26.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Setelah menghabisakan weekend dengan merayakan ulang tahun Jean, kini saatnya mereka kembali ke kesibukan masing-masing. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa, Elena tidak pernah mempertanyakan ke mana Nathan selama dua hari kemarin.
Pagi tadi, Nathan ingin menjemput Jean untuk sama-sama berangkat tapi dia harus berangkat lebih pagi sebab ada jadwal operasi. Jadi, siang ini Nathan berencana untuk menjemput Jean. Tapi sepertinya, rencananya akan sedikit berantakan karena saat ini ibu mertuanya tiba-tiba datang dan masuk ke ruangannya. Padahal Nathan sudah mengganti pakaiannya dan meraih kunci mobilnya hendak keluar.
“Kamu mau keluar, ya?” tanya wanita itu yang masih berdiri di depan pintu.
“Ibu ada perlu apa?”
Tidak mungkin juga Nathan bilang kalau dia akan pergi menjemput anaknya atau entahlah apakah ibu mertuanya sudah tahu tentang Jean atau belum. Nathan agak sedikit gugup karena kemunculan wanita ini secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Apalagi raut wajahnya agak sedikit serius dari biasanya.
“Ibu mau ngomong aja sama kamu.”
“Kenapa nggak telepon aja biar aku yang datang ke rumah Ibu?”
“Ibu tadi ada perlu jadi sekalian mampir ke sini sebentar.”
Nathan kemudian beranjak duduk bersama ibu mertuanya. Wanita itu menuang air lalu meneguknya. Nathan berkali-kali melirik jam yang bertengger di tangannya, berharap ibu mertuanya segera menyudahi pertemuan mereka agar dia bisa cepat pergi menjemput Jean.
“Ibu langsung aja, soalnya ini udah mengusik pikiran Ibu dari kemarin..” ada jeda pada kalimatnya yang membuat Nathan dilanda kepanikan. “Beneran kamu punya anak dari perempuan lain?”
Rasanya seperti Nathan terjatuh dari ketinggian, bukan karena takut ibu mertuanya tahu soal Jean, Nathan bahkan akan memberitahunya kalau memang belum tahu. Tapi karena kalimat wanita itu yang mengatakan mengusik pikiran ibu dari kemarin. Nathan menahan napasnya sejenak lalu mengembuskannya secara perlahan. Berusaha tetap terlihat tenang walaupun dia tahu akan ada kemungkinan terburuk yang akan disarankan oleh ibu mertuanya.
“Iya, Bu.”
Satu jawaban yang keluar dari mulut Nathan mampu membuat hati wanita itu bergejolak. Terasa begitu nyeri saat jawaban iya adalah jawaban yang tidak ingin dia dengar. Mengingat bagaimana tangis Elena saat bercerita tentang hal ini membuatnya agak sedikit kesal.
“Kamu, kan, udah nikah. Gimana bisa punya anak dari perempuan lain?” suara wanita itu sedikit bergetar.
“Sebelum aku kenal sama Elena, aku udah lebih dulu pacaran sama Lia. Namanya Lia.”
“Oke, Ibu nggak akan nanya-nanya lagi soal itu. Tapi Ibu mau dengar keputusan yang akan kamu ambil.”
“Aku..”
“Sebentar, sebelum kamu ngomong Ibu mau bilang kalau Elena benar-benar sayang sama kamu. Dia nggak mau kehilangan kamu, dia udah cukup tersiksa sama kenyataan kalau dia nggak bisa punya anak. Jadi, Ibu harap kamu bisa bijak dalam mengambil keputusan.”
Nathan mengusap pelan wajahnya, padahal dia belum sempat bicara tapi wanita itu sudah menyela ucapannya dengan kalimat yang langsung membuat hatinya merasa nyeri. Benar-benar perlu dipikirkan dengan matang kalimat yang akan dia katakan nantinya. Kalau soal rencana, Nathan sudah punya rencana yaitu bercerai, kembali bersama Lia, dan hidup bahagia bersama anaknya. Tapi proses menuju semua itu pastinya akan sangat sulit.
“Iya.”
Wanita itu pergi begitu saja setelah mengatakan hal yang membuat Nathan selalu merasa tertekan, dia udah cukup tersiksa sama kenyataan kalau dia nggak bisa punya anak, lalu meninggalkan Nathan dalam keheningan.
Jam pulang sekolah Jean sudah lewat dan Nathan memeriksa ponselnya yang tadi sempat bergetar.
“Kamu bisa nggak jemput Jean?”
“Nat?”
“Ya udah. Kalau kamu sibuk, biar aku yang jemput.”
Dari Lia.
Mood Nathan benar-benar memburuk setelah kepergian ibu mertuanya. Padahal jadwalnya hanya sampai siang ini dan rencananya dia akan mengajak Jean jalan-jalan sepulang sekolah. Tapi wanita itu datang dan menghancurkaan moodnya begitu saja.
Nathan tidak peduli bagaimana cara Elena menyampaikan pada ibunya bahwa dia punya anak dari perempuan lain. Yang membuat Nathan kesal adalah bagaimana wanita itu menyela ucapannya dan mengatakan kalimat yang membuatnya tertekan.
*
“Ayah sibuk?” tanya Jean, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan saat yang muncul di depan kelasnya adalah Lia bukannya Nathan.
Kecewa dalam artian, Nathan sudah berjanji akan mengajaknya jalan-jalan sekalian mau beli hadiah ulang tahun yang belum sempat diberikan oleh Nathan. Tapi ternyata, Nathan sibuk.
“Iya, di rumah sakit ayah lagi banyak kerjaan. Jalan-jalannya besok aja, ya. Sekarang sama Mama.” Lia menggenggam tangan Jean. Jean mengangguk paham. “Mau jalan-jalan sama Mama nggak hari ini? Kebetulan kerjaannya Mama udah selesai semua.”
“Mau, Mama juga belum ngasih aku hadiah.”
“Let’s go!”
Mereka kemudian naik taksi menuju pusat perbelanjaan yang ada di kota. Kali ini, Lia tidak akan melepaskan tangan Jean walau sesaat. Kejadian beberapa waktu lalu, saat pertama kali bertemu dengan Nathan, masih terngiang di kepalanya. Bagaimana paniknya dia saat Jean tidak ada di tempatnya.
Mungkin ini adalah hari yang tidak baik bagi Nathan maupun Lia. Karena saat ini, detik ini juga tatapan mata Lia bertemu dengan tatapan mata Elena yang sedang berdiri tak jauh darinya. Menatap ke arahnya dengan wajah datar.
“Ma, kenapa berenti?” Jean menarik tangan Lia tapi Lia bergeming. Lalu Jean mendongak dan melihat bahwa Lia sedang menatap lurus ke satu arah. Jean mengikuti arah pandang Lia dan akhirnya menemukan orang yang ditatap oleh Lia.
“Bibi..” Jean melambaikan tangannya. Kaitan tangannya terlepas dari tangan Lia, anak itu berlari menghampiri Elena dan menyapanya. “Bibi sendirian, nggak sama nenek?”
Entahlah, saat melihat Jean melepaskan genggaman tangannya dan berlari begitu saja menghampiri Elena membuat hati Lia terasa nyeri.
Elena sedikit berjongkok agar dapat melihat wajah Jean dengan jelas. “Nenek lagi nggak bisa makanya Bibi sendiri. Kamu sama mama, ya?”
“Iya, tadinya mau sama ayah tapi ayah sibuk.”
Lia akhirnya mendekat setelah berusaha menormalkan detak jantungnya. Jantungnya berdetak dengan kecepatan cepat begitu saja saat Jean melepas genggaman tangannya. Hal kecil seperti itu aja mampu membuat hatinya bergejolak hebat. Bagaimana kalau dia dan Jean sampai tinggal terpisah seperti saran Hana waktu itu? Tidak, Lia tidak akan bisa hidup tenang.
“Kebetulan kita ketemu, bisa bicara sebentar? Kak Lia ada waktu atau nggak bisa?” tanya Elena.
“Bisa, aku ada waktu kok. Ayo, mau bicara di mana?”
“Di situ aja,” tunjuk Elena pada sebuah toko minuman.
Jean sempat merengek karena mau membeli topi, katanya teman-temannya banyak memakai topi. Jadi dia mau hadiah topi dari Lia. Tapi kata Lia nanti saja.
Apapun yang akan dibicarakan oleh Elena, baik atau buruk, Lia sudah siap akan semuanya.
Elena datang membawa tiga gelas minuman dan meletakkannya di atas meja kemudian beranjak duduk. Lia masih diam, dia ingin membiarkan Elena lebih dulu bicara karena Elena yang meminta waktunya.
“Kak, aku langsung ke intinya aja, ya. Gini Kak, kita, kan, sama-sama perempuan jadi Kak Lia pasti tahu gimana rasanya saat dokter bilang kalau aku udah nggak bisa hamil lagi.” Elena menjeda kalimatnya. Lia masih tidak menimpali. “Selama lima tahun terkahir ini, aku sama Kak Nathan hidup tenang-tenang aja..”
“Jadi kamu mau bilang kalau kemunculanku menyebabkan hidup kalian nggak tenang lagi?” Lia menyela.
“Nggak gitu, Kak. Maksudku..” Elena menghela napas pelan. “Kak Nathan sekarang berubah. Sejak dia tahu kalau Jean anaknya, dia jarang di rumah. Intinya Kak Nathan benar-benar berubah.”
Lia berusaha tetap tenang. “Jadi inti dari apa yang mau kamu sampaikan ke aku itu apa? Langsung aja ke intinya, nggak usah berbelit-belit. Aku sama Jean mau ke suatu tempat.”
“Tolong jauhin Kak Nathan. Tolong jangan buat Kak Nathan berpikir untuk ninggalin aku karena aku nggak akan sanggup buat hidup tanpa dia. Tolong, jangan rebut Kak Nathan dariku.”
Lia mengulas senyum tipis sekaligus miris. “Lucu ya, dulu kamu yang rebut Nathan dari aku. Setelah kamu dapat sekarang malah kamu yang takut aku ngerebut dia lagi. Nathan bukan barang yang direbut-rebut.” Lia terkekeh pelan.
“Please Kak, aku bener-bener nggak bisa kehilangan Kak Nathan. Selama ini aku selalu ngerasa bersalah sama Kak Nathan soalnya aku nggak bisa ngasih keturunan dan sekarang Kak Lia muncul sama Jean yang ternyata adalah anak kandung Kak Nathan. Hatiku sakit saat tahu tapi mau marah-marah juga nggak ada gunanya soalnya semua udah kejadian. Dan sejak saat itu Kak Nathan jadi berubah padahal dulu sering perhatian sama aku tapi sekarang udah nggak lagi.” Elena menangis. “Aku sadar kok kalau Kak Nathan selama ini nggak pernah bisa sayang sama aku, di hatinya selalu ada Kak Lia. Sekarang aku bener-bener takut Kak Nathan bakal ninggalin aku karena aku nggak bisa ngasih dia keturunan.”
“Bibi, jangan nangis.” Jean menyentuh jari-jemari Elena dengan tangan kecilnya. Hal itu sontak membuatnya semakin menangis hebat. “Mama bikin Bibi nangis, ya?”
“Nggak Jean, tadi matanya Bibi kelilipan makanya nangis buat ngeluarinnya,” ujar Elena.
Sesak benar-benar melanda hati Lia. Rasanya begitu sakit saat mendengar penuturan panjang Elena. Lia sadar bahwa rasa sayang Elena pada Nathan tidak main-main. Dilihat dari bagaimana dia berbicara tentang perasaannya. Bagaimana perasaan Elena saat tahu fakta bahwa dia tidak akan bisa hamil untuk selamanya, Lia mengerti. Semua perempuan menikah pasti menginginkan kehamilan, lahirnya anak di tengah-tengah keluarga kecil mereka. Tapi Elena tidak bisa mewujudkannya.
“Ibu mertua emang udah bilang ke aku, nggak apa-apa nggak bisa ngasih keturunan asalkan aku sehat. Tapi aku tetap aja merasa malu dan nggak enak hati kalau ketemu sama dia. Aku tahu, dia pengen banget dipanggil nenek selama ini tapi faktanya aku nggak bisa mewujudkannya.” Elena masih sesegukan. “Apalagi Kak Nathan, pasti pengen banget dipanggil ayah tapi aku juga nggak bisa mewujudkannya. Dan sekarang Kak Lia datang bawa angin segar buat mereka jadi aku semakin takut Kak Nathan bakal ninggalin aku.”
Jika ada di posisi Elena, Lia pasti akan bersikap seperti ini. Takut kehilangan, apalagi yang dipikirkan sangat banyak. Pikiran akan perasaan ibu mertuanya, ibunya dan juga Nathan.
“Kamu jangan khawatir, aku nggak ada niatan buat ngerebut Nathan dari kamu,” ujar Lia yang langsung membuat mata Elena berbinar-binar. “Dari awal aku udah bilang sama Nathan kalau aku nggak ada niatan buat nuntut tanggungjawabnya atas kehadiran Jean. Dia tahu Jean anak kandungnya aja udah cukup. Aku nggak akan buat rumah tangga kalian hancur, jadi kamu tenang aja. Kamu cukup yakinin Nathan kalau kamu sayang sama dia.”
Derai air mata Elena semakin menjadi-jadi, dia menggenggam tangan Lia sambil terus berujar terima kasih. Lia yang merasa emosional melihatnya ikut menangis.
“Terima kasih, Kak Lia.”
“Iya, sama-sama.”
Lalu tatapan mata Elena beralih pada Jean yang terlalu asik dengan minumannya. Tatapan mata yang menyiratkan kesakitan yang mendalam. Dengan derai air mata yang masih mengalir di pipinya, Elena menatap Lia dengan wajah sendu.
“Kak, boleh sekali aja Jean panggil aku mama?” tanya Elena.
Lia tidak bisa membendung air matanya. Dia membuang muka karena air matanya menetes begitu saja mendengar kalimat memilukan Elena. Tatapan memohon itu membuat hati Lia ngilu.
“Jean, sayang,” ujar Lia pelan sambil mengelus kepala Jean. Jean mendongak. “Kamu bisa panggil Bibi Elena dengan panggilan mama, soalnya dia istri ayah.”
“Mama bukan istri ayah?” tanya Jean.
“Nanti kalau kamu udah besar, Mama kasih tahu ya, sayang.”
Jean mengangguk pelan. “Mama..” ujar Jean sambil menyentuh lagi jari-jemari Elena dengan senyumannya.
Tangisan Elena semakin pecah, tumpah ruah setelah mendengar Jean memanggilnya mama. Tangis haru, setelah sekian lama akhirnya Elena bisa mendengar panggilan itu. Bahkan Elena sampai sesegukan dibuatnya. Perasaan haru itu tak bisa dideskrispikan dengan kata-kata. Begitu membahagiakan hingga membuatnya menangis.
“Aku punya dua mama jadinya?” tanya Jean lagi dengan wajah polosnya.
“Iya, sayang,” jawab Lia.
“Tapi kok Mama nangis?” tanya Jean, masih memegang tangan Elena. “Gara-gara aku, ya?”
“Nggak, sayang. M-ma-ma.. nggak nangis gara-gara kamu. Mama seneng soalnya kamu panggil Bibi dengan sebutan Mama jadi Mama senang. Mama nggak punya anak Jean sayang jadi seneng aja dipanggil Mama sama kamu.” Elena menggenggam tangan kecil Jean.
Lia mengusap sisa air mata yang ada di pipinya. Tangisan Elena sudah menjelaskan segalanya.
“Oh gitu, jangan nangis lagi ya.”
“Iya, sayang.”
“Mau peluk Jean, boleh?” Elena merentangkan tangannya yang langsung diangguki oleh Jean. Jean turun dari kursinya dan menghampiri Elena lalu berhamburan ke dalam pelukannya. “Terima kasih.”
“Sama-sama, Mama.”
Tidak ada salahnya berdamai dengan masa lalu, tapi semua orang pasti butuh waktu untuk itu. Dan sekarang sepertinya Lia sudah bisa merelakan hal yang sudah berlalu. Walaupun terselip rasa sayang pada sosok Nathan di hatinya, biarlah itu menjadi urusan Lia dan hatinya.
Lia perempuan, seorang ibu, dia juga mengerti bagaimana perasaan Elena.
“Kamu bisa ngajak main kalau mau. Ngajak jalan-jalan juga,” ujar Lia yang langsung membuat senyum Elena merekah.
“Boleh?”
“Iya, boleh. Oh ya, Jean cuma alergi perisa strawberry.”
“Oh ya, maaf ya, Kak. Waktu itu aku nggak tahu kalau Jean ada alergi.”
“It’s ok, kamu, kan, nggak tahu.”
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.
dahlah😭 nangis aja lah.
©dear2jae
2021.04.28 — Rabu.
2023.09.30 — Sabtu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top