36.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Mengajak Jean datang bersamanya sangatlah pilihan yang tepat, untung saja Nathan cepat terpikirkan akan hal itu. Mendengar penuturan Saka mengenai bagaimana Lia diabaikan oleh orang tua mereka hingga akhirnya Jean membuat mereka luluh, ingin Nathan coba pada ibunya. Dan sepertinya, Nathan patut tersenyum senang sebab raut wajah Hana yang semula kaku berubah melunak sedikit demi sedikit. Tapi entahlah, apakah ini akan bertahan lama atau tidak.

Saat ini Jean sedang menggambar sesuatu di samping Hana setelah sebelumnya Agung mengeluarkan beberapa lembar peralatan menggambar yang dia beli untuk cucunya tempo hari. Nathan kini memperbaiki posisi duduknya senyaman mungkin karena ucapannya soal perceraian akan menjadi bahasan yang panjang.

“Kalau Ayah, apapun keputusanmu silahkan. Ayah nggak nolak dan Ayah juga nggak mendukung. Intinya semua ada di tanganmu, itu kehidupanmu, kamu udah dewasa dan Ayah percaya kamu pasti bisa mengatasinya.” Agung bermain netral di depan istrinya, mencari aman terlebih dahulu. Padahal kalau ditelisik, Agung itu pro terhadap keputusan Nathan. “Sekarang, Ayah nggak akan ikut campur lagi masalah hidupmu.”

Ucapan Agung sudah terperinci jelas dan padat sedangkan Hana masih belum memberikan reaksi apa-apa. Agung berpindah duduk di dekat Jean supaya dia bisa membantu Jean menggambar. Lagi pula semua yang ingin dia katakan sudah tersampaikan.

“Ayah, liat..” Jean mengangkat lembaran kertasnya dan memperlihatkan sebuah gambar di depan Nathan. “Ini Ayah, aku dan mama.”

Tatapan Hana tertuju pada gambar Jean dan hatinya kembali bergemuruh hebat. Mengingat bagaimana Jean selama ini hidup tanpa sosok ayah di sampingnya membuat Jean saat ini begitu terlihat menyayangi Nathan.

“Gambaranmu bagus. Siapa yang ngajarin?” tanya Agung sambil ikut mewarnai gambaran Jean.

“Bu Guru,” jawab Jean. “Nanti aku gambar Kakek dan Nenek juga. Tapi aku ikut ya, aku akan gambar Kakek, aku dan Nenek. Nanti kita pergi ke akuarium, ya. Kakek liat nanti lumba-lumbanya besar.”

Bahagia? Kata itu bahkan tidak cukup untuk menggambarkan bagaimana perasaan Agung saat ini. Dia benar-benar bahagia, lebih dari sekadar bahagia yang terucap di mulut. Begitu bahagia hingga dia tidak sadar air mata menetes dari sudut matanya. Agung buru-buru mengusapnya.

“Kalau kamu mau cerai untuk tanggungjawab sama Jean aja, kamu bisa ngajak Jean tinggal sama kamu, sama Elena.” Hana memfokuskan tatapannya pada Nathan.

“Kalau cuma itu masalahnya, udah dari dulu aku ngajak Jean buat tinggal sama aku. Tapi di sini, selain karena aku nggak mau pisahin anakku sama mamanya, aku juga butuh Lia, Bu. Bukan cuma pengen sama Jean tapi aku pengen sama Lia juga. Ibu kira selama enam tahun ini aku udah ngelupain Lia? Nggak, Bu. Sedikitpun aku nggak pernah ngelupain Lia. Ibu kira selama enam tahun ini aku sayang sama Elena? Nggak, Bu. Aku nggak bisa sayang sama dia selayaknya suami istri normal. Aku cuma anggap Elena adikku. Pernikahan kita nggak didasari oleh perasaan suka satu sama lain, di sini cuma Elena yang sayang sama aku tapi akunya nggak.” Nathan berujar panjang lebar dengan tatapan mata tertuju lurus pada ibunya.

“Aku tahu Elena akan mikir aku ninggalin dia karena Lia udah ngasih aku anak. Tapi jauh dari fakta itu bahwa, bisa nggaknya Lia ngasih aku anak, aku akan tetap mau balik sama Lia. Atau singkatnya gini, Bu, kalau Elena dan Lia berada dalam situasi yang sama yaitu sama-sama nggak bisa hamil, aku akan tetap dengan keputusanku buat balik sama Lia. Terserah apakah Lia bisa hamil atau nggak, aku akan tetap balik sama dia. Perasaanku ke Lia itu nggak main-main, Bu.”

Hana malah bungkam. Wanita itu menunduk dalam diam sambil berusaha mencerna kalimat panjang Nathan. Dan inti dari itu semua adalah Nathan mencintai Lia.

“Bisa Ibu bicara sama Lia?” tanya Hana setelah sempat diam.

“Dan Ibu akan maksa Lia buat lepasin aku? Ibu akan nyuruh Lia buat lepasin Jean buat aku?” terka Nathan dengan kekehan kecil. “Aku yang nggak akan pernah lepasin Lia sama Jean sampai kapanpun. Ibu ingat itu.”

“Intinya Ibu mau ketemu sama dia dulu. Baru Ibu akan ambil keputusan apakah setuju sama keputusanmu atau nggak.” Hana beranjak tapi Jean malah menahan tangannya. Menggenggam jari kelingkingnya dengan erat.

“Nenek mau ke mana? Katanya mau main sama aku?” Jean mendongak dengan wajah polosnya, hebatnya Hana kembali duduk dan membantu Jean mewarnai gambarannya bersama Agung. “Nanti aku gambar Kakek sama Nenek, ya. Aku minta bantuan mama di rumah.”

“Siap, bos kecil.” Agung kemudian mencubit pipi Jean saking gemasnya. Jean tertawa geli.

Sejenak, pikiran Nathan tertuju pada Lia yang saat ini bertemu dengan Elena. Nathan benar-benar berharap bahwa Lia menepati ucapannya untuk terus mempertahankannya.

*

Lia senyum-senyum sendiri saat melihat satu pesan masuk dari Nathan yang berisi sebuah foto saat Jean menggambar sesuatu bersama Agung dan Hana hingga Lia tidak sadar Elena sudah datang. Lia buru-buru meletakkan ponselnya dan mengulas senyum saat Elena juga melakukan hal yang sama.

Lia masih diam, menunggu Elena untuk memulai pembicaraan. Karena di sini Elena yang meminta bertemu, bukan dia.

“Kak, aku langsung to the point aja, ya,” ujar Elena lalu menatap Lia dengan wajah serius. Lia mengangguk, sudah siap mendengar apa yang akan diucapkan oleh Elena. “Gini Kak, Kak Lia bilang nggak mau nuntut tanggungjawab dari Kak Nathan. Tapi di sini Kak Nathan kayaknya nggak enak sama Kak Lia. Jadi, gimana kalau Jean tinggal sama Kak Nathan aja, sama aku. Dengan begitu Kak Nathan bisa ngurus Jean dan tanggungjawab buat Jean?”

Bukannya marah atau merasa kesal dan emosi, Lia malah terkekeh pelan menanggapi permintaan Elena yang terdengar sangat konyol.

“Walaupun aku nggak minta tanggungjawab tapi aku nggak akan pernah mau ngelepasin Jean.” Lia kembali dengan raut wajah seriusnya. “Dan juga, walaupun aku nggak minta tanggungjawab. Tapi pada kenyataannya Nathan tetap mau tanggungjawab. Dan bukan dengan cara ngambil Jean dari aku dan ngajak Jean tinggal sama kalian.”

Elena agak kaget sebab sikap Lia berubah drastis sejak pertemuan terakhir mereka. Elena sengaja bicara pada Lia perihal masalah ini karena Elena menyadari dari pertemuan terakhir mereka kalau Lia sepertinya akan lebih cepat luluh. Tapi sekarang Lia tidak lagi seperti itu, Lia tidak akan pernah melepaskan apa yang menurutnya patut diperjuangkan. Lia juga sadar kalau saat ini Elena malah semakin ngelunjak setelah diberi sedikit angin segar.

“Kak Nathan kayaknya mau tinggal bareng Jean, nanti aku yang ngomong. Soalnya selama ini Kak Lia udah capek ngurusin Jean. Sekarang giliran Kak Nathan yang ngurus Jean.”

“Aku nggak capek dan nggak akan pernah capek ngurus anakku sendiri. Lagian aku udah bilang sama Nathan kalau pintu rumahku selalu terbuka buat dia. Kapanpun dia mau datang, aku sama Jean akan selalu menyambutnya.”

Elena membeku mendengar penuturan Lia. Tidak menyangka bahwa sikap Lia benar-benar berubah.

“Kak Lia..” bibir Elena bergetar. “Bukannya Kak Lia udah janji ya nggak akan ngerebut Kak Nathan dari aku. Kenapa sekarang Kak Lia ngomong kayak gitu?”

“Aku nggak ngerebut, Nathan yang mau datang ke aku dan aku memutuskan buat nerima dia karena.. Karena aku juga masih sayang sama dia, aku masih cinta sama dia dan karena dia adalah ayahnya Jean, anakku, ayah dari anakku.”

Lia benar-benar menepati ucapannya pada Nathan bahwa dia akan mempertahankan laki-laki itu. Perasaan iba itu selalu ada tapi di sini, semua orang berhak bahagia dan Lia ingin bahagia.

“Kak Lia..” Elena menangis, kepalanya tertunduk lesu, tangannya mengepal kuat. Hening sejenak karena Elena masih mengusap air matanya. Sedangkan Lia malah dengan santai menyeruput minumannya. Tak lama, Elena kembali mengangkat wajahnya dan menatap Lia lurus. “Aku nggak akan pernah ngelepasin Kak Nathan. Aku nggak akan pernah ngebiarin Kak Nathan balik sama Kak Lia. Ingat itu.”

Lalu begitu saja Elena beranjak, meraih kasar tas selempangnya dan meninggalkan Lia sendirian dalam diam.

“Ya, whatever lah.” Lia bergumam pelan dan kembali menyeruput minumannya sampai habis.

Lia begitu terkejut saat sebuah tangan menyentuh pelan bahunya dari belakang. Kalau tidak digenggam dengan erat maka gelas minumannya pasti sudah terjatuh. Lia menoleh dengan wajah jengkel dan mendapati Yesi sedang tersenyum lebar ke arahnya. Astaga, kedua matanya bahkan hilang sama seperti Jevin kalau sedang tersenyum.

Tiba-tiba saja Yesi mengacungi Lia kedua jempolnya. “Good job, aku tadi dengar semua percakapan kalian. Aku duduk di belakangmu.”

“Astaga, kamu hobinya ngagetin orang, ya.” Lia mengelus pelan dadanya. “Kenapa nggak gabunga aja?”

Yesi beranjak duduk di depan Lia. “Nggak enak ganggu soalnya kalian lagi serius-seriusnya. By the way, kamu hebat loh udah bisa menyuarakan isi hatimu. Mulai sekarang tetap pertahankan sifatmu yang kayak gini. Jangan mau ngalah-ngalah terus, kita semua berhak bahagia.”

Lia terkekeh melihat semangat Yesi yang menggebu-gebu saat memberinya petuah. “Kamu udah ke mana?”

“Lagi nungguin Jevin. Kita mau liat-liat cincin.”

“Cincin? Oh my god. Kalian..?”

Yup!” jawab Yesi antusias. “Tapi lamarannya Jevin nggak ada romantisnya sama sekali. Kamu tahu nggak, dia ngajak aku nikah waktu kita lagi di apartemennya, nggak ada persiapan apa-apa, minimal cincin lah. Ini nggak ada sama sekali. Tapi walaupun gitu ya aku tetep terima soalnya sayang.”

Lia benar-benar kagum akan sosok Yesi yang selalu mengutarakan apa yang ada dipikirannya tanpa beban.

“Hobi baru ya mengumbar aib calon suami?” Jevin nyeletuk dari belakang Yesi, sepertinya baru datang dan dia mendengar semua ucapan Yesi. Dia kemudian beranjak duduk di samping Yesi. Yesi hanya terkekeh pelan melihat wajah jengkel Jevin. “Kamu ngapain santai-santai di sini? Di kantor kerjaan numpuk tapi kamu malah main-main.”

“Tadi ketemu sama Elena. Biasalah ngomongin Nathan yang nggak ada ujungnya makanya aku di sini, astaga. Besok juga aku balik kerja kok. Cerewet banget sih mentang-mentang mau nikah.” Lia menggerutu.

“Gimana honeymoon kalian?” tanya Jevin.

What? Honeymoon?” Yesi melotot kaget.

Lia langsung mencubit punggung tangan Jevin dengan keras. “Honeymoon apanya. Kita cuma ngajak Jean jalan-jalan aja.”

“Bohong banget,” ejek Jevin. “Nathan bilang kamu menguasai permainan. Terus kamu suka posisi women on top. Sama sih kayak Yesi, dia juga suka posisi itu. Ya, kan, sayang?”

“HEH!” Lia dan Yesi kompak berteriak saat Jevin menyelesaikan kalimatnya.

Yesi mencubit lengan Jevin dan menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah tomat. Yesi menunduk malu sedangkan Lia hanya tertawa pelan melihatnya. Dalam hati Lia bersumpah kalau nanti dia pasti akan melayangkan setidaknya satu pukulan pada Nathan karena sudah bergosip hal-hal seperti itu bersama Jevin.

“Mulutmu minta dijahit, ya?” bisik Yesi yang masih menunduk malu.

Lia melihat kedua pasangan itu dengan senyum yang mengembang. Syukurlah Jevin sudah menemukan orang yang tepat.

“Awalnya malu-malu malah seterusnya lebih dominan. Aku jadi kewalahan.” Jevin masih saja menggoda Yesi. Tapi tentu saja Jevin mengucapkannya dengan suara pelan, memastikan hanya mereka yang mendengarnya. Yesi semakin mencubiti semua tubuh Jevin karena tidak mau berhenti. Lia terkekeh pelan. “Ngapain malu segala di depan Lia yang udah pro.”

“JEV!” teriak Lia.

Lalu mereka tertawa bersama ketika akhirnya Yesi mengangkat kepalanya dan malah tersenyum lebar.

*

Nathan menatap puluhan pesan masuk dari Elena yang ingin bertemu dengannya sekarang juga. Sepertinya Elena belum tahu soal kepulangan Nathan karena dia masih di rumah ibunya. Tapi Nathan tidak berniat membalasnya, malah menonaktifkan ponselnya dan memfokuskan perhatiannya pada Jean yang saat ini sedang memakan es krim.

Sepulang dari rumah orang tuanya, Nathan mengajak Jean untuk jalan-jalan sambil menikmati waktu menjelang sore. Lia belum mengabari sedangkan Elena sepertinya sudah pulang. Nathan sudah menghubungi tapi tidak ada respon dari Lia.

“Ayah..” Jean menyodorkan sesendok es krim di depan mulut Nathan. Anak rambutnya berterbangan karena embusan angin sore. Nathan menunduk dan menyambut uluran tangan Jean hingga tak sadar ponselnya tertajuh dan agak menggelinding sebab dataran tempat mereka duduk agak tinggi.

“Tunggu sini.” Nathan berdiri dan hendak memungut ponselnya tapi seseorang lebih dulu meraihnya, mengambilnya dan memberikan ponsel itu padanya. “Terima kasih.”

“Sama-sama,” ujar perempuan itu dan berlalu pergi.

Ketika Nathan kembali, dia kaget karena melihat mulut Jean yang belepotan karena noda es krim. Untung saja Nathan juga membeli tisu jadi dia bisa langsung membersihkan mulut Jean.

“Pulang aja, ya. Kita tunggu mama di rumah. Kayaknya dia lupa sama kita makanya nggak angkat telpon dari Ayah.” Nathan mengangkat tubuh Jean ke dalam gendongannya lalu memutuskan untuk pulang.

Nathan melajukan mobilnya dengan pelan, memastikan Jean aman. Sepanjang perjalanan, Nathan begitu terhibur sebab Jean tak henti-hentinya bernyanyi nama-nama binatang yang diajarkan di sekolahnya. Juga nama-nama buah-buahan.

Bersyukurlah Nathan sebab dia bertemu dengan anaknya saat masih umur enam tahun. Setidaknya dia masih bisa melihat tumbuh kembang Jean yang begitu menggemaskan. Bayangkan jika bertemu Jean setelah Jean remaja atau dewasa. Maka akan lebih sulit bagi Jean untuk menerimanya sebab Jean sudah paham situasi.

Begitu sampai rumah, ternyata Lia sudah ada di ruang tengah. Duduk bersila di atas kursi sambil memakan snack yang dia beli di mini market seberang jalan sepulangnya bertemu Elena.

“Kenapa kamu nggak angkat telponku, astaga. Aku kira kamu kelayapan ke sana kemari.” Nathan beranjak duduk di dekat Lia bersama Jean. “Aku kira kamu belum pulang makanya aku tadi ngajak Jean main sebentar.”

Tangan kiri Nathan terulur dan melingkar di bahu Lia. “Sayang, kamu kenapa? Jangan bikin aku overthinking, ya.” Nathan menyentuh pipi Lia yang masih saja diam.

Jean menonton televisi sambil bersandar pada dada Nathan. Sedangkan Lia membalik posisinya menyamping dan menatap wajah Nathan dari samping.

“Elena mau kamu tanggungjawab sama Jean dengan cara Jean tinggal sama kamu, sama dia. Supaya kamu nggak perlu tinggalin dia soalnya aku, kan, nggak nuntut tanggungjawab dari kamu.”

“Terus, kamu jawab apa?”

“Nggak maulah. Ngapain aku biarin anakku tinggal sama orang lain. Ya, walaupun kamu ayahnya tapi aku nggak akan pernah ngelepasin Jean. Intinya aku bilang sama dia kalau sekarang aku bakalan ngerebut kamu darinya.”

“Astaga, sayangku.” Nathan terkekeh lalu mendaratkan satu kecupan pada bibir Lia. Berterima kasih karena tidak menyerah. “Aku udah takut kamu bakalan ngalah lagi.”

Lia menggeleng pelan. “Aku nggak akan ngalah-ngalah lagi. Aku juga pengen bahagia.”

“Iya, iya sayang.”

“Tadi kamu ngomong apa sama ibu kamu?” tanya Lia.

“Permintaannya sama kayak Elena. Pengen Jean tinggal sama aku, sama Elena tapi aku nolak lah sama kayak kamu. Mana tega aku pisahin Jean sama kamu. Intinya kamu jangan ke mana-mana, cukup tunggu aku di sini dan aku akan datang.” Nathan menunduk dan kembali menjemput bibir Lia ke dalam sebuah kuluman kecil. Beruntunglah Jean fokus pada layar televisi.

“Ma,” celetuk Jean, membuat tautan bibir mereka terlepas. “Tadi ayah ketemu sama orang.”

Lia sontak melotot kaget dan memegang bahu Jean lalu membuat anaknya menghadap ke arahnya.

“Di mana, sama siapa?”

“Nggak tahu. Dia perempuan.”

“Jean, stop. Liat itu kartunmu.” Nathan mengarahkan kepala Jean ke depan tapi Lia menahan tangannya.

“Tadi, waktu aku lagi makan es krim.”

“Astaga Jean, sayangku, anakku sayang.” Nathan terkekeh. “Itu ponsel Ayah jatuh terus diambilin sama orang itu yang kebetulan lewat makanya dikasih ke Ayah dan Ayah bilang terima kasih. Ayah nggak ketemu sama siapa-siapa, jangan bikin mamamu marah, astaga.”

Lia beralih menatap Nathan dengan tajam. “Oh, gitu, ya. Oke.” Lalu Lia beranjak ke kamar, meninggalkan Nathan dan Jean.

Nathan hanya bisa menghela napas pasrah dan mengusap kepala Jean dengan pelan. “Udah pintar ya ngadu-ngadu ke mama. Liat, mama kamu marah sama Ayah. Nanti Ayah nggak dibiarin tidur di dalam. Kamu mau Ayah tidur di luar?”

“Nanti tidur sama aku.”

“Oh, anakku sayang.” Nathan tertawa miris. Jean sama sekali tidak merasa bersalah.

**

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.

misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.

©dear2jae
2021.05.09 — Minggu.
2023.11.05 — Minggu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top