25
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Kalau biasanya laki-laki yang ditunggu oleh pacarnya ketika sedang bermain bola basket atau sepak bola, di sini malah Nathan yang menunggu Lia ketika sedang bermain bola voli.
Hari itu Lia ada latihan bola voli bersama teman-temannya. Ketika sibuk latihan, Lia diberitahu oleh Hera bahwa ada Nathan yang menunggunya di pinggir lapangan. Lia menoleh dan langsung bertatap muka dengan Nathan, laki-laki itu melambaikan tangannya, memberitahu Lia bahwa dia ada di sini.
Latihan selesai dan Lia langsung berlari menghampiri Nathan. Satu botol air minum diberikan Nathan padanya.
“Kenapa nggak ngasih tahu kalau mau datang?” tanya Lia.
“Duduk dulu bisa? Atur napas kamu.” Nathan menarik tangan Lia untuk duduk di dekatnya. Lalu membuka kemeja yang dipakainya dan melampirkannya untuk menutupi paha Lia, menyisakan kaos putih polos di badannya. “Udah kok, aku udah ngirim pesan dan nelepon kamu tapi nggak ada balasan jadi aku datang aja.”
“Sendiri?”
“Kenapa?”
“Biasanya kamu sama Jevin.”
“Kecewa ya karena aku nggak sama Jevin?” tanya Nathan.
“Males deh, aku cuma nanya aja kenapa malah ngomong gitu.” Lia cemberut dan meletakkan botol airnya, kemudian beranjak hendak pergi tapi Nathan menahan tangannya.
“Bercanda sayang, astaga.” Nathan kembali menarik tangan Lia untuk duduk dan menutupi paha Lia dengan bajunya. “Kamu bawa baju ganti, kan? Celana latihanmu pendek banget. Nanti aku kasih tahu pelatihnya supaya buat yang agak panjangan.”
Lia geleng-geleng kepala. “Ini udah panjang, pas di atas lutut. Jangan aneh-aneh deh.”
Nathan suka saat melihat Lia cemberut atau saat Lia kesal dengan candaannya. Menggoda Lia adalah hobi baru Nathan.
Pernah sekali, waktu itu kepala Lia terkena bola basket oleh anak-anak kelas sebelah saat sedang berdiri di depan kelas. Terasa pening memang tapi karena Lia tidak berani memarahinya jadi Lia hanya diam. Hera kemudian memberitahu Nathan soal itu lalu Nathan datang ke kelas Lia untuk memastikan.
“Kayaknya mereka nggak sengaja. Udah deh, nggak usah memperpanjang masalah,” ujar Lia saat Nathan bertanya.
“Siapa yang ngelempar?” tanya Nathan pada Hera.
“Anak kelas sebelah.”
Dengan langkah santai Nathan masuk ke kelas sebelah lalu perhatian warga kelas tertuju padanya. Lia mendelik sebal pada Hera karena sudah memberitahu Nathan.
“Siapa yang tadi ngelempar bola terus kepalanya Lia kena?” tanya Nathan baik-baik.
“Gue,” sahut salah seorang siswa dari pojok ruangan sambil memainkan bola basketnya. “Mau apa?”
Wajahnya terlihat menantang lalu Nathan perlahan melangkah mendekatinya. Lia sudah was-was di luar karena mengintip dari balik jendela.
“Minta maaf atau luka. Pilih mana?” tanya Nathan masih dengan mode tenang. “Lapangan basket luas tuh di depan, ngapain lo main di koridor kelas.”
“Kalau gue nggak mau minta maaf?”
“Berarti lo pilih luka.”
Nathan menendang salah satu kursi lalu meraih paksa bola basket itu dan melemparnya sembarang. Satu tangannya meraih kerah baju laki-laki itu lalu satu tangannya lagi sudah mengepal..
“Tunggu. Oke, gue minta maaf.”
“Oke.”
Kepalan tangan Nathan benar-benar menyeramkan hingga anak itu merasa takut. Kalau terkena pukulannya bisa-bisa wajahnya hancur.
Begitulah, bagaimana akhirnya anak itu meminta maaf pada Lia.
Ingatan itu seketika terlintas saat Nathan menyaksikan pertandingan bola voli di televisi. Saat ini, Lia terlelap di sampingnya, di atas sofa kamar. Volumenya kecil agar Lia dan Jean tidak bangun. Suara dengkuran halus Lia membuat Nathan menahan tawanya.
Tak lama, pintu terbuka oleh Freya. “Yang lain mau makan, lo nggak makan?”
“Duluan aja. Lia sama Jean masih tidur.” Nathan menyuruh Freya cepat-cepat pergi. “Oh ya, tadi lo ngapain sama Haikal di pinggir pantai?”
“Mandi lah, ngapain lagi.”
“Gue tadi liat lo ciu..”
Suara pintu terdengar begitu keras saat Freya menutupnya sebelum Nathan sempat menyelesaikan ucapannya. Nathan tertawa puas tapi sedetik kemudian sadar Lia dan Jean sudah bangun gara-gara suara pintu itu.
Lia mengerang pelan lalu perlahan membuka mata. “Kamu ngomong sama siapa?” tanyanya sambil mengucek mata. Kemudian mengalihkan perhatian pada Jean yang juga melakukan hal yang sama.
Nathan tidak menanggapi, dia mematikan televisi dan berjalan menuju ranjang lalu mengangkat tubuh Jean ke dalam gendongannya.
“Kita makan ya sama paman dan bibi.” Nathan mengusap keringat Jean yang ada di dahi kemudian menatap Lia yang terlihat jengkel sebab pertanyaannya diabaikan. “Ayo turun makan. Sekalian Jean mau tiup lilin.”
“Iya.”
Di ruang makan, di sana sudah ada Jevin dan Yesi yang sedang meletakkan beberapa makanan yang mereka bawa juga ada Haikal dan Freya yang membantu.
Kue ulang tahun Jean sudah siap di atas meja dengan lilin di atasnya. Jean terlihat begitu antusias padahal wajah ngantuknya masih terlihat jelas. Freya mengambil Jean dari gendongan Nathan dan memangkunya.
“Bagus kuenya?” tanya Freya.
“Bagus,” jawab Jean dengan mata berbinar. Kuenya berbentuk bulat dengan hiasan sederhana bertuliskan happy birthday Jean. “Ini pertama kalinya aku ngerayain ulang tahun sama ayah.”
Seketika, fokus semua orang teralihkan karena ucapan Jean. Padahal itu hanya gumaman tapi terdengar begitu jelas sebab suasana kebetulan sedang hening. Lia sontak membuang muka karena wajahnya mulai terasa panas lalu Yesi mengelus punggungnya dengan lembut, berusaha membuatnya tenang. Nathan pun melakukan hal yang sama, dia menatap ke arah lain sebelum air matanya tumpah ruah.
Ketika mereka sudah mulai tenang, acara ulang tahun sederhana Jean akhirnya dimulai. Mereka semua kompak menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Jean dan terakhir saat akan meniup lilin, Jean memanjatkan doa..
“Ulang tahunku selanjutnya, aku juga mau rayain sama ayah dan mama.”
Lalu setelah itu, Jean meniup lilin diiringi tepuk tangan dari yang lain kecuali Nathan dan Lia yang sedang merasa emosional. Perasaan haru meluap-luap ditandai dengan satu tetes air mata yang mengalir dari pelupuk mata Lia.
“Saatnya potong kue!” teriak Haikal yang ingin mencairkan suasana sebab suasananya terlalu tegang. Baik Lia maupun Nathan masih sama-sama diam.
Yesi menyodorkan pisau plastiknya pada Jean lalu Freya membantunya memotong kue. Nathan dan Lia sejenak menepi dari meja makan untuk menenangkan hatinya.
“Aku juga merasa emosional pas Jean ngomong gitu,” ujar Yesi dengan suara pelan di dekat Jevin.
“Ayah, Mama, sini!” teriak Jean dengan tawanya sebab krim kue itu sudah mengenai wajahnya oleh perbuatan Haikal.
Nathan menarik tangan Lia untuk mendekat, menyudahi rasa sedih mereka. Sekarang saatnya bersenang-senang, melupakan sejenak perkara yang ada.
“Ayah, nanti kalau aku ulang tahun lagi kita rayain kayak gini, ya. Paman Haikal harus ada soalnya biar aku ada teman main.”
“Iya, sayang. Nanti kita rayain kayak gini lagi, ya.”
“Janji?” Jean menjulurkan jari kelingkingnya dan mengaitkannya dengan jari kelingking Nathan untuk mengikat janji.
“Janji, anakku sayang.”
Suasana semakin haru saat mendengar percakapan singkat itu. Lia sebenarnya ingin menimpali dengan mengatakan kalau bisa saja tahun depan Nathan tidak bisa. Tapi Lia tidak ingin merusak kebahagian anaknya.
Freya dan Yesi malah meneteskan air mata karena keinginan sederhana Jean yaitu bisa merayakan ulang tahunnya setiap tahun bersama Nathan. Selama lima tahun terakhir, Jean tidak pernah bertemu tatap dengan Nathan dan merayakan ulang tahun bersama Lia maupun Saka. Tapi sekarang Nathan ada, mungkin itu sebabnya Jean hanya menginginkan kehadiran Nathan setiap tahunnya.
“Kenapa tiba-tiba aku pengen punya anak, Jean lucu banget.” Yesi bergumam sambil menatap Jevin dengan wajah cemberut.
Ucapan Yesi sontak mengundang tawa renyah mereka. Syukurlah suasana bisa ceria lagi.
“Lo tahu nggak kalau itu kode pengen nikah dari Yesi?” Nathan menyenggol lengan Jevin dengan senyum mengejek.
“Jean, ayo mandi di pantai sama Paman Jevin. Udah mau sore nih, udah nggak terlalu terik sinar mataharinya.” Jevin mengulurkan tangannya dan meraih tangan Jean, mengabaikan ucapan Yesi maupun Nathan.
“Let’s go!” ujar Jean.
“Pura-pura cuek padahal tadi di kolam renang nafsuan, dasar!” teriak Yesi.
Jevin sama sekali tidak menoleh setelah mendengar ucapan Yesi. Kalau menoleh maka sudah pasti Nathan akan menggodanya habis-habisan.
“Ternyata bukan cuma Freya yang gila tapi Yesi juga,” gumam Nathan dan menyusul Jevin menuju pantai bersama Haikal.
Nathan menjanjikan bahwa setiap tahun dia akan ada bersama Jean di hari ulang tahunnya. Waktu yang terbuang selama lima tahun terakhir akan dia ganti saat ini dan seterusnya. Dukungan penuh sudah dia dapatkan dari ayahnya, yang perlu dia lakukan sekarang adalah memikirkan bagaimana cara untuk berpisah dengan alasan yang logis supaya tidak menyakiti Elena.
Melihat tawa Jean adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Nathan. Ternyata, ada sosok kecil yang hadir di tengah hubungannya bersama Lia. Sesal karena hari itu tidak lebih dulu bertemu dengan Lia masih membekas hingga sekarang. Andai saja dia berpapasan dengan Lia dan Lia memberitahunya tentang keberadaan Jean maka situasinya tidak akan serumit ini. Andai saja Lia memanggilnya hari itu, situasinya pasti akan berbeda. Iya, andai saja.
Langkah Jean yang berlarian di atas pasir tak pernah luput dari pandangan Nathan. Ke mana Jean berlari, ke situlah arah pandang Nathan disertai dengan senyum merekah. Begitu juga dengan Lia yang baru bergabung, perempuan itu tersenyum bahahgia. Belum pernah melihat tawa lepas Jean yang seperti ini sebelumnya.
“Kal, lo denger ya kata gue. Gue, kayaknya bakal rela ngorbanin apa aja untuk bisa tetap liat senyuman anak gue. Kal, perasaan gue saat ini campur aduk, antara senang dan sedih. Senang karena akhirnya gue bisa cepat ketemu sama anak gue dan sedih karena kenapa gue ketemu di saat situasinya kayak gini. Kal, selama gue hidup, ini pertama kalinya gue bakalan mohon-mohon sama Tuhan supaya gue bisa tetap liat senyum anak gue. Gue bakal ngelakuin apa aja buat anak gue.” Nathan bergumam sambil terus menatap Jean yang berlarian ke sana ke mari dengan ceria.
“Merinding gue. Selama kenal sama lo, ini pertama kalinya gue liat lo seserius ini. That’s right, sikap seorang ayah udah keliatan banget pada diri lo.” Haikal menimpali.
Semua yang diucapkan oleh Nathan terdengar begitu jelas di telinga Lia. Walaupun itu adalah gumaman karena Lia berdiri di belakang Nathan.
“Lo akan ngerasain kalau nanti lo udah jadi ayah, Kal. Gue nggak bermaksud menggurui dan lebih tahu segalanya, gue emang baru ketemu sama anak gue beberapa bulan ini. Tapi dalam waktu singkat itu gue menyadari banyak hal, salah satunya adalah kebahagiaan anak gue, kebahagiaan gue juga. Intinya, gue nggak bisa deskripsikan gimana bahagianya gue. Tapi jauh di dalam hati, gue juga masih mikirin gimana caranya untuk memutuskan tanpa menyakiti pihak manapun.”
“Iya, gue ngerti kok.”
“Kamu nggak perlu memilih. Tetap sama Elena dan kamu juga bisa liat Jean setiap hari. Kamu boleh ajak dia main sepuasmu dan nggak akan ada pihak yang tersakiti.” Lia menyahut.
Nathan mengembuskan napas pelan, berusaha tetap tenang. “Kalau cuma kayak gitu, aku juga nggak perlu mikir repot-repot. Kalau mau ketemu anakku tinggal datang ke rumahmu terus ngajak dia main. Tapi di sini, gimana kalau aku juga pengennya sama kamu?”
Lia terdiam.
“Udah deh, nggak usah ngerusak moodku di hari bahagia ini,” lanjut Nathan. Dia kemudian menyusul Jean dan Jevin yang ada di pinggir pantai bersama Haikal.
Freya menyentuh bahu Lia. “Kak, Nathan itu masih suka sama Kak Lia, masih sayang. Kalau nggak sayang, dia juga nggak akan sepusing ini mikirin solusi. Tolong, Kak Lia jangan dulu buat dia emosi atau marah soalnya dia juga butuh dukungan. Udah banyak beban yang dia tanggung, nikah dan hidup sama orang yang dia nggak sayang, tahu fakta bahwa dia punya anak dari Kak Lia setelah sekian lama. Apalagi yang paling dia sesali adalah kenapa dia nggak tahu dari dulu kalau Jean ada. Bukannya mau ngebuat Kak Lia merasa bersalah saat ini, tapi cuma pengen ngasih tahu aja kalau Nathan bakal berjuang buat Kak Lia sama Jean.”
Lia lagi-lagi terdiam.
“Diliat dari cara Nathan natap Jean aja udah keliatan gimana sayangnya Nathan sama anaknya,” sahut Yesi yang diangguki oleh Freya. “Kita bakal dukung kamu kok, tenang aja. Kita bukannya nggak punya perasaan kalau misalnya Nathan ninggalin Elena demi kamu tapi setiap orang berhak bahagia dengan pilihannya. Mungkin awalnya emang sulit tapi nanti Elena pasti ngerti kalau bahagianya Nathan bukan pada dirinya.”
“Woah, Kak Yesi.” Freya mengacungi Yesi dua jempolnya. “Bijak banget.”
Tatapan Lia tertuju pada Jean yang saat ini sedang ada di dalam gendongan Nathan. Sesekali menghela napas berat lalu sesekali tersenyum ketika Jean berteriak karena kakinya terkena air. Yesi dan Freya juga ikut tersenyum melihatnya.
“Ayah jangan, dingin! Ayah! Ayah!!”
Kalau sekarang Jean ditanya apa kata favoritnya, mungkin jawabannya adalah ayah. Kata yang selalu dia ucapkan akhir-akhir ini, kata yang selalu dia ingin ucapkan selama lima tahun terakhir tapi belum bisa terealisasikan, kata yang selalu dia pertanyakan siapa dan di mana. Ayah. Satu kata tapi mampu membuat hati Nathan menghangat.
“Ayah.”
“Iya, sayang?”
“Aku sayang Ayah.”
“Cuma Ayah?”
“Mama juga.” Jean tersenyum. “Paman Jevin dan Paman Haikal sama Bibi Yesi dan Bibi Fey. Aku sayang semua.”
“Ayah juga sayang kamu.”
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.
©dear2jae
2021.04.28 — Rabu.
2023.09.28 — Kamis. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top