28.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Elena mengembuskan napas berat ketika tak mendapati ada Nathan di sebelahnya. Entahlah, saat ini Elena ragu apakah Nathan benar-benar sibuk seperti informasi dari ayah mertuanya ataukah Nathan bermalam di rumah Lia. Tapi saat ini, Elena ingin mempercayai ucapan Lia yang mengatakan bahwa Lia tidak akan menuntut tanggungjawab apapun dari Nathan. Setidaknya, Elena ingin percaya.

Panggilan dan pesan yang dia kirim sejak kemarin bahkan semalam sama sekali tak ada respon. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi yang artinya Nathan sudah berangkat kerja kalau dia ada di rumah. Elena turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Hari ini, dia mau ke rumah ibunya karena sudah janji mau buat kue.

Walaupun dalam keadaan kecewa karena Nathan tidak pulang tapi tak dipungkiri hati Elena masih terasa begitu hangat dan bahagia karena kemarin bertemu dengan Lia dan Jean. Apalagi mendengar Jean memanggilnya mama. Panggilan yang sangat ingin dia dengar selama ini, panggilan yang selalu dia idam-idamkan.

Selesai bersiap-siap, Elena meraih ponselnya dan mengirim pesan pada Nathan. Memberitahu suaminya bahwa dia akan ke rumah ibunya, terserah mau dibalas atau tidak yang pasti dia sudah memberi kabar. Begitu membuka pintu kamar, Elena terkejut saat mendapati Nathan sedang duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Televisi menyala dengan volume sedang tapi tatapan Nathan kosong, wajahnya terlihat sayu dan pucat.

“Kak..” Elena menyentuh lengan Nathan karena Nathan tidak menyadari keberadaannya. Nathan menoleh dan mengulas senyum tipis. Sungguh, wajahnya benar-benar terlihat pucat dan sayu. “Kak Nathan kenapa? Kalau sakit ke rumah sakit, ya?”

Nathan menggeleng dan memperbaiki posisi duduknya kemudian mematikan televisinya. “Kamu mau ke rumah ibu mertua ya, mau ku antar? Aku baca pesan kamu tadi.”

“Nggak jadi soalnya Kak Nathan kayaknya sakit. Badan Kakak panas banget.” Elena meletakkan tas selempangnya dan berjalan menuju kamar lalu mengambil selimut.

Agak aneh memang karena sikap Nathan berubah lagi. Tapi tidak apa-apa, Elena malah senang karena nada suara Nathan jadi lembut lagi kalau bicara dengannya.

Elena kembali membawa selimut dan menyelimuti tubuh Nathan. “Kak Nathan udah sarapan atau mau aku buatin soalnya harus minum obat?” tanyanya.

“Aku nggak apa-apa, butuh istirahat aja. Kamu kalau mau pergi ke rumah ibu, pergi aja, aku nggak apa-apa sendiri. Cuma pengen tidur. Tadi aku udah sarapan juga, soal obat nanti aku bisa ambil sendiri.”

“Aku nggak jadi pergi. Gimana bisa aku ninggalin Kakak dalam keadaan kayak gini.”

Suara Nathan begitu parau, wajahnya semakin memucat, tatapannya sayu, apalagi saat ini dia demam. Tapi itu semua tidak ada apa-apanya dibanding sakit hatinya yang begitu membekas setelah mendengar ucapan Lia padanya, pagi tadi.

Pagi tadi, saat bangun, kepala Nathan begitu pusing karena pengaruh alkohol semalam dan juga karena tidur beberapa jam saja. Seulas senyum lebar terukir di bibirnya ketika mengingat mereka tidur di ranjang yang sama. Rasanya senang karena bisa terlelap dalam damai di samping Lia. Melihat wajah Lia dari jarak dekat setelah sekian lama membuat hati Nathan bergejolak hebat.

Nathan turun dari ranjang dan berjalan keluar menuju dapur di mana sudah ada Saka dan Jean di sana. Mereka sudah lengkap dengan pakaian masing-masing untuk berangkat kerja dan sekolah. Nathan mengambil duduk di samping Jean lalu mulai menciumi pipi gembul Jean.

“Ayah tidur di sini? Kenapa nggak bilang-bilang?” tanya Jean.

“Kamu udah tidur semalam sayang. Mana mungkin Ayah bangunin kamu.” Nathan mengangkat tubuh Jean dan memangkunya. “Maaf ya, kemarin Ayah nggak jadi jemput kamu soalnya Ayah ada urusan lain.”

“Iya, nggak apa-apa.” Jean menyuapi satu lembar roti pada Nathan saat mereka menunggu sarapan siap. “Kemarin aku ketemu sama istrinya Ayah.”

Sontak suasana langsung hening seketika, Saka menyadari kalau hawanya akan menyeramkan setelah ini. Dilihat dari raut wajah Lia, sepertinya dia tidak ingin Nathan tahu tentang itu dan dari raut wajah Nathan, dia sangat terkejut saat mendengar ucapan Jean.

“Jean, kamu udah siapin buku-buku yang mau kamu bawa ke sekolah?” Lia berusaha mengalihkan perhatian, semoga ucapan Jean tidak jadi panjang. “Kalau belum, siapin dulu sana. Supaya pas selesai sarapan langsung berangkat.”

“Di mana kamu ketemu?” tanya Nathan, untung saja Jean ada di pangkuannya. Jadi saat Jean mau turun dia menahannya. “Di mana kamu ketemu sama istrinya Ayah?”

“Di mall, waktu jalan-jalan sama mama. Kita mampir beli minum terus..”

“Jean, ayo Paman bantu siapin buku-bukunya.” Saka menyadari kalau suasananya tidak baik-baik saja. Jadi dia segera meraih tubuh Jean dari pangkuan Nathan dan mengajaknya untuk merapikan buku.

Setelah kepergian mereka berdua, suasana kembali hening antara Nathan dan Lia. Lia menyadari dari sudut matanya kalau saat ini Nathan menatapnya dengan tajam, meminta penjelasan atas ucapan Jean.

“Dia ngomong apa sama kamu?” tanya Nathan. Lia masih belum merespon, masih belum berani menatap Nathan. Kalau bukan anaknya, sudah pasti Lia akan melayangkan cubitannya pada Jean karena sudah memberitahu Nathan tentang itu. “Lia!”

“Nggak ada, kita cuma mampir beli minum aja.” Lia berusaha terlihat normal supaya Nathan tidak curiga. Tapi sayangnya Nathan tidak sebodoh itu untuk cepat percaya. “Beneran nggak ada.”

“Kamu nggak pandai bohong. Jadi cepat jawab jujur!” desis Nathan.

Sementara itu, Saka berusaha memutar lagu agar suara Nathan dan Lia yang berdebat tidak terdengar oleh Jean. Kalau seperti ini, selalu dia yang repot.

Nathan berdiri dari duduknya dan melangkah ke hadapan Lia lalu memegang bahu Lia, menatap Lia dengan tajam.

“Jawab jujur, apa yang Elena bilang sama kamu? Mustahil dia nggak ngomong apa-apa.”

Lia mengembuskan napas pelan dan menepis tangan Nathan dari bahunya. “Elena bilang dia nggak mau kehilangan kamu, dia nggak bisa hidup tanpamu, dia sayang sama kamu. Elena selama ini selalu merasa bersalah karena nggak bisa ngasih kamu anak, dia keliatannya emang baik-baik aja tapi jauh di dalam hatinya dia merasa sakit. Dia juga mikirin ibunya, ibu kamu karena pasti mereka pengen banget punya cucu tapi faktanya dia udah nggak bisa hamil.”

“Terus, kamu bilang apa?”

“Aku bilang kalau aku nggak akan minta tanggungjawab dari kamu. Jadi dia nggak usah khawatir.”

Hati Nathan mencelos begitu saja. Helaan napasnya terdengar pilu, padahal Nathan berharap Lia akan jujur dengan perasaannya sendiri tapi ternyata Lia masih kukuh akan egonya. Nathan melemas dan terduduk di atas kursi, dia mengusap wajahnya kasar. Air matanya kembali menetes, dia benci saat harus menangis seperti ini. Tapi sungguh, hatinya benar-benar sakit. Sakit.

“Padahal aku berharap kamu bisa jujur dengan perasaanmu sendiri,” lirih Nathan pelan.

“Aku udah jujur.”

Nathan tersenyum miris lalu berdiri dari duduknya, menatap Lia dengan matanya yang sudah memerah.

“Aku mau nanya sama kamu tapi ku mohon, ku mohon, demi Tuhan ku mohon..” air mata Nathan kembali menetes, tangannya memegang bahu Lia lalu perlahan Nathan mengikis jarak di antara mereka. “Ku mohon, jawab dengan jujur. Bilang dengan jujur apa yang kamu rasain, apa yang ada di hatimu.”

“Apa?”

“Lia, aku sayang kamu, aku cinta kamu, sumpah demi Tuhan, demi apapun, aku bener-bener butuh kamu di hidupku, butuh Jean.” Nathan berbicara dengan bibir yang bergetar. “Kalau saat ini kamu minta aku buat cerai dari Elena dan balik ke kamu sama Jean maka aku akan langsung cerai. Aku akan langsung cerai sama Elena saat ini juga kalau kamu mintanya begitu. Tolong, jujur sama perasaanmu sendiri. Bukan hanya Elena yang tersiksa, tapi aku juga tersiksa.”

Air mata Lia ikut menetes melihat bagaimana Nathan memohon di depannya. Lia menunduk sejenak sambil mengembuskan napas pelan.

“Jangan, jangan cerai sama Elena. Aku juga perempuan jadi aku tahu apa yang dia rasain.”

Perlahan, kedua tangan Nathan terlepas dari bahu Lia diiringi dengan helaan napas berat dan senyuman miris. Nathan mengusap kasar air matanya dan berbalik.

Setiap manusia punya ambang batas kesabarannya masing-masing. Dan hari ini, saat ini, detik ini juga Nathan memilih untuk berhenti, Nathan memilih untuk menyerah. Sudah cukup dia menahan kesabarannya saat menghadapi keras kepalanya Lia. Hari ini, Nathan berhenti. Orang yang ingin dia perjuangkan tidak menginginkannya jadi untuk apa terus bertahan menahan sakit.

“Iya, aku nggak akan cerai seperti keinginanmu.” Nathan meraih cardigannya, tatapan matanya tertuju pada Saka dan Jean yang kembali ke meja makan. “Makasih untuk waktu yang singkat ini. Mulai sekarang aku nggak akan ganggu kamu lagi dengan pertanyaan-pertanyaanku, aku nggak akan ngusik kehidupanmu. Aku harap, kamu nggak menyesal dengan keputusanmu dan aku harap kamu bisa bahagia. Jangan sedih-sedih ya, aku nggak mau liat kamu sedih. Intinya kamu harus tetap bahagia. Semoga nanti kamu ketemu sama orang yang bener-bener kamu mau. Sekali lagi maaf.”

“Ayah mau pergi?” tanya Jean sambil mendongak.

Lia membuang muka karena setetes air matanya mengalir begitu saja. Tidak dipungkiri kalau hatinya terasa nyeri dan ngilu mendengar ucapan Nathan. Apalagi Nathan mengatakannya dengan wajah sedih.

Nathan berjongkok di hadapan Jean lalu mengusap pelan kepala anaknya. “Jean sayang, untuk sementara waktu kayaknya Ayah nggak bisa ke sini lagi.”

Saka menyadari kalau Lia menangis di belakang Nathan. Tapi apa yang bisa dia lakukan, dia bahkan mendengar semua percakapan Nathan dan Lia.

“Kenapa?” tanya Jean.

“Ayah.. Ayah ada urusan, sayang.”

“Ayah sibuk lagi kayak dulu? Nggak akan bisa ketemu aku lagi?” mata Jean mulai berkaca-kaca.

Dada Nathan terasa sesak. “Iya, sayang. Tapi kalau kamu mau main-main sama Ayah, kamu bisa datang ke rumah Ayah atau ke rumah nenek. Ayah cuma nggak bisa datang ke sini lagi, Ayah nggak ada waktu.”

Jean berhamburan memeluk Nathan dan menangis dalam pelukan ayahnya. “Iya, Ayah.”

Pelukan itu terlepas seiring dengan tangan Nathan yang mengusap sisa air mata Jean. “Kenapa nangis, kamu mau berangkat sekolah, sayang.”

“Aku sedih soalnya Ayah sibuk lagi kayak dulu. Tapi Ayah janji ya kalau nggak sibuk lagi, Ayah akan datang ke sini.” Jean menggenggam jemari Nathan dengan erat yang semakin membuat hati Nathan begitu sesak.

Nathan tidak ingin berjanji sebab dia tidak tahu apakah dia bisa datang ke rumah ini lagi atau tidak. Lia tidak menginginkannya jadi untuk apa dia berlama-lama di sini. Jean bisa saja jadi alasan lain. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau Nathan lebih membutuhkan Lia untuk berbagi cerita dan keluh kesah. Kalau nanti dia kangen Jean, dia bisa minta tolong pada Saka untuk membawa Jean padanya.

“Kamu sarapan dulu ya terus berangkat sekolah.” Nathan mengangkat tubuh Jean dan mendudukkannya di atas kursi. “Ayah pulang ya, sayang. Jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, kamu nggak boleh sakit.”

“Hati-hati, Ayah.”

“Iya, sayang.”

Tanpa menoleh ke belakang untuk melihat Lia, Nathan berlalu keluar begitu saja. Dia tidak ingin melihat wajah Lia, yang ada nanti dia malah tidak ingin pulang.

“Bodoh!” desis Saka saat menatap Lia dengan tajam kemudian menyusul Nathan. Ini pertama kalinya Saka akan memihak Nathan sebab kakaknya terlalu baik dan terlalu memikirkan perasaan orang lain.

Nathan berjalan dengan tertatih, langkah kakinya memelan seiring dengan tubuhnya yang merosot, dia terduduk di teras rumah. Tenaganya melemah, wajahnya memucat.

“Kak!” seru Saka dan membantu Nathan berdiri. “Ku antar pulang ya, tunggu Jean sarapan dulu.”

“Nggak usah, aku bisa pulang sendiri.”

“Tapi Kak..”

“Aku nggak apa-apa, kamu urusin aja Jean sana. Kayaknya Lia lagi nangis.” Nathan berusaha berdiri, menopang bobot tubuhnya sendiri walau terasa sangat berat. “Nanti kalau aku kangen Jean, aku bisa minta tolong sama kamu buat bawa Jean ke aku?”

“Kalian kenapa sih, Ya Tuhan!” gumam Saka.

“Lia nyuruh aku jangan ninggalin Elena. Padahal kalau dia minta aku cerai, aku bakal langsung cerai saat ini juga. Dia selalu bilang begitu jadi aku udah capek. Kayaknya, Lia emang udah nggak punya perasaan apa-apa lagi sama aku. Mungkin aku aja yang terlalu maksa dia buat jujur padahal itu adalah perasaannya yang sebenarnya. Ka, jagain kakakmu baik-baik ya, aku udah nggak bisa.” Nathan menghela napas berat dan mengulas senyum tipis.

“Kak Nat nyerah gitu aja? Kalian kepisah selama lima tahun dan sekarang Kak Nat nyerah gitu aja?”

“Orang yang mau aku perjuangin udah nggak mau sama aku, dia nggak mau diperjuangin. Lia udah nggak mau sama aku.”

Saka terdiam. Mau membela kakaknya, dia juga salah karena tidak jujur dengan perasaannya sendiri. Jadi, Saka membiarkan Nathan pergi. Langkahnya begitu tertatih, tubuh tinggi tegap itu terlihat rapuh.

Elena datang membawa air hangat dan mengompres Nathan. Nathan tidak ingin menangis tapi air mata terus saja menetes dari sudut matanya.

“Ke rumah sakit, ya? Wajah Kakak benar-benar pucat, biar Kakak di infus supaya tenaganya cepat pulih.” Elena masih berusaha membujuk Nathan.

Tubuhnya terasa nyeri, tenaganya melemah. Apalagi hatinya yang belum bisa membaik dari tadi bahkan bernapas saja rasanya sakit.

“Kak?”

“Iya, ayo ke rumah sakit.”

Elena meletakkan peralatan kompresnya dan membantu Nathan berdiri kemudian meraih kunci mobilnya di atas meja. Elena bahkan terkejut saat kulit tangannya bersentuhan dengan kulit Nathan yang terasa begitu panas.

“Hati-hati nyetirnya,” gumam Nathan dengan mata terpejam, dia sudah tak kuat membuka mata. Demamnya begitu tinggi.

“Iya, Kak.”

Hati Elena menghangat saat mendengar Nathan memberitahunya untuk hati-hati. Elena kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Nathan memilih berhenti bukan karena tidak sanggup lagi. Tapi karena orang yang ingin dia perjuangkan sudah tidak menginginkannya lagi. Apapun akan Nathan lakukan demi Lia tapi pada akhirnya Lia masih tetap akan keputusannya. Memaksakan kehendak juga tidak baik jadi Nathan memutuskan untuk berhenti. Karena setiap manusia punya ambang batas kesabaran masing-masing.

**

notes:

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.

©dear2jae
2021.04.30 — Jumat.
2023.09.30 — Sabtu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top