42. End
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Nathan masih belum bisa berdiri dengan tegap. Sebab seluruh tubuhnya mendadak hilang fungsi. Setelah sebelumnya berlarian, menangis, terkejut, dalam satu waktu. Kakinya mendadak lemas kembali hingga Haikal harus memapahnya menuju ruang rawat Lia. Matanya belum bisa dibuka dengan baik sebab keduanya masih bengkak, hidung memerah, dan bibir masih pucat.
Tapi, walaupun keadaannya sangat memprihatinkan, dia tetap ingin duduk menemani Lia di samping ranjang. Freya dan Haikal memaksanya untuk sekadar berbaring di sofa, Nathan tidak mau. Tangannya masih menggenggam tangan Lia. Mengelus punggung tangan Lia dengan lembut.
Jangankan Freya dan Haikal, ayah dan ibunya saja yang beberapa waktu lalu datang setelah mendapat kabar dari Freya menyuruhnya untuk duduk di sofa, dia menolak. Apalagi ayah dan ibunya Lia yang datang bersama Saka juga menyuruhnya untuk beristirahat sebab Lia sudah sadar, dia tetap tidak mau.
“Mama!” teriak Jean dari arah pintu ketika datang bersama Yesi dan Jevin.
Senyuman Lia mengembang saat separuh nyawanya datang. Wajah Lia sudah terlihat lebih baik sebab sisa-sisa darah sudah dibersihkan. Kini perban putih terlilit pada keningnya untuk menutupi lukanya. Kepala Lia terbentur cukup keras, itu sebabnya Lia langsung tidak sadarkan diri. Hingga sekarang kepalanya masih terasa agak pening.
“Sayangnya Mama, sini.” Lia melepas tangannya dari genggaman Nathan yang langsung membuat Nathan memutar bola mata malas.
Saka mengangkat tubuh Jean dan mendudukkannya di atas ranjang sebelah Lia. Ranjangnya sangat besar karena saat ini Lia berada di kamar rawat VVIP. Mata Jean berkaca-kaca melihat perban yang melilit pada kepala Lia dan menatap infus yang terpasang pada tangan kiri Lia.
“Kak, istirahat aja dulu,” ujar Saka pada Nathan.
“Iya, kamu istirahat aja sana.” Lia menyentuh pelan bahu Nathan yang saat ini sedang menunduk. Nathan menggeleng pelan. “Nat!”
“Udah kamu diem aja.” Nathan mendelik sebal.
Jevin dan Yesi beranjak duduk di sofa bersama orang tua Nathan, orang tua Lia dan Freya serta Haikal.
“Tapi sayang.. Kondisimu gimana sekarang. Masih ada yang sakit?” tanya ibu Lia.
“Kepalaku masih sedikit sakit, Bu. Badanku juga pegal-pegal tapi udah nggak sesakit tadi,” jawab Lia sambil terus mengelus kepala Jean. Tangan kecil Jean menyentuh tangan Lia yang diinfus, mengelusnya pelan.
“Kamu dari tadi kayak nggak perhatiin aku ada di sini. Tapi pas Jean datang kamu langsung ceria, astaga.” Nathan beranjak menuju kamar mandi. Dia ingin membasuh wajahnya, rasa ngantuk tiba-tiba menyerangnya sebab matanya begitu terasa berat akibat menangis tadi.
“Tadi..” Haikal mulai bercerita, dia ingin membagi kepada mereka semua bagaimana tersiksanya seorang Nathan ketika melihat tubuh lemah Lia. Haikal merasa itu adalah saat di mana Nathan merasa begitu hancur. Tatapan Nathan tersirat sebuah kesakitan yang mendalam, sakit yang teramat sangat sakit. Bahkan seorang Nathan rela ikut mati jika sampai Lia kenapa-kenapa. “Nathan hancur. Nathan bilang kalau Lia kenapa-kenapa, dia minta aku buat bunuh dia. Dia bilang, dia nggak bisa hidup dengan separuh nyawa saat separuhnya lagi nggak ada. Intinya tadi Nathan benar-benar keliatan hancur banget.”
Cerita Haikal pada orang tua Lia dan orang tua Nathan. Lia yang mendengarnya langsung mengembuskan napas berat. Saat sudah sadar dan melihat Nathan sekarang, Lia juga bisa melihat bagaimana keadaan laki-laki itu yang begitu urakan. Terdapat bekas noda darah pada baju putih Nathan.
“Terus sekarang gimana? Pengemudi mobilnya udah ditahan Polisi?” tanya Hana, raut wajahnya juga terlihat sangat khawatir.
“Itu gimana ceritanya kamu bisa ketabrak sayang?” tanya ayah Lia.
“Nggak tahu. Soalnya lampunya udah merah, pas aku mau jalan tiba-tiba aja ketabrak dan aku langsung nggak sadar,” cerita Lia.
Ketika mereka terfokus pada cerita Lia, seseorang mengentuk pintu. Ternyata yang datang adalah pihak kepolisian, ingin bertanya lebih lanjut mengenai kejadian hari ini. Mereka dipersilakan masuk oleh Saka bersamaan dengan Nathan yang keluar dari kamar mandi.
“Permisi, apa korbannya bisa kami mintai keterangan? Tersangka sudah kami amankan dan ternyata dia menyetir dalam keadaan mabuk,” ujar petugasnya dengan sopan setelah Freya dan Haikal beranjak untuk memberi mereka tempat duduk.
“Nggak bisa. Dia masih dalam keadaan lemah.” Nathan langsung menimpali.
“Aku nggak apa-apa, Nat. Jadi kalau mereka mau nanya, aku siap jawab kok.” Lia menyela yang langsung mendapat pelototan tajam dari Nathan.
“Nggak, ya. Kamu diem, bggak usah banyak gerak, nggak usah banyak bicara, cukup diem di situ,” titah Nathan tegas. “Pak, tersangkanya ada di mana? Bisa saya bertemu?”
Petugas kepolisian yang datang itu berjumlah dua orang. Mereka saling tatap kemudian mengangguk sebagai jawaban atas permintaan Nathan. “Bisa, Pak. Tapi, anda siapa? Hanya orang berkepentingan yang bisa bertemu dengannya.”
“Saya suaminya.”
Satu kalimat, dua kata. Cukup mampu membuat seisi ruangan hening dan menghangat. Rasanya benar-benar bahagia bagi Lia mendengar kalimat itu. Sungguh, seketika rasa sakit di sekujur tubuhnya menghilang. Para orang tua saling pandang tapi tidak berani buka suara hanya untuk sekadar bertanya. Agung dan Hana sudah sangat mengenal karakter anaknya, kalau serius seperti ini maka mereka tidak berani menyela. Sedangkan orang tua Lia ikut terdiam sebab Nathan yang mereka lihat semalam benar-benar berbeda dengan Nathan saat ini.
“Ayah kalau marah serem,” gumam Jean sambil mendongak untuk menatap Lia. Lia yang tadinya sempat serius tiba-tiba jadi tersenyum karena ucapan Jean. “Mama tadi dibentak. Nanti aku marahin ayah, ya.”
Lia mengangguk kecil.
Bukan dibentak tapi memang suara Nathan agak tinggi ditambah raut wajahnya yang dingin, datar dan benar-benar serius. Jadi, Jean menganggap itu adalah bentakan.
“Ayo keluar sama Bibi. Kita beli makanan.” Freya meraih tubuh Jean dan membawanya keluar bersama Yesi sebab suasana berubah serius.
“Kalau gitu, bisa saya ikut ke kantor polisi sekarang? Saya mau bertemu dengannya.” Nathan merapikan bajunya, memasukkan kemejanya dengan rapi dan meraih jasnya yang terlampir pada tepi ranjang Lia.
Raut wajah Nathan saat berbicara benar-benar datar. Tapi bagi Jevin dan Lia yang sudah bersama Nathan sejak SMA sadar kalau itu adalah raut yang benar-benar menyeramkan.
“Bisa.”
“Jangan!” sela Lia dan seketika menelan ludah gugup saat Nathan kembali menatapnya dengan tajam. “Nggak, maksudku, ya nggak usah. Ngapain kamu mau ketemu sama dia. Biarin nanti pihak polisi yang ambil tindakan. Kamu jangan ikut-ikutan.”
Lia sangat tahu bahwa Nathan tidak hanya sekadar ingin bertemu. Kepalanya terkena bola saja Nathan langsung mendatangi si tersangka. Apalagi sekarang jelas-jelas dia celaka walaupun konteksnya adalah ketidaksengajaan karena mabuk.
“Tadi, kalau Nathan sadar pas di TKP, udah babak belur sih orangnya bahkan mungkin mati.” Jevin berbisik pelan di dekat Haikal yang langsung membuat Haikal bergidik ngeri.
Satu lagi, dulu Lia pernah dilabrak oleh kakak tingkat sewaktu kuliah. Kakak tingkat itu laki-laki, pacarnya mengadu bahwa dia diserang oleh orang yang bernama Lia. Dan kakak tingkat itu langsung mencari Lia dan menamparnya lalu menjambak rambut Lia waktu di kantin kampus. Tapi ternyata, orang dimaksud bukan Azalia pacar Nathan melainkan Azelia. Ada beberapa orang yang namanya memang mirip dan itu langsung membuat darah Nathan mendidih.
Keesokan harinya, dengan emosi yang sudah berapi-api Nathan mencari kakak tingkat yang sudah menampar Lia bahkan Nathan tidak masuk kelas waktu itu. Tangannya mengepal kuat ketika melihat laki-laki itu duduk dengan pacarnya sambil tertawa.
“Lo yakin mau baku hantam di sini?” bisik Jevin ketika mereka melangkah menuju meja tempat mereka duduk.
“Lo liatin aja, nggak usah ikutan, ini urusan gue. Sialan, lo nggak liat apa pipi Lia merah, kepalanya jadi sakit. Lo pikir aja gimana kerasnya tamparan itu apalagi dia laki-laki.” Nathan semakin menggeram kesal ketika mengingat bagaimana Lia menangis sesegukan saat memberitahunya tentang hal itu.
Dan tanpa aba-aba, begitu Nathan sampai di depannya, Nathan langsung mengangkat kakinya dan menendang tubuh laki-laki itu hingga tersungkur ke belakang. Seisi kantin langsung riuh bahkan pacar si laki-laki itu langsung menjerit ketakutan saat melihat pacarnya tersungkur.
“Lo sialan! Kalau ngasih tahu info sama cowok lo harusnya lo kasih info dengan benar bukannya malah setengah-setengah dan buat salah paham kayak gini. Dasar sialan! Pacar gue jadi salah sasaran gara-gara lo. Untung lo cewek kalau cowok lo mati, sialan. Dan sekarang, mending lo ucapin selamat tinggal sama cowok lo karena mungkin dia bakal mati!” gertak Nathan di depan wajah perempuan itu. Dia menggigil ketakutan.
Nathan beralih meraih kerah laki-laki itu lalu menamparnya dengan keras, sangat keras karena Nathan benar-benar mengeluarkan seluruh tenaganya. Lalu setelah itu, Nathan menarik rambutnya dengan keras, walaupun terbilang pendek tapi ada sedikit yang nyangkut pada tangan Nathan. Setelah itu Nathan meninju wajahnya hingga darah segar mengalir di bibirnya. Bahkan laki-laki itu tidak sempat melawan karena kebrutalan seorang Nathan Adinata.
“Udah.” Jevin menahan lengan Nathan. “Kalau dia mati kasusnya bakal panjang. Lo kemungkinan di keluarin dari kampus dan Lia nggak mungkin mau itu terjadi.”
Dan sekarang, bukan hanya tamparan atau jambakan yang Lia dapat tapi Lia berada dalam ambang kematian. Sudah bisa dipastikan bagaimana emosinya Nathan.
“Aku cuma mau ketemu aja.” Nathan kembali memakai jasnya dan bersiap untuk jalan.
“Nat, jangan pergi, ku mohon.” Lia mulai menangis. “Aku akan ngasih keterangan di sini. Lagian mereka cuma mau nanya aja. Aku nggak gerak kok, cuma ngomong.”
Jika ucapan tak berhasil maka tangisan adalah jalan ninja bagi Lia. Bukannya tidak mau membalas perbuatan pengemudi mabuk itu tapi di sini biarkan Polisi yang menanganinya sesuai prosedur. Lia tidak mau Nathan mendapat masalah dengan memukul tersangka itu.
“Kebiasaan ya kalau udah nggak bisa ngebantah malah nangis.” Nathan membuka jasnya dan melemparnya sembarang. Dia kemudian berlalu keluar bersama Haikal dan Jevin.
“Jadi, gimana?” tanya petugas itu.
“Yang saya ingat, saya mau nyebrang sambil nunggu lampunya merah lagi. Pas udah merah dan mau jalan tiba-tiba saya langsung ditabrak dari samping dan nggak sadar setelah itu.”
“Baik, terima kasih. Dia memang mengemudi dalam keadaan mabuk. Terima kasih keterangannya, kami permisi dulu. Nanti kasusnya akan kami proses sesuai prosedur. Semoga lekas sembuh.” Petugas yang datang kemudian pamit pergi.
Saat mereka sudah pergi, orang tua Nathan serta orang tuanya mendekat ke samping ranjang Lia.
“Cepat sembuh, ya. Padahal Ibu mau ngajak kamu shopping terus belanja bahan kita buat kue.” Hana memegang tangan Lia.
Tebakan Nathan benar adanya bahwa ibunya pasti akan mengajak Lia melakukan banyak hal.
“Iya, Bu.”
Sementara itu di luar, di cafetaria rumah sakit, Nathan, Haikal, dan Jevin sedang duduk santai setelah memesan minuman. Haikal bercerita saat semua pandangan orang-orang tertuju pada Nathan yang terlihat seperti orang gila.
“Kayaknya kaget aja sih soalnya lo nangisin perempuan lain. Karena yang mereka tahu istri lo itu Elena,” celetuk Jevin sambil menyedot ice coffeenya.
“Oh ya, Jev. Ketemu nggak yang gue minta tadi?” tanya Nathan.
“Ketemu, udah di beresin sama karyawannya. Untung aja ketemu, kalau nggak ketemu bisa-bisa lo batal cerai sama Elena.” Jevin terkekeh sambil menyodorkan amplop cokelat berisi surat perceraian yang sempat Nathan tinggalkan di atas meja cafe.
“Gue mau ketemu sama Lia buat ngasih tahu ini. Sialnya Lia malah kecelakaan.” Nathan mengembuskan napas kasar dan langsung mengeluarkan kertas itu dan tanda tangan. “Nanti gue kasih tahu langsung.”
Haikal berdeham sebelum bicara. “Tadi tuh waktu lo ngomong sama gue buat ngebunuh lo. Lo sadar?”
“Sadar lah. Serius ya, gue kira gue nggak akan bisa liat Lia lagi. Asli, kalau sampai Lia mati, woah, gue mati. Lo bayangin aja, gue liat dia senyum di pinggir jalan terus gue liat ke arah lain cuma sebentar eh dia udah ketabrak. Ya Tuhan, gue langsung shock, sesak tahu nggak.” Nathan tidak akan pernah dan tidak akan mau membayangkan kejadian itu lagi. Rasanya dadanya sesak jika kejadian itu terlintas di kepalanya. Tidak berniat menertawai hanya saja ekspresi wajah Nathan yang bercerita dengan seru membuat Haikal dan Jevin terkekeh.
“By the way Jev, soal nikahan lo sama Yesi minggu depan. Gimana kalau bareng aja sama gue dan Lia? Eh tapi nggak usah deh, kalau gue sama Lia sih cukup ucap janji di hadapan Tuhan sama anggota keluarga aja, nggak perlu resepsi segala. Kayaknya Lia juga nggak mau yang terlalu terbuka.”
“Ya udah sih, lo jawab pertanyaan lo sendiri. Lagian ya, gue sama Yesi baru pertama kali nikah nih, pastinya orang tua kita bakalan ngundang teman-temannya. Belum lagi teman gue di kantor, temannya Yesi. Kalau lo sama Lia sih emang kayaknya nggak perlu soalnya anak lo aja udah mau remaja tuh, udah tua lo.” Jevin terkekeh.
“Sialan, ya iya sih. Jean mau masuk sekolah dasar bentar lagi.” Nathan menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengingat anaknya sudah mau masuk sekolah dasar bahkan sudah pintar melakukan ini dan itu. “Kal, lo kenapa diem aja?”
“Ya, gimana gue nggak diem, lo berdua ngomongnya nikahan mulu. Gue sama Freya bahkan belum mikir ke sananya. Lagian adik sepupu lo kalau mau diajak ngomong serius nggak pernah mau, geli katanya, Ya Tuhan Yang Maha Kuasa.” Haikal memutar bola mata malas.
Kasihan dan menertawakan dalam satu waktu, itu yang dilakukan oleh Nathan dan Jevin.
*
Saat kembali ke ruang rawat Lia, Nathan langsung memberitahu keluarganya perihal surat perceraian yang sudah ada ditangannya. Dia mengeluarkan selembar kertas itu di depan orang tuanya dan orang tua Lia. Sudah ditanda tangani oleh kedua belah pihak secara sadar.
“Kamu nggak maksa dia, kan?” tanya Lia di tengah keheningan.
“Kamu telepon sana. Tanya apa aku paksa atau nggak. Nggak percayaan banget sih.” Nathan berujar dengan nada ketus, masih merasa kesal.
“Iya bener kata Lia. Kamu nggak maksa Elena, kan?” Hana menimpali.
Nathan berdecak sebal. “Ya udah, Ibu tanya aja sendiri sana kalau nggak percaya. Kalian tanya sana, astaga. Emangnya wajahku keliatan kayak orang bohong ya sampai-sampai kalian nggak percaya.”
“Ya udah, ok. Masalah perceraianmu kita anggap clear. Sekarang kalian maunya gimana?” celetuk ayah Lia.
“Ya nikah dong Ayah. Mau apalagi emangnya.”
Satu pukulan mendarat bebas di kepala Nathan. Pelakunya tak lain dan tak bukan adalah ibunya. “Kalau ngomong sama orang tua itu yang sopan. Emangnya Ibu pernah ngajarin kamu nggak sopan?”
Nathan mendesis dan mengusap kepalanya yang terasa pening. “Ya kalian sih. Udahlah, capek.”
“Tapi Ayah, sederhana aja ya acaranya. Nggak usah heboh-heboh, lagian ucap janjinya cukup di hadapan Tuhan aja.” Lia menimpali. Kan, tebakan Nathan benar.
“Iya, sayang.”
Nathan kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah lengket oleh keringat sejak siang tadi. Meraih perlengkapan mandinya yang beberapa saat lalu diambilkan oleh Saka dan beberapa baju ganti untuk menjaga Lia beberapa hari ke depan.
Tadinya para ibu mau ikut menemani Lia. Tapi Nathan tidak mengizinkan dengan alasan Jean akan dititipkan pada salah satu dari mereka. Tentu saja karena Nathan ingin berduaan saja dengan Lia.
Nathan keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya. “Maaf, ya. Tadi aku sempat kesal sama kamu.” Nathan mendekat dan mengecup pelan kening Lia.
Lia mengangguk. “Jean mau marahin kamu katanya soalnya udah ngebentak aku.”
“Iya, suruh aja nanti marahin.” Nathan terkekeh dan memakai bajunya di depan Lia. Sudah terbiasa sejak kuliah melihat satu sama lain, sekarang tak ada lagi rasa malu di antara mereka.
Selesai, Nathan beranjak duduk di dekat Lia sambil memegang tangan Lia kemudian beralih menatap mata Lia.
“Maaf, ya. Aku yang salah karena udah nyuruh kamu datang. Harusnya aku yang datang ke kamu.”
“Nggak apa-apa. Lagian aku udah selamat dan baik-baik aja sekarang.”
“Ya iya, sekarang. Tadi kamu buat aku khawatir sampai-sampai aku minta sama Haikal buat bunuh aku kalau kamu sampai kenapa-kenapa.” Nathan merengkuh tubuh Lia. “Kalau tadi kamu mati, aku juga mati.”
Lia membalas pelukan Nathan tak kalah erat. “Jangan ngomong kayak gitu. Kita harus tetap hidup buat Jean.”
Nathan perlahan melepas pelukannya dan mengeluarkan satu kotak berukuran kecil dari dalam sakunya. Kotak berisi cincin yang sudah dia siapkan dari jauh-jauh hari, dibantu oleh Saka waktu itu untuk memilihnya.
“Maaf ya, tadinya aku mau ngasih kamu dengan cara yang romantis. Tapi kayaknya nggak memungkinkan soalnya kamu dalam kondisi sakit. Dan aku nggak mau nunda-nunda lagi buat ngasihin ke kamu.” Nathan memberi jeda pada kalimatnya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya sedangkan mata Lia sudah berkaca-kaca. “Azalia, be mine again, please!”
Tidak ada jeda setelah ucapan Nathan, Lia langsung mengangguk dengan cepat dengan air mata yang sudah berlinang. “I’m yours, Nat. I always yours from the beginning and until my last breath I was yours.”
Nathan ikut terharu dan segera memasangkan cincinya di jari manis Lia begitupun sebaliknya lalu keduanya saling memberi pelukan hangat.
“Tadi katanya mau ngelamar dengan cara yang romantis,” sindir Lia ditengah keharuan mereka.
“Ya, maksudku cuma tempatnya aja yang romantis. Kamu tahu sendiri kalau aku nggak pandai ngasih kata-kata yang bagus. Nggak ingat ya dulu aku confess ke kamu waktu di depan gerbang sekolah kayak gimana.”
Ya, memangnya apa yang Lia harapkan dari seorang kaku seperti Nathan. Tapi tidak apa-apa, cara sederhana ini mampu membuat Lia begitu bahagia. Nathan selalu bisa membuatnya bahagia dengan caranya sendiri.
Kalimat my first and last patut Lia sematkan pada Nathan sebab itu benar-benar terjadi padanya. Cinta pertamanya benar-benar menjadi cinta terakhirnya.
Terkadang takdir begitu kejam. Ada yang menemukan cinta terakhirnya dengan mudah, ada juga yang menemukannya dengan cara mengorbankan banyak hal termasuk air mata. Lia bersyukur walaupun banyak mengorbankan air mata pada akhirnya dia dan Nathan dipertemukan kembali.
Lalu Nathan yang sudah pasrah akan jalan hidupnya akhirnya bisa tersenyum kembali saat dia dipertemukan dengan Lia lagi. Apalagi dengan kehadiran sosok malaikat kecil di antara mereka yaitu Jeandra.
“It’s you, Lia. It’s always been you. It’s still you. Still you, honey.”
Nathan melepas pelukannya dan menagkup kedua pipi Lia dan menjemput bibir Lia lalu mengecupnya dengan pelan. Sadar bahwa Lianya sedang sakit jadi Nathan tidak memaksakan.
“I love you for the rest of my life, sayang,” balas Lia sambil mengalungkan tangannya di leher Nathan.
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata, jadi jangan dibawa serius. Jangan dibawa sampai ke real life. Thank you.
©dear2jae
2023.12.03 — Minggu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top