𝟒𝟔. 𝐁𝐞𝐚𝐮𝐭𝐢𝐟𝐮𝐥 𝐒𝐮𝐧𝐬𝐞𝐭
"Sunset-nya cantik."
Barusan, Hanna yang mengatakannya. Selepas makan siang bersama Haga yang dipenuhi kecemasan akan hal-hal yang ingin dibicarakan, mereka memutuskan untuk mencari destinasi lain yang sekiranya lebih membawa aura ketenangan.
Pantai.
Dengan kaki telanjang yang menginjak hangatnya pasir di pesisir, keduanya berjalan santai sembari menenteng sepatu di tangan. Tak buruk juga, menikmati sore dengan hangatnya mentari di pantai kota Jakarta. Ketenangan yang diharapkan pun sesuai, lantaran hari ini pantai sama sekali tak ramai.
"Iya, cantik. Langitnya juga. Lihat deh, warnanya jingga. Indah ya, Han?"
Hanna mengangguk setuju dengan ucapan Haga. "Iya, Kak. Indah."
Haga hanya tersenyum mendengarnya, dan meninggalkan keheningan sejenak di antara mereka. Keduanya masih sama-sama mencari celah, menunggu waktu, untuk membicarakan hal yang sempat disinggung beberapa jam lalu.
Hingga tiba saatnya, Hanna tiba-tiba mengoyak keheningan di antara mereka dengan membuka kenangan silam.
"Kayak malam itu juga ... indah," ucap Hanna.
Sontak, Haga menoleh. Kedua kakinya pun mendadak berhenti melangkah, membuat Hanna yang berjalan di sampingnya juga ikut berhenti di tempat.
"I love you," ucap Hanna lagi, yang kembali membuat Haga tertegun bukan main.
"H-Han ...."
"Gue juga masih ingat kalimat itu, Kak. I love you. Lo sempat confess di tengah-tengah malam itu, 'kan?"
"A-ah itu ... iya, hehe."
Nyaris saja Haga berpikir bahwa Hanna sedang mengungkapkan cinta padanya. Padahal, gadis itu hanya sedang mengutip kata-katanya saja. Tak lebih dari itu.
"Kak."
"Hm?"
"Hari ini, gue ambil sampel darah buat tes HIV dan hasilnya negatif. Lo ... senang?"
Haga lantas menelan saliva. Entah kenapa, Hanna tiba-tiba menanyakan itu padanya, dan membuat ia mendadak kembali canggung. Haga takut salah bicara.
"Umm ... probably yes?"
"Probably?"
"Probably."
"Kenapa gitu?" tanya Hanna yang dibingungkan oleh jawaban Haga.
"Gue senang kalau emang lo negatif, Hanna. Tapi, bukannya negatif belum tentu berarti negatif? Biasanya, dokter bakal nganjurin untuk tes—"
"Benar," Hanna memotongnya. "Tiga bulan ke depan, gue tes lagi. Karena mungkin, gue masih dalam masa inkubasi virusnya—kalau emang gue kena, Kak."
"That's what I mean."
"That's what I wanna talk to you."
"Hm?" Haga sedikit bingung dengan sahutan Hanna. "Jadi ... yang mau diobrolin tentang hasil tes ini?"
"Yup. Dan hubungan kita setelah ini."
Haga lantas menghela napas panjang, siap tak siap ia harus mendengarkan segala hal yang ingin Hanna perbincangkan. "Mau sambil duduk, Han? Enggak pegal berdiri terus?" tanya Haga, berusaha mencari posisi nyaman untuk berbincang panjang lebar.
"Di sini?" tanya Hanna, merujuk pada pasir di pesisir yang ia injak dengan kakinya. "Basah dan nanti celananya kotor, Kak. Mobil lo juga kotor nantinya."
"Umm," Haga berpikir cepat untuk solusi dari masalah kecilnya saat ini. "Tunggu sebentar, ya! Enggak bakal lama, gue balik lagi!"
"Eh?"
Hanna mengernyit bingung, sementara Haga meninggalkannya sendiri di tengah senja. Pria itu berlari secepat yang ia bisa, entah ke mana perginya. Dan yang Hanna lakukan hanyalah menunggu. Menunggu sang pria kembali seperti janjinya sendiri.
Ia pun berdiri menghadap pantai, melihat matahari yang tampaknya sudah bersiap untuk tenggelam.
Tak lebih dari sepuluh menit ia menunggu, Haga sudah kembali.
"Hei! Sorry, lama ya?"
Sungguh Hanna tak masalah jika harus menunggu, tapi tampaknya Haga benar-benar berlari hingga sekarang napasnya tersengal—demi tak membuat gadisnya menunggu lebih lama lagi. Dia pun datang dengan membawa segulung tikar dalam dekapan.
"Engga apa-apa, Kak. Ini apa?"
"Ini? Oh ya! Buat kita duduk, biar celana lo enggak kotor dan basah."
"Eh?" Hanna pun mengerjap. Padahal, tak usah sebegininya pun tak apa. Hanna bisa bicara sambil berdiri bersama Haga. "Ini tikar dari mana?"
"Ada yang sewain di sana," ucap Haga yang kemudian menggelar tikarnya di atas pasir pantai. "Sini, duduk."
"Eh, iya Kak."
Haga pun tersenyum, dan membiarkan Hanna mendudukkan dirinya lebih dulu di atas tikar, baru setelahnya ia duduk di sebelah Hanna.
Keduanya menghadap ke arah pantai, dan masih ditemani dengan matahari di sore hari yang perlahan siap untuk menenggelamkan diri.
"Jadi ... gimana tadi?" tanya Haga, ia sudah siap dengan segala kemungkinan terburuknya.
"Oh ya, hubungan kita."
"Iya, hubungan kita."
"Kayaknya, kita harus berhenti sampai di sini, Kak."
Ini dia kemungkinan terburuknya.
Haga pikir dirinya sudah siap. Namun, hatinya terlalu sakit ketika mendengar kemungkinan terburuk di kepalanya, terlontar dengan mudahnya dari belah bibir Hanna.
Haga diam, tak bisa berkata apa-apa.
"Memang kita enggak punya hubungan lebih dari ONS di malam itu. Tapi, setelah semuanya terjadi, to be honest, gue selalu kepikiran tentang lo, Kak.
Semua ini terlalu mengganggu. Gue bahkan benar-benar berpikir kalau lo sayang sama gue, kayak apa yang lo bilang malam itu. I love you.
Tapi nyatanya, kata-kata itu enggak terlalu berarti, ya? Bahkan mungkin, lo memang mudah buat bilang itu ke semua cewek yang jadi partner lo."
Hanna tersenyum tipis, bicara sambil menatap lurus ke arah matahari yang mulai menenggelamkan diri. Sementara Haga hanya bisa diam, membeku memandangi gadisnya dari sisi samping. Lidahnya pun terlalu kelu untuk menjawab semua pernyataan gadis itu.
"Tapi ... makasih ya, Kak. Udah sempat protect gue dari Joe. Gue benar-benar makasih untuk itu.
Makasih juga, sempat nolong Hazel waktu dia mabuk. Kalau dipikir-pikir, baru setelah itu, ya? Kita jadi agak dekat satu sama lain. Walaupun gue bodoh banget, enggak kepikiran kalau ternyata lo pun punya hubungan sama Hazel."
"Hanna ...."
"Dan sekarang, Hazel masih tinggal di apartemen lo, ya? Maaf, Kak, anak itu agak ngerepotin. Tapi tenang aja, gue udah bilangin dia untuk pertimbangin pergi dari apartemen lo. Meski kayaknya gue enggak berhak buat ngomong kayak gitu, tapi gue merasa enggak enak. Secara gue kenal sama lo juga. Gue malu kalau Hazel terkesan 'numpang' sama lo, Kak.
Gue malu sama lo ... sama Heira juga. Dan Keenan juga, dia tau masalah ini. Mengingat Keenan yang tau hampir semuanya, mustahil teman-teman lo enggak tau. Pasti Keenan ada cerita ke Kak Janson, dan Kak Janson ...."
"Hanna, dengar gue."
"Dan Kak Janson pun mungkin nerusin cerita Keenan ke Kak Nial dan Kak Jimmy. Hal ini bikin gue ...."
"Hanna, stop."
Hanna seketika berhenti. Haga menggenggam pergelangan tangannya secara tiba-tiba, demi membuat ia berhenti bicara. Pria itu tampak tak ingin mendengar lagi kelanjutannya.
"Maaf, jangan dilanjutin, Hanna."
"Kenapa, Kak?"
Haga tiba-tiba saja memaksakan dirinya untuk tersenyum, "I don't know, but ... sakit rasanya dengar semua itu."
"Kak Haga ...."
"Hanna, maaf kalau ucapan Hazel kemarin bikin lo kecewa dan khawatir. Apa karena ini juga lo ambil tes HIV? Karena Hazel positif dan dia bilang dia adalah partner FWB gue?"
Hanna diam, ia tak berani menjawab walau dugaan Haga sepenuhnya benar. Hanna mengambil tes HIV karena Hazel yang katanya pernah menjadi partner FWB Haga. Ditambah, mengingat reputasi Haga di kampus mereka, membuat Hanna semakin sadar bahwa sudah semestinya ia melakukan pemeriksaan.
"Apa pun alasan lo, gue senang lo sadar akan kesehatan lo, Han. Tapi, satu yang perlu lo tau. Gue bukan partner Hazel, kita enggak pernah ada apa-apa. Sama sekali. Dan soal gimana dia bisa tinggal di apartemen gue, itu karena ...."
"Karena ...?"
Bayangin! Sesakit apa hati Hanna kalau dia tau gue main sama bokap lo!
Peduli setan apa yang terjadi di antara kalian, lo bukan laki-laki yang bisa dipercaya.
Salah kalau gue mau cegah adik gue berhubungan lebih jauh sama lo? Lo pikir, gue yang udah jadi kayak gini, mau kalau adik gue merasakan hal yang sama?
Tolong, jangan sentuh Hanna. Dia terlalu baik untuk laki-laki miskin komitmen dan kesetiaan kayak lo.
Semula, Haga ingin membela dirinya di hadapan Hanna. Ia ingin membebaskan diri dari segala tuduhan Hanna tentang hubungannya dengan Hazel. Namun, kala ia berhenti bicara untuk memikirkan dampaknya, ucapan Hazel kembali terngiang di kepala.
Pun membuat Haga seketika berpikir, pantas kah ia untuk membela diri?
Haga mulai meragukan hal itu. Maka, lantas ... haruskah ia melepas Hanna sesuai permintaannya? Berhenti sampai di sini. Begitu?
"Karena apa, Kak? Kok melamun?"
"Eh?" Haga pun tersadar, "enggak, Han. Lupain aja."
Mendengarnya, Hanna hanya tersenyum tipis. Pikirnya, keputusan ini sudah menjadi yang paling tepat untuk diambil. Dari respons Haga barusan, Hanna semakin yakin bahwa Haga dan Hazel memang memliki hubungan rahasia, yang tak banyak orang lain ketahui.
Bahkan Hanna tak bisa melihat Haga membela diri dari ucapan Hazel tentang hubungan mereka.
Keputusan Hanna sudah bulat dan tepat, bahwa ia tak boleh meneruskan segala urusan hati yang berkaitan dengan kakak tingkatnya ini.
Memang sudah semestinya, apa yang terjadi di malam itu biarkanlah tetap berada pada malam itu. Ia sendiri yang mengatakan untuk berpura-pura tak terjadi apa-apa setelahnya, tapi ia juga yang terjerat dalam sebuah rasa. Semuanya sempat menjadi rumit, hingga akhirnya ia memilih untuk berhenti. Hanna tak akan sanggup jika harus membiarkan perasaannya terus menjalar, dengan status sang pria yang pernah menjadi pasangan saudari kembarnya sendiri.
Lebih baik, selesai sampai di sini.
"Umm ... jadi, enggak apa-apa 'kan? Kalau kita enggak usah ada urusan lagi, Kak Haga?"
Saat itu, Haga tak bisa menjawab. Hatinya ingin berkata tidak, ia tidak mungkin baik-baik saja setelah melalui hari-hari yang panjang dengan Hanna. Haga ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan gadis di hadapannya ini. Namun, logikanya pun menolak mentah-mentah. Kenyataan yang dipaparkan Hazel tentang dirinya yang miskin komitmen, membuat Haga tak yakin bisa membahagiakan Hanna terlepas dari segala masa lalunya.
Belum lagi, ia tak tahu kondisi kesehatannya seperti apa. Lantaran, ia pernah menjadi dewa yang dipuja oleh banyak wanita, dalam alunan lenguh dan desah malam-malam indah.
"Lo yakin, Han?"
Hanna mengangguk, "Iya."
Lantas, tak ada yang bisa Haga lakukan. Ia tak ingin memaksakan. Lagipula, ia sadar dirinya pun terlalu bajingan untuk seorang Hanna yang baginya pantas dipuja melebihi Aphrodite dan Cleopatra. Hanna terlalu baik, terlalu cantik, dan sangat disayangkan jika harus berpasangan dengan pemburu perempuan seperti Haga. Meski sebenarnya, ada setitik angan untuk bisa saling berbagi cinta di hari ini, esok, lusa, dan seterusnya hingga habis usia.
Namun, kalau gadisnya hanya ingin semua itu hidup di dalam khayalan Haga semata, ia tak mau memaksakan apa-apa.
Prinsip Haga masih sama, consent is a must. Haga tak akan bertindak berlebihan, ia tak akan memaksakan, jika memang Hanna tak mau berjalan berdampingan.
"Well ... kalau memang itu yang lo mau, enggak apa-apa."
"You sure, Kak Haga?"
Dengan senyum yang sangat Haga usahakan untuk terukir di tengah hati yang teriris, Haga menganggukkan kepala.
"As long as you happy, Hanna. But ...."
"But ...?"
"But I just want you to know, when I said 'I love you', I really mean it."
Dan detik itu juga, di bawah jingganya langit dan matahari yang menyaksikan sebelum tenggelam ditelan lautan, Hanna dan Haga saling memandang untuk waktu yang lama. Detik demi detik mereka lalui tanpa sedikit pun terdistraksi, tenggelam dalam tulus dan hangatnya tatapan satu sama lain. Pun tak bisa dipungkiri, bahwa ada sepercik rasa di antara keduanya.
Rasa ingin memiliki, rasa ingin mengasihi, pula rasa ingin dicinta dan mencinta.
Sekuat-kuatnya mereka memegang prinsip untuk tak mengungkit segala hal yang terjadi hanya dalam satu malam, pada akhirnya akan jatuh juga. Dilemahkan oleh hati, jiwa, dan perasaan yang menuntut akan sebuah hak kepemilikan. Haga ingin memiliki Hanna, dan kalau boleh jujur ... begitupun sebaliknya. Hanna juga ingin memiliki Haga.
Namun, segala fakta yang terpampang nyata di depan mata, membuat keduanya mundur dan mengubur perasaan mereka dalam-dalam. Hanna tak mungkin bisa menjalani hubungan dengan Haga. Ia mengetahui dirinya sendiri dengan baik, ia tak mungkin akan kuat berdampingan dengan pria yang pernah bersama kakaknya. Sementara Haga, pria itu tak mungkin akan memaksakan kehendaknya. Ia tak ingin Hanna terbebani akan keinginan dan ambisinya sendiri.
Jika sudah begini, tak ada titik terang untuk keduanya. Atau mungkin, ini memanglah pilihan yang terbaik?
Haga tak tahu, pun Hanna tak mengerti. Sebenarnya apa yang mereka harapkan dari hubungan abu-abu ini.
"Tapi, seperti yang lo bilang tadi. The sunset is beautiful, isn't it?"
Hanna tersenyum, mendengar Haga mengucap sebuah pertanyaan retoris dengan penuh makna. Pertanyaan yang sebenarnya tak memerlukan jawaban, tapi Hanna memilih untuk menyahutinya sebagai penegasan.
"Yes, it is."
Dan setelahnya tak ada respons apa-apa dari Haga, selain sebuah senyum tipis yang terukir dikala hati teriris.
Hanna mengakhiri segalanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top