40.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
If I had one wish,
you’d stay forever — Perry Poetry. (Nathan)
•
Dapur dalam keadaan berantakan sebab hari ini Elena ingin membuat beberapa masakan. Sepertinya suasana hatinya sedang baik karena dilihat dari banyaknya bahan-bahan masakan seperti sayur dan daging, Elena akan membuat masakan yang sepesial.
Beberapa masakan sudah siap, kini Elena meletakkan semuanya di atas meja sesudah membuatnya terlihat semenarik mungkin. Senyumannya merekah saat melihat hasil kreasinya saat ini.
“Kak Nathan pasti suka.”
Elena kemudian meraih ponselnya dan menghubungi nomor Nathan. Jika dulu, Elena hanya butuh waktu beberapa detik agar Nathan mengangkat panggilannya. Sekarang bahkan hingga panggilan ketiga Nathan belum mengangkatnya.
“Apa dia sibuk ya di rumah sakit,” gumam Elena lalu meletakkan kembali ponselnya. Dia mau mandi dulu, mungkin Nathan sedang sibuk jadi dia akan menunggu.
*
Sementara itu, Nathan memang sedang sibuk. Dia hari ini ada jadwal operasi bersama Freya. Jadi ponselnya dia biarkan tergeletak di atas meja ruangannya.
“Ada panggilan tak terjawab nih. Dari Elena.” Freya melempar sembarang ponsel Nathan ke atas sofa setelah merasa kesal karena melihat ada puluhan panggilan dari Elena. Seperti biasa, dia mau memesan makanan tapi moodnya langsung memburuk hanya dengan melihat panggilan itu. “Nggak usah balik telepon. Biarin aja.”
“Fey, lo nggak usah ya terlalu benci sama Elena. Maksud gue, baik-baik aja sama dia. Lagian dia nggak pernah ngebuat lo marah atau apa.” Nathan meraih ponselnya dan mencari kontak Elena untuk menghubunginya lagi karena ada banyak panggilan tak terjawab. Dia takut ada hal mendesak nantinya.
Freya memicingkan matanya. “Lo nggak salah ngomong gitu, lo sadar? Kok sikap lo aneh sekarang, lo bilang mau balik sama Kak Lia tapi kenapa malah jadi baik gini sama Elena. Padahal sebelumnya lo risih tahu kalau ada panggilan dari dia. Nat, kok lo ikut-ikutan kasian sama dia? What the hell, jangan sampai lo merasa kasihan dan nggak tega buat ninggalin dia or wait, lo bilang semalem kalau mau nungguin dia buat sadar untuk tanda tangan surat perceraian, kan. Gimana kalau misalnya dia nggak sadar-sadar? Apa lo nggak jadi cerai atau jangan-jangan itu cuma alasan lo supaya nggak jadi cerai sama dia?”
Nathan menghela napas kasar. “Kenapa omongan lo jadi ngelantur kayak gini sih. Ucapan gue semalem belum jelas, ya? Gue udah bilang kalau gue mau pisah dengan cara yang baik-baik. Gue udah jahat sama dia jadi gue nggak mau ninggalin rasa sakit terlalu banyak. Makanya gue mau nunggu dan Lia setuju-setuju aja sama permintaan gue. Kenapa lo malah mikir itu hanya alasan. Lo terlalu nggak suka sama dia makanya mikir kayak gitu!”
“Lo belain dia?” suara Freya meninggi.
Nathan berusaha meredam emosinya. “Gue nggak ada tenaga buat debat sama lo. Jadi stop, ya.”
“Dari awal lo berapi-api mau cerai, dari awal lo juga nggak terlalu suka kalau dia spam telepon kayak gitu. Tekad lo udah bulat mau cerai. Harusnya kalau kayak gitu lo nggak akan nunggu dia sadar tapi langsung gugat aja. Kenapa sekarang malah berbalik kasihan padahal kemarin lo yang nyuruh Kak Lia untuk nggak usah kasihan sama dia. Malah bilang sama Kak Lia buat nunggu. Nanti kalau Elena nggak sadar-sadar terus Kak Lia udah nggak bisa nunggu lagi, mampus lo.” Freya melenggang pergi dan menutup pintu ruangan dengan sangat keras. Hal itu sontak menimbulkan perhatian perawat lain yang sedang lewat.
Nathan menatap kepergian Freya dengan nanar. Dia paham kalau niat Freya itu baik, Freya ingin dia kembali bersama dengan Lia dan Jean. Tapi di sini sungguh, Nathan tidak ada niat lain selain karena dia tidak ingin meninggalkan bekas luka yang terlalu banyak untuk Elena. Sedari awal dia memang berapi-api untuk berpisah dari Elena. Tapi sekarang Nathan sadar kalau perpisahan mereka bukan dengan cara yang baik-baik maka selamanya akan membekas di hati. Dan Nathan hanya ingin tetap menjaga hubungan baik nantinya walaupun sudah berpisah dengan Elena.
“Halo, Kak?” suara Elena terdengar di seberang setelah Nathan memutuskan untuk kembali menghubunginya.
“Ada apa? Kenapa nelepon terus dari tadi?”
“Aku mau ketemu Kak Nathan hari ini. Bisa?”
“Boleh. Nanti ya aku kabarin kalau jadwalku udah selesai. Terus mau ketemu di mana?”
“Di rumah, Kak.”
Nathan sempat terdiam. “Iya, nanti aku ke rumah.”
Panggilan itu berakhir dengan helaan napas panjang dari Nathan. Dia mengusap wajahnya dengan kasar lalu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Memejamkan matanya sejenak sebab kepalanya mendadak terasa sangat pusing. Nathan mengepalkan tangannya kuat.
Lalu setelah merasa dirinya tenang, Nathan meraih kunci mobilnya dan keluar dari ruangan dengan langkah besar. Sempat bertemu dengan Freya di lobi tapi Nathan memilih diam dengan wajah datarnya dan berlalu begitu saja.
Jalanan sedang padat jadi Nathan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tujuannya saat ini adalah kantor Jevin. Dia ingin bertemu dengan Lia. Sengaja tidak mengabari karena tidak ada waktu, Nathan ingin segera menemui Lia.
Begitu sampai, Nathan segera menuju ruangan Jevin yang ada di lantai lima. Tanpa mengetuk pintu, Nathan langsung masuk yang langsung membuat si pemilik ruangan terlonjak kaget.
“Hampir aja gue ngomong kotor.” Jevin melempari Nathan dengan pulpen yang ada di tangannya. “Ada apa sih?”
“Panggilin Lia sekali. Gue pinjem ruangan lo buat ngomong.”
“Please lah. Ponsel itu digunakan untuk nelepon dan ngirim pesan. Terus kalau lo nggak pakai buat itu, mau lo pakai buat apa? Koleksi aja?”
“Katanya dia lagi sibuk tadi pagi. Gue nggak mau ganggu jadi gue langsung datang ke sini buat ngomong sesuatu. Lagian yang mau gue omongin ini nggak bisa dibicarain lewat telepon atau pesan soalnya nanti bisa salah paham. Ya Tuhan, ribet banget gue jelasinnya. Intinya sekarang tolong ya Pak Jevin yang terhormat, panggilin Lia sekali aja.”
Jevin memang menggerutu tapi dia tetap saja keluar dan pergi memanggil Lia. Sepertinya memang ada hal penting yang mau dibicarakan oleh Nathan.
Tak sampai lima menit, Lia masuk ke ruangan Jevin dan melihat ada Nathan di sana yang sedang duduk manis menunggunya.
“Ada apa? Jevin bilang kamu mau ngomong hal penting? Kenapa repot-repot ke sini? Telepon, kan, bisa atau kirim pesan.” Lia beranjak duduk di samping Nathan.
“Nanti kalau lewat telepon atau pesan takutnya ada salah paham. Aku nggak mau.” Nathan kali ini menatap Lia dengan wajah serius. “Aku mau izin ketemu sama Elena.”
Tidak lucu memang tapi entah kenapa Lia malah terkekeh geli karena hal penting yang ingin Nathan sampaikan ternyata adalah permintaan izin.
“Kenapa itu bisa jadi salah paham?”
“Karena kesannya kalau lewat telepon gimana gitu. Aku maunya ngomong langsung sama kamu supaya kamu tahu kalau aku lagi sini, lagi ngelakuin hal ini. Apalagi ini aku mau ketemu sama Elena. Takutnya nanti kamu salah paham dan aku nggak mau debat sama kamu hanya karena kesalahpahaman.”
Lia menyadari satu hal bahwa Nathan benar-benar serius padanya. Buktinya dia rela datang hanya untuk meminta izin bertemu dengan Elena. Lia senang Nathan seterbuka ini padanya tapi Lia tak menampik kalau di hatinya terselip rasa khawatir. Itu adalah rasa khawatir yang sama seperti Freya yaitu merasa takut Nathan akan berubah pikiran secara tiba-tiba. Lia memang senang dan merasa bangga bahwa Nathan masih punya perasaan karena tidak mau menyakiti hati Elena lebih banyak. Itu sebabnya Nathan ingin berpisah baik-baik tapi kalau boleh jujur Lia merasa sangat khawatir.
Tapi Lia memilih untuk percaya dan menunggu jika memang harus menunggu lagi. Tak masalah, lagipula dia akan menunggu orang yang dicintainya kembali. Iya, Lia akan percaya.
“Iya, kamu boleh ketemu sama Elena. Terima kasih karena udah mau jauh-jauh datang ke sini cuma buat ngasih tahu aku hal itu.” Lia memberikan pelukan hangat pada Nathan sambil mengelus punggungnya. “Kalau kamu mau ketemu sama dia, ketemu aja. Nggak perlu datang minta izin segala. Telepon atau pesan bisa, aku nggak akan salah paham karena aku percaya sama kamu.”
“Iya, sayang. Terima kasih karena udah ngertiin aku.” Nathan membalas pelukan Lia.
Lia tersentuh akan hal-hal kecil seperti ini. Dibalik rasa khawatirnya, dia ingin rasa percayanya lebih besar untuk Nathan.
Lia melambaikan tangan ketika mengantar Nathan sampai depan lobi. Begitu mobil Nathan melaju meninggalkan pelataran kantor, Lia kembali masuk. Langkahnya terasa berat tapi sungguh Lia ingin percaya.
*
Sudah lama rasanya Nathan tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah yang ditempatinya selama hampir enam tahun bersama Elena. Rumah yang menjadi saksi bisu betapa hari-harinya terasa sangat suram. Sekarang, Nathan kembali datang untuk berkunjung.
Elena terlihat sangat antusias, saking senangnya dia berhamburan memeluk Nathan. Tidak ada penolakan dari Nathan. Hanya saja dia tidak membalasnya, membiarkan tangannya menggantung begitu saja. Elena menuntun Nathan untuk menuju ruang makan di mana semuanya sudah dia persiapkan dengan baik.
“Kak, makan dulu, ya. Aku udah buat banyak makanan loh untuk Kak Nathan.” Elena berujar dengan senyuman yang merekah.
“Jangan gini, ya. Aku datang karena kamu bilang mau ngomong sesua..”
“Makan dulu, ya. Please.” Elena menyela dengan wajah yang memelas.
“Iya.”
Nathan memang akui kalau masakan buatan Elena sangat enak. Semuanya enak tapi entah kenapa, mungkin karena bawaan perasaannya yang tak karuan, selera makannya tidak ada.
“Kak, aku sayang sama Kak Nathan..”
“Elena!”
“Jangan sela ucapanku,” ujar Elena sambil menatap Nathan. “Kalau aku nanya, Kak Nathan tinggal jawab aja.”
“Iya.”
“Kak, gimana perasaan Kak Nathan sama aku?” tanya Elena, raut wajahnya serius, terlihat senang dan sedih dalam satu waktu.
Nathan meletakkan sumpitnya dan menatap Elena dengan wajah yang tak kalah serius juga. “Aku sayang kamu. Tapi seperti yang aku bilang kemarin, kalau rasa sayang itu hanya sebatas adik. Nggak lebih.”
“Apa Kak Nathan nggak bisa sayang aku sebagai seorang perempuan?”
“Nggak bisa. Aku udah coba selama lima tahun terakhir ini tapi aku bener-bener nggak bisa. Lia selalu terbayang-bayang dalam pikiranku.”
Nathan tahu ucapannya begitu menyakitkan. Tapi Elena memintanya untuk menjawab dengan jujur jadi ya sudah, dia akan jujur. Elena tersenyum miris, tangannya mengaduk-aduk makanan yang ada di piringnya dengan air mata yang sudah menetes.
“Kalau aku minta Kak Nathan buat stay sama aku. Apa itu termasuk tindakan yang egois? Karena di sini aku maksa Kak Nathan buat stay padahal Kak Nathan udah nggak bahagia sama aku?”
“Kamu nggak egois. Cuma ya, aku emang udah nggak bisa sama kamu. Kita udah nggak bisa sama-sama lagi, dipaksain pun bakalan nggak bisa soalnya perasaan kita itu nggak sama. Aku mau kamu bahagia walaupun tanpa aku, aku bakal selalu dukung kamu walaupun kita udah nggak sama-sama lagi. Kalau kamu mau ngelakuin sesuatu terus butuh dukungan, aku akan selalu mendukungmu. Ingat ya, aku sayang kamu sebagai adikku.”
Elena meletakkan sumpitnya dan berdiri. “Boleh nggak aku peluk Kak Nathan? Tapi Kak Nathan janji harus ngebalas pelukanku.”
Awalnya Nathan merasa ragu tapi akhirnya dia juga ikut beridiri dan merentangkan tangannya. Elena memeluk Nathan dengan erat sambil menenggelamkan kepalanya di dada Nathan. Mendengarkan setiap detak jantung Nathan yang bukan untuknya. Nathan membalas pelukan Elena dan mengelus punggungnya lembut.
“Apa dengan begini Kak Nathan masih belum bisa suka sama aku?” Elena bertanya lagi.
“Maaf.”
Pelukan itu kemudian terlepas seiring dengan air mata Elena yang menetes lagi. Senyum miris menghiasi wajahnya.
Tangannya meraih sebuah amplop cokelat yang tergeletak di atas meja. Amplop cokelat yang sedari awal menarik perhatian Nathan tapi dia tidak menyinggungnya. Elena menyodorkannya di hadapan Nathan seraya mengembuskan napas berat.
Nathan meraihnya dan secara perlahan mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalamnya. Mata Nathan membelalak kaget ketika melihat bahwa itu adalah surat perceraian yang sudah dibubuhi tanda tangan Elena.
“El..”
“Aku harap Kak Nathan bisa terus bahagia dengan pilihan Kakak. Maaf karena selama ini aku nahan Kak Nathan lebih lama di saat Kak Nathan udah nggak bisa sama aku. Kemarin aku nggak tidur sehari semalam buat mikirin hal ini dan akhirnya ibu bilang sama aku kalau emang udah nggak bisa sama-sama, jangan dipaksain. Berat sih harus ngelepas Kak Nathan tapi ya udah, Kak Nathan juga nggak akan pernah pulang ke sini lagi.”
Nathan kembali merengkuh tubuh Elena ke dalam pelukannya. Membisikkan kata terima kasih sebanyak-banyaknya. See, Nathan hanya perlu bersabar.
“Terima kasih dan sekali lagi maaf. Ingat ya, aku sayang kamu sebagai adikku yang berharga.”
“Iya, Kak.” Elena mengangguk, entah kenapa hatinya terasa lebih ringan. Sudah tak ada sesak yang melilit, mungkin ini memang jalannya. “Kak, aku boleh cium pipi Kak Nathan nggak? For the last time.”
Nathan langsung mengangguk setuju dan Elena sedikit berjinjit untuk mengecup pipi Nathan.
Mungkin inilah akhirnya, akhir yang menyedihkan bagi Elena tapi hatinya terasa begitu ringan tanpa beban. Sekarang, dia hanya ingin fokus dengan dirinya sendiri dan rencana ke depannya. Elena juga berterima kasih pada ibunya karena wanita itu sudah membuatnya sadar.
“Lepasin aja. Ibu nggak mau liat kamu menderita lebih lama kalau kamu masih nggak bisa lepasin dia,” ujar ibunya kemarin.
*
Sepanjang perjalanan Nathan terus tersenyum seperti orang gila saat menatap amplop cokelat itu. Surat perceraian yang sudah dibubuhi tanda tangan Elena. Sebelumnya, Nathan sudah mengirim pesan pada Lia untuk bertemu di cafe dekat kantor Jevin agar dia tidak perlu masuk.
Jantungnya bahkan berdegub dengan kencang, tidak sabar ingin memberitahu Lia bahwa semuanya sudah selesai, urusannya sudah selesai, masalahnya sudah selesai. Nathan tidak sabar ingin segera kembali bersama Lia dan Jean.
Nathan lebih dulu memesan minuman untuk menunggu kedatangan Lia. Matanya tak luput dari amplop cokelat itu bahkan Nathan sudah menyiapkan sebuah pulpen untuk menandatanganinya di depan Lia langsung.
Nathan menolehkan kepalanya ke arah jalanan dan kebetulan Lia sudah berdiri di seberang jalan, sedang menunggu lampu merah untuk menyebrang. Lia bahkan melambaikan tangan dengan senyum merekah saat melihat Nathan duduk di dekat jendela. Nathan balas melambaikan tangannya dengan senyum yang tak kalah merekah.
Lia masih berdiri lalu Nathan mengalihkan perhatiannya sejenak pada amplop cokelat itu. Hanya berselang satu detik sejak Nathan mengalihkan perhatiannya dan semua orang berhamburan, berlarian ke arah jalanan. Seketika Nathan kembali menatap ke arah jalanan dan melihat ada kecelakaan di sana.
Sontak tubuh Nathan menegang, tangannya bergetar hebat ketika menatap sebuah tangan seorang perempuan bersimbah darah dari balik kerumunan orang-orang. Apa yang membuat Nathan menahan napas adalah Lia tak lagi berdiri di sana.
Nathan berlari sekencang-kencangnya menuju kerumunan itu. Otaknya tidak mau berpikir negatif dulu tapi sumpah, hanya Lia perempuan yang berdiri di sana. Jantungnya berdegub dengan kencang, napasnya memburu, tangannya bergetar hebat.
“Nathan sialan! Kenapa lo malah minta dia yang datang, kenapa nggak lo aja yang masuk!!” itu adalah suara jeritan hati Nathan sepanjang perjalanannya menuju kerumunan itu.
Nathan melemas seiring dengan tubuhnya yang merosot.
Itu sepatu yang dipakai oleh Lia.
•
Always remember,
my heart holds you when my arms cannot — Perry Poetry. (L)
If tomorrow brings new hope,
I hope it brings you — Perry Poetry. (N)
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata, jadi jangan dibawa serius. Jangan dibawa ke real life. Thank you.
©dear2jae
2021.05.12 — Rabu.
2023.11.12. — Minggu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top