajar-wajar saja kalau orang ikut menangis dalam suasana seperti ini, tetapi Avi mewanti-wanti setiap pegawai rumah duka untuk tidak terlalu menye-menye karena terkesan tidak profesional dalam bekerja.
Selesai mengucapkan belasungkawa kepada pihak keluarga, proses pemindahan pun dimulai. Sesuai perjanjian, Bu Amelia akan disemayamkan di rumah duka—tampaknya beliau tahu rumah mungilnya tidak akan sanggup menampung jumlah pelayat yang hadir. Jenazah beliau dipindahkan ke tempat tidur logam yang bisa didorong-dorong untuk dimandikan nanti. Caka, Hadi dan Pak Engkus yang sudah memakai baju pelindung dan sarung tangan (sesuai SOP) melakukan pekerjaan ini dengan cekatan, dibantu dua orang keponakan Bu Amelia. Nata tahu Bu Amelia harus segera dipersiapkan, karena dalam dua puluh empat jam tubuh seseorang yang sudah meninggal akan mulai kaku.
Selanjutnya mereka mengambil pakaian untuk Bu Amelia. Beliau sudah menyiapkan satu set kebaya berwarna gading, lengkap dengan sepatu dan tas tangan. Melihat warna benda-benda itu, Nata merasa riasan yang minimalis tampaknya sesuai untuk Bu Amelia.
"Neng, Bapak mau cuci tangan ke belakang dulu, ya," kata Pak Engkus setelah mereka selesai. "Nanti gantian sama Caka dan Hadi. Neng tolong tanyain ke pihak keluarga siapa yang ikut ke rumah duka, ya. Di ambulans masih muat dua orang lagi. Yang lain bisa nyusul pakai mobil pribadi kalau mau."
"Oh, oke Pak."
Karena sudah hafal denah rumah mantan majikannya itu, Pak Engkus langsung terus ke belakang. Nata bertanya kepada Bu Sintia, adik Bu Amelia, soal siapa yang bakal ikut naik ambulans untuk mengantarkan Bu Amelia.
"Saya ikut," kata Bu Sintia. Dia menunjuk dua bapak-bapak kembar di dekatnya. "Juga Bayu dan Budi, adik kembar kami."
"Si Yanto gimana?" sela wanita yang berada di sebelah Bu Sintia. Seingat Nata, dia adalah si adik bungsu. Namanya Selvi.
Wajah Bu Sintia mengerut. "Buat apa dia ikut?"
"Dia suami Amel."
"Mantan suami."
"Mereka nggak pernah resmi bercerai."
"Apa bedanya?" Bu Sintia menghardik adiknya dengan tajam. "Dia meninggalkan Amel. Sejak Amel mulai sakit, kitalah yang mengurusinya. Apa orang nggak bertanggung jawab seperti itu bisa disebut suami? Dia nggak mau mendampingi Amel sewaktu masih hidup, apa artinya dia menemani Amel sekarang?"
Aku tidak tahu Bu Amelia punya suami, pikir Nata kaget. Pak Engkus nggak cerita.
Perdebatan keluarga semacam ini adalah hal lain yang lumrah Nata temui sejak bekerja di rumah duka. Pemicunya bisa dari hal sepele seperti warna sepatu yang akan dipakai, hingga perebutan harta warisan. Sesuai nasihat Tante Meyti, dalam situasi seperti ini sebaiknya pegawai rumah duka tidak ikut campur.
"Maaf, apa saya boleh pinjam kamar kecilnya?"
Itu pertanyaan klasik untuk menghindari momen tidak nyaman seperti ini. Soraya yang mengajarkan Nata. Seseorang mengantarkan Nata ke belakang, selagi Bu Sintia adu mulut dengan adik-adiknya. Caka dan Hadi memutuskan untuk masuk ke ambulans.
Kamar kecil letaknya di bagian belakang, jadi Nata harus melewati seluruh rumah untuk mencapainya. Saat melewati ruang tengah, Nata melihat foto-foto yang berjejer di dinding. Banyak foto-foto Bu Amelia di kampus: saat beliau di wisuda, mendapat gelar profesor, atau bersama rekan-rekan dosen dan para mahasiswanya. Ada juga foto-foto dengan adik-adiknya. Tampaknya beliau memang dekat dengan banyak orang. Di satu foto, Nata melihat Bu Amelia bersama Pak Engkus dan wanita lain yang pastilah Bik Siti. Orang yang tidak tahu hubungan mereka akan menyangka ketiganya berkerabat karena tampak sangat akrab di foto.
Foto yang paling besar di dinding itu adalah foto pernikahan. Sosok suami yang tidak sedang diperdebatkan itu di masa mudanya adalah seorang laki-laki jangkung yang gagah, dengan potongan rambut khas tahun delapan puluhan. Nata mendekat untuk melihat dengan lebih jelas. Di lemari pajangan, ada lebih banyak foto-foto Bu Amelia dan sang suami. Namun dari kondisinya yang sudah menguning, tampaknya foto-foto itu diambil bertahun-tahun silam.
Apa Pak Yanto ada di sini sekarang? Nata bertanya-tanya ke dalam hati sambil terus ke belakang. Dia tidak sungguh-sungguh kepengin buang air, tetapi dia harus betulan masuk ke toilet supaya tidak ketahuan berbohong.
Setelah selesai dari toilet, Nata mendengar suara-suara dari halaman belakang. Dari jendela di dapur, dia melihat Pak Engkus sedang bergulat dengan seorang laki-laki.
Pak Engkus melihat Nata, tetapi si sopir cepat-cepat menggeleng, mengisyaratkan Nata supaya tidak ikut campur. Lawan Pak Engkus berusaha merebut sesuatu darinya. Saat posisi si sopir berbalik menghadap jendela, Nata melihat si sopir sedang memegang cairan pembunuh serangga. Pak Engkus melempar botol itu sehingga isinya tumpah ke tanah.
"Ibu nggak mau Bapak melakukan itu!" tegur Pak Engkus pada pria di hadapannya.
Pria itu berlutut dan menangis tersedu-sedu. Samar-samar Nata mengenalinya—dia adalah laki-laki yang tampak di foto pernikahan Bu Amelia. Sosoknya berubah seratus delapan puluh derajat dibanding pria gagah dan tampan di foto; Yanto yang sekarang adalah seorang laki-laki tua yang kurus dan hampir botak.
"Saya mengecewakan Amelia," erang Yanto. "Saya tidak setia."
Ah, jadi begitu, Nata pun mengerti. Laki-laki ini menyeleweng.
Yanto berusaha bangkit tetapi tidak bisa. Tampaknya pria itu terserang stroke, karena sisi kanan tubuhnya kaku. Pak Engkus memapahnya dan mendudukkannya di sebuah bangku.
"Dua puluh lima tahun kami menikah, dan saya meninggalkan Amelia begitu saja... Seharusnya saya nggak melakukan itu. Saya ini betul-betul bodoh!" Yanto memukul kepalanya dengan tangannya yang masih sehat. "Setelah saya stroke begini, Meta menelantarkan saya dan mengusir saya dari rumah. Justru Amelia lah yang menampung dan merawat saya, padahal dia sendiri lagi berjuang melawan sakitnya. Setelah apa yang saya perbuat padanya, Amelia masih mencintai saya. Perasaannya nggak berubah sama sekali."
"Ibu nggak pernah mengatakan sesuatu yang buruk tentang Bapak," kata Pak Engkus.
"Nggak mungkin! Sintia dan yang lain benci sekali pada saya! Pasti Amelia juga begitu! Saya pantas dihina seperti itu—bagaimanapun, saya memang berselingkuh—"
"Tidak. Ibu memang nggak pernah menjelek-jelekkan Bapak sama sekali," kata Pak Engkus sedikit keras. "Saya berani bersumpah untuk itu. Setiap kali ada yang bertanya tentang Bapak, Ibu selalu bilang Bapak lagi kerja di luar kota."
Yanto menangis lagi. Laki-laki tua itu memukul-mukul dadanya dengan tangan kiri. "Saya suami nggak berguna. Saya nggak pantas hidup! Lebih baik saya mati saja! Kenapa kamu malah menghentikan saya, Kus? Biarkan saya minum racun itu, supaya saya mati sekarang!"
"Bapak nggak boleh melakukan itu. Bunuh diri itu dosa, Pak!"
"Amelia meninggal karena saya! Seandainya saya tidak kabur dengan Meta, dia tidak akan jadi stres berat sampai jatuh sakit begini!"
"Kepergian Ibu itu kehendak Tuhan," kata Pak Engkus. "Bapak nggak boleh marah atau kecewa atas apa yang sudah dikehendaki Tuhan. Lagi pula, kalau Bapak bunuh diri, apa yang akan Bapak katakan kalau bertemu Ibu di alam baka nanti?"
Mendengar itu, Yanto terdiam.
"Apa menurut Bapak, Ibu akan senang melihat Bapak di sana? Apalagi setelah Ibu tahu Bapak pergi dengan cara tidak terhormat seperti bunuh diri?"
"Sa-saya..." Yanto tergagap-gagap. "Saya nggak tahu harus berbuat apa sekarang."
"Bapak harus terus hidup."
"Hidup seperti apa itu, Kus? Hidup dengan penuh penyesalan?"
"Bukan, bukan yang seperti itu..." Pak Engkus menatap rumput di halaman belakang yang basah sehabis hujan. "Tetapi hidup yang lebih baik. Hidup dengan tidak mengulangi kesalahan yang pernah Bapak lakukan di masa lalu."
"Tidak. Saya tidak sanggup melakukan itu. Apalagi tanpa Amelia."
"Ya, Bapak pasti bisa. Saya yakin itulah yang Ibu inginkan," kata Pak Engkus. "Kalau Bapak merasa kesepian, ingatlah bahwa Tuhan sudah memberi Bapak dua puluh lima tahun yang berharga bersama Ibu. Ingatlah masa-masa penuh kebahagiaan itu..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top