𝟐𝟒. 𝐆𝐨𝐥𝐟 𝐏𝐚𝐫𝐤𝐯𝐢𝐞𝐰?

Detik dan menit berlalu, keheningan menguar sepanjang lantunan lagu terdengar. Sejenak, Haga tersadar. Bahwa ini bukan ranahnya untuk bertanya—tentang apa yang kakak dari gadis yang ia damba itu bertamu malam-malam di rumahnya—, terlebih kepada Hazel. Seharusnya, sosok yang ia cecar sekarang adalah pria tua yang sedang mabuk di rumah. Bukan gadis muda dengan paras yang identik dengan Hanna, yang sedang duduk di kursi penumpang mobilnya.

Malam itu, Haga memutuskan untuk mengantar Hazel pulang. 

Rasanya aneh. Baru beberapa jam lalu ia berbagi cinta dan kehangatan dengan gadis yang ia puja, kini sosok yang memiliki rupa seiras berada di sebelahnya. Setelah ia temukan sedang berduaan di rumah bersama sang ayah.  

Haga hanya diam sepanjang mobilnya mengarungi selatan Jakarta hingga jam digital di mobilnya menunjukkan pukul setengah dua. Batinnya masih tak terima, sekilas ia seperti melihat Hanna yang menjalin hubungan dengan sang ayah. Bukan Hazel. Lantas, terbesit rasa sakit yang masih abu-abu, buram, dan tidak jelas. Haga tak tahu harus marah kepada siapa. 

"Haga." Hazel memanggilnya. 

Bahkan suaranya saja terdengar mirip, dan kenyataan ini semakin membuat Haga perih. Meski suara Hazel terdengar sedikit lebih nyaring dibanding Hanna yang lembut, warna suara mereka masih sama. 

"Ya." 

"Lo marah?" 

Haga diam. Ia enggan menjawabnya. Lantaran dirinya sendiri pun tak paham, mengapa hatinya terasa begitu terbakar? Karena siapa, dan kepada siapa, Haga tak tahu. 

"Gue pikir kita cuma sebatas virtual FWB aja, dan lo enggak ada perasaan apa-apa ke gue. Lagian, lo juga udah ghosting gue gitu aja setelah nolong gue di bar. Jadi ya, gue pikir kita enggak ada apa-apa lagi. Tapi ternyata, lo marah kayak gini setelah lihat gue ada di rumah lo sama bokap lo. Lo ... ada sesuatu sama gue, Ga? If you have some feelings, tell me."

Oh, tidak. Haga mengutuk dirinya sendiri yang diam dan membuat Hazel salah paham. Seharusnya, sejak tadi Haga sadar, bahwa selain ia tak memiliki hak untuk bertanya, ia tak semestinya bersikap seolah melarang Hazel berhubungan dengan sang ayah. Hazel total salah paham dibuatnya. 

Sekarang ia harus bagaimana? Haga memutar otak secepat kilat, agar tak menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan, dan memilih untuk berterus terang.

"Enggak ada." 

"Terus, kenapa marah?" 

"Gue enggak marah." 

Sungguh, Haga rasanya tidak bisa berlama-lama dengan Hazel seperti ini. Bayang-bayang akan Hanna terus menggerayangi pikirannya setiap kali ia melirik wajah gadis di sebelahnya itu. Hazel benar-benar mirip dengan Hanna, persis. Kenyataan bahwa Hazel mengenal sang ayah yang kerap kali bermain wanita, membuat Haga naik darah. Karena rasanya seperti Hanna yang menjadi simpanan sang ayah.

"Terus kenapa lo diam aja? Sorry if I offened you, tapi lo enggak ada hak gak sih buat kayak gini ke gue? I mean ... gue ada urusan sama bokap lo. Persetan kita yang saling kenal, urusan gue adalah urusan gue. You have no rights buat narik gue keluar dari rumah Pak Anthoni kayak gitu."

"Gue lagi nyetir."

Mendengar Haga yang kerap menjawab dengan dingin dan singkat, lantas membuat Hazel pun akhirnya tak tahan. Bibirnya begitu gatal ingin meludahi Haga dengan rentetan kata. Ia tak suka disikapi seperti ini, apalagi Haga sudah mencampuri urusannya dengan Anthoni. 

"Eh Haga, dengar ya! Enggak guna kayaknya gue ngomong baik-baik sama lo! First of all, gue enggak paham sama lo, Haga Sanders. Kita belum pernah ngelakuin apa-apa, sekadar sexting atau phonesex pun enggak pernah! Tapi lo kayak gini dinginnya setelah narik gue keluar dari rumah, seolah lo lagi marah sama pacar lo sendiri. Hell. Lo tau? Lo freak, Haga."

Haga diam, menahan amarah yang entah datang dari mana. Hingga ia hanya fokus memandang ke jalanan kosong di depan, dengan telinga yang terus mendengarkan.  

"Sekarang lo pikir! Meski lo ghosting gue setelah lo nolong gue di Citibar, gue enggak pernah ganggu lo lagi 'kan? Karena apa? Karena gue enggak mau ikut campur apa pun urusan lo! Toh, kita enggak ada hubungan apa-apa, Haga. Lo enggak balas chat gue, and I'm totally fine with that!

Gue tau lo sibuk, lo lagi ngurus skripsi lo yang enggak kelar-kelar itu, dan bikin bokap lo sakit kepala. Jadi gue pilih untuk anggep lo di saat itu sekadar lewat aja, dan enggak mau gue ambil pusing. Sekarang, lo tiba-tiba ikut campur urusan gue sama bokap lo. Lo waras enggak sih?!"

Sebuah kalimat dalam rentetan ucapan Hazel barusan, membuat Haga sedikit tersentak. Ia mengerenyit seolah sadar ada yang janggal dari kalimat Hazel barusan. Namun, kala Haga sedang memikirkannya, Hazel terus-terusan membombardir ia dengan puluhan kata.

"FYI, lo sebenarnya enggak ada hak apa pun juga untuk narik gue kayak gini. Gue kelampau syok aja tiba-tiba lo nyeret gue, makanya gue ikut lo! Honestly, gue emang ada urusan sama bokap lo dan bukan sama lo, terlepas dari gue nyetirin dia balik. Harusnya, lo enggak perlu ikut campur, gak sih?! Oh ya, lo juga harusnya berterima kasih sama gue karena udah nyetirin bokap lo pulang dari club. Asal lo tau aja, bokap lo yang tua bangka itu hidupnya cuma ngerepotin gue! Cih!"

"Hazel," Haga memotongnya, sebelum Hazel terus-terusan berujar tanpa ujung. Di tengah ocehan Hazel yang membara seperti api, Haga akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang mengganggu pikirannya. "Sejak kapan lo kenal bokap gue?" 

"Hah?"  

"Sejak kapan lo kenal bokap gue, Hazel? Dari mana lo tau gue lagi ngurus skripsi dan bikin bokap gue sakit kepala? Hah?!" 

Hazel menelan salivanya. Dengan kedua netra yang menyalang, Haga menatap Hazel dan membuat gadis itu mati kutu seketika. 

 "H-Haga, gue ...." 

Ciiiit!

"Argh! Tolol! Nyetir yang bener, dong!" Gadis itu kembali menggerutu sebab tubuhnya yang terhuyung ke depan, dan mungkin bisa saja menabrak dasbor jika ia tak mengenakan sabuk pengaman.

Haga memberhentikan mobilnya, tepat di depan sebuah halte bus yang sudah tak berpengunjung. Tak ada siapa-siapa. Suasananya sepi, dan malam yang dingin membuat Hazel semakin merinding karena Haga tak lagi diam dan mulai mendesaknya.

"Gue kasih waktu lo buat jelasin, atau lo turun sekarang. Lima menit. Biar gue ulang, sejak kapan lo kenal bokap gue, Hazel?"

Dwinetra Hazel mengerling, ia dirundung kegelisahan di tengah dingin dan hening. Isi kepalanya begitu berisik, seolah ada tiga kubu yang saling beradu. Sisi kanan berpihak pada Haga, seolah menuntut Hazel untuk menjelaskan dengan sejujur-jujurnya. Sementara sisi kirinya menolak, karena segala patah kata yang keluar dari mulutnya kala menjelaskan dengan gamblang hanya akan membawa bumerang. Kubu terakhir, tak berpihak pada siapa-siapa, dan justru malah menimbulkan sebuah tanda tanya—mengapa ia harus mempertimbangkan ini semua? Mengapa ia harus mempertimbangkan sebuah penjelasan kepada orang yang baru dikenalnya?

Lantas, berselang lima belas detik, Hazel memutuskan.

"Buka kuncinya."

"Apa?"

"Buka kuncinya, Haga. Gue mau turun."

Haga mengerjap, dan membatin dalam hati. Rupanya Hazel memilih untuk turun dan diam.

"Jadi, lo enggak mau jelasin? Pertanyaan gue simple, lo kenal bokap gue sejak kapan? Sulit kah buat dijawab? Jangan nguji kesabaran gue, Zel."

"Buka kuncinya."

"Kenapa? Kenapa lo enggak mau jelasin, hah?! Lo punya hubungan apa sama bokap gue anj—" Haga berhenti. Rasanya ia tak sanggup untuk memaki. Wajah Hanna yang ada pada diri Hazel membuat Haga berat untuk mengutuk gadis itu. Sial.

Lantas, di tengah diamnya Haga, Hazel mengambil kesempatan untuk memotongnya. Gadis itu pun tak terima dirinya dimarahi oleh orang asing yang hanya ia kenal lewat Twitter dan Telegram.

"Lo aneh. Lo beneran freak ya? Gila! Berapa kali gue bilang lo aneh, Haga? Ini bahkan bukan urusan lo tapi lo ikut campur! Tau diri! Emangnya lo siapa, hah?! Lo cuma ex-FWB gue yang ilang tiba-tiba. Berkali-kali juga gue bilang, urusan gue sama bokap lo! Bukan sama lo! Dan lo enggak ada hak apapun buat nanya ke gue! Lo setolol itu sampe susah banget kayaknya buat ngerti setiap kata yang udah gue jabarin ke lo? Pikir pake otak lo! Harusnya lo tanya sendiri ke Anthoni, sejak kapan dia kenal gue. Tolol!" 

Haga bergeming, seketika ia berpikir mungkin sikapnya barusan berlebihan kepada Hazel. Dirinya dikuasai halusinasi bahwa sosok yang ada di sebelahnya adalah Hanna. Sulit bagi Haga untuk memisahkan kedua manusia itu dari kepalanya, perkara Hazel yang berparas sama seperti Hanna. Melihat Hazel seperti ini, seperti melihat Hanna dalam kepribadian yang berbeda. 

"Lo tau, Haga? Sebelumnya, gue sempat berpikir kalau gue dan lo mungkin bisa jadi teman baik setelah lo nolongin gue di Citibar. Ditambah sebuah kebetulan bahwa lo teman dari adik gue bikin gue mikir kita bisa berteman. Tapi gue rasa gue salah. Lo terlalu ikut campur urusan gue, dan lo enggak beda jauh sama Hanna!

Gue kasih tau sama lo ya, Haga Sanders. Gue enggak pernah suka sama tukang ikut campur! Baik lo atau Hanna ternyata sama aja! Gue udah muak sama dia, so yeah, gue juga muak sama lo yang tiba-tiba bersikap aneh kayak gini ke gue. Ngaca! Tau diri! Who do you think you are?"

Haga total bungkam. Ia tak tahu lagi harus berkata apa, karena marah pun tak bisa. Melihat dan mendengar Hazel yang memakinya, terasa perih di hati karena bayang-bayang paras Hazel yang seiras dengan Hanna. Wajahnya itu mampu membuat Haga tak bisa lagi melawan atau sekadar membela dirinya sendiri. Lantas, hanya sebuah maaf yang keluar dari belah bibirnya setelah dicaci maki.

"Hazel, sorry ... gue kelewatan sama lo. Lo enggak perlu jelasin apapun, gue anter lo balik sekarang. Sekali lagi, sorry."

🟤

Seorang Haga yang sejak tiga tahun lalu mendamba Hanna, tak akan tega menurunkan sosok perempuan yang memiliki paras sama dengan gadisnya itu di halte yang sudah tak berpengunjung. Tak akan ada bus yang lewat pada pukul setengah dua pagi. Lantas, Haga tetap mengantar Hazel pulang sesuai dengan nama daerah yang gadis itu sebutkan. Pantai Indah Kapuk.

Semua berjalan dengan tenang dan hening, sepanjang ia menginjak pedal gas dan mengemudikan setir. Tak terasa, mereka sudah menembus kawasan Jakarta Utara, jauh sekali dari rumah Haga yang berada di selatan. 

Semula Haga biasa saja, dan menyetir dengan santai menuju Pantai Indah Kapuk dengan damai. Hingga tiba saat Haga kembali bersuara untuk bertanya. "Gue anter ke mana? Kita udah di PIK."

"Golf Parkview," jawab Hazel, dingin.

Tunggu, Haga tak salah dengar? Ia tahu tempat itu.

"Apa tadi? Apartemen Golf Parkview? Lo tinggal di sana?" Haga mengulangnya, menuntut pembenaran dari Hazel detik itu juga, sekaligus menambahkan sebuah pertanyaan.

"Iya, kenapa? Lo mau ikut campur apa lagi? Cukup drop-off gue di sana, dan setelah itu jangan pernah usik gue lagi." 

Haga menelan salivanya. Sifat gadis ini ... berbeda sekali dengan Hanna. Sekelebat rasa syukur terlintas dalam diri Haga karena mereka benar-benar berbeda. Sehingga, tak akan memungkinkan Haga jatuh cinta pada dua orang yang berparas sama. Namun, kalau urusan melampiaskan amarah ... Haga masih tak bisa. Ia tak tega. Maka ia memilih untuk diam dan mengantar Hazel sampai tujuan.

Lima menit, mereka pun sampai. Haga berhenti di depan lobby dan menurunkan Hazel di sana. Tanpa sepatah kata terima kasih, Hazel turun dan langsung masuk tanpa peduli dengan Haga. Sedikit terbesit kecewa, namun Haga tak mempermasalahkannya. Ia pun kembali menginjak pedal gas, dan berniat untuk segera pulang ke rumah. Barangkali Heira menunggunya, Haga ingin bertanya tentang apa saja yang terjadi antara Anthoni dan Hazel sebelum Haga datang.

Namun, kenyataan bahwa Hazel tinggal di Apartemen Golf Parkview membuat fokus Haga begitu terganggu. Entah semua ini hanya sebuah kebetulan, atau sebuah rahasia yang sedang menunggu untuk dibongkar. Rentetan pertanyaan terus berputar di kepala Haga, seperti ... mengapa Hazel tinggal di apartemen yang mana Anthoni juga memiliki unit di sana?

Hazel tinggal di unit miliknya kah? Atau dia sewa unit di sana? Atau ... Hazel tinggal di unit milik Papa? Tapi ... bukannya Papa enggak pernah sewain unitnya?

Haga terus membatin, dan sekarang ia benar-benar buntu. Bahkan, ia menghentikan mobilnya secara mendadak, hanya karena segala pertanyaan yang ada di pikirannya begitu mengganggu. Lantas, ia mengeluarkan sebungkus sigaret dari dashboard mobil, menurunkan kaca jendela, membakar tembakau yang terbungkus kertas putih itu, dan kembali menginjak pedal sembari mengisap sigaret untuk menangkan pikiran. 

"Haha, bisa gila gue kalau begini caranya," monolog Haga. 

Dan tepat setelah ia mengembuskan asap dari sigaret yang ia isap, Haga kembali bergumam dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepalanya.

"Anthoni ... Anthoni ... gue enggak habis pikir sama lo."

.

.

.


Hawlooooo, selamat malammm! Dah pada tidur yaa?
Hahahaha aku gabut karena buntu nulis WIP ku yang satu lagi, jadi aku lari ke sini. Soalnya, aku kangen liat notif komen dan vote kaliannnn!

Padahal baru beberapa hari lalu update, ya? Huhu emang gitu sih aku suka kangenan orangnya xixixi.

Btw, goodnight all!

Luv u,

𝐗𝐚𝐝𝐚𝐫𝐚 𝐆𝐨𝐞, 𝟐𝟎𝟐𝟐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top