35.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Sebenarnya Nathan ingin tinggal lebih lama lagi hotel agar dia dan Lia juga Jean bisa menghabiskan banyak waktu. Tapi Lia memaksa untuk pulang. Selain karena urusan pekerjaan yang akan menumpuk nantinya, Lia juga tidak ingin berlama-lama menetap di hotel di saat dia punya rumah untuk ditinggali.
“Kamu bisa pulang kapan aja. Pintu rumah selalu terbuka untukmu,” ujar Lia ketika Nathan membantah ucapannya yang ingin pulang. “Kita bisa menghabiskan waktu di rumah. Aku harus kerja, kamu harus kerja, Jean juga harus sekolah. Jadi, kita pulang, ya?”
Lalu akhirnya Nathan mengiakan keinginan Lia setelah Lia memberinya satu kecupan di pipi yang kebetulan dilihat oleh Jean dan langsung membuat Jean merengek sebab dia terlupakan.
Sepanjang perjalanan pulang, selain karena harus menghadapi permasalahannya yang rumit, Nathan juga merasa gugup. Sebab semalam Saka mengabari kalau orang tua mereka akan datang. Kata Saka, ibunya merindukan Jean jadi hari ini mereka berangkat dan mungkin akan sampai nanti malam. Tidak dipungkiri kalau Nathan merasa sedikit takut karena kemarin Saka pernah bercerita bagaimana marahnya orang tua mereka ketika tahu Lia hamil di luar nikah oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Bisa Nathan pastikan kalau imagenya sudah buruk di mata orang tua Lia.
Waktu itu sehari setelah Nathan tahu bahwa Jean anaknya, Nathan meminta Saka untuk bertemu karena banyak hal yang ingin dia tanyakan perihal Jean dan kehidupan Lia selama mengurus Jean sendirian. Saka dengan senang hati mengiakan karena dia sangat ingin Nathan tahu bagaimana tersiksanya Lia selama lima tahun terkahir ini.
Ditemani dua cup ice coffee dan beberapa cake, Saka mulai bercerita pada Nathan. Kalau Lia tahu, Saka pasti akan di omeli habis-habisan tapi untunglah Lia tidak tahu.
“Dulu waktu Kak Lia tahu dirinya hamil, setelah wiusda dia nyusulin kita. Padahal dulu waktu Kak Lia selalu bilang mau kerja di sini.” Saka menyeruput ice coffeenya sejenak. “Aku tanya sama Kak Lia kenapa dia pengen stay di sini, katanya dia nggak bisa ninggalin seseorang. Mereka udah janji buat lulus sama-sama dan kerja sama-sama. Tapi nyatanya Kak Lia datang dan itu buat ayah heran, aku juga heran.”
Baru mendengar sepenggal kalimat dari Saka saja, hati Nathan sudah mulai nyeri.
“Terus akhirnya Kak Lia ngasih tahu sama ayah dan ibu. Waktu itu ibu langsung pingsan dan ayah marah banget sampai-sampai wajah ayah memerah nahan marah. Untung ayah nggak mukulin Kak Lia, aku takut banget ayah hilang kendali dan mukulin Kak Lia makanya aku ikut duduk.” Saka bahkan masih mengingat dengan jelas raut wajah ayahnya yang sangat marah. “Sejak hari itu, ayah sama ibu nggak pernah mau ngomong sama Kak Lia. Kak Lia terabaikan di rumah, makanya aku tiap malam selalu menghibur Kak Lia.”
Tidak ada hal yang lebih menyakitkan saat ini selain mendengar bahwa Lia menanggung semua akibat perbuatannya.
“Kak Lia tiap hari nangis sambil ngelus perutnya. Aku bahkan ikutan nangis waktu itu.” Saka tersenyum miris. “Dan selama sembilan bulan itu, ayah sama ibu nggak pernah mau ngomong sama Kak Lia. Pas Jean lahir, baru ayah sama ibu sedikit demi sedikit melunak dan akhirnya luluh juga saat Jean panggil mereka nenek dan kakek.”
“Kalau kamu mau pukul aku, pukul aja sekarang. Nggak apa-apa, ayo pukul.” Nathan berujar dengan bibir yang bergetar.
Namun Saka menggeleng. “Kak Lia nggak ngebolehin aku buat pukul Kak Nathan. Aku sih maunya gitu, mau pukul sampai mampus tapi Kak Lia nggak ngebolehin.”
Perasaan Nathan tidak karuan. Di saat Lia begitu menderita karena perbuatannya, perempuan itu masih saja membelanya.
“Kak Lia emang bilang kalau rasa sakit yang dia rasain semuanya hilang waktu Jean lahir. Tapi ternyata kesedihannya nggak sampai di situ. Hari-hari merawat Jean juga dipenuhi air mata soalnya Kak Lia memutuskan buat tinggal terpisah sama kita. Dia ke sana ke mari nyari kerjaan, belum lagi ngurus Jean yang masih butuh perhatian. Makanya sepulang kuliah aku pasti mampir ke apartemennya buat bantu ngurusin Jean.” Saka menatap Nathan yang kini sudah berlinang air mata. Nathan menunduk dalam diam. “Kak Lia juga kadang sedih soalnya kalau ada study tour dari sekolah Jean, pasti orang tua anak-anak yang lain ikut, lengkap ayah dan ibu. Tapi Kak Lia selalu sendiri dan Jean pasti nanya ayahnya di mana.”
Pernapasan Nathan rasanya tersendat, dadanya sesak, matanya memburam karena air mata. Pasokan oksigen rasanya menipis. Nathan menangis sesegukan.
Itulah sebabnya kenapa Nathan begitu ingin kembali bersama Lia, menggantikan kekosongan dirinya selama lima tahun terkahir. Tapi si keras kepala Lia ternyata butuh waktu yang lama untuk tersadar bahwa Nathan benar-benar serius.
Saat sampai di rumah, Jean sudah tertidur dengan pulas dalam gendongan Nathan. Setelah turun dari taksi, Nathan segera masuk ke rumah untuk meletakkan tubuh Jean di atas ranjang agar tidurnya nyenyak. Sedangkan Lia hendak bersih-bersih karena tahu pasti rumah akan berantakan sebab Saka yang malas tidak akan mau beres-beres. Tapi ternyata, Lia mendapati rumah dalam keadaan bersih dan rapi. Ini aneh karena Saka punya sifat malas membersihkan.
Setelah memastikan Jean pulas lagi, Nathan dengan hati-hati menutup pintu. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, tadinya Lia mau berangkat kerja. Tapi Nathan tidak mengizinkan dan hal itu sontak membuat Jeno marah-marah.
Pintu kamar Saka terbuka dan yang keluar bukan Saka melainkan seorang perempuan. Lia melotot kaget melihat pakaian perempuan itu yang hanya mengenakan dress tank top dan terdapat beberapa kissmark di lehernya. Saka muncul di belakang dengan wajah setengah sadar. Tak dipungkiri kalau perempuan itu juga merasa kaget.
“Kenapa diem di sini?” tanya Saka yang belum menyadari keberadaan kakaknya.
Lia hendak mengeluarkan kata-katanya tapi Nathan yang sadar langsung memegang tangan Lia. “Jangan marah, Saka udah dewasa. Kamu aja dulu pernah kayak gitu sama aku jadi bairin aja mereka. Mereka udah tahu mana yang baik dan nggak baik.”
Lia menatap Nathan dengan sengit.
“Loh, Kak Lia, Kak Nathan!” seru Saka saat sadar bahwa Lia dan Nathan sedang menatap ke arah mereka. “Bukannya kalian mau pulang lusa, ya? Kenapa sekarang udah pulang aja?”
“Santai aja, dek. Nggak usah panik gitu. Kita ngerti kok.” Nathan menyeret tangan Lia menuju kamar sebelum perempuan itu murka. Tapi Lia masih bergeming, dia ingin mendengar penjelasan dari adiknya.
Saka menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Kenalin Kak, ini pacarku namanya Wina. Dia rekan kerjaku di kantor.”
Barulah Wina mengulas senyum kecil saat Saka mengenalkannnya di hadapan Lia dan Nathan. “Halo, Kak.”
“Santai aja, Win. Kalian lanjutin aja kegiatannya, kita nggak akan ganggu.” Nathan kembali menyeret tangan Lia dengan sekuat tenaga.
“Kenapa kamu nggak masuk kerja?” teriak Lia yang hampir hilang di ambang pintu. Dan pantas saja rumah dalam keadaan rapi, sepertinya perempuan itu yang membersihkannya.
“Libur!” teriak Saka dan kembali menarik tangan Wina untuk masuk ke kamar. Saka sempat mengedipkan sebelah matanya pada Nathan karena Nathan sudah membantunya lepas dari amukan Lia. “Have fun, Kak Nathan!”
“YOI!”
“Lepasin, astaga. Kamu kira aku barang main seret-seret aja!” Lia menepis tangan Nathan dengan raut wajah jengkel. Hampir saja tadi dia hilang kendali dan memarahi Saka habis-habisan. Tapi Lia langsung sadar kalau dulu dia pernah melakukan hal yang sama bersama Nathan bahkan sekarang hasilnya sudah berumur enam tahun. “By the way, pacarnya Saka cantik, ya.”
Nathan hanya menanggapi Lia dengan anggukan kecil. Dia kemudian memegang bahu Lia dan membuat Lia berhadapan dengannya.
“Aku balik ke rumahku dulu, ya. Sekalian aku mau ngomong sama ayah soal kamu dan Jean. Besok kalau orang tuamu datang, aku akan temui mereka juga. Nanti malam aku pulang ke sini.” Nathan merengkuh tubuh Lia ke dalam pelukannya.
Lia membalas pelukan Nathan. “Kamu mau pulang sekarang atau mau sarapan dulu di sini?”
“Aku nggak pulang ke rumahku, tapi aku cuma balik aja. Pulangku selalu ada di sini, pulangku itu ke kamu sama Jean.” Nathan mengoreksi dan memberikan kecupan pelan pada pipi Lia. Lia tersenyum senang. “Aku balik sekarang, nanti malam pulang. Kalau Jean nanya bilang aja kerja bentar, nanti malam pulang.”
“Iya, sayangku.” Bukannya melepas pelukan Nathan, Lia malah semakin mengeratkannya. “Kenapa aku nggak mau kamu pergi, ya?”
“Nanti malam pulang, sayang. Tonight you can own my body, love. Of course after Jean fall asleep.” Nathan terkekeh pelan lalu melepas kaitan tangan Lia pada pinggangnya. “Kalau kamu jadi ketemu sama Elena, kabarin. Awas aja kalau diem-diem ketemu, kamu akan dapat hukuman.”
“What kind of punishment?” tanya Lia masih bermanja-manja pada lengan Nathan.
“You know it so well.” Nathan berbisik dengan tawanya yang khas.
Mereka kemudian tertawa bersama, Lia masih menggandeng tangan Nathan dan mengantarnya hingga depan teras. Nathan merasa begitu bahagia, pada akhirnya Lianya kembali. Sifat dan sikap ceria Lia kembali.
“Hati-hati, sayang.” Lia melambaikan tangan.
“Iya, sayang.”
*
Sebetulnya Nathan ingin langsung ke rumah orang tuanya untuk membicarakan perihal keputusannya yang ingin bercerai tapi dia memutuskan untuk mampir ke rumahnya dulu. Begitu dia masuk, dia tidak mendapati rumahnya dalam keadaan kosong. Sepertinya Elena masih berada di rumah ibunya. Syukurlah jadi Nathan bisa mengganti baju tanpa direcoki oleh Elena.
Hanya sekejap saja sebab Nathan langsung meraih kunci mobilnya dan melesat menuju rumah orang tuanya. Dia tidak mau menunda-nunda lagi, dia tidak mau membuat Lia dan Jean menunggu lebih lama, dia ingin segera bergabung dengan orang-orang yang dicintainya.
Nathan pernah bilang bahwa, jika Lia menginginkan dirinya maka saat itu juga Nathan akan memutuskan untuk segera memberitahu orang tuanya bahwa dia mau bercerai. Dan sekarang, Lia menginginkannya, Jean menginginkannya untuk pulang. Maka saat ini juga Nathan akan memberitahu keputusannya pada orang tuanya.
Selagi dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya, Nathan merasakan ponselnya berdering dan menatap sebuah pesan masuk dari Lia.
“Aku jadi ketemu sama Elena hari ini. Jean mau pergi main sama Saka dan Wina.”
Sebenarnya Nathan khawatir kalau Lia menemui Elena. Nathan takut Lia akan kembali berubah pikiran karena merasa kasihan. Tapi Lia memintanya untuk percaya dan Nathan akan melakukannya, percaya pada Lia.
“Iya, sayang. Hati-hati.” Nathan membalas lalu kembali menyelipkan ponselnya ke dalam saku. Tapi kemudian, Nathan terpikirkan sesuatu lalu dia memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah Lia. Rumahnya. Pulangnya.
Beruntung, Nathan datang di saat Saka, Wina dan Jean baru keluar dari rumah bersama Lia juga. Lia agak terkejut karena baru saja mendapat balasan pesan dari Nathan, orangnya sudah tiba di sini.
“Ngapain di sini?” tanya Lia.
“Jean, mau ikut Ayah? Kita ke rumah nenek, main.” Nathan menawari.
Mendengar ucapan Nathan, Saka sontak memekik girang sebab hari ini dia mau pergi kencan. Tapi karena Lia ada urusan maka Jean dititipkan bersamanya. Saka berdoa semoga Jean mengiakan.
“Mau!” Jean langsung menerima uluran tangan Nathan.
“Kenapa ngajak Jean?” bisik Lia setelah Saka dan Wina pergi dengan senyum sumringah.
“Supaya mereka cepat luluh. Kamu tahu, kan, anak kita pandai buat orang luluh.” Nathan mengangkat Jean ke dalam gendongannya lalu mencuri satu kecupan dari Lia. “Ayo ku antar. Kalian mau ketemu di mana?”
Lia mengangguk dan segera masuk ke mobil bersama Nathan dan Jean.
*
Kalau bersama Nathan, Jean selalu antusias. Ke manapun Nathan mengajaknya, Jean selalu mau. Yang penting bersama ayah. Dan seperti kata Nathan bahwa Jean mampu membuat semua orang luluh oleh wajah dan ucapan polosnya. Seperti sekarang ini, saat mereka baru saja datang di rumah Agung dan Hana, Jean langsung berlari dari pintu utama menuju ruang tengah saat melihat Hana ada di sana bersama Agung.
“Nenek!” teriak Jean dengan tawanya, tangannya dia rentangkan dan begitu sampai di depan Hana, Jean langsung memeluk wanita itu. “Nenek aku datang lagi.”
Sungguh pemandangan yang sangat indah bagi Nathan maupun Agung. Hana sempat kaget tapi raut wajahnya langsung berubah hangat saat menyambut uluran tangan Jean.
“Iya, sayang. Kamu sama siapa?” tanya Hana dan mengangkat Jean ke atas pangkuannya. Raut wajah senang wanita itu tak bisa disembunyikan, bahkan dari jauh saja Nathan bisa melihatnya.
“Sama ayah,” tunjuk Jean pada Nathan yang berjalan ke arah mereka.
“Kalian habis dari mana?” tanya Agung seraya menyodorkan kue kering pada Jean.
“Sengaja datang ke sini soalnya mau ngomong sesuatu sama kalian. Oh ya Ayah, aku kembali tadi pagi. Besok kayaknya mulai masuk kerja.” Nathan beranjak duduk di depan orang tuanya.
Jean menyodorkan kue itu pada Nathan dan Nathan mengambilnya. “Nek, kemarin aku sama ayah sama nama habis liat lumba-lumba.” Jean bercerita dengan antusias.
“Di mana?” tanya Hana sambil mengambil gelas air untuk Jean. Ketika Jean menyebut mama, raut wajah Hana berubah dan menatap Nathan meminta penjelasan.
“Di Akuarium besar. Iya, kan, Ayah.”
“Iya, sayang.” Nathan menjawab pernyataan Jean tapi matanya melirik ke arah Hana. “Oh ya, Ayah, Ibu, aku mau cerai sama Elena.”
Seketika suasana berubah hening, hanya ada suara gigi-gigi kecil Jean yang mengunyah kue kering. Nathan menatap lurus ke arah ibunya yang masih membeku. Sedangkan Agung bersikap biasa saja. Untunglah Hana tidak pingsan.
“Nenek, kuenya enak. Nanti buatin aku, ya. Mau aku bawa pulang, mau ngasih mama juga. Mama pasti suka karena ini enak.” Jean mendongak dan menatap Hana dengan senyum kecilnya.
Nathan tersenyum kemenangan saat Jean begitu membantunya hari ini. Hana mengembuskan napas pelan, berusaha menormalkan deru napasnya yang memburu. Raut wajah Hana yang semula tegang perlahan melemas dan tangannya mengusap pelan kepala Jean.
“Iya, nanti Nenek buatin, ya.”
“Asik, aku sayang Nenek..” Jean memeluk Hana dan tak lama sadar bahwa ada kakeknya juga di sana. “Aku sayang Kakek juga.” Agung tersenyum.
**
ingat ya guys, ini hanya fanfic, semuanya fiktif, karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.
©dear2jae
2021.05.08 — Sabtu.
2023.11.04 — Sabtu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top