31.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

“Jean, sayang, please!” Lia bersimpuh di depan Jean yang saat ini duduk di atas sofa sambil memakan satu bungkus penuh snack kesukaannya.

Ini hari ketiga sejak Nathan menghilang dari pandangan Jean dan Jean masih menolak untuk makan. Snack dan minuman botol memang selalu dia makan tapi tetap saja anak itu butuh tenaga untuk beraktifitas. Saka angkat tangan, Lia saja ditolak apalagi dirinya yang hanya berstatus sebagai paman. Jean benar-benar mogok makan dan Lia masih berusaha keras membujuknya.

“Aku mau ketemu ayah.”

Itu adalah kalimat yang setiap hari Jean ucapkan saat Lia menyuruhnya makan.

“Makan dulu makanya baru nanti ayah datang.”

“Ayah datang, aku langsung makan.”

Lia mengembuskan napas pelan dan berdiri. Meninggalkan Jean sendiri di atas sofa, diam-diam Jean menangis. Anak itu menangis sambil terus mengunyah snacknya. Saka yang melihatnya dari balik pintu kamar merasa sangat iba.

Di sini, Saka tidak bisa menyalahkan Nathan karena semua keputusan Nathan tergantung Lia. Saka meringis kala melihat Jean yang perlahan meletakkan snacknya dan kembali ke kamarnya dengan air mata yang sudah mengalir deras.

Biasanya sore-sore begini Jean akan mengajaknya bermain ketika pulang bekerja. Tapi tadi, Jean hanya menyambut kedatangan Saka dengan seulas senyum. Lamunan Saka disadarkan oleh dering ponselnya yang sangat nyaring. Dia kemudian menutup kembali pintunya dan meraih benda pipih itu.

Tak lama, Saka langsung berlarian keluar dari kamarnya menuju kamar Jean dengan senyum merekah. Jean sedang duduk di pinggir ranjangnya dan itu sukses membuat hati Saka terasa nyeri sebab raut wajah Jean begitu menyedihkan.

“Besok Paman antar kamu ke ayahmu.” Saka mengucapkannya dengan senyuman lebar di hadapan Jean.

Raut wajah yang tadinya murung, sedih, dan suntuk kini akhirnya berubah ceria. Saking senangnya, Jean sampai loncat dari pinggir ranjangnya dan menggenggam tangan Saka sambil mendongak.

“Beneran?” mata Jean berbinar-binar.

“Bener, besok ya pas kamu pulang sekolah. Besok Paman jemput terus Paman antar ke ayahmu.” Saka berjongkok dan mengusap kepala keponakannya dengan sayang. Jean mengangguk paham. “Tapi, sekarang makan, ya? Paman beneran akan ngantar kamu ke ayahmu besok. Jadi sekarang kamu makan dulu ya, nanti ayahmu sedih kalau tahu kamu nggak makan. Iya?”

“Iya deh. Kalau Paman bohong aku nggak mau lagi ngomong sama Paman. Aku marah.”

“Iya, janji nggak bohong.”

Dan begitu saja akhirnya Jean mau makan. Mereka berdua makan sama-sama di dapur. Lia yang baru keluar dari kamarnya kaget karena akhirnya Jean mau makan. Dia mendekat dan meminta penjelasan pada Saka tapi laki-laki itu memilih diam sambil terus menyuapi mulutnya dengan makanan.

Pesan terakhir Saka pada Nathan berisi :
“Kak Nat please, Jean nggak mau makan. Dia maunya ketemu sama Kak Nathan. Kalau belum ketemu dia nggak akan makan katanya. Kak please, Kak Nathan di mana?”

Dan setelah tiga hari barulah Nathan membalas pesan-pesan itu :
Antar ke Hotel Dream, ya. Kamar nomor 138.”

Itu sebabnya Saka langsung meloncat kaget karena akhirnya Nathan membalas pesannya setelah berhari-hari. Sebenarnya agak heran kenapa Nathan bisa berada di hotel alih-alih rumah sakit atau rumahnya. Tapi terserah, di manapun Nathan berada yang penting dia pasti akan mengantar Jean agar rasa rindunya terobati.

“Kamu ngomong apa sama Jean, kamu janjiin apa sama dia, kenapa tiba-tiba dia mau makan padahal sebelumnya nolak? Kamu nggak ngomong aneh-aneh tentang Nathan, kan? Soalnya dia cuma mau makan kalau ketemu sama Nathan.” Lia menahan lengan Saka yang hendak masuk ke kamarnya.

“Padahal Kak Nathan udah bilang kalau dia rela ngorbanin apa aja demi kalian, demi Kak Lia dan Jean tapi respon Kakak malah gini, nolak dia. Gimana Kak Nathan nggak kecewa sama sikap Kakak. Urusannya sama istrinya atau keluarganya, itu terserah dia. Dia udah bilang mau tanggungjawab dan balik sama Kakak, itu artinya dia udah punya rencana. Tapi ya, udahlah, batu emang ngomong sama orang kayak Kak Lia.” Saka menepis tangan Lia dari pergelangan tangannya.

“Kamu nggak denger tadi aku nanya apa? Kenapa jawabanmu malah muter-muter kayak gini?”

“Cuma pengen Kak Lia sadar. Perasaan orang bisa berubah kapan aja, syukur-syukur Kak Nathan masih punya perasaan sayang sama Kakak. Nanti kalau bener-bener hilang, kalau perasaannya Kak Nathan berubah terus Kak Lia nangis-nangis pengen dia balik ke Kakak, nggak akan bisa. Jangan sampai nyesel untuk yang kedua kalinya.” Saka yang sedari awal ingin memukul Nathan habis-habisan, kini beralih berada di pihak Nathan sebab Lia tak kunjung sadar. “Intinya, jangan sampai Kak Lia menyesal.”

Saka menutup pintu kamarnya dengan keras setelah mengakhiri percakapannya dengan Lia. Rasa benci menggebu-gebu yang ada pada hatinya, hilang begitu saja setelah melihat bagaimana keseriusan Nathan saat ingin kembali berjuang bersama Lia. Tapi siapa sangka, di sini, kakaknya lah yang tidak mau diperjuangkan.

*

“Kamu udah baikan sama Yesi?” tanya Lia pada Jevin saat mereka sedang makan siang di sebuah restoran setelah pulang dari suatu tempat karena mengurus pekerjaan.

Jevin menggeleng sambil terus menyuapi mulutnya dengan makanan. Entahlah, apakah saat ini Yesi memang benar-benar marah ataukah hanya jual mahal. Sebab Jevin sudah menghubunginya berkali-kali. Panggilannya saja tidak dijawab apalagi pesan-pesan yang sudah dia kirim. Jadi Jevin juga membiarkannya, empat hari ini dia terlalu pusing karena ulah Nathan yang tidak membiarkannya pulang dari hotel. Nathan beralasan bahwa dia akan kesepian jika Jevin pulang dan akhirnya semalam Jevin berhasil pulang.

“Dia nggak mau balas pesanku. Angkat teleponku aja nggak mau.” Jevin meraih gelas minumannya dan meneguknya.

By the way, kamu selama tiga hari kemarin ke mana. Kenapa nggak masuk kerja?”

“Ngurusin anak kecil, makanya nggak masuk.”

“Anak kecil?” tanya Lia penasaran.

Pertanyaan Lia hanya dibalas dengan anggukan oleh Jevin. Sepertinya, Lia memang belum tahu kalau Nathan mengasingkan diri dari orang-orang. Dan Jevin juga tidak berniat memberitahunya karena Nathan ingin menikmati waktunya.

“Dunia sempit, ya. Dari semua orang kenapa aku harus ketemu sama Kak Jevin di sini.” Freya meletakkan gelas minumannya dan bergabung bersama Jevin dan Lia. Setelah sebelumnya menyipitkan mata dari kejauhan untuk memastikan apakah benar kedua orang ini adalah Jevin dan Lia. “Aku kira tadi bukan kalian, eh ternyata kalian. Nggak apa-apa aku gabung?”

“Udah dari mana?” tanya Lia.

“Jalan-jalan aja. Bosen di rumah sakit terus.”

“Oh, gitu.”

Tidak dipungkiri kalau Freya merasa ikut jengkel pada Lia setelah apa yang terjadi pada Nathan. Tapi itu hanya sedikit, sedikit rasa jengkel. Tidak banyak. Karena walaupun merasa jengkel tapi Freya masih berada di pihak Lia. Walaupun pada akhirnya nanti, nanti, kalau Lia dan Nathan tidak bersama, Freya tetap tidak akan pernah memihak Elena. Lebih baik Nathan cari perempuan lain dari pada harus tetap bersama Elena kalau memang sampai akhir Lia tidak mau.

Jevin bahkan menyadari perubahan sikap Freya. Tapi dia memilih diam sambil menikmati minumannya yang tinggal sedikit.

Ada kegiatan di luar rumah sakit makanya Freya bisa ada di sini karena mampir untuk makan. Pekerjaannya semakin menumpuk dengan kekosongan Nathan. Tapi apalah daya, dia harus tetap bekerja.

“Kalau makan pelan-pelan, nggak akan ada yang ngambil. Aku sama Lia udah selesai.” Jevin menyodorkan segelas air putih pada Freya ketika perempuan itu tersedak. Lia kemudian menepuk-nepuk pelan punggung Freya.

Freya menerimanya dan langsung meneguknya. “Ini gara-gara Nathan, sialan. Setelah ini aku harus buru-buru pergi soalnya bentar lagi mau bantuin dia ngurus perceraiannya sama Elena.”

Setelah mengatakan itu, Freya melirik ke arah Jevin dan saling tukar pandang kemudian mengulas senyum tipis sambil menunggu respon Lia selanjutnya.

Begitu Freya selesai mengucapkan bahwa Nathan akan bercerai, Lia langsung melotot kaget. “Kenapa? Kenapa dia mau cerai?” Lia bahkan meraih tangan Freya untuk meminta penjelasan lebih.

“Nggak tahu, katanya mau cerai aja.”

Raut wajah Lia terlihat gelisah dan Freya maupun Jevin menyadari hal itu. Mereka bahkan sudah menduga kalau Lia akan kaget tapi tidak berani terlalu bertanya lebih jauh.

Dua hari yang lalu, Freya datang mengunjungi Nathan ke Hotel Dream untuk membawakannya baju. Bukan baju yang diambil dari rumahnya melainkan Freya membelikannya yang baru. Karena Freya tidak mau datang ke rumah Nathan dan bertemu dengan Elena. Kalau kata Freya, lebih baik gue pakai uang gue sendiri buat beliin lo baju dari pada harus datang ke rumah lo dan ketemu sama Elena. Tapi pada akhirnya, Nathan mentransfer uangnya pada Freya.

“Lo kayak gembel tahu nggak?” Freya meletakkan tas berisi baju itu di atas meja dan beranjak duduk di sofa bersama Jevin. “Sombong banget stay di hotel segala.”

“Gembel ganteng banyak uang. Uang gue banyak, ya kali gue nggak habisin. Dari pada uang gue habis buat beliin lo makan terus mending gue habisin buat kesenangan gue.” Nathan menyodorkan satu kaleng minuman dingin pada Freya.

“Kak Jevin nggak pulang? Ngapain diem di sini sama gembel.” Freya menyentuh lengan Jevin yang sedang memejamkan mata.

Semalam mereka ke club lagi dan pulang pagi tadi jadi Jevin benar-benar mengantuk. Jevin menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Freya.

“Lo beneran mau nyerah gitu aja sama Kak Lia?” Freya ingin memastikan, setidaknya ada jawaban yang ingin dia dengar saat ini dari Nathan.

“Lia bilang sama gue kalau gue nggak perlu cerai sama Elena. Dia udah nggak suka sama gue. Apa itu belum jelas?”

“Kayaknya enak nih kalau ngerjain Kak Lia.”

“Jangan main-main.” Nathan memperingati.

“Gue mau bilang di depannya kalau lo sama Elena mau cerai. Gue penasaran gimana ekspresinya nanti. Apa dia akan temuin lo dan minta penjelasan atau diem aja seolah nggak terjadi apa-apa.”

Jevin membuka matanya dan langsung duduk kemudian mengangguk setuju. Setuju akan usulan Freya. “Gue setuju, Nat. Kalau emang Lia mikir perceraian itu karena dia, kayaknya dia akan temuin lo dan minta penjelasan. Tapi kalau nggak mikirnya ke situ, itu artinya dia nggak peduli. Soalnya lo sama dia, kan, lagi marahan. Udahan lah istilahnya, selesai.”

“Terserah kalian, gue nggak ikut campur. Intinya, gue sama Lia udah selesai.”

Tatapan mata Freya kemudian tertuju pada dua bungkus rokok yang ada di atas meja. Nathan yang sadar akan pandangan Freya langsung tersenyum tipis. Freya sih tidak keberatan kakak sepupunya mau merokok atau mabuk-mabukan, toh Nathan sudah dewasa.

Jadi, selagi mereka bertiga kebetulan bertemu hari ini, mereka langsung melancarkan aksinya.

*

Sepanjang perjalanan menuju Hotel Dream, Jean begitu terlihat antusias. Dia tak henti-hentinya tersenyum, tangannya menggenggam erat tangan Saka yang menuntunnya untuk berjalan. Begitu masuk ke hotel, Saka segera menggendong Jean agar langkah mereka bisa lebih cepat.

Dan kini, Saka sampai di depan kamar nomor 138. Keraguan sempat melanda sebab dipikir-pikir lagi, apa yang Nathan lakukan di Hotel Dream. Kalau dipikir, jarak antara lingkungan rumah mereka dengan Hotel Dream, itu lumayan jauh. Tapi terserah lah, Saka tidak peduli yang penting Jean senang dan dia bisa istirahat dengan tenang.

Saka memencet bel, tak lama pintu terbuka yang langsung menampilkan Nathan. Terlihat urakan memang, rambut berantakan, tidak pakai baju, celana pendek, kalung kecil yang melingkar di lehernya, serta satu tindikan yang terlihat baru di telinga sebelah kiri. Saka menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Nathan yang terlihat sangat berbeda. (Bayangin aja sendiri gimana bentukannya, meleyot gak tuh, wkwkw).

“AYAH!” Jean sontak merentangkan tangannya yang langsung disambut oleh Nathan. Kedua tangannya langsung melingkar pada leher Nathan dengan erat. “Ayah, aku kangen Ayah. Ayah jahat.”

“Maaf anakku sayang. Maaf, ya.” Nathan mencium pipi Jean sambil terus bilang maaf. “Setelah ini kita main. Kamu mau ke mana Ayah akan turutin, kamu mau apa juga bilang aja sama Ayah, kita langsung beli.”

Yeayy!”

“Kak..” Saka menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Masih speechless melihat penampilan Nathan. “Kakak kayak anak remaja nakal gitu. Tahu nggak?”

Nathan terkekeh melihat ekspresi wajah Saka yang melihatnya dengan aneh. “Jevin nggak ada kerjaan makanya buat tindikan di telingaku. Lagian kenapa sih, aku juga masih muda, kenapa kaget gitu.”

“Astaga.. Aku pulang kalau gitu, titip Jean. Ini aku nggak ngasih tahu Kak Lia kalau aku bawa Jean ke sini. Biarin aja soalnya akhir-akhir ini aku yang capek ngurus Jean, Kak Lia uring-uringan. Mungkin karena kangen Kak Nathan, entahlah. Intinya, have fun aja kalian. Aku pergi.” Saka melambaikan tangannya pada Nathan saat akan pergi. “Kamu nggak mau pamit sama Paman? Dari tadi peluk ayahmu terus.”

Jean akhirnya melepas pelukannya pada leher Nathan dan menatap Saka kemudian tersenyum manis. “Terima kasih Paman Saka. Hati-hati pulangnya.”

Bye, Kak.”

Setelah Saka pergi, Nathan menutup pintu dan mengajak Jean masuk. Untunglah Nathan sudah menyingkirkan bungkus rokok serta botol alkoholnya yang semula berserakan di atas meja.

“Ayah..” Jean mendongak untuk menatap Nathan. “Ayah belum beliin aku hadiah ulang tahun.”

“Iya, sayang. Kamu mau apa, kasih tahu Ayah? Nanti kita pergi beli.”

“Aku nggak mau beli apa-apa. Aku maunya Ayah pulang ke rumah, aku mau Ayah datang setiap hari ke rumah, aku mau sama Ayah terus, aku nggak mau Ayah pergi-pergi, aku nggak mau Ayah sibuk lagi.”

Nathan terdiam. Perlahan dia mendudukkan tubuh Jean di atas sofa lalu Nathan bersimpuh di depannya. Mengusap pelan kepala anaknya dengan sayang, kemudian mengusap pipi gembul Jean dan memegang kedua bahu Jean.

Nathan maunya begitu tapi untuk saat ini dia tidak bisa melakukannya sebab dia tidak mau Lia menganggapnya plinplan. Nathan sudah bilang bahwa dia tidak akan datang lagi ke rumah Lia jadi saat ini dia masih bingung untuk menjawab keinginan Jean.

“Kalau kamu mau ketemu sama Ayah, minta Paman Saka anterin kayak gini ya nanti.”

“Ayah nggak mau datang lagi? Kenapa? Ayah berantem sama mama?”

“Nggak kok. Ayah emang nggak bisa datang. Minta Paman Saka anterin, ya.” Nathan menatap lekat kedua manik mata Jean. “Jean, sayang. Lihat Ayah, Nak..”

“Iya, Ayah.”

Good boy, anak Ayah.”

Lalu keduanya berpelukan lagi.

**

notes:

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.

©dear2jae
2021.05.03 — Senin.
2023.10.03 — Selasa. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top