𝟒𝟓. 𝐀 𝐂𝐨𝐮𝐩𝐥𝐞 𝐒𝐞𝐭?

"By the way, maaf ya bikin nunggu lama."

Hanna merasa tak enak hati kepada Haga yang mungkin sudah sejak dua jam lalu duduk dan menunggu di taman Panasea Hospital. Meski Haga tampak sama sekali tak keberatan, Hanna tetap merasa bersalah karena membuat seseorang menunggunya tanpa waktu yang jelas. Pikirnya, Haga pasti bosan.

"Tadi, gue kira jam satu udah bisa selesai. Tapi ternyata, malah sampai jam dua gini. Kelamaan ya, Kak, nunggunya?"

Dari samping, Hanna melirik ke arah Haga yang sedang berjalan berdampingan dengannya di koridor rumah sakit. Ia khawatir, kalau Haga ternyata kesal dan menutupinya dengan sebuah senyum penuh kesabaran.

"Enggak, kok. Tadi juga sempat telat dikit. Jadi, enggak jam satu pas gue sampai di sini."

Bohong. Padahal, nyaris sebelum jam menunjukkan pukul 13.00, Haga sudah berada di taman rumah sakit itu.

"Oh, oke deh. Kalau gitu ... udah makan siang belum?"

"Belum, sih."

"Oh ya? Gue juga belum. Mau makan siang bareng? Sekalian ...."

Hanna menjedanya, ia perlu meredam ragu dalam diri sebelum mengatakan tujuannya mengajak Haga bertemu di rumah sakit ini. Haga pun tampak menunggu Hanna melanjutkan, ia tak menginterupsi sedikit pun ucapan Hanna. Ia akan mendengarkan, tanpa memotong pembicaraan.

"Sekalian ... ada yang mau gue obrolin sama lo, Kak."

Meski tak bisa dipungkiri bahwa Haga takut setengah mati dengan apa yang ingin Hanna bicarakan dengannya, Haga tetap memberikan respons dengan senyum terbaik. Ia tak ingin, kekhawatiran itu terlihat jelas di mata Hanna. Walau sebenarnya, ia benar-benar takut jika Hanna ternyata ingin mengakhiri segalanya.

Tapi tunggu, apa yang perlu diakhiri?

Wah, Haga tak bisa berpikir jernih sekarang. Lantaran, isi kepalanya hanya ada kemungkinan-kemungkinan terburuk yang selalu berputar, mengingat bagaimana raut kecewa Hanna saat mengetahui bahwa Hazel berhubungan dengannya.

"Boleh, kita mau makan di mana?"

.

.

Sepanjang perjalanan, dengan ditemani keheningan, Haga berpikir keras untuk memilih tempat makan yang sekiranya enak dan nyaman untuk berbincang. Pasalnya, Hanna hanya memberikan jawaban 'terserah, di mana aja', yang membuat Haga bingung harus bagaimana.

"Han, gimana kalau kita makan di ...."

"Di mana aja, Kak. Terserah. Gue ngikut aja kok."

Baiklah, ini sudah kali ketiga Haga mendengar jawaban seperti itu. Lantas, mau tak mau, ia sudah harus memutuskan di mana tempat persinggahannya untuk makan siang. Karena sudah nyaris setengah jam, mereka berada di dalam mobil tanpa tujuan.

Hingga akhirnya, Haga melihat sebuah kafe yang cukup besar di tepi jalan. Namun, area parkirnya yang tak menunjukkan banyak mobil di sana, membuat Haga berasumsi bahwa kafe itu sedang sepi di siang hari begini. Menurut Haga, itu pilihan yang tepat jika Hanna ingin sekaligus membicarakan suatu hal. Karena tak akan begitu terdistraksi orang-orang di sekitar. Maka, Haga memutar setir ke kiri, memilih kafe itu sebagai tempat makan siang mereka.

Lantas, Haga dan Hanna turun layaknya pasangan. Terlihat cocok memang, tapi nyatanya mereka hanya sebatas adik dan kakak tingkat di kampusnya. Dan teman bercinta satu malam.

Persis seperti dugaan Haga, kafe ini sepi. Hanya ada beberapa pelayan yang sedang membersihkan meja, dan dua pengunjung yang sedang menikmati makanannya. Segera setelah keduanya memilih meja dan kursi untuk diduduki, seorang pelayan pun menghampiri dengan membawa dua buku menu dan buku nota untuk mencatat pesanan pelanggannya.

Ketika sedang melihat-lihat menu untuk menentukan pilihan, tiba-tiba saja pelayan kafe itu menawarkan menu andalannya untuk membantu Haga dan Hanna memilih makanan.

"Mau coba couple set-nya, Kak?"

Sejenak, Haga dan Hanna saling bertukar pandangan. Hingga keduanya mengerjap dan berdeham canggung. Siapa yang akan mengira mereka ditawarkan menu bundling dengan nama couple set.

"C-couple set?" Haga mengulanginya.

"Iya! Jadi, kita ada couple set juga, Kak. Best seller lho! Isinya ada Spa—"

"Spaghetti carbonara, satu. Ice americano, satu. Aku itu aja, Mba." Hanna memotongnya dengan cepat.

Haga yang mendengarnya, dapat langsung mengambil kesimpulan bahwa Hanna tak mau menerima tawaran dari pelayan itu. Ia tak mau couple set menjadi menu makanannya siang ini. Padahal, kalau dipikir-pikir, itu hanya nama bundling semata. Seharusnya, Hanna tak sebegitunya.

"A-ah ... okay." Pelayan itu pun menjadi canggung setelah Hanna memotongnya begitu saja. "Jadi, spaghetti carbonara, satu. Ice americano, satu. Ada lagi, Kak?"

"Satu spaghetti carbonara, satu ice americano, sama onion rings-nya ya, Mba. Itu aja dulu," sahut Haga.

"Eh?" Pelayan itu tampak mengernyit kebingungan. "Jadi, spaghetti carbonara-nya dua gitu ya, Kak? Ice americano-nya juga dua?"

Haga tersenyum dan mengangguk, "Dua spaghetti carbonara, dua ice americano, satu onion ring."

Alih-alih segera mencatat, pelayan itu malah terlihat membeku di tempat. Kedua matanya mengerjap heran ke arah pasangan di hadapannya. Sampai-sampai, membuat Hanna menaikkan kedua alisnya seraya bertanya, "Kenapa, Mba? Ada masalah? Atau item-nya ada yang kosong?"

"Ah, enggak-enggak. Umm ... saya ulang pesanannya ya. Dua spaghetti carbonara, dua ice americano, dan satu onion ring. Ada lagi?"

"Itu aja," sahut Hanna.

"Baik, ditunggu ya, Kak!" tutup pelayan itu dengan senyum ramah kepada pelanggannya.

Namun, tanpa Hanna dan Haga sadari, pelayan itu membicarakan mereka saat berbalik badan dan meninggalkan meja.

"Kalau pesanannya itu, kenapa enggak bilang couple set aja coba? Padahal menunya sama. Aneh."

.

.

Sambil menikmati makan siang, Haga menanti-nanti apa yang akan Hanna bicarakan. Namun, sampai setengah piring makanan itu masuk ke perut, Hanna masih tak buka suara. Gadis itu hanya fokus pada makanannya saja. Tanpa sedikit pun berbincang dengan Haga.

Ah, mungkin ia masih belum ingin membicarakannya.

Namun, Haga ingin bicara. Ia tak suka berdiam seperti ini tanpa sepatah kata. Karena hanya membuatnya semakin gelisah saja.

"Umm ... Hanna."

Ia pun memulai pembicaraan.

"Ya?" sahut Hanna. Ia kemudian mengangkat wajahnya dari piring spaghetti carbonara-nya.

Sekarang, Haga bingung mau berkata apa.

"Kenapa, Kak Haga?" Tampaknya ia terlalu lama melamun, sampai membuat Hanna kembali bertanya.

Secepat kilat, Haga mencari topik pembicaraan. Ia perlu basa basi sebelum ke inti. Namun sepertinya, Hanna cepat menangkap gelagat Haga yang gelisah di hadapannya.

Lantas, gadis itu yang akhirnya membuka topik obrolan.

"Emm ... by the way, hari ini gue ambil sampel darah."

"Oh ya?" Haga cukup terkejut saat mendengarnya. Karena sebelum itu, ia pikir Hanna pergi ke Panasea untuk urusan Hazel. Sejak tadi, sebenarnya, ia ingin bertanya, tapi ia segan. Baguslah Hanna memulainya.

"Sampel untuk apa?" tanya Haga. Ia antusias mendengarkan cerita Hanna. Apa pun topiknya, ia akan pasang telinga.

"HIV."

Haga seketika berhenti bergerak. Jemarinya tak lagi berusaha menggulung spaghetti dengan garpu perak di tangannya. Pun nyaris jantungnya berhenti berdetak, tapi untung saja tidak. Sebaik mungkin, ia masih berusaha untuk mengendalikan diri. Meski kini rasanya ia tertekan setengah mati.

"O-oh? Sampelnya untuk tes HIV?"

"Iya."

Perlahan, Haga melepas garpunya di tangan. Ia beralih meraih segelas ice americano untuk menetralkan pikiran. Ia tak tahu, bahwa akan seperti ini topik pembicaraan mereka. Sedikit membuat Haga mempersiapkan mental untuk mendengar kelanjutannya.

"Ekhm," Haga memulai kembali ketika ia siap, "jadi ... gimana hasilnya, Han?"

Sungguh kalau Hanna sampai kenapa-kenapa dan itu disebabkan karena ia yang lalai, Haga tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Lantaran ia tahu, ia salah, bahwa ia sudah bermain-main sebelum benar-benar mengetahui keadaan dirinya sendiri.

Maka sudah seharusnya, ia mempersiapkan diri untuk segala macam konsekuensi.

"Hanna?"

"Hm?"

"Hasilnya, gimana?"

"Negatif."

"Negatif?"

"Negatif, Kak Haga. Sebenarnya, ini juga salah satu hal yang mau gue bicarain sama lo. Tapi gue pikir, gue enggak enak ngomongnya. Dan juga ... kita lagi makan siang."

"Mau selesain makan siang kita dulu, baru ngobrolin ini, Han?"

"Boleh."

"Oke. Setelah ini kita obrolin semuanya, ya?"

Hanna tersenyum, "Iya, Kak Haga."

Haga lantas membalas senyuman Hanna. Meski sebenarnya, ia pun tak siap untuk membicarakan ini semua. Topik yang sensitif, tapi mereka harus membahasnya. Mereka harus saling terbuka, kalau memang keduanya ingin menjalin hubungan bersama.

Kalau.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top