29.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Sejak Nathan datang bersama Elena satu jam yang lalu hingga saat ini, saat Nathan sudah selesai ditangani dan berada di ruang rawat, raut wajah Freya tetap datar. Bahkan Haikal yang tidak bersalah menjadi sasaran kekesalan Freya. Padahal hal sepele yaitu Haikal tersandung di kaki Freya saat akan beranjak duduk di sofa tapi marahnya Freya sangat menakutkan.

Freya belum bisa bertanya apa-apa sebab Nathan masih belum membuka matanya. Sedangkan Elena menunggu bersama Freya dan Haikal di sofa. Satu hal yang membuat Freya masih kesal hingga saat ini yaitu ucapan Nathan padanya saat baru datang tadi.

“Baik-baik ya sama Elena.”

Dan itu sukses meninggalkan tanda tanya besar di kepalanya kenapa bisa sikap Nathan berubah. Kenapa bisa kalimat seperti itu keluar dengan mulus dari mulut Nathan. Freya sudah mencoba menghubungi Lia untuk meminta penjelasan, mungkin saja Lia tahu sesuatu tapi ponsel Lia tidak aktif. Sungguh gengsi untuk bertanya pada Elena.

Haikal berdeham pelan ketika menyadari suasana begitu menegangkan. Sorot mata tajam Freya langsung membuatnya membuang muka karena takut.

“Aku keluar aja, ya. Kayaknya kalian mau ngomong sesuatu.” Haikal berbisik pelan di samping Freya. “Aku juga mau periksa pasien.”

“Diem!” desis Freya. “Aku tahu kamu nggak ada jadwal apa-apa setelah ini, jangan bohong. Diem sini, aku nggak mau berduaan sama dia.”

Elena masih menunduk sambil memainkan ponselnya. Sedangkan Freya beranjak dan mendekati Nathan.

“Kalau lo udah bangun, mending cepat buka mata sebelum gue siram pakai air infus,” bisik Freya. Bukannya duduk di kursi samping ranjang, dia malah duduk di atas ranjang samping Nathan.

Tangan Nathan perlahan bergerak lalu dia mencoba membuka matanya dengan pelan. Nathan sedikit mengangkat tangannya, meminta agar Freya membantunya duduk. Tadinya Freya mau memaki lagi tapi melihat kondisi memprihatinkan dari kakak sepupunya membuatnya mengurungkan niat. Wajah Nathan sudah tak sepucat sebelumnya, hanya saja pandangan matanya masih sayu.

“Gue..” Nathan menghela napasnya sebelum melanjutkan ucapannya, bahkan bernapas saja terasa sangat menyesakkan. “Gue sama Lia udah selesai.”

WHAT?!”

“Dengar dulu..” Nathan menutup mulut Freya dengan tangan kanannya. “Lia udah nggak mau sama gue. Kalau gue kasih tahu soal rencana gue yang mau cerai dari Elena dan balik sama dia, dia nggak setuju. Dia nggak mau gue cerai dari Elena, katanya dia juga perempuan jadi dia bisa rasain apa yang Elena rasa kalau semisal gue ninggalin Elena. Intinya, kayaknya Lia emang bener-bener udah nggak punya perasaan apa-apa lagi sama gue dan gue memutuskan buat berenti. Berenti memperjuangkan Lia yang nggak mau diperjuangkan. Gue capek, gue juga butuh dukungan, gue butuh Lia tapi orang yang gue butuhin nggak mau sama gue. Jadi, kalau lo mau marah-marah sama gue, marah aja, nggak apa-apa. Gue capek.”

Ada perasaan iba yang menjalari hati Freya saat Nathan menjelaskan situasinya. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Nathan diiringi dengan embusan napas berat. Bahkan tatapan tajam Nathan yang selalu Freya waspadai, menghilang entah ke mana. Tatapan mata tajam itu kini berubah sayu, lemah dan terdapat kesakitan di dalamnya. Freya semakin yakin kalau Nathan berkata jujur karena saat ini setetes air mata menetes dari sudut matanya.

“Gue sayang Lia, itu selalu, dari dulu dan akan begitu sampai kapanpun. Tapi kayaknya, Lia udah nggak ngerasain hal yang sama.” Nathan menunduk, ini pertama kalinya Freya melihat Nathan serapuh ini. “Gue bakal lakuin apapun demi Lia tapi Lia nggak mau.”

“Lo istirahat aja, gue masih harus keliling periksa pasien.” Freya mendorong pelan tubuh Nathan hingga berbaring dan menyelimutinya kemudian mengajak Haikal keluar. “Lo nggak sama Kak Lia bukan berarti gue tetep dukung lo sama Elena.”

Nathan menatap kepergian Freya dengan tatapan nanar.

Dari dulu, Freya sangat tahu kalau Nathan bukan orang yang akan menyerah begitu saja. Untuk mendapatkan Lia saja dulu butuh usaha ekstra, harus datang ke rumahnya hanya karena Lia tidak pernah membalas pesannya. Dan sekarang, Nathan ingin berjuang, akan berjuang, akan berusaha. Tapi sebelum dia melakukannya, Lia lebih dulu menolak. Nathan masih terus berusaha dan Lia masih tetap menolak.

“Kamu nggak pergi cari makan? Ini udah siang, kamu nggak lapar?” Nathan kembali duduk saat mengingat ada Elena di sini.

Pikirannya masih kacau, raut wajah sedih Jean masih terngiang-ngiang di kepalanya. Apalagi saat mengingat ucapan Lia, hatinya langsung ngilu.

Elena mendekat ke samping ranjang Nathan. “Nanti aja kalau ibu sampai. Nanti Kak Nathan sendirian.”

“Aku nggak apa-apa, kamu cari makan sana. Kamu harus tetap sehat supaya ada yang rawat aku, kalau sama-sama sakit bahaya.” Nathan mengulas senyum kecil yang membuat Elena langsung mengangguk.

Hanya Nathan dan Tuhan yang tahu apakah Nathan benar-benar tulus bilang begitu ataukah hanya sekadar terucap begitu saja. Dan apakah senyum itu tulus ataukah hanya terpaksa.

“Nanti kalau butuh apa-apa, telepon ya.” Elena merapikan selimut Nathan sebelum keluar dan Nathan mengangguk.

Setelah Elena keluar, Nathan kembali merebahkan tubuhnya. Sebaiknya, untuk saat ini dia istirahat saja. Mengistirahatkan hati dan pikirannya yang begitu kacau. Mendadak, Nathan malah merindukan Jean, merindukan senyum anaknya padahal baru berpisah tadi pagi. Nathan tidak tega tapi dia harus melakukannya, berharap Lia bisa sadar.

Ponsel Nathan berdering, ada satu pesan masuk dari Jevin.

“Lo sama Lia berantem?”

Kedua alis Nathan bertaut ketika membaca pesan Jevin.

“Kenapa?”

Tak sampai bermenit-menit, Jevin sudah membalas pesannya.

“Lia nggak fokus dari tadi. Wajahnya kayak sedih gitu tapi gue nggak berani nanya-nanya.”

“Iya, gue berantem dan kayaknya nggak bisa baikan lagi. Lo tanya aja sama dia, si keras kepala.”

Suara pintu yang terbuka membuat perhatian Nathan teralihkan. Ternyata yang datang adalah ibu dan ayahnya bersama Elena yang kembali setelah membeli makanan. Nathan buru-buru meletakkan ponselnya setelah membalas pesan Jevin dan kembali duduk.

“Kamu kenapa bisa jatuh sakit begini?” Hana duduk di kursi yang ada di samping ranjang sambil memijat pelan tangan Nathan. “Makanya jangan terlalu capek kalau kerja.”

“Capek hati dan pikiran. Bukan capek kerja,” sahut Nathan sambil tersenyum miris.

*

Saka pusing, pekerjaannya menumpuk tapi dia harus izin untuk menjemput Jean pulang sekolah lalu mengantar Jean pulang ke rumah setelah itu harus kembali lagi ke kantor. Tadi sore, dia menjemput Lia dan malam ini, dia harus menemani Jean bermain dan mengerjakan beberapa tugasnya. Karena Lia langsung masuk kamar dan tak keluar lagi.

Bukannya tidak mau atau terpaksa melakukan ini. Tapi sejak ada Nathan, yang memang mau menemani Jean, Saka tidak kerepotan lagi. Tapi sudahlah, Saka juga terlalu lelah untuk menasihati kakaknya.

Sementara itu, Lia meringkuk di balik selimutnya dengan air mata yang sudah berlinang. Dia menangis sejadinya, menangisi dirinya, menangisi Nathan dan menangisi Jean. Setelah apa yang dia katakan pagi tadi pada Nathan, terselip perasaan bersalah dan menyesal di hatinya. Melihat raut wajah sedih Nathan membuat hatinya sakit tapi egonya untuk meminta maaf bahkan menerima Nathan begitu tinggi. Dengan alasan yang sudah membuat orang-orang muak yaitu merasa iba pada Elena.

Pintu terbuka oleh Jean, Lia buru-buru menghapus sisa air matanya dan beranjak duduk.

“Ada apa, sayang?”

“Ayah, nggak ke sini?” Jean menatap Lia dengan tatapan memelas, berharap mendengar jawaban yang dia inginkan.

“Ayah, kan, udah bilang kalau dia sibuk.”

“Ayah belum beliin aku hadiah ulang tahun,” gumam Jean dan berbalik lalu keluar dengan raut wajah kecewa.

Air mata Lia kembali mengalir dengan deras. Itu adalah raut wajah kesedihan yang selalu Lia lihat setiap kali Jean bertanya di mana ayahnya, dulu. Dan sekarang, dia melihatnya lagi.

Jean datang bertanya pada Lia karena Saka yang menyuruhnya. Sedari tadi, Saka bingung mau menjawab pertanyaan Jean.

*

Nathan menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua pagi. Setelah sebelumnya berdebat dengan Elena, Nathan ingin Elena pulang saja agar perempuan itu bisa istirahat. Tapi Elena tetap kukuh mau menjaga Nathan, dan hasil akhir adalah Elena pulang. Jadi, saat ini Nathan sendirian di ruang rawatnya. Infus sudah dilepas satu jam yang lalu padahal masih tersisa setengah. Tapi Nathan tetap ingin infusnya dilepas.

Tadinya mau menghubungi Saka untuk bertanya soal Jean. Tapi Nathan takut mengganggu karena ini sudah hampir pagi.

Lalu, perbincangan singkat dengan ayahnya kembali terlintas di pikiran Nathan. Dengan senyum tipis, dia meraih jaketnya dan keluar dari ruang rawat.

Hana dan Elena sedang keluar untuk mencari camilan dan menyisakan Nathan serta ayahnya di dalam ruang rawat.

“Ayah, apa Ayah akan selalu berada di pihakku dan mendukung apapun yang ku lakukan?” tanya Nathan ketika ayahnya baru keluar dari kamar mandi.

“Maksudmu?”

“Lia nggak mau lagi sama aku.” Nathan tersenyum miris. “Dia malah nyuruh aku jangan cerai sama Elena. Dia nggak mau lagi sama aku, Ayah.”

“Terus sekarang gimana?” tanya Agung.

“Aku juga nggak tahu mau gimana. Boleh nggak aku cuti dulu dari rumah sakit? Sumpah, aku capek. Mau main-main, mau balik jadi anak remaja yang nggak pusingin masalah orang dewasa.”

“Terserah kamu maunya gimana. Kalau mau cuti juga silakan.”

Pemikiran Agung benar-benar terbuka setelah kemarin menyesal ikut campur atas hidup Nathan. Jadi sekarang, Agung malah menuruti semua keinginan Nathan karena Nathan juga anak satu-satunya. Agung tidak mau menyesal untuk yang kedua kalinya.

“Elena gimana? Maksud Ayah dari tadi itu, kamu mau tetap sama Elena gitu?” tanya Agung memastikan.

“Itu, kan, yang ibu mau supaya aku tetap sama Elena. Jadi ya udah, biarin ibu seneng. Toh kalau cerai sekarang aku masih belum nemu calon istri yang bener-bener aku mau, jadi nggak usah cerai dulu.” Nathan terkekeh pelan.

“Dulu waktu kamu masih remaja, waktu Ayah bilang mau jodohin kamu sama Elena, kamu ngomongnya kayak orang dewasa aja. Bilangnya nggak akan bahagia kalau nikah sama orang yang nggak kamu sukai karena pernikahan itu harus dipikirkan dengan matang dulu. Pernikahan adalah hal yang sakral, sekali seumur hidup. Tapi sekarang malah kayak anak remaja lagi padahal udah dewasa. Bilangnya mau cuti buat main-main. Astaga, Ayah pusing.” Agung geleng-geleng kepala.

“Intinya Ayah bakal selalu ngedukung apapun keputusanku?”

“Ya, iya.”

Nathan mengacungi ayahnya dua jempol dengan senyum lebar.

Dan saat ini, Nathan sedang berdiri dengan wajah tanpa dosa di depan pintu rumah Jevin sambil mendengarkan sumpah serapah yang keluar dari mulut Jevin. Cukup lama memang karena dari raut wajah Jevin saja, yang jengkel setengah mati, sudah bisa diketahui kalau laki-laki itu tidak cukup hanya dengan mengucapkan kata umpatan sekali. Perlu berkali-kali agar hatinya bisa lega setelah Nathan membangunkannya di jam dua pagi ini hanya untuk mengucapkan kata, ayo main.

Jevin tidak habis pikir, masalah apa yang dihadapi Lia dan Nathan. Lia seharian murung di kantor sedangkan Nathan malah bertransformasi jadi orang gila saat ini.

“Gue mau tidur, gue capek dan gue ngantuk, nggak punya waktu buat main sama lo.” Jevin hendak menutup pintu rumahnya tapi Nathan langsung menahannya dengan kaki. “Sialan, Nat!”

“Ayolah, gue nggak punya teman main selain lo. Lo nggak kasian apa sama gue, lagi banyak masalah gini. Hibur gue dong.” Nathan mengedipkan sebelah matanya dengan wajah memelas yang membuat Jevin memalingkan wajah muak.

“Gue nggak tahu lo punya masalah apa. Tapi sumpah, lo kayaknya udah gila karena masalah itu. Sikap lo balik kayak anak SMA.” Jevin menggerutu tapi tak lama dia masuk untuk mengganti bajunya.

Bukannya lari dari masalah tapi masalahnya memang sudah selesai. Yang ingin Nathan lakukan saat ini adalah main-main supaya dia bisa melupakan sejenak rasa sedihnya, rasa sakitnya. Lia menolak dirinya jadi masalahnya selesai sebab dia juga tidak perlu bercerai dari Elena.

“Sebenarnya, gue juga lagi ada masalah sih sama Yesi. Dia nggak mau ngomong sama gue soalnya tadi siang gue ketemu sama Karin dan nggak bilang-bilang.” Jevin melajukan mobil Nathan dengan kecepatan sedang.

Nathan tertawa. “Gimana bisa?”

“Nggak sengaja ketemu sih sebenarnya sama Karin. Terus dia ngajak makan siang bareng, ya, gue iyain aja. Terus pas pulang, gue jemput Yesi dan ada pesan masuk dari Karin, dia bilang makasih ya Jev udah mau makan siang bareng terus ada emot lovenya. Sialan, Yesi yang baca dan langsung maksa turun dari mobil.”

Tawa Nathan semakin keras, bahkan dia memukul pelan lengan Jevin saking hebohnya.

“Jadi, lo save nomornya?”

“Iya, gue save.”

“Mampus!” Nathan merasa sangat puas mendengar kisah Jevin. “Terus sekarang gimana? Lo udah jelasin sama Yesi?”

“Telepon gue aja nggak mau dia angkat, gimana gue mau jelasin. Gue ke rumahnya tapi nggak dibukain.”

“Ya udah, let’s have fun tonight. Club Neo, Jev.”

Let’s go!” Jevin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Hari ini, duo itu ingin kembali mengenang masa-masa remaja sewaktu mereka masih belum memikirkan apa saja selain tugas. Sekalian merayakan pertemanan mereka yang kembali terjalin setelah sekian lama berseteru.

Jevin tidak terlalu memikirkan masalahnya karena dia tahu Yesi mencintainya dan dia tahu bahwa pada akhirnya mereka akan bersama karena perjodohan. Tapi itu bukan berarti Jevin berlaku semaunya, tidak. Saat ini, Jevin memang sudah membuka hatinya untuk Yesi karena dia tidak bisa menaklukan hati Lia.

Lalu Nathan, dia ingin melupakan semua masalahnya, rasa sakitnya, rasa sedihnya. Jadi untuk hari ini, mari bersenang-senang.

**

notes:

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.

©dear2jae
2021.05.01 — Sabtu.
2023.10.01 — Minggu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top