30.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Ketika Karin meminta untuk makan siang bersama, Jevin hanya merasa tidak enak untuk menolak. Ucapan menggebu-gebu soal Jevin yang tidak akan meladeni Karin di depan Yesi waktu itu menghilang begitu saja. Sebab kalau sudah berhadapan, rasanya tidak enak untuk menolak.
Tidak ada hal spesial, mereka memang makan bersama lalu berbincang-bincang tentang keseharian. Biasanya kalau memang ada niat lain, pasti Jevin akan merasa tidak tenang. Tapi nyatanya Jevin tidak merasakan hal apa-apa. Dia memang berencana untuk tidak memberitahu Yesi karena itu bukan hal yang penting. Tapi siapa sangka Karin akan mengirim pesan dengan emoticon love yang langsung membuat Jevin ketar-ketir. Apalagi Jevin memilih untuk menyimpan nomor Karin waktu itu.
Yesi benar-benar kecewa dan dia memaksa untuk turun di tengah jalan sewaktu Jevin menjemputnya. Jevin sempat mencegah tapi Yesi tetap kukuh mau turun.
“Kayaknya kamu emang nggak akan pernah suka sama aku.”
Kalimat itu begitu membekas di hati Jevin setelah Yesi meninggalkannya dalam diam. Lalu saat menyusul Yesi ke rumahnya, Jevin tidak dibukakan pintu.
*
Nathan menyodorkan satu bungkus rokok di depan Jevin dengan senyuman tipis dan tatapan yang kalau diartikan, mau coba lagi nggak? Jevin menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Nathan dengan tatapan tidak percaya. Dia menghela napas sambil tertawa lalu meraih gelas alkoholnya dan meneguknya habis. Masih speechless karena melihat perubahan sikap Nathan yang sangat drastis.
“Kalau Lia tahu, lo habis.” Jevin menggerutu tapi tangannya malah meraih satu batang diiringi dengan kekehan kecil. “Gue masih heran aja, apa sih masalah lo sampai-sampai jadi kayak gini?”
Kepulan asap memenuhi udara sekitar mereka. “Gue nggak punya masalah apa-apa, gue cuma pengen refreshing aja. Lagian terserah mau Lia tahu atau nggak, gue udah nggak ada urusan sama dia,” ujar Nathan dengan santai.
“Tadi Lia murung di kantor, kayak nggak mood kerja. Tapi gue nggak berani nanya makanya gue kirim chat ke lo.” Jevin menuangkan alkohol untuk Nathan.
“Intinya gue udah nggak ada urusan sama dia. Dia udah nggak mau sama gue, Jev. Kalau lo mau deketin lagi, silahkan. Gue nggak ngelarang.” Nathan meneguk habis minumannya.
“Sialan, gue udah ada Yesi. Lagian belum tentu Lia mau sama gue. Lia itu maunya sama lo, sayangnya cuma sama lo, Nat. Gue pernah nanya sama dia dan dia bilang dia masih sayang sama lo.”
“Bullshit! Kalau sayang nggak mungkin nyuruh-nyuruh gue tetep sama Elena.” Nathan kembali meraih satu batang lagi. Tatapannya tertuju pada lantai dansa dan menatap mereka yang sedang menari meliuk-liukkan badan. “By the way, gue nggak akan pulang untuk sementara waktu.”
“Kenapa?”
“Mau seneng-seneng, gue juga udah izin cuti. Gue mau balik jadi anak remaja yang nggak mikirin apapun. Anggap aja gue kekanakan tapi gue butuh refreshing saat ini. Gue nggak akan pikirin apapun, gue cuma mau nikmatin waktu. Dari dulu, sejak gue nikah sama Elena, hidup gue flat. Rumah, rumah sakit, balik ke rumah, gitu aja terus.”
“Terserah lo deh mau ngapain.” Jevin juga kembali meraih satu batang rokok milik Nathan. “Tapi, kalau lo nggak pulang mau tinggal di mana?”
“Hotel banyak, bro.”
Malam semakin larut, kini mereka berdua turun ke lantai dansa dan mulai menari sambil menikmati musik. Wajah tampan keduanya menarik perhatian padahal pencahayaannya remang-remang. Para wanita penggoda dengan sendirinya mendekat dan mengajak mereka menari. Dengan senang hati Nathan dan Jevin menerima uluran tangan mereka.
Nathan bukan perokok aktif tapi dia pernah mencobanya beberapa kali sewaktu kuliah. Tapi kalau ketahuan oleh Lia, dia pasti akan ditegur.
“Calon dokter, kan? Jadi udah pasti tahu apa akibat kalau merokok.” Lia selalu bilang begitu setiap kali melihat Nathan merokok.
Dan Nathan juga menuruti ucapan Lia tanpa terpaksa. Lagipula dia hanya mencoba kalau sedang stress memikirkan tugas-tugasnya. Tidak sampai menjadikannya kebutuhan setiap hari.
Jevin lagi-lagi berakhir memapah tubuh Nathan menuju kamar. Harus rela menjadi pusat perhatian pegawai hotel karena dia check in bersama dengan Nathan dalam keadaan pengaruh alkohol. Tentu saja itu menarik perhatian. Tapi Jevin malah tidak peduli, terserah lah mereka mau berpikir seperti apa. Setiap orang bebas memikirkan apa yang mau mereka pikirkan.
Dengan wajah jengkel, Jevin menghempaskan tubuh Nathan ke atas sofa lalu dia pun merebahkan dirinya. Kepalanya terasa pening akibat terlalu banyak minum.
*
Lia heran kenapa Yesi tiba-tiba minta bertemu dengannya sore ini. Tapi ternyata, Yesi hanya ingin menanyakan kabar Jevin karena sejak berseteru kemarin, Jevin tidak menghubunginya lagi. Padahal Jevin yang salah tapi dia yang menghilang. Mau menghubungi duluan Yesi tidak mau, gengsi lah karena dia sedang dalam mode ngambek.
Terhitung dua puluh empat jam sudah Jevin tidak menghubunginya dan itu membuat Yesi jengkel serta khawatir karena Jevin tidak ada di rumah. Yesi bahkan menghubungi orang tua Jevin untuk menanyakan laki-laki itu. Tapi ibunya bilang semalam Jevin keluar dan tidak pulang lagi.
“Beneran nggak masuk kantor?” tanya Yesi memastikan lagi setelah Lia memberitahunya bahwa Jevin tidak masuk kerja pagi ini.
“Iya, dia nggak masuk.”
“Coba tanya Nathan, siapa tahu mereka lagi sama-sama.” Yesi memberi usul yang tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Lia.
Hubungannya dengan Nathan juga sudah berakhir, bagaimana bisa Lia bertanya padanya. Berbicara tentang Nathan, ternyata laki-laki itu benar-benar menepati ucapannya untuk tidak datang lagi ke rumahnya. Padahal kalau ada waktu atau sepulang kerja, Nathan pasti mampir sebentar hanya untuk melihat Jean.
“Kamu aja yang tanya. Kalau mau aku kirimin kontaknya.”
“Malu lah kalau aku yang nanya langsung. Nanti dia kasih tahu Jevin kalau aku nyariin. Terus Jevin merasa besar kepala, nggak, aku nggak mau itu terjadi. Lagian yang salah itu dia, biarin aja. Terserah mau minta maaf kapan yang pasti aku nggak akan hubungin dia duluan.”
Baik Lia maupun Yesi memiliki masalahnya masing-masing. Sama-sama gengsi untuk menghubungi duluan. Jadi sore menjelang malam ini, mereka habiskan untuk bergosip perihal kosmetik, baju dan perlengkapan perempuan. Bahkan saat ini mereka memutuskan untuk shopping bersama. Kalau kata Yesi, shopping untuk menghilangkan stressnya. Jadi selagi Lia juga dalam keadaan stress, dia menerima tawaran Yesi.
*
Saka menghela napas berat, menatap nanar ponselnya setelah sebelumnya mengirim pesan pada Nathan. Satu jam yang lalu Saka akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Nathan untuk berkeluh kesah sekaligus meminta tolong agar Nathan mau kembali. Kembali dalam artian sering menemui Jean dan mangajaknya bermain karena Saka sudah lelah. Padahal baru sehari tapi rasanya mau pingsan saja karena Jean begitu aktif.
Tapi, hingga saat ini tidak ada satupun balasan yang dia terima. Ponsel Nathan memang tidak aktif satu jam yang lalu dan sekarang Saka mencoba untuk menghubungi lagi tapi hasilnya nihil. Ponsel Nathan masih tidak aktif.
“Paman, ayo main kejar-kejaran. Yang kalah jadi kuda.” Jean menarik tangan Saka yang sedang berbaring di atas sofa.
“Paman capek, baru pulang kerja. Nanti aja mainnya sama ayahmu kalau dia datang.” Saka menolak, masih bergeming di tempatnya.
Jean menunduk dengan raut wajah kecewa lalu perlahan melepaskan kaitan tangannya pada lengan Saka.
“Ayah sibuk makanya aku ngajak Paman. Kalau ayah ada aku juga nggak akan ganggu Paman.” Jean berjalan menuju kamarnya dengan wajah cemberut.
Saka bangun dan menyusul Jean ke kamarnya. Sungguh, Saka begitu lelah setelah seharian di kantor tapi dia juga kasihan dengan keponakannya. Perlahan Saka membuka pintu dan melihat Jean yang sudah berbaring di atas ranjangnya.
“Ayo kita main kejar-kejaran. Paman udah nggak capek.”
“Aku mau tidur.”
“Tadi katanya mau main kejar-kejaran. Nanti yang kalah jadi kuda.”
“Aku ngantuk, nggak jadi. Aku mau tidur.”
Saka kembali menutup pintunya dan mematikan lampu kamar Jean. Dia kemudian kembali ke ruang tengah untuk mengambil tas kerjanya dan mendapati Lia sudah pulang. Tanpa sepatah kata, Saka meraih tasnya dan berlalu ke kamar.
Sejak kemarin setelah kepergian Nathan, komunikasi antara Lia dan Saka agak sedikit. Karena setiap kali Lia bicara, Saka mengabaikannya. Saka masih diselimuti perasaan kesal, itu sebabnya dia tidak ingin bicara dengan Lia.
“Jean mana?” teriak Lia pada Saka yang hampir hilang di ambang pintu kamarnya.
“Kamarnya.”
Lia kemudian berjalan menuju kamar Jean. Ketika membuka pintu semua sudah gelap, menyisakan lampu tidur di atas nakas samping ranjang.
Lia mendekat dan duduk di samping Jean yang masih terjaga. “Udah makan?” tanya Lia sambil mengelus kepala Jean.
“Belum. Paman Saka baru pulang kerja. Aku juga nggak mau makan, mau tidur aja.”
“Nanti kamu lapar, sayang. Ayo bangun, Mama buatin makanan.”
Jean menggeleng dan menarik selimutnya lalu menutup seluruh tubuhnya hingga kepala.
“Aku mau ketemu ayah,” gumam Jean.
“Ayah masih sibuk, Jean sayang. Nanti kalau udah nggak sibuk dia pasti mau main sama kamu. Sekarang makan dulu.”
“Aku mau tidur. Mama keluar aja.”
Lia menghela napas berat kemudian beranjak, membiarkan Jean tidur seperti keinginannya. Bukan hanya malam ini tapi tadi pagi Jean juga menolak sarapan dengan alasan dia tidak nafsu makan. Lia sudah memaksanya seperti biasa tapi Jean tetap tidak mau.
Jean begitu kecewa karena mendengar ucapan Nathan bahwa Nathan tidak bisa datang untuk sementara waktu karena sibuk. Mendengar kata sibuk lagi setelah sekian lama membuat Jean sedih. Sebab selama ini kata sibuk selalu dia dengar dari mulut Lia kalau dia bertanya tentang sosok ayah dan sekarang Jean mendengarnya lagi jadi jelas saja Jean merasa sedih.
*
Hari ini Elena memutuskan untuk menginap di rumah ibunya setelah mendapat pesan dari Nathan bahwa dia ingin refreshing sendiri. Elena juga mengonfirmasi hal ini pada ayah mertuanya dan ayah mertuanya bilang itu benar. Elena benar-benar berpikiran positif sebab isi pesan Nathan begitu membuatnya tersenyum dan berbunga-bunga.
“Aku mau refreshing sebentar ya soalnya aku capek, aku juga udah izin cuti sama ayah. Kamu tanya aja kalau nggak percaya. Kamu jangan khawatir aku bakal bohongin kamu karena aku sama Lia udah selesai, Lia udah nggak mau sama aku. Sekarang aku lagi sama Jevin. Kamu nginap aja dulu di rumah ibu, jangan sendirian di rumah. Jangan lupa makan. See you.”
Perasaan Elena begitu senang saat membacanya. Pernyataan Nathan diperkuat dengan ucapan Lia tempo hari sewaktu mereka bertemu. Saat Lia bilang bahwa Lia tidak akan meminta tanggungjawab apapun dan bilang bahwa Elena tidak perlu khawatir.
Kemarin Elena sempat terkejut saat mendapati bahwa Nathan tidak ada di ruang rawatnya bahkan Freya bersikap cuek padanya yang jelas-jelas sedang panik. Untung saja Haikal berbaik hati memberitahunya kalau Nathan memutuskan untuk keluar. Tapi kebaikan hati Haikal berakhir dengan kemurkaan dari Freya.
“Baik banget ngasih tahu segala. Nggak sekalian tuh dianterin pulang terus ajak makan siang bareng.”
“Ya Tuhan, aku cuma ngasih tahu karena dia panik. Kenapa malah nyuruh nganter pulang sama makan segala.”
“Aku marah sama kamu. Nggak usah ngomong lagi sama aku sampai waktu yang nggak ditentukan.”
Lalu setelah itu, Freya meninggalkan Haikal sendirian di lobi.
“Nathan beneran lagi liburan? Kenapa nggak ngajak kamu?” tanya ibunya, sambil menguleni beberapa adonan kue yang akan mereka buat hari ini.
“Kak Nathan butuh waktu sendiri dulu, Bu. Biarin aja, aku nggak apa-apa.” Elena meletakkan ponselnya setelah mencari beberapa resep di google. “Bu, aku kemarin pernah minta tolong sama Ibu kalau situasinya berjalan nggak baik, aku minta Ibu buat ngomong sama Kak Lia. Tapi Bu, sekarang nggak usah, nggak perlu soalnya Kak Lia nggak akan minta tanggungjawab apapun sama Kak Nathan atas Jean. Aku kemarin udah ngomong sama dia dan dia bilang gitu.”
“Ya udah, itu bagus.” Ibunya benar-benar ikut merasa bahagia melihat Elena yang tersenyum begitu lebar. Setelah sekian lama senyuman itu hilang, akhirnya sekarang kembali lagi.
“Terus kemarin, Jean panggil aku mama, Bu. Aku seneng, saking senengnya sampai nangis. Aku kira Kak Lia nggak akan ngasih izin buat Jean untuk manggil aku mama tapi Kak Lia izinin.”
“Minta aja Nathan buat ngajak Jean tinggal sama kalian.” Ibunya memberi usul yang langsung membuat Elena berbinar-binar.
“Nanti aja deh aku ngomong sama Kak Nathan kalau dia udah balik,” ujar Elena seraya mengaduk-aduk adonannya.
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.
©dear2jae
2021.05.02 — Minggu.
2023.10.03 — Selasa. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top