10. Bunga untuk Mama


Cher terhenti. Dia menghirup napas panjang lewat mulutnya.

"Kamu pasti kaget melihat mama kamu sama Dita," kata Nata.

"Aku marah," kata Cher. Dia menyingkapkan penutup kepalanya sehingga wajahnya terlihat. "Mereka muncul di saat-saat seperti itu dan memanggilku dengan nama lamaku. Aku nggak tahu gimana caranya Mama menemukanku."

"Lalu apa yang terjadi?" tanya Nata.

"Aku cuekin mereka, tapi Mama terus-terusan memanggil. Teman-temanku mulai curiga, jadi terpaksa aku ke gerbang sekolah. Mama tetap berdiri di seberang jalan, dia nggak berani mendekati gerbang. Tetapi dia tersenyum lebar sambil melambaikan tangan Dita ke aku. Dia bilang, 'Lihat Dita, itu Mama!' Aku malu banget."

"Tapi Dita itu kan anak kamu...."

"Setelah besar, Dita terlihat makin mirip Putra," jawab Cher. "Aku menyeberang jalan untuk melabrak mereka. Aku tanya sama Mama gimana dia bisa tahu aku sekolah di sini. Mama bilang salah satu temannya pernah beli bunga di toko tempatku bekerja dan dia mengenaliku. Mama bilang dia cuma mau mengucapkan selamat. Dia tahu aku down gara-gara peristiwa mengerikan itu, dan dia bangga sekali karena aku berhasil menata hidupku kembali.

"Aku tanya kenapa dia bawa-bawa Dita segala. Mama beralasan Dita mau melihat aku. Anak itu sedang menjulurkan bunga itu padaku dan kelihatannya dia nggak takut. Aku pikir itu aneh, karena biasanya anak kecil takut kalau bertemu orang asing."

"Dita tahu kamu ibunya," komentar Nata.

"Mungkin," Cher mengangkat boneka di pelukannya dan mengelus pipinya. "Mama ngebujuk aku untuk menerima bunga dari Dita dan memeluknya. Tapi aku sudah terlanjur marah. Aku membentak anak itu dan kembali ke gerbang sekolah. Dita berteriak memanggilku, 'Mama, Mama...' tapi aku sama sekali nggak menoleh. Tiba-tiba anak itu melepaskan diri dari pegangan Mama dan lari menyeberang jalan untuk menyusulku...."

Cher terhenti. Dua butir air besar-besar mengucur dari matanya.

Nata tidak perlu mendengar kelanjutan cerita itu untuk tahu apa yang terjadi. Di usianya yang masih muda, Cher sudah merasakan kehilangan dahsyat. Aku pun akan memakai pakaian hitam seumur hidupku kalau aku jadi gadis ini.

"Rasanya aneh sekali..." ucap si florist dengan lirih.

"Perasaan apa?"

"Di sini," Cher menunjuk tengah-tengah dadanya. "Aku pikir aku mati. Aku melihat Dita tersungkur di jalan dalam posisi terbalik... bunga warna putih di tangannya berubah merah karena darah. Mama menjerit histeris, begitu juga orang-orang di sekitar kami, tetapi aku nggak bisa bergerak. Rasanya seolah-olah rohku melayang pergi dan tubuhku cuma wadah kosong. Seumur hidup aku belum pernah merasa seperti itu.

"Teman-temanku berhamburan keluar dari lapangan. Mereka mengguncang-guncang bahuku, dan barulah aku sadar kembali. Orang-orang berkerumun untuk menolong Dita, tetapi aku tahu anakku sudah meninggal. Aku rasa itu yang disebut orang-orang naluri seorang ibu."

Nata ingat ibunya pernah bilang dia selalu tahu kalau anak-anaknya sakit, meskipun si anak tidak memberitahu. Nata sering ditelepon dadakan oleh ibunya kalau lagi sakit, padahal dia sengaja tidak memberi kabar karena khawatir bikin ibunya cemas. Saat ditanya dari mana ibunya tahu, wanita itu cuma bilang, "Karena Mama ibu kamu."

"Aku turut sedih soal Dita, Cher." Nata sambil meremas tangan Cher.

"Kita jarang mensyukuri apa yang kita punya sampai kita kehilangan," Cher balas meremas tangan Nata. Gerakannya terasa bersahabat. "Hari itu, saat melihat Dita meregang nyawa di depan mataku, barulah aku mengerti. Seharusnya aku bisa belajar dari pengalaman orang lain, tetapi waktu itu aku masih muda dan bodoh. Aku harus mengalaminya sendiri baru paham. Dita nggak bersalah, dia nggak benci sama aku meski sudah menelantarkannya. Kasih sayang anak-anak itu salah satu bentuk cinta paling murni di dunia ini. Aku menyesal karena terlambat menyadarinya."

"Dita pasti sudah di surga sekarang," hibur Nata yang ikut menangis karena terharu.

Cher menengadah ke langit dan tersenyum, seolah melihat wajah putrinya di antara awan-awan. "Suatu saat nanti, ketika aku dan Dita dipertemukan kembali, aku akan minta maaf dan bilang betapa aku sayang sama dia. Aku harap putriku itu bisa memaafkan ibunya."

Nata ikut menengadah ke langit. Ibu dan anak ini pasti akan dipertemukan kembali.

"Omong-omong Cher... Kenapa kamu tidak cerita soal ini pada Gaby?"

"Nggak perlu." Cher mengedik ke belakang. Gaby sedang digiring keluar kantor oleh para polisi dengan tangan diborgol. Wanita itu menangis histeris sambil meneriakkan nama Ghea. "Gaby sudah mendapatkan pelajarannya."


...


Nata mencuci muka dan menatap bayangannya di cermin. Matanya masih sembab dan merah karena menangis, tetapi dia sudah merasa lebih ringan. Kisah Cher serta tragedi yang menimpa Ghea membuatnya sedih, tetapi entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang menenangkan di balik semua itu.

Dia mengeringkan wajah lalu memakai riasan tipis. Kantung matanya yang meresahkan ditutupi pakai concealer. Setelah selesai, Nata keluar dari kamar mandi. Dia mau pulang.

Di depan kantor Avi, dia melihat manajernya itu sedang bersama wanita pemilik kios bunga yang tadi pagi didatanginya dengan Cher. Tampaknya percakapan mereka sudah selesai, karena si pemilik kios sudah bangkit berdiri dan menjabat tangan Avi. Lalu wanita itu keluar kantor sambil tersenyum puas.

Nata menghentikannya di koridor. "Permisi."

"Ya?"

"Saya Nata. Saya yang tadi pagi datang menjemput bunga-bunga bersama Cher."

"Oh, ya. Saya ingat. Ada apa ya, Mbak?"

"Begini, apa Ibu datang untuk mengantarkan nota pesanan Cher? Dia nggak mengambil notanya karena membayar dengan uang sendiri."

"Oh, bukan." Wanita itu mengibas-ngibaskan tangan. "Saya ke sini untuk mengantar nota lain. Saya sudah bilang ke Mas Avi soal pesanan Cher dan bertanya apa perlu dibuatkan nota reimburse. Mas Avi bilang nggak perlu."

"Tapi bunga-bunga itu untuk program CSR kantor. Nggak seharusnya dibayar dengan uang pribadi."

"Wah, begitu ya?" Wanita itu mengernyit. "Biasanya Mas Avi selalu membayar sendiri bunga-bunga untuk proyek CSR tiap bulan. Tapi tadi pagi Cher bilang bunga-bunga itu buat keponakannya, jadi saya pikir untuk keperluan pribadi. Apa saya perlu bilang ke Mas Avi?"

Avi sudah tahu. "Nggak perlu. Ehm... terima kasih banyak, Bu."

Wanita itu mengangguk dan meneruskan perjalanannya. Nata kembali ke kantor Avi. Bunga-bunga pesanan Cher mahal dan harus di-reimburse. Kenapa Avi malah membiarkan?

Nata mendapati Avi sedang bersandar di salah satu pilar di depan kantornya. Sekilas sosoknya yang kurus jangkung dan berbusana serba hitam bisa membuatnya disangka malaikat pencabut nyawa. Sebatang rokok terselip di bibirnya yang tipis.

"Ini area bebas rokok," tegur Nata sambil mengedik ke arah plang bertuliskan 'Dilarang Merokok' yang ditempel di tembok.

"Siapa yang merokok?"

"Itu, yang dimulut kamu apa?"

"Nggak disulut kok."

"Tapi mau kamu sulut, kan? Ngaku aja deh."

"Aku nggak punya korek."

Pembohong yang payah, pikir Nata sambil mendengus keras.

Avi membuka kancing jasnya. "Kamu mau menggeledah aku untuk membuktikannya?"

Pipi Nata terasa panas karena malu. Dia mengalihkan pandangannya dari sorot mata sayu Avi. "Kalau begitu kenapa kamu menyelipkan rokok itu di mulut?"

"Bukan urusan kamu."

Sepertinya itu jawaban favoritnya. "Kenapa kamu nggak reimburse bunga-bunga yang dipesan Cher? CSR kan harusnya pakai kas kantor."

"Selain nggak bisa berbasa-basi, kamu juga tukang ngatur, ya?"

"Jawab aja. Jangan menghindar begitu."

Avi melipat tangannya yang kurus di dada dan menatap ke depan. "Lebih baik begitu."

Bos macam apa dia ini? Nata mengeluh dalam hati. Kok pelit begitu? "Kamu setuju kita mengurusi Ghea, tapi nggak mau reimburse uang bunganya?"

Avi mengangkat bahu seolah itu informasi yang sudah diketahui secara umum, seperti dari arah mana matahari terbit. "Cher nggak mau di-reimburse."

"Kamu udah tanya?"

"Aku tahu. Biasanya Cher bisa menahan diri dalam menghadapi klien, tapi hari ini dia sangat terbawa perasaan karena Ghea. Sudah lama aku nggak melihatnya seperti itu." Cowok itu menambahkan dengan suara rendah. "Kamu udah tahu soal Dita, kan?"

"Eh? Dari mana kamu tahu?"

Avi mengedik ke arah bangku taman tempat Nata dan Cher duduk tadi, dan memutar matanya dengan gaya please-deh. "Aku yang mengajak Cher bekerja di sini."

"Kalian ketemu di jalan tol?"

"Cher pengemudi yang baik dan nggak suka cari gara-gara dengan orang asing di jalan tol," Mata cokelat gelap Avi melirik sinis. "Sebelumnya Cher kerja untuk kios bunga Bu Anita—tempat kalian membeli bunga. Sejak dia kerja di sana, buket-buket milik toko itu makin bagus. Aku penasaran siapa yang merangkainya. Kira-kira setahun lalu, kualitas buket-buket itu menurun. Aku bertanya penyebabnya. Bu Anita cerita soal Cher dan apa yang terjadi sama dia. Kematian Dita bikin pekerjaan Cher jadi kacau. Aku pikir itu kesempatan bagus untuk menawarkan Cher pekerjaan baru."

"Sebentar, sebentar." Nata menyetop buru-buru. "Cher baru kehilangan anak dan kamu menawarinya pekerjaan di rumah duka?"

"Dia mau, kok," jawab Avi enteng. "Sayang kalau bakatnya cuma dipakai di toko bunga itu. Lagi pula Bu Anita nggak keberatan."

Tapi rumah duka bukan tempat untuk orang yang sedang berduka! Nata betul-betul tidak mengerti cara berpikir Avi. Pasti otak cowok ini sudah rusak!

"Oke. Kalau begitu... soal bunganya..."

"Membelikan bunga-bunga itu dan merangkainya sebaik mungkin adalah satu-satunya hal yang bisa Cher lakukan untuk Ghea," kata Avi kalem. "Dia nggak bisa mencegah kematian Ghea—"

"Hei, itu kan bukan salah Cher!"

"Ah, kamu juga hobi memotong kata-kata orang lain."

Nata mengunci mulutnya rapat-rapat sambil menahan diri untuk tidak menonjok Avi.

"Aku harus membiarkan Cher melakukannya, sebagai penghormatan terakhir untuk Ghea, sekaligus untuk membebaskan Cher dari utang masa lalunya sama Dita."

Jadi cowok ini berniat mulia? "Kalau begitu, kenapa awalnya kamu bersikeras menolak Ghea? Aku sampai minta tolong Soraya buat ngebujuk kamu."

"Aku mau memastikan Cher serius," balas Avi. Matanya yang sayu itu memberi kesan meremehkan. "Soraya juga setuju Cher dites dulu."

Ya ampun, siapa yang mengangkat cowok annoying ini jadi manajer? Nata memelototi Avi sambil berharap ada kotoran burung yang jatuh ke kepala cowok itu.

Si manajer tidak menyadari tatapan membara perias jenazahnya. Dia memasukkan tangan ke saku jas dan menggigit rokoknya. Rokok itu patah. Dikunyahnya potongan yang menempel di mulut dan disodorkan potongan lainnya ke Nata.

"Mau?"

Nata meringis sebal. "Jadi itu permen cokelat?"

"Kapan aku bilang ini rokok betulan?"

Nata ingin menjambak rambut Avi, tetapi dia ingat cowok itu bosnya.

Akhirnya gadis itu berbalik pergi dengan perasaan dongkol. "Aku mau pulang."

"Silakan. Kalau ada klien lagi, kamu akan ditelepon seperti biasa."

"Iya!" jawab Nata seketus mungkin. Dia melangkah lebar-lebar ke ruang ganti untuk mengambil tasnya. Samar-samar dia bisa mendengar Avi bergumam pelan:

"Selamat beristirahat."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top