37.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

“Apa yang ganggu pikiranmu sampai-sampai kamu nggak bisa tidur. Padahal ini udah tengah malam?” tanya Agung ketika menyadari Hana terus bolak-balik kiri dan kanan untuk mencari posisi yang nyaman.

Pikirannya dipenuhi oleh ucapan Nathan siang tadi. Memikirkan apakah dia akan memutuskan untuk mendukung anaknya atau malah menentang keputusan anaknya. Di sisi lain, Hana sangat bahagia bisa bermain bersama cucunya dan menyadari kalau dia menentang keputusan Nathan maka dia tidak akan pernah bisa melihat cucunya lagi. Sebab Nathan berkata seperti itu sebelum pulang.

“Kalau Ibu emang nggak bisa setuju sama keputusanku, ya udah, terserah Ibu. Di sini aku cuma mau ngasih tahu aja kalau aku akan tetap cerai walaupun Ibu nentang. Kalau Ibu nggak suka aku balik sama Lia, ya udah, itu artinya aku nggak perlu pulang lagi ke sini dan bawa Jean main. Maaf Bu, bukannya aku mau melawan perintah Ibu tapi di sini aku udah dewasa, udah berhak menentukan kehidupanku sendiri dan berhak bahagia dengan pilihanku,” ujar Nathan lalu beranjak dan meraih lengan Jean untuk pulang.

Dan saat ini, pikiran Hana dipenuhi oleh kata-kata itu. Itulah sebabnya walaupun posisinya sudah nyaman tapi tetap saja dia tidak bisa memejamkan mata dengan nyenyak.

“Nggak ada, aku emang nggak bisa tidur. Kayaknya ini efek tidur siang tadi makanya sekarang aku nggak ngantuk.” Hana berdalih padahal Agung juga sadar kalau istrinya setiap hari tidur siang tapi malamnya selalu terlelap.

“Kayaknya Nathan bener-bener sayang sama Lia,” ujar Agung sambil menyandarkan punggungnya di sandaran ranjangnya. “Nathan bisa aja ngajak Jean buat tinggal sama dia kalau cuma mau tanggungjawab sama Jean. Tapi di sini selain Jean, Nathan juga mau tanggungjawab sama Lia. Kamu tahu nggak kalau Lia ngelepas semua mimpinya gara-gara hamil?”

Hana terdiam, dia memang berbalik memunggungi Agung tapi telinganya mendengarkan dengan baik.

“Tadi waktu kamu main sama Jean di halaman belakang, Nathan cerita sama aku kalau dulu dia dan Lia selalu menyemangati satu sama lain sewaktu kuliah. Cita-cita Lia dulu mau jadi akuntan. Tapi karena hamil, setelah wisuda bukannya langsung cari pekerjaan, Lia harus ngurus kandungannya.” Agung berbalik dan menghadap istrinya. “Nathan bilang, selama sembilan bulan orang tua Lia nggak mau ngajak Lia bicara karena kecewa. Setelah Jean lahir baru orang tua Lia luluh. Lia juga sibuk cari kerjaan ke sana kemari sambil ngurusin Jean sendiri. Bayangin gimana susahnya ngurusin bayi terus harus cari nafkah buat bayinya. Dan Lia bahkan nggak nuntut apa-apa dari Nathan saat ini, Lia bahkan nggak mau ngerusak hubungan rumah tangga Nathan. Coba kamu pikir kalau misalkan kamu yang ada di posisinya Lia. Menanggung semua akibat yang disebabkan oleh Nathan tapi masih bisa memaafkan Nathan setelah apa yang terjadi.”

Satu tetes air mata meluncur mulus di tengah heningnya malam. Wanita itu berhasil dibuat menangis oleh kata-kata Agung. Nathan juga bercerita pada ayahnya dengan linangan air mata.

“Aku emang kasihan sama Elena karena nggak bisa punya anak tapi kayaknya Lia lebih menderita di sini. Terlepas ada atau nggaknya Jean, kamu dengar sendiri kalau Nathan akan kembali bersama Lia. Aku dulu egois banget karena maksa Nathan buat nikah sama orang yang nggak dia sukai dan akibat dari keegoisanku adalah Lia menderita. Sepertinya ini emang salahku,” lanjut Agung. “Besok kalau kamu mau ketemu sama Lia, aku ikut. Aku mau minta maaf sama dia.”

Hana berbalik dan langsung memeluk suaminya, menenggelamkan kepalanya di dada suaminya. Meredam suara tangisannya akibat perkataan Agung.

“Kamu nggak usah khawatir sama ibunya Elena. Biar nanti aku yang ngomong sama dia.” Agung mengelus pelan kepala istrinya.

*

Lia juga tidak bisa tidur setelah Nathan memberitahunya bahwa ibunya ingin bertemu besok. Nathan yang sudah terlelap bahkan terbangun sebab Lia tidak bisa diam. Apalagi besok, orang tuanya akan datang. Lia terduduk dan mengusap wajahnya dengan pelan kemudian menatap Nathan yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan aneh. Lia sempat tertawa geli melihat wajah Nathan yang terlihat jengkel.

“Tidur aja lagi, maaf kalau aku buat kamu bangun. Aku nggak bisa tidur.”

“Besok kamu harus bangun pagi, siapin sarapan buat Jean. Terus kamu harus ke kantor dan sorenya baru ketemu sama ibuku. Sekarang istirahat, udah malem. Jangan terlalu khawatir sama ibuku, keluarin aja apa yang mau kamu bilang sama dia. Kecuali kalau kamu pengen olahraga malem karena nggak bisa tidur, ya ayo.” Nathan mengerlingkan sebelah matanya seperti pria penggoda di luar sana yang langsung membuat Lia tertawa pelan.

Lia menaruh satu bantal di tengah-tengah mereka kemudian beranjak tidur. “Don’t touch me,” titah Lia dan membelakangi Nathan.

“Iya, Tuan Putri.” Nathan kemudian ikut terlelap setelah mendaratkan satu kecupan pada kepala Lia. “Oh ya, orang tuamu kapan datang? Bukannya malam ini, ya?”

“Kayaknya besok sore. Nanti temenin aku ya ketemu sama ibumu, aku nggak mau sendiri. Setelah selesai ketemu ibumu, giliran kamu temui orang tuaku. Kamu bilang mau ketemu sama mereka.”

“Iya, sayang.”

Di tengah heningnya malam, ponsel Nathan berdering yang langsung membuat Nathan terlonjak kaget sebab ponsel itu ada di atas nakas dekat ranjang. Tertera nama ibu mertuanya sebagai peneleponnya. Karena tidak mau membangunkan Lia yang sepertinya sudah terlelap, Nathan segera berjalan menuju balkon dan mengangkat panggilannya di sana. Biar bagaimanapun juga, wanita itu masih berstatus sebagai ibu mertuanya. Jadi Nathan hanya ingin menghormatinya dengan mengangkat panggilannya.

“Halo, ibu?”

“Kamu di mana? Elena nggak bisa berenti nangis dari tadi. Ibu khawatir, dia nggak mau keluar kamar,” suara wanita itu terdengar sangat khawatir. “Bisa nggak kamu datang sekarang ke rumah ibu? Bujuk supaya dia mau keluar dan makan?”

Nathan mengembuskan napas berat dan menatap wajah tenang Lia yang sedang terlelap dari arah balkon.

“Nathan?” suara itu menginterupsi lagi sebab Nathan terfokus pada wajah Lia yang terlelap dan sempat termenung.

“Iya, Bu. Aku datang sekarang.”

Setelah Nathan mematikan sambungan teleponnya, dia kembali ke dalam dan meraih bajunya yang tersampir di atas kursi rias Lia dan memakainya.

“Lia..” Nathan mengguncang pelan tubuh Lia untuk membangunkannya, meminta izin agar Lia tahu ke mana dirinya pergi dari pada pergi diam-diam dan nantinya akan jadi masalah. Saat ini, Nathan tidak akan menyembunyikan apa-apa dari Lia.

Jam sudah menunjukkan pukul satu malam dan Lia mengerang kecil. Nathan merasa bersalah sebab membangunkan Lia lagi padahal perempuan itu baru saja terlelap.

“Mau ke mana?” Lia langsung beranjak duduk ketika melihat Nathan sudah memakai bajunya. Lia meremas ujung baju yang dikenakan Nathan dan berhamburan ke dalam pelukannya. “Kamu mau ke mana?”

“Ibunya Elena minta aku buat datang ke rumahnya sebentar. Katanya Elena nggak mau keluar kamar sejak siang tadi dan dia nangis terus. Jadi ibu minta aku datang sebentar.” Nathan berkata jujur.

Lia menggeleng. “Jangan pergi.” Lia semakin mengeratkan pelukannya.

“Sebentar ya, sayang. Aku harus meluruskan beberapa hal dan aku akan mengakhirinya sekarang juga.”

“Jangan, aku nggak mau sendiri. Jangan pergi.”

Nathan melepas pelukan Lia dan menangkup kedua pipi perempuan itu. “Aku pergi sebentar ya, sebentar aja. Setelah selesai aku langsung pulang. Aku janji nggak akan lama, aku janji akan pulang.”

Kepala Lia tertunduk cukup lama dan akhirnya dia mengangguk pelan. Sebenarnya bisa saja Nathan menuruti keinginan Lia dan tidak pergi. Tapi Nathan benar-benar ingin mengakhirinya secepat mungkin. Nathan juga ingin segera berkumpul bersama mereka.

Raut wajah Lia terlihat kecewa tapi Nathan harus pergi dan menyelesaikan semuanya. “Lia, sayang. Look at me, aku nggak akan lama, aku janji akan langsung pulang. Aku akan pulang.”

Lia mengangguk. “Kamu harus pulang.”

“Iya, aku akan pulang.”

Lalu pada akhirnya, Nathan meninggalkan Lia dan segera pergi. Jika terus ditunda maka masalahnya tidak akan selesai-selesai. Untuk urusan orang tuanya, Nathan anggap semuanya sudah selesai, terserah apa yang akan dibicarakan ibunya dengan Lia nanti, keputusan Nathan akan tetap yaitu bercerai. Malam ini, Nathan ingin segera meluruskan semuanya. Urusan orang tua Lia, dipikirkan nanti saja kalau sudah bertemu.

Sepanjang perjalanan pikiran Nathan tertuju pada Lia, memikirkan raut wajah Lia yang terlihat sedih. Nathan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi di tengah sunyinya malam agar cepat sampai. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan kembali secepat mungkin untuk Lia.

Ketika Nathan sampai, ibu mertuanya sudah menunggunya di depan teras dengan raut wajah masam. Dia menyambut Nathan dengan senyum merekah dan langsung menarik tangan Nathan untuk segera menemui Elena.

“Sayang, ayo buka pintunya. Ini ada Nathan.”

Percaya tidak percaya, pintu kamar itu langsung terbuka lebar, menampilkan Elena dengan wajah sembabnya. Air matanya masih berlinang. Elena langsung berhamburan memeluk Nathan.

Jika tidak ada ibu mertuanya maka Nathan tidak akan membalas pelukan Elena begitu saja. Tapi saat ini tangan Nathan terulur untuk membalas pelukan Elena, mengusap pelan kepalanya.

“Kak, jangan pergi. Apa yang Kak Lia bilang itu nggak benar, kan? Semuanya bohong, kan? Kak Nathan nggak akan ninggalin aku, kan?” Elena mencerca Nathan dengan pertanyaannya. Tapi Nathan masih bungkam. “Kak, jawab!”

“Duduk dulu, ya.” Nathan menuntun Elena untuk duduk di sofa. Dia kemudian menatap Elena lurus, tepat di manik matanya. Nathan menyadari kalau Elena itu cantik, bahkan sangat cantik. Tapi entahlah perasaannya pada perempuan ini tak kunjung tumbuh. Elena masih menggenggam tangan Nathan sedangkan ibu Elena terlihat begitu senang melihat anak dan menantunya.

“Maaf.”

Satu kata yang keluar dari mulut Nathan langsung membuat Elena melotot kaget. Belum bisa memastikan kata maaf untuk apa itu.

“Maaf ya, Bu. Aku mau cerai sama Elena.” Nathan beralih menatap ibu, sontak Elena langsung menangis hebat. Genggaman tangannya semakin erat. Elena menangis pilu. “Dari dulu, aku nggak bisa suka sama Elena selayaknya pasangan suami istri lainnya. Aku udah coba tapi tetap nggak bisa. Terlepas Elena bisa hamil atau nggak, dari awal aku emang nggak setuju sama perjodohan itu. Ayahku mengancam makanya aku mau dan aku bahkan ninggalin pacarku dulu yang lagi hamil. Maaf Bu, mungkin Ibu kecewa sama sikapku. Tapi aku kasih tahu Ibu yang sebenarnya, apa yang emang aku rasain selama ini.”

Tidak ada respon dari wanita itu. Mungkin terkejut oleh pernyataan Nathan sedangkan Elena terus saja menggeleng dan menangis sejadinya.

“Kak, ku mohon. Aku nggak mau pisah sama Kak Nathan. Aku sayang sama Kak Nathan, aku cinta sama Kak Nathan!” Elena berteriak histeris.

“Aku juga sayang kamu, tapi sayangnya sebagai adik. Maaf ya, aku tahu kamu kecewa sama aku tapi lebih baik aku jujur dari pada terus menyembunyikan fakta bahwa aku selama ini cuma pura-pura. Dari awal kamu tahu sendiri kalau aku pacaran sama Lia dan kamu bahkan tahu sendiri kalau aku akhirnya ninggalin dia karena dipaksa ayahku buat nikah sama kamu. Dari awal semua yang ku lakukan hanyalah paksaan dan aku nggak bisa tulus ngelakuin semuanya. Maaf ya, aku sayang kamu, kamu harus tahu itu tapi aku sayang kamu sebagai adikku. Adikku yang berharga. Di matamu mungkin aku terlihat jahat tapi kalau kamu tahu penderitaan yang Lia alami selama ini karena aku, mungkin kamu akan kasihan sama dia. Aku mutusin buat cerai bukan karena masalah anak. Ingat ya, bukan karena kamu nggak bisa ngasih aku anak tapi karena aku emang benar-benar mau tanggungjawab sama apa yang udah aku lakuin sama Lia. Selama lima tahun dia jauh dari aku, dia benar-benar menderita dan aku bahkan nggak tahu itu. Aku lebih baik ngasih tahu kamu yang sebenarnya dari pada harus sembunyi-sembunyi di belakangmu. Sekali lagi maaf, maaf.”

Nathan mengakhiri kalimat super panjangnya dengan helaan napas pelan. Dia menatap ibu yang sudah tak bisa berkata-kata, wanita itu termenung dengan kepala tertunduk. Sedangkan Elena masih menangis sesegukan.

Nathan melirik jam yang ada di dinding, pukul dua malam dan dia masih belum beranjak karena ingin memastikan Elena tenang dulu.

“Kak..” bibir Elena bergetar hebat. Dia menatap Nathan dengan mata sembab. “Hatiku sakit. Sakit banget.”

“Maaf.”

“Kak, aku pengen sendiri. Kak Nathan pergi aja.” Elena beranjak tapi Nathan menahan tangannya hingga dia kembali terduduk.

Nathan menangkup kedua pipi Elena dan mengusap sisa air mata yang ada di pipinya. “Aku akan selalu dukung kamu apapun yang mau kamu lakukan. Kamu bilang kemarin sama aku kalau kamu mau buka restoran, kan? Aku akan dukung keputusanmu soalnya masakanmu enak. Jangan nangis lagi ya, aku minta maaf karena nggak bisa jadi laki-laki yang baik buat kamu. Tapi kamu harus tahu bahwa apapun yang kamu lakukan, aku akan selalu mendukungmu.”

Tangisan Elena malah semakin menjadi. Suara rendah dan lembut Nathan yang dia rindukan kembali dia dengar malam ini.

“Aku butuh waktu sendiri.” Elena beranjak dan pergi ke kamarnya, meninggalkan Nathan dan ibunya dalam keheningan.

“Kamu mending pulang aja. Ibu juga butuh waktu sendiri.”

Nathan menghela napas berat dan beranjak untuk pulang. Dia sempat menatap pintu kamar Elena yang sudah tertutup rapat.

Nathan menepati janjinya untuk pulang, untuk segera kembali pada Lia. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi dan Nathan berharap Lia menunggunya tapi di satu sisi Nathan juga berharap Lia bisa terlelap. Nathan berharap penuturan panjangnya bisa menyadarkan ibu dan Elena bahwa bukan hanya Elena yang menderita. Tapi Nathan juga merasa menderita.

Dengan pelan, Nathan membuka kenop pintu dan berjinjit agar langkah kakinya tak menimbulkan suara. Syukurlah sepertinya semua orang sudah terlelap. Begitu membuka pintu kamar Lia, Nathan mendapati Lia sedang duduk di kursi riasnya sambil menatap ke arahnya. Lia pun langsung berdiri dan berhamburan ke dalam pelukan Nathan, menenggelamkan kepalanya di dada Nathan, mendengarkan setiap detak jantung Nathan yang dia yakini selalu berdetak untuknya.

Nathan membalas pelukan Lia, mengecupi kepala Lia dengan sayang. “Kenapa kamu nggak tidur dan malah nungguin aku pulang? Ini udah hampir jam empat pagi, sayang.”

“Kalau aku tidur takutnya kamu nggak pulang dan malah bohongin aku kalau kamu pulang. Aku juga nggak bisa tidur, aku kangen kamu, selalu kangen kamu. Aku nggak mau kamu jauh-jauh dariku.”

“Astaga, aku nggak mungkin bohong sama kamu.” Nathan menangkup kedua pipi Lia, ternyata Lia menangis. “Loh, kenapa malah nangis?”

“Nggak tahu. Pengen nangis aja.”

“Aku di sini dan akan selalu ada buat kamu mulai sekarang dan seterusnya. Aku nggak akan ke mana-mana lagi. Aku nggak akan pernah bosan bilang begitu sama kamu dan aku mau kamu percaya,” ujar Nathan dan Lia mengangguk. “Sekarang tidur, ya.”

Nathan melepas seluruh pakaiannya seperti semula dan hanya menyisakan celana pendek kemudian beranjak tidur bersama Lia.

“Peluk aku.”

“Tadi katanya nggak mau disentuh.”

“Sekarang mau.”

Nathan terkekeh. “Iya, sayang.”

*

“Ibu, surat perceraian butuh tanda tangan kedua belah pihak, kan? Kalau aku nggak setuju dan nggak mau tanda tangan, perceraiannya nggak jadi?” tanya Elena ketika dia akhirnya memilih tidur bersama ibunya. “Aku sayang sama Kak Nathan.”

**

Ayahnya Jean.

Mamanya Jean.

*

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.

misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.

©dear2jae
2021.05.10 — Senin.
2023.11.05 — Minggu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top