Eps 2: Who exactly are you?

Ichimatsu merenung di dalam kamarnya.

Beruntung ia di berikan kamar yang memiliki beranda yang menghadap langsung ke gazebo halaman belakang dengan pemandangan kolam ikan seluas kurang lebih tiga puluh meter dihiasi bermacam tanaman air dan tanaman rambat di sekitarnya. Gazebo itu terletak tidak terlalu di tengah kolam dan dihubungkan oleh sebuah jembatan kayu.

Pemandangan ini jauh lebih menenangkan ketimbang kebun bunga mawar yang menghias sisi depan serta dua sisi samping rumah besar ini.

Ichi merasa tidak enak pada bunga-bunga mawar cantik yang telah susah payah mekar itu. Mereka tidak salah, yang salah adalah pemilik mereka yang sinting.

Berkat Karamatsu sekarang Ichi mendadak merinding kalau teringat bunga mawar.

Yaaaahhh. . . . . Ini baru tiga jam pasca insiden Ichi yang refleks menyiram wajah Karamatsu dengan air saat acara makan pagi karena tak tahan dengan sakit yang ia rasakan.

Ichi tahu ia salah. Ia sadar dan sangat tidak enak hati karena sudah bersikap kasar pada orang yang mengulurkan tangan padanya.

Flashback
Ichimatsu yang tak tahan melihat tingkah Karamatsu spontan mengambil gelas dan menyiramnya agar berhenti.

Perbuatannya itu membuat wajah para pelayan yang kalem berubah horor. Suasana tegang seketika.

Ichimatsu sebagai sang pelaku tersadar atas perbuatannya saat Choromatsu mendekatinya dan menamparnya.

"Tolong jaga perbuatan anda pada tuan besar, tuan. Saya tahu anda adalah tamu beliau, tapi sungguh tidak sopan." Tegur butler itu dengan sorot mata intens yang menakutkan.

Ichimatsu tertegun, ia duduk di kursi dengan tertunduk.

Sementara itu sang korban, Karamatsu, malah tersenyum dan tertawa pelan. Semuanya menatap pria itu bingung.

"Sepertinya sikapku sudah membuatmu tak nyaman, pangeran tampan. Maafkan aku." Ia menyisir poninya yang basah dengan jari dan kembali mempertontonkan charming nya yang kali ini lebih maskulin.

"Tuan besar, anda tidak perlu-"

"Kalau boleh tahu, siapa namamu, pangeran tampan? Aku Matsuno Karamatsu. Pemilik rumah ini dan yang membawamu ke sini kemarin malam bersama kucingmu." Karamatsu memotong kata-kata butlernya dan tak mengacuhkannya. Ia fokus pada Ichimatsu.

"Tuan besar." Choromatsu menegur lagi.

"Apa pipimu sakit? Sepertinya butlerku memukulmu dengan keras. Apa kau bisa makan dengan pipi seperti itu? Kalau tidak aku akan meminta Todomatsu mengompreskannya untukmu dan kau bisa makan di dalam kamarmu." Ujar Karamatsu yang benar-benar tak mengacuhkan butlernya.

Untuk pertama kalinya Ichimatsu merasakan kengerian yang menguar dari aura Karamatsu. Ia bergidik ketakutan. Tak berani menatap lawannya dan hanya berakhir dengan gelengan kepala.

"Tapi, aku tetap khawatir dengan merah di pipimu. Todomatsu." Pria itu berpaling ke deretan pelayan.

"Ya, tuanku." Todomatsu maju dan memberi hormat.

"Ambilkan kompres untuk pangeran tampan ini. Aku tak mau melihat ada luka di wajah tampannya itu." Perintah Karamatsu.

"Baiklah, tuan besar." Todomatsu memberi hormat lagi dan pamit pergi keluar ruangan.

Di selang langkah Todomatsu yang semakin menjauh, Karamatsu melirik Choromatsu dengan tajam. Sadar dia di kambing hitamkan, Choromatsu membuang muka dan mengunci mulutnya. Pelayan yang lain pun tak berani menatap tuannya.

Karamatsu kembali dengan senyum cerahnya. "Nah, sebelum makan, maukah kau memberitahu namamu padaku, pangeran tampan?" Tanyanya dengan nada yang lebih santai.

Ichi terperanjat. Ia jadi gugup. Rahangnya mendadak mengeras dan lidahnya kelu. Ia melirik Karamatsu berkali-kali dengan ketakutan.

Namun pria yang di takutinya membalas dengan senyuman malaikat seolah tak terjadi apa-apa. Ia tidak peduli dengan rambutnya yang lepek ataupun bajunya yang basah karena perbuatan Ichimatsu tadi.

Pemuda kurus ini menelan ludah. "Ichimatsu." Ucapnya dengan suara yang sekeras mungkin bisa ia keluarkan dari tenggorokannya yang mendadak kering.

"Ichimatsu. Nama yang bagus, pangeran tampan. Seolah kau dilahirkan untuk jadi nomor satu di dunia. Bagaimana kalau aku memanggilmu Ichi saja?" Tanya Karamatsu setelah memuji nama Ichimatsu dengan tetap tersenyum.

Ichimatsu mengangguk pelan dan mengalihkan pandangan. Untungnya Karamatsu tak protes atas sikapnya yang berusaha menghindari pria sakit yang sudah di cap menakutkan oleh pemuda kurus ini.
Flashback off

Setelah itu, tentunya Ichi lebih memilih untuk menghindari Karamatsu sebisa mungkin dan mengurungkan pertanyaan di benaknya. Ia kembali ke kamar di iringi Todomatsu yang hanya meninggalkan kompres untuknya.

Ichi sadar ia tak bisa bermanja hanya karena sedikit belas kasihan orang lain. Memang sudah sepantasnya ia memicingkan mata pada setiap orang di rumah ini terutama pemiliknya, bahkan pria itu belum menjelaskan kenapa ia memungut Ichi.

Pemuda kurus itu menatap sendu langit berawan sambil sesekali menatap kompres di atas meja. Ia sudah mengompresnya tadi, hanya sebentar. Tapi karena sakit Ichi langsung menyerah melakukannya sendiri.

"Aku tak ingin melihat luka di wajah tampannya itu "

Ichi menyentuh lebam yang masih membengkak di pipinya.

"Ouch! Ssshhhh. . . . . ." Ia meringis kesakitan.

Diakuinya, butler berkacamata itu memang menamparnya dengan sangat keras. Ia bahkan sekilas mendengar tulangnya rahangnya seperti lepas. Beruntung itu tidak seperti yang di bayangkan. Rahang Ichi masih baik-baik saja, meski sudut bibirnya berdarah dan pipinya membiru.

Ia tak mengharapkan Todomatsu melakukan hal yang lebih padanya. Kompres ini saja sudah lebih dari cukup. Ia juga berterima kasih karena Karamatsu tidak memarahinya ataupun mengusirnya dari sini karena tindakannya tadi. Meski menurutnya seharusnya itu pantas untuknya.

Tes!

Setetes airmata turun dari sudut matanya. "Loh. . . " Ichi buru-buru menyekanya.

Tes! Tes!

Turun lagi dua tetes. Lagi. Dan semakin deras tetesan itu jatuh, tangisan Ichimatsu pecah.

Seharusnya ia tahu, ia sudah belajar sejak dulu. Kasih sayang dan cinta itu hanya lah partikel semu yang tak menjanjikan. Mereka hanya menipu manusia lalu menghancurkannya.

Dan sekarang Ichi merasa di hancurkan karena terlena dengan kasih yang baru di dapatkannya tak kurang dari dua puluh empat jam ini.

Mungkin memang sebaiknya ia tak berada di sini.

Mendadak ia merasa kesepian karena kucing miliknya tak ada saat ia membutuhkannya.

Apa lebih baik dia kabur saja dari sini? Sampah sepertinya seharusnya ada di tempat sampah, bukan di istana megah.

Ichi menyeka habis airmata yang jatuh di pipinya. Ia lalu celingukan melihat situasi yang ada di bawah. Di rasa aman, pemuda ini segera mengambil selimut dan sprei berukuran king size di kamarnya dan mengikatnya jadi satu lalu mengikat salah satu ujungnya di pinggiran beranda. Setelah di rasa cukup kuat untuk menahan beban tubuhnya, ia melompat dan turun perlahan dari kamarnya yang ada di lantai dua rumah besar ini.

Ichi menjatuhkan diri ke tanah dan segera berlari ke balik semak-semak. Pemuda ini berlari ke arah sembarangan. Rumah sebesar ini pastinya memiliki gerbang belakang sebagai alternatif jalan kalau tak ingin lewat gerbang depan.

Capek berlari mencari gerbang belakang rumah berpagar tinggi dengan halaman luas yang entah seberapa ini, Ichi hanya bisa meringkuk di tempat persembunyiannya, di salah satu semak rimbun yang tertutup pohon-pohon tinggi. Ia berhasil menemukan gerbang itu, tapi sayangnya ada sepuluh Doberman dan lima German Shepherd dengan wajah garang sedang berjaga di sana. Di tambah lagi bila di perhatikan, gerbang itu di kunci dengan gembok besar dan rantai yang juga tak kalah besar.

Pemuda ini menghela nafas. Ia memikirkan alternatif lain. Memanjat pagar. Ia tak peduli dengan ujung runcing pagar tinggi ini, ia sudah pernah melakukannya beberapa kali dulu. Hanya saja yang membedakan pagar-pagar yang sebelumnya ia panjatin dengan pagar rumah Karamatsu, tiap ruas besi pagar ini di selubungi sulur tanaman bunga mawar dengan durinya yang tajam.

"Ckk!" Ichi mendecak. Rumah dan pemiliknya sama-sama menyakitkan. Menyusahkan saja.

Tapi, ia tak punya pilihan.

Ichi menggenggam salah satu ruas besi yang tidak di lewati sulur lalu tangan yang lainnya mencari tempat yang aman juga, lalu ia mulai mencari pijakan.

Srat!

Baru mulai memanjat tangannya sudah tergores dengan duri mawar yang tajam. Ichi tak peduli. Ia terus memanjat dan mencengkram kuat ruas besi yang sudah berkarat itu. Perlahan ia hampir sampai di ujung pagar. Ia tinggal lompat melewati ujung runcing pagar dan turun beberapa langkah untuk bisa menapakkan kaki di luar pagar.

Sedikit lagi.

Dan sayangnya, ia tak sadar kehadiran seseorang yang tengah bertengger di salah satu dahan pohon yang dekat sekali dengan lokasi Ichi kabur.

Senyum liciknya mengembang dan matanya bersinar.

"Hallo, tuan manis pencuri." Sapa orang itu sok akrab dengan nada licik.

"Hah?!" Terkejut. Ichu melepaskan cengkramannya dan jatuh bebas. "AAAAAKKKHHH. . .!!!"

BRUK!

Ia sempat mendarat dengan kedua kakinya namun langsung hilang keseimbangan dan berakhir dengan punggungnya yang membentur tanah.

Para anjing yang mendengar teriakan Ichi dengan sigap langsung berlari ke tempatnya dan menggonggong keras.

BARK! BARK! BARK!

di saat itu sosok yang mengagetkannya melompat turun dari tempat persembunyian dan mendarat dengan mulus. Sosok dengan topi jerami, baju putih kumal dengan noda tanah, sarung tangan bulukan yang menggenggam gunting taman, serta boots kotor itu berdiri di depan Ichi dengan tak henti-hentinya memasang senyum licik yang hebat.

Para anjing bersiaga di belakang sosok itu dengan menggeram keras.

Ichi menatapnya horor dan hanya bisa pasrah menunggu nasib. Siapa yang sangka dewa kematiannya akan berpenampilan jorok seperti ini dan di akhir kemantiannya dia di sangka pencuri.

"Hihihi." Sosok dewa kematian itu tertawa licik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top