𝟒. 𝐇𝐞 𝐊𝐧𝐨𝐰𝐬

Joe Danniel, kekasih Hanna selama 2 tahun lamanya di Atlas University. Seorang anak tunggal kaya raya, dan memiliki circle pertemanan dengan orang-orang yang sama dengannya-pewaris tahta.

Joe bukanlah seorang social butterfly seperti kekasihnya, juga bukan seorang pemain wanita seperti Haga. Ia adalah tipikal seorang penyendiri yang kini sedang menempuh pendidikan pada program studi psikologi, dan sebentar lagi akan segera lulus, karena ia sedang dalam masa penggarapan skripsi.

Sebagai seseorang yang akan melanjutkan bisnis sang ayah, ia dituntut untuk tidak terlambat lulus. Apalagi menjadi mahasiswa abadi.

Kesehariannya selama berada di Jakarta hanya mengikuti kelas, berpacaran dengan Hanna, dan bersenang-senang dengan kedua teman baiknya, Kevin dan Steven.

Seperti yang sedang ia lakukan sekarang, menghabiskan malam minggunya dengan bersantai di apartemen Kevin. Markas mereka bertiga, tempat favorit untuk bersantai bersama teman.

Alasan mereka jarang berkumpul di rumah Steven adalah karena gitaris itu masih tinggal bersama orang tuanya. Sementara itu, Joe tidak begitu suka jika apartemennya kedatangan tamu. Baginya, apartemen miliknya adalah sebuah rumah yang hakikatnya untuk menjadi tempat beristirahat, dan yang Joe butuhkan di rumahnya adalah ketenangan. Bukan kericuhan seperti yang mereka sebabkan di apartemen Kevin.

Lihatlah, semuanya berantakan. Steven sibuk dengan gitarnya sambil mengunyah snack yang ia bawa sendiri, dan sampahnya berada di sekitar dirinya. Lalu, Joe sedang berselonjor santai di depan TV yang digunakannya untuk bermain PS5 milik Kevin.

"Gue kayaknya bakal telat lulus deh," ujar Kevin yang sedang memasak mie instan dengan tiba-tiba.

Di apartemen tipe 1BR ini, tentu Joe dan Steven dapat mendengar ocehan random-nya dengan jelas.

Tapi, baik Joe ataupun Steven tidak menanggapi sama sekali.

"WOI!" Kevin mencari atensi dari keduanya.

"Astaga, untung temen. Kalau bukan, udah gue jual lo berdua di Shopee. Gratis ongkir. Pada gak ada guna juga lo berdua di sini."

Kevin berdecak kesal. Padahal ini apartemennya, tapi kedua temannya yang justru terlihat seperti pemilik unit ini. Sedangkan dirinya, nampak seperti ART yang sedang menyiapkan makanan untuk kedua tuannya.

Iya, Kevin memasak tiga mie instan. Untuk Joe yang datang setelah makan taichan bersama Hanna, untuk Steven yang baru pulang dari gigs, dan untuknya yang tidak memiliki kesibukan apa-apa selain menyusun skripsi.

Karena bosan menunggu sampai mie itu matang, Kevin iseng membuka instagram dan tanpa sengaja melihat instastory sepupunya-Janson.

Dahinya mengerenyit kala melihat sebuah foto dengan dua sosok yang ia kenal, Janson dan Hanna-kekasih teman baiknya.

Kevin tak mungkin salah lihat. Pasalnya, Janson pun menandai akun Hanna di sana, jelas sekali.

Kevin yang tak memiliki kemampuan untuk menutup mulutnya, buru-buru menghampiri Joe dan menunjukkan apa yang ia temukan di Instagram.

"Jo! Jo! Jo! Look at this!"

Joe hanya berdehem, tak menanggapi serius seruan Kevin, dan tetap berfokus pada permainannya.

"Jo! Liat dulu, sih!!"

Merasa kasihan dengan Kevin, Steven pun memberinya atensi, "Kenapa sih, Vin?!"

Mungkin, sebenarnya bukan karena kasihan. Lebih tepatnya, Kevin berisik dan mengganggu pendengarannya yang sedang fokus dengan melodi-melodi yang sedang ia ciptakan dari gitarnya.

"Sebenarnya gak ada urusan sama lo sih, Ven. Ini lho, Hanna ada di Nyx, sama sepupu gue."

Sontak, ibu jari Joe bergeming di atas controller PS yang sedari tadi berada dalam genggamannya. Ia langsung menoleh ke arah Kevin yang berada di sebelahnya, "Maksud lo?" tanya Joe.

"Ini." Kevin menyerahkan gawainya dan membiarkan Joe melihatnya sendiri.

Dari jarak sedekat ini, Kevin bisa melihat rahang Joe yang mengeras. Marah? Sudah jelas.

"Vin, ngapain ngurusin orang sih? Itu mie lo nanti kematengan!" ujar Steven yang disambut "Oh, iya!" dari Kevin.

Kevin kembali ke mie instannya, membiarkan Joe memegang gawainya sebentar. Lalu, begitu Kevin sudah selesai dengan urusannya dan membawa tiga mangkuk mie instan, ia melihat keheningan di antara kedua temannya.

Steven berhenti bermain gitar, mengerti bahwa Joe sedang tidak ingin mendengar kebisingan. Ia memberikan waktu dan tempat untuk Joe yang sedang berusaha menghubungi kekasihnya, yang entah kini berada di mana. Karena rupanya, instastory itu sudah dibuat sejak dua jam yang lalu.

"Nelfon siapa?" tanya Kevin kepada Steven, tanpa bersuara.

"Hanna," jawab Steven yang juga hanya berbisik pelan.

"Nih, mienya," bisik Kevin lagi.

"Iya, makasih," Steven juga membalasnya dengan berbisik.

Steven dan Kevin pun menyantap mie mereka lebih dulu. Membiarkan Joe yang masih berkutik dengan gawainya sendiri. Steven duga, kini temannya itu sedang mengirimkan spam chat kepada kekasihnya.

Sllluuurrrrpp!

"Vin!" Steven menegur Kevin yang dengan polosnya membuat bising di tengah keheningan.

Berkat suara Kevin yang menyeruput kuah mie instan itu, mereka berdua mendapatkan tatapan kematian dari Joe.

"E-eh, sorry Jo."

Berhubung pecah sudah hening di antara mereka, Steven pun mulai membuka suara.

"Hanna belum bales chat lo?" tanya Steven.

Joe menggeleng.

"Makan dulu, Jo. Mie lo melar nih!"

⚪🟤⚪🟤⚪

Dentuman musik yang keras, ditambah minuman-minuman beralkohol yang semakin malam semakin bertambah banyak botolnya di meja, membuat Hanna melupakan dunianya untuk sementara. Joe.

Gawai yang sejak tadi berdering, tak dihiraukan oleh Hanna.

Kerinduan Heira akan bersenang-senang dengan Hanna, membuatnya menyita gawai Hanna untuk sementara. Selama mereka bersama, tak ada yang boleh asik sendiri. Semua gawai kini berada di dalam tas Heira yang cukup besar untuk menampung semuanya.

Milik Heira, Hanna, Haga, dan juga Jimmy. Sementara Janson, Heira tak begitu dekat dengannya sehingga ia tak berani untuk menyita gawainya. Ia hanya sebatas mengetahui bahwa Janson adalah teman kakaknya saja. Ia tidak dekat sama sekali dengan Janson.

Kala mereka berlima sedang asik-asiknya sing along di Nyx Bar yang menyediakan live music, Janson meraba saku celananya karena ia merasakan sesuatu bergetar di dalam sana.

Oh, sebuah panggilan masuk dari sepupunya-Kevin Sergio.

"Eh, bentar ya! Gue ada telepon!" ujar Janson.

"Oke!"

Janson pun menjauh sebentar, ia beralih ke toilet agar dapat mendengar suara sepupunya dengan jelas dan tenang, tidak ramai seperti di table tadi.

"Halo? Kenapa Vin?"

"Lo di mana sekarang?"

"Nyx. Lo mau nyusul?"

"Pala lo nyusul. Lo sama Hanna kan? Hanna masih di sana?"

"Masih, kenapa? Eh bentar, kok lo tau?"

"Instastory lo lah. Gue liat."

"Oh, terus?"

"Suruh si Hanna balik, buruan! Joe nyusulin dia! Dia gak angkat-angkat telepon soalnya."

"Joe sia-"

"Pacarnya Hanna, Janson! Temen gue itu, lho! Buruan, suruh Hanna balik dari pada lo ribut di bar! Percaya sama gue, gue kenal Joe, Son."

"What the-"

"BURUAN ANAK ONTAAAA!!!!"

"BENTAR DULU KUNYUK! Dia kok tau Hanna di sini? Gue gak follow-follow-an sama dia perasaan. Kenal aja enggak."

"......."

"Dari gue, hehe. Dia liat di IG gue."

"SI CEPUUUUU ANJ-"

"GAK SENGAJA, ONTA! UDAH BURUAN ITU NANTI LO MALAH JADI RIBUT KALO MASIH DI SANA SAMA HANNA!"

"OH, IYA OKE!"

"Cepet! Nanti telfon gue lagi, kabarin kondisi di sana."

Janson pun buru-buru keluar dari toilet setelah mendapatkan informasi yang begitu penting dari sepupunya. Ia kembali ke table seperti habis melihat hantu di toilet. Wajahnya panik, dan langsung memanggil Hanna.

"HANNA HANNA HANNA!!" teriakannya pun langsung mencuri atensi Haga, Heira, dan Jimmy.

"Apaaa Kak Janssssooon?"

"Lo ke sini gak izin cowo lo?!"

Hanna mengerenyit, "Izin, kok."

"Dia nelfonin lo dari tadi, lo gak jawab. Ini dia otw ke sini sekarang, nyusulin lo. Mendingan lo cabut buruan dari pada ribut di bar, Han. Sorry banget, bukannya gue ngusir lo."

Tak hanya Hanna, Heira dan Jimmy pun mengerenyit bingung, "Lo tau dari mana?" tanya Jimmy.

"Kevin. Sepupu gue, temennya Joe."

Semuanya terkejut, kecuali satu orang yang santai saja dengan botol Bintangnya, Haga. Seolah ia tak peduli dengan apa yang terjadi. Tak juga peduli jika mungkin akan terjadi keributan di sini.

"Ra, handphone gue!" ujar Hanna dengan segala kepanikannya.

Buru-buru, Heira pun mengeluarkan gawai Hanna dari tasnya. Ia pun ikut panik, melihat Hanna yang mulai gelisah dan kakinya terus bergetar.

Hanna mengecek gawainya begitu Heira memberikanya. Oh tidak, Hanna yakin hidupnya akan segera berakhir. Atau minimal, kekacauan akan terjadi.

"Gimana, Han?" tanya Heira, mengkhawatirkan temannya yang sedang menggigit jari.

"Joe nyusul ke sini, Ra."

Heira terkesiap.

"Kak, tolong anter Hanna dulu gih! Gawat kalau Joe ke sini dan dia malah bikin ribut!" ujar Heira kepada kakaknya secara tiba-tiba.

Lantas, Haga yang tidak ikut serta dalam kepanikan mereka pun langsung berusaha menolaknya.

"Kok gue?!"

Bukannya tidak memahami kegentingan, tapi Haga tau betul bagaimana reputasinya di kampus. Buruk? Jelas. Mahasiswa yang katanya selalu berganti pasangan setiap bulan, sudah seperti mengisi ulang kuota bulanan. Masih bagus Janson, yang berganti di tiap semester. Setidaknya, agak lebih lama.

Tapi, mahasiswi-mahasiswi yang haus akan nikmat dunia, tak akan segan mendatangi Haga. Ini fakta.

Masalah kedua adalah, Hanna ini milik seseorang. Haga tak mau mengambil resiko dengan memperburuk citranya di muka umum.

Setengah dari pengunjung Nyx Bar adalah mahasiswa Atlas. Kebanyakan dari mereka juga berasal dari jurusan yang sama dengan Haga, Hanna, Heira, Jimmy, dan Janson, karena bar ini milik alumni dari jurusan yang sama dengan mereka. Tak mungkin jika tak ada yang mengenal Haga di sana.

Bagi Haga, julukan Bapak FWB Seantero MB sudah cukup untuknya. Ia tak ingin menambah titel sebagai perebut pacar orang.

"Ya masa Jimmy?! Nanti gue sama siapa?!"

"Ya kan ada Janson! Jangan gue, lah!"

"Enggak! Justru Joe tau Hanna di sini karena liat instastory gue, Ga! Nanti gue malah makin disangka yang enggak-enggak kalau gue yang anter Hanna!"

"Astaga Tuhan ...."

"UDAH! STOP! Gue balik sendiri, naik taxi. Ra, thanks ya udah ajak gue ke sini."

"Han ... sorry ...."

"It's not your fault, babe. Gue seneng kok! Tapi, karena keadaan yang kayak gini, gue minta maaf banget ya gue pulang duluan."

Heira menghela napasnya, jujur saja ia sedikit merasa bersalah. Demi memenuhi rasa rindunya kepada Hanna yang sudah jarang nongkrong bersama, Hanna jadi kena imbasnya.

"Text me when you're home ya, Han."

Hanna tersenyum dan mengangguk mengiyakan permintaan Heira. Setelahnya, ia langsung berpamitan dengan Haga, Heira, Jimmy, dan Janson.

Namun, sesuatu terjadi kala Hanna bangkit dan berjalan untuk keluar dari Nyx bar dengan tergesa-gesa. Heira dapat melihat beberapa orang di meja yang berbeda-beda itu menatap Hanna seraya saling berbisik dan tertawa dengan teman mereka masing-masing.

Heira membatin, ada apa?

Menurutnya, Hanna tidak memakai pakaian yang aneh. Cara jalannya yang tergesa-gesa itu juga wajar saja. Ia juga tidak mabuk, tidak oleng sama sekali ketika melangkahkan kaki. Lalu, mengapa hampir semua orang melirik ke arahnya dan seperti membicarakannya?

"Kok pada ngeliatin Hanna, ya?" gumam Janson yang rupanya juga memperhatikan sekitar.

"Kak Janson! Kirain cuma gue yang ngerasa gitu."

"Enggak, Ra. Itu jelas banget. Kenapa, sih?"

Di table mereka, tak ada satupun yang tahu apa penyebabnya. Hingga, sekelompok wanita yang sedang berjalan menuju ke toilet dan melewati meja mereka terdengar sedang bergunjing tentang Hanna.

"Itu tadi Hanna, kan? User akun alter hazelnutties gak sih? Yang suka post NSFW pict di Twitter."

Empat orang, dan semuanya kompak tertawa bersama setelah salah satu dari mereka mengucapkan kalimat yang membuat Haga, Heira, Jimmy, dan Janson terdiam sejenak.

"Apaan, sih? NSFW NSFW, mana mungkin Hanna begitu. Pacarnya aja strict banget. Heran, gibahan Atlas makin ke sini makin non-sense aja, random banget," gumam Heira yang merasa tak terima temannya dijadikan bahan gunjingan.

Namun, berbeda dengan Janson yang merasakan ada sebuah benang merah.

Buru-buru Janson mengeluarkan gawainya dan membuka Twitter . Ibu jarinya menggulirkan timeline akun base Atlas dengan cepat, untuk melihat kembali unggahan yang sempat ia screenshot dan ia kirimkan ke grup Mahasiswa Abadi.

"HAH!"

"HEH! KENAPA SIH?! NGAGETIN ANJ-"

"What the f*ck! Menfess yang gue kirim di grup itu bukan ngomongin Haga, anjir!"

Jimmy mengerenyitkan dahi, dan Haga berusaha mengingat-ingat menfess apa yang Janson kirimkan ke grup.

"Oh, yang tentang anak Atlas muncul di base alter itu?" tanya Haga begitu ia mengingatnya.

Janson mengangguk mantap. Setelahnya, ia langsung menunjukkan tweet beserta semua balasannya kepada tiga orang yang duduk melingkar di meja.

"Sial, gue gak nge-scroll sampe bawah. Ternyata, mereka ngomongin hazelnutties yang mereka asumsikan itu Hanna!"

Setelah Janson mengatakannya, empat wanita yang tadi bergunjing soal Hanna keluar dari toilet dan kembali berjalan melewati mereka. Kau tahu? Mulut mereka sepertinya diciptakan hanya untuk bergunjing saja.

"Eh ternyata, cantik juga ya orangnya. Tadinya, gue gak percaya pas orang-orang ngomongin hazelnutties itu dia. Tapi, setelah lihat orangnya langsung ... eh iya! Mirip banget, hahahaha. Fix Hanna sih itu."

Hati Heira yang panas mendengarnya, membuat Heira tanpa ragu meraih bir dingin yang tersisa di gelas dan menyiram tepat ke dada seorang gadis yang membicarakan Hanna.

Muak sekali Heira dengannya.

"AH!!"

"APAAN SIH?!!" Gadis itu sontak berteriak kepada Heira.

"LO YANG APA-APAAN! PUNYA MULUT KOK DIPAKE BUAT GIBAH DOANG!"

Oh, jangan main-main dengan Heira. Jika kau membuatnya kesal barang sekali saja, gadis itu bisa menindasmu tanpa rencana.

"EH, SIAPA LO?! MULUT-MULUT GUE YA TERSERAH GUE! LAGIAN KAYAK KENAL GUE AJA! LO ANAK ATLAS? IYA?"

Lalu, gadis itu memandang Heira dari atas sampai bawah. "MABA KOK BELAGU!"

Hah?

Heira berdecih dan tertawa meremehkan. Tak heran, pasti karena surainya yang berponi itu membuatnya terlihat muda. Padahal, jelas-jelas pasti gadis itu yang merupakan mahasiswa baru. Karena, Heira yang sudah menginjak semester enam, dan hampir setiap hari pergi ke Nyx, baru kali ini melihat gadis yang berdiri di hadapannya.

Tak hanya Heira, sang kakak pun sama. Haga berdecih, dan mendukung Heira untuk menciutkan nyali gadis yang basah itu secara verbal.

"Cih, maba sekarang ternyata berani juga sama anak semester tua, ya."

Gadis itu mendadak terlihat gugup. Tiga temannya yang semula berdiri di sampingnya pun perlahan mundur, karena melihat Haga yang melontarkan tatapan tajam ke arah mereka.

"E-emangnya lo semester berapa?"

"Aduh, dia gak kenal Haga rupanya. Fix, maba nih anak," sambung Jimmy.

Haga berdiri, melepas jaket jeans yang dikenakannya, dan hanya menyisakan kaos hitam polos yang ia kenakan. Lalu, ia memberikan jaketnya kepada gadis itu tanpa keraguan.

"Gue semester sebelas. Lain kali, yang sopan ya."

Lantas, beberapa pasang mata yang tertuju ke arah meja Haga menahan tawa mereka. Bahkan, ada yang tak segan mengeluarkan tawa karena melihat seorang mahasiswa baru yang dengan beraninya berteriak kepada mahasiswa semester tua.

"I-iya, Kak. M-maaf. Janji, enggak gibahin Kak Hanna lagi," ucap gadis itu yang tahu betul apa kesalahannya hingga disiram Heira.

"Makasih juga ya, Kak. Buat jaketnya," lanjutnya seraya tersenyum kepada Haga. Tingkat kepercayaan diri gadis ini melebihi rata-rata rupanya. Ia kira dirinya dimaafkan karena memiliki tubuh yang indah, dan diberikan secuil perhatian oleh Haga dengan jaketnya.

"Cih, gak usah kepedean. I just give my sister's dog a jacket so she wouldn't get cold."

"Gimana rasanya, dimandiin sama adik gue? Sorry, gue nanya, soalnya ini pertama kalinya adik gue mandiin anjing sendiri. Biasanya dibawa ke petshop, sih."

Heira pun tersenyum penuh kemenangan. Beruntungnya ia memiliki kakak yang sama pedasnya seperti dirinya. Jimmy yang menyaksikan pun hanya bertepuk tangan bangga kepada teman sekaligus calon kakak ipar.

Setelah menyeringai kepada gadis yang senyumnya luntur secara perlahan, Haga menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Meneguk bir terakhirnya, kemudian hendak berlalu dari kawanannya.

"Eh, mau kemana lo?"

"Balik. Gue duluan. Jim, jangan telat anter Heira pulang. Awas aja jam dua belas adik gue belom di rumah."

"Siap, bos! Hati-hati lo di jalan."

"Ya."

Haga pun pergi meninggalkan Nyx Bar. Sebelumnya, ia melirik ke arah gadis yang ia berikan jaketnya, dan berbisik, "Jangan lupa cuci. Balikin. Lusa harus udah kering, kasih ke gue di Noname. Paham?"

🟤⚪🟤⚪🟤

Hanna sangat gelisah. Dadanya berdegup begitu kencang, takut jika Joe melajukan motornya dengan kecepatan tinggi dan menemuinya di sini. Hanna tak pernah tahu kapan Joe akan sampai.

Gadis bersurai hitam panjang itu berdiri di depan Nyx Bar, sambil melongok ke arah jalanan, dengan niat untuk memberhentikan taxi jika ada yang lewat. Karena, sejak tadi ia sudah berusaha memesan lewat aplikasi, namun tak ada driver yang menerima sama sekali.

Hanna semakin gelisah saja.

Hingga tiba-tiba ia terkejut kala seseorang menekan klakson mobilnya tepat di belakang Hanna.

Hanna menoleh dan langsung menepikan diri, agar mobil putih itu bisa lewat. Namun, rupanya pengendara Civic itu tiba-tiba membuka pintu dari dalam. Seolah memberikannya akses untuk masuk dengan suka rela.

Hanna sedikit merendahkan tubuhnya untuk menengok ke dalam mobil. Oh, ternyata Haga yang mengejutkannya dengan klakson.

"Gak mau masuk?" tanya Haga kala Hanna hanya diam, padahal pintu mobilnya sudah terbuka sempurna.

"Gak usah, Kak. Gue balik naik taxi aja."

"Gak dapet kan?"

"Kok lo tau?"

"Ya kalo dapet lo gak mungkin masih berdiri di sini, sih. Udah, buruan masuk."

"Serius gapapa?"

Haga menghela napas, "Hanna...."

"Oke, iya. Gue masuk."

Hanna tahu, Haga bukanlah orang yang akan memberikan kesempatan kedua. Sehingga, dengan cepat ia masuk ke dalam mobil seniornya. Menutup pintu rapat-rapat, lalu pergi bersama meninggalkan Nyx Bar.

Tanpa mereka sadari, ada flash yang menyala ke arah mereka dari gawai salah seorang pengunjung Nyx Bar.

Entah apa yang akan ia lakukan dengan foto Hanna ketika masuk ke mobil Haga.

Oh, mungkin ia akan menuangkan teh kepada para tamunya di base twitter Atlas University.

.

.

.

TO BE CONTINUE


𝐗𝐚𝐝𝐚𝐫𝐚 𝐆𝐨𝐞, 𝟐𝟎𝟐𝟐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top