27.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

For the first time again, lo ngajakin gue keluar jam segini cuma buat minum-minum.” Jevin menuangkan alkoholnya pada gelas Nathan yang sudah kosong. “Dulu waktu masih kuliah masalah yang kita pikirin cuma tugas, tugas dan tugas. Terus kita sering keluar minum jam segini dan berakhir pingsan karena terlalu banyak minum. Sekarang masalah yang dipikirin udah lain, ini urusannya udah rumah tangga.”

Nathan meneguk habis minumannya dengan sekali teguk. Matanya melirik jam yang bertengger di pergelangan tangannya, sudah pukul dua pagi dan dia belum pulang sama sekali.

“Bisa nggak sih waktu diulang lagi? Supaya gue nggak pusing kayak gini mikirin masalah ini,” gumam Nathan sambil memegang kepalanya yang terasa pening. “Jev, gue sayang Lia. Makasih ya, dulu lo udah bikin dia jatuh. Kalau nggak, kayaknya gue nggak akan ketemu sama dia.”

Nathan terus berbicara dengan mata terpejam. Aroma alkohol menguar, sepertinya dia sudah setengah sadar. Jevin membiarkannya mengeluarkan apa yang ingin dia katakan. Sesekali menatap ponsel Nathan yang terus berdering karena panggilan dari Elena. Bersahabat sejak lama dengan Nathan pasti akan membuat Jevin berada dipihaknya. Seperti sekarang ini saat Jevin memilih untuk menonaktifkan ponsel Nathan dan menyelipkannya ke dalam saku agar perempuan itu tidak mengganggu.

“Jev, gue akan lakuin apapun demi Lia dan Jean. Lia itu keras kepala, lo tahu sendiri kalau keputusannya udah bulat, sampai kapanpun akan tetap kayak gitu.” Nathan kembali meraih gelas alkoholnya. “Jev, Lia selalu bilang sama gue kalau gue nggak perlu tanggungjawab atas Jean. Gue nggak perlu cerai dan gue tetep bisa temuin Jean sepuasnya. Tapi mana bisa, masalahnya di sini bukan hanya Jean yang gue mau tapi juga Lia, Jen, Lia.”

“Lo perlu solusi dari gue atau cuma mau didengerin?” tanya Jevin lalu menyingkirkan gelas itu dari hadapan Nathan sebelum Nathan kehilangan kesadaran.

“Solusi udah di depan mata tapi kenapa sulit banget buat ngejalaninnya. Cerai baik-baik, balik sama Lia dan Jean. Udah, selesai. Tapi.. Ah, sialan.” Nathan mengusap kasar air mata yang menetes dari sudut matanya. “Kalau seandainya sekarang Lia nyuruh gue cerai, kalau seandainya dia mau egois, gue akan langsung cerai, Jev. Gue nggak akan peduliin gimana perasaan orang-orang di sekitar gue, sumpah. Terserah mereka mau mikir apa tentang gue, gue nggak peduli. Kalau Lia bilang cerai, gue akan langsung cerai.”

Nathan kembali merebut gelas alkohol milik Jevin lalu meneguknya sampai habis.

“Lo bisa cerai sekarang. Kayak yang lo bilang tadi, nggak usah pikirin perasaan orang-orang disekitar lo.”

“Nggak bisa, Jev. Lemes banget mulut lo ngomong. Kalau gue ambil keputusan itu sekarang, cerai tanpa peduliin orang-orang, Lia belum tentu mau nerima gue. Tapi kalau Lia udah ngomong buat nyuruh gue cerai, itu udah ada jaminan dia mau nerima gue.” Nathan menghela napas pelan, air mata terus menetes dari sudut matanya.

Perlahan kesadaran Nathan hilang, kepalanya sudah tergeletak di atas meja. Jevin menghela napas berat, sepertinya dia mulai sadar apa permasalahannya di sini. Di satu sisi, Lia menolaknya dengan alasan masih mencintai Nathan. Tapi di sisi lain, Lia malah bilang bahwa Nathan tidak perlu bercerai. Jevin sadar kalau Lia sepertinya tidak ingin bersikap egois.

“Ayo pulang, lo udah nggak sadar.” Jevin meraih lengan Nathan dan membantunya berdiri. Kalau tidak dipapah, tubuh Nathan pasti sudah limbung.

“Anterin gue ke rumah Lia. Gue nggak mau pulang,” racau Nathan sambil terus berjalan keluar bersama Jevin.

Jevin menuruti keinginan Nathan, dia benar-benar mengantar Nathan ke rumah Lia. Padahal jam sudah menujukkan pukul tiga pagi. Jalanan sudah lengang jadi Jevin melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh agar cepat sampai.

Dengan perasaan tidak enak, Jevin mengetuk pintu rumah Lia. Cukup lama mereka berdiri di depan pintu hingga akhirnya terbuka. Lia yang masih setengah sadar dan begitu kaget saat melihat Nathan dalam keadaan tidak sadarkan diri.

“Jev, kamu masuk aja bawa dia. Aku nggak kuat kalau harus papah sampai ke dalam.” Lia membuka pintunya lebar dan membantu Jevin menyeret tubuh Nathan.

“Beneran nggak kuat kalau di papah? Tapi kuat ya kalau Nathan nindih kamu.”

“Astaga, bisa-bisanya ya kamu!” satu cubitan mendarat mulus pada lengan Jevin. Jevin terkekeh pelan. “Ini gimana, kenapa bisa kayak gini? Astaga, bau alkohol semua.”

Jevin meletakkan tubuh Nathan di atas ranjang lalu melepas sepatu serta kaus kakinya. Lia kemudian menarik selimut dan menyelimuti tubuh Nathan.

“Lia, Nathan bener-bener butuh dukungan, butuh kamu. Dia keliatan baik-baik aja tapi jauh di dalam hatinya, dia rapuh. Aku tahu, kalian sama-sama rapuh, sama-sama tersiksa dengan keadaan ini tapi saat ini Nathan berada dalam situasi yang sulit. Tadi, dia nangis, itu pertama kalinya aku liat dia nangis karena mikirin banyak masalah. Dan aku cuma mau bilang sama kamu, tolong, jujur sama perasaanmu sendiri supaya Nathan bisa dengan mudah ambil keputusan.” Jevin menepuk pelan bahu Lia dan melambaikan tangan kemudian keluar.

Pintu itu tertutup, menyisakan Lia yang termenung dalam diam. Mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Jevin. Lalu pikiran Lia tertuju pada kejadian siang tadi, di mana wajah terharu Elena masih terngiang-ngiang di kepalanya. Wajah berseri yang terlihat senang ketika Jean memanggilnya mama.

Lia kembali ke kamarnya dengan langkah pelan, begitu membuka pintu dia mendapati Nathan sudah duduk di atas ranjang sambil menunduk. Tatapan mereka kemudian bertemu lalu pada akhirnya keheningan melanda, larut akan pikiran masing-masing. Tangan Lia mengepal kuat saat melihat Nathan ternyata menitikkan air mata dengan senyum tipis di wajahnya. Nathan mengembuskan napas perlahan dan menyingkap selimut tebalnya, dia kemudian mengusap kasar air mata yang ada di wajahnya.

“Maaf kalau aku bikin kamu kaget malem-malem gini. Tadi aku nggak sadar bilang mau ke sini. Aku kira Jevin nggak akan nganterin aku ke sini.” Nathan turun dari ranjang dan memperbaiki bajunya. “Aku pulang, ya.”

Nathan meraih cardigannya yang ada di atas kursi rias Lia samping ranjang tapi belum sempat melangkah, Lia langsung berhamburan memeluk Nathan. Entah kenapa, Nathan begitu kacau malam ini. Rambut dan pakaiannya berantakan apalagi wajahnya terlihat kusut.

“Kamu tadi dianterin sama Jevin dan nggak bawa mobil jadi pulangnya besok aja. Taksi udah nggak ada kalau malem-malem gini, lagian bentar lagi pagi kok jadi tunggu aja. Kamu juga masih setengah sadar, bau alkohol semua.”

“Aku udah sadar dan nggak apa-apa. Aku bisa jalan pulang kalau nggak ada taksi.”

Tangan Nathan masih menggantung, dia membiarkan Lia memeluknya.

“Tapi ini jam tiga pagi, Nat. Di jalan sepi, lagian kalau mau jalan pasti jauh, capek.”

“Lia..” lirih Nathan pelan sambil melepas kaitan tangan Lia pada pinggangnya. Lalu menatap teduh kedua mata Lia. “Ucapanmu terlalu berbelit-belit. Bisa nggak kamu bilang jangan pergi, aku khawatir kamu kenapa-kenapa. Tapi dari tadi kamu terus cari alasan dan aku kecewa.”

Seolah mereka benar-benar diciptakan untuk satu sama lain, Nathan bahkan mengerti isi hati Lia saat ini dan memang benar bahwa inti dari ucapan Lia adalah dia tidak ingin Nathan pergi, dia khawatir sebab Nathan dalam pengaruh alkohol, dia tidak mau Nathan kenapa-kenapa. Tapi entah kenapa sulit sekali baginya untuk bilang begitu.

“Oh ya, sampaikan permintaan maafku sama Jean. Tadi siang aku nggak jadi jemput dia soalnya ada urusan lain, dia pasti kecewa.” Nathan mengulas senyum tipis.

Nathan kali ini benar-benar berbeda dengan Nathan yang kemarin-kemarin. Nathan hari ini terlihat sangat rapuh, lemah dan tidak berdaya.

Lia menahan tangan Nathan yang hendak berjalan keluar lalu mata mereka bertemu tatap. Tatapan mata Nathan benar-benar sendu, menyiratkan banyak kesakitan di dalamnya.

“Apa? Mau bilang apa lagi?”

“Jangan pergi, aku khawatir kamu kenapa-kenapa di jalan soalnya kamu masih setengah sadar.”

“Kalau terpaksa bilang gitu karena aku tadi bilang kecewa, nggak usah. Aku heran, kenapa egomu tinggi banget.” Nathan menepis tangan Lia dan kembali berjalan.

“Nat, please! Jangan pergi, aku nggak terpaksa bilang gini. Aku emang bener nyari-nyari alasan dari tadi dan aku minta maaf udah buat kamu kecewa,” suara Lia agak tinggi yang langsung membuat langkah Nathan terhenti lalu menoleh lagi. “Please, jangan pergi. Jangan buat aku khawatir.”

Lia itu memang butuh disadarkan dulu baru bisa berkata jujur, seperti saat ini. Lia itu melemah kalau di hadapan Nathan tapi kalau di belakang Nathan, Lia bersikap seolah-olah dia tegar. Lia butuh dikasihani tapi Lia malah lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya. Lia itu lemah kalau melihat tangisan seperti saat Elena menangis di depannya, bilang bahwa Elena tidak bisa kehilangan Nathan sedangkan dia sendiri juga butuh Nathan. Lia itu plinplan, seperti saat ini, saat dia tidak mau Nathan pergi tapi nanti kalau dia sadar, itu akan menjadi bebannya selama berhari-hari karena tidak membiarkan Nathan pulang, pulang pada Elena.

“Terima kasih,” ujar Nathan pelan dan melangkah lalu merengkuh tubuh Lia, setetes air mata kembali menetes dari sudut matanya. “Kayaknya kamu perlu disindir dulu baru bisa ngomong jujur.”

“Nggak gitu. Aku..”

“Diem.”

“Kamu nangis?” tanya Lia saat merasakan bahunya basah.

“Nggak, aku lagi cuci mata aja biar bersih.”

Lia tersenyum kecil mendengar jawaban Nathan. Tangannya mengelus pelan punggung Nathan. Ucapan Jevin sepertinya benar kalau saat ini Nathan benar-benar rapuh.

“Kamu udah makan? Jangan bilang isi perut kamu alkohol semua.”

“Udah, tadi siang dipaksa makan sama Fey.”

Dari dulu, Lia selalu suka kalau Nathan memeluknya. Pelukannya erat jadi Lia merasa sangat nyaman di dalam pelukan Nathan.

“Pantes tadi kamu berat banget pas di papah sama Jevin.”

“Kan, Jevin yang papah aku. Kenapa kamu bisa tahu kalau aku berat?”

Tangan kanan Nathan merapikan rambut Lia, memainkannya sambil kepalanya tenggelam pada perpotongan leher Lia.

“Aku bantuin Jevin.”

“Aku denger pas Jevin bilang, beneran nggak kuat kalau di papah? Tapi kuat ya kalau Nathan nindih kamu.”

“Jangan dibahas.”

Kalau pencahayaannya terang, sudah pasti Nathan tertawa karena wajah Lia semerah tomat saat ini. Pipinya terasa sangat panas kalau mengingat ucapan Jevin.

Gusar yang melanda hati Nathan seharian ini menghilang begitu saja setelah bertemu dengan Lia dan mendapat pelukan dari Lia.

Can you stay with me for a long time?” suara berat Nathan benar-benar memabukkan. Apalagi Nathan mengucapkannya tepat di dekat telinganya lalu diiringi satu kecupan pada perpotongan lehernya. Lia merinding dan masih terdiam, tidak tahu mau jawab apa padahal jawabannya sederhana. Tapi masih begitu sulit Lia ucapkan. “As always, you can’t answer or maybe you just won’t answer.”

*

Yesi melangkah dengan cepat saat ada panggilan masuk dari Jevin yang mengatakan kalau dia ada di depan rumahnya. Padahal Yesi belum sepenuhnya bangun tapi begitu kaget sama seperti Lia. Begitu membuka pintu, dia disambut oleh senyuman Jevin. Senyum yang begitu tulus yang pernah Yesi lihat. Yesi berhamburan memeluk Jevin, memeluk leher laki-lakinya dengan erat. Ini pertama kalinya Yesi melihat Jevin tersenyum begitu tulus dan lebar.

“Kamu lari?” tanya Jevin. Yesi mengangguk, masih dalam pelukan Jevin. “Pantes aja detak jantung kamu keras banget.”

“Bentar..” Yesi melepas pelukannya dan mengendus-endus di dekat Jevin. “Kamu kenapa bau alkohol?”

“Baru pulang dari bar sama Nathan terus aku kangen kamu jadi aku mampir.”

“Bentar, aku nggak salah denger? Kamu kangen aku?” Yesi ingin memastikan kalau pendengarannya baik-baik saja. Jevin mengangguk. “Cium coba. Kalau nggak mau berarti kamu bohong.”

Tanpa basa-basi lagi Jevin langsung mendaratkan kecupannya pada bibir Yesi. Jantung Yesi semakin berdetak kencang, pasrah sudah kalau mau meloncat keluar dari tempatnya.

“Jev.. Kamu, ah, kamu masih dalam pengaruh alkohol kayaknya makanya mau-mau aja aku suruh.”

“Aku sadar dan baik-baik aja. Aku ke sini nyetir mobil loh, kenapa malah bilang aku masih dalam pengaruh alkohol? Lagian aku nggak minum banyak.”

“Jadi, tadi kamu sadar?”

“Ya sadar, sayang.”

“Astaga, kayaknya aku ngigau karena bangun jam segini.” Yesi memegang kepalanya yang terasa pening karena melihat perubahan sikap Jevin. “Masuk, kamu nggak boleh pulang. Pulangnya nanti pas matahari terbit.”

Jevin menarik senyum simpul saat Yesi menarik tangannya untuk masuk. Yesi memberi isyarat agar Jevin diam agar tak membangunkan orang tuanya yang terlelap.

Yesi menutup pintu kamarnya dengan pelan lalu menatap Jevin, masih tidak percaya akan sikap Jevin.

“Tadi aku temenin Nathan, dia kayaknya stress banget gara-gara mikirin permasalahan rumah tangganya dan Lia sama Jean. Dia sampai nangis pas cerita.” Jevin menarik tangan Yesi untuk duduk di pinggir ranjang.

“Keliatannya emang nggak ada apa-apa tapi ya siapa yang tahu apa yang dia pikirin. Aku juga kasian soalnya Lia kalau natap Nathan tuh tatapannya teduh banget. Tapi Lia juga nggak mau bilang isi hati dia yang sebenarnya.”

“Kamu nggak pengen tukar sifat sama Lia sebentar aja?” tanya Jevin dengan kekehan.

“Maksud kamu?”

“Kamu, kan, sifatnya ceplas-ceplos, frontal, nah tukar bentar sama Lia supaya dia bisa ngomong apa yang dia mau sama Nathan tanpa rasa bersalah dan malu.”

“Kamu ngejek, ya?” Yesi berdiri dari duduknya sambil berkacak pinggang.

Jevin tertawa. “Nggak, sayang, bercanda aja. Oh ya, ada handuk? Aku mau mandi, gerah.”

“Handukku mau?”

“Mau.”

“Kirain nggak mau.” Yesi berjalan menuju lemarinya dan mengambil handuknya.

“Mau lah, toh nanti kalau nikah kita bakalan berbagi barang yang sama.”

“Udahlah, pingsan aja. Kamu kerasukan kayaknya.”

Jevin tertawa.

**

notes:

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.

©dear2jae
2021.04.29 — Kamis.
2023.09.30 — Sabtu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top