24
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
“Kal, let’s kiss.”
“Lord!”
Haikal langsung mengalami mental breakdown saat mendengar ucapan frontal Freya ketika mereka berjalan beriringan menuju bibir pantai. Terik panas matahari memang menyengat tapi panas di area kolam renang lebih dari itu.
Lalu begitu saja mereka mulai bermain-main dengan air. Saling ciprat seperti anak kecil dan merasakan ombak yang mulai datang.
Sebelum pacaran dengan Freya, Nathan pernah memberitahu Haikal bahwa Freya itu anaknya tidak bisa diatur. Maksudnya, Freya suka kebebasan dan jangan terlalu diatur. Freya itu selalu mengeluarkan apa yang ada di pikirannya.
“Kal, lo akan ngalamin banyak mental breakdown kalau sama Fey. Dia anaknya ceplas-ceplos, jadi siap-siap aja.”
Nathan bahkan mengatakan hal itu pada Haikal dulu. Tapi yang namanya jatuh cinta ya sudah, Haikal tidak peduli.
Bahkan Nathan pernah bercerita pada Haikal tentang bagaimana dulu Freya menemui Elena dan memarahinya sebab terlalu posesif pada Nathan.
“Bisa nggak, kamu nggak usah terlalu posesif sama Nathan? Dia itu hidupnya cuma di rumah sakit atau kalau nggak ya ke luar kota buat ngurus sesuatu. Emangnya kamu nggak percaya ya sama suami kamu sendiri sampai-sampai diteleponin tiap menit tiap detik cuma buat nanya lokasi. Astaga! Nanti kalau Nathan bosen terus ninggalin kamu, baru tahu rasa!”
Nathan hanya diam, tidak bereaksi apa-apa. Tapi wajah Elena sudah seperti kepiting rebus menahan kesal.
Dari situlah hubungan Freya dan Elena tidak pernah membaik. Apalagi sekarang Lia datang maka sudah bisa dipastikan Freya akan berada di pihak Lia sampai akhir.
“Dari yang aku liat, kamu kayaknya sayang banget sama Jean.” Haikal mengelus lembut tangan Freya ketika mereka sedang duduk di pinggir pantai. Membiarkan ombak mengenai kaki mereka dan merasakan sejuknya air laut.
“Jean keponakanku, anaknya Nathan. Udah pasti aku sayang. Aku bersyukur Kak Lia muncul soalnya aku udah muak liat Nathan hidupnya nggak bahagia selama ini. Dia itu kayak mayat hidup tahu, kayak nggak ada gairah hidupnya. Dulu, sulit banget liat senyuman di wajahnya Nathan tapi sekarang tiap detik kayaknya dia senyum terus dan senyumnya itu pasti karena Kak Lia atau Jean.” Freya menyandarkan kepalanya di bahu Haikal.
“Iya sih, aku aja sadar kalau kemarin-kemarin Nathan nggak pernah sebahagia ini.” Haikal menatap Freya. “By the way, nanti kalau kita nikah terus punya anak, kamu akan sayang sama kayak sayangnya kamu ke Jean?”
“Bodoh, emangnya siapa yang nggak akan sayang sama anaknya sendiri!” desis Freya yang membuat Haikal terkekeh pelan. “Kal, let’s kiss kayak Kak Jev sama Kak Yesi..”
“Lord!” gumam Haikal tapi sebelah tangannya mulai mengangkat kepala Freya hingga mendongak.
And then they kissed accompanied by the sound of waves. Under the sunlight with all of their feeling.
Sementara itu..
“Kenapa masuk, aku mau mandi lagi.” Jean merengek.
“Nanti lagi ya, masih panas. Kamu tidur dulu, mainnya nanti sorean sekalian tiup lilin sama paman dan bibi yang lain.” Lia meraih handuk dan mulai mengelap tubuh Jean. Sedangkan Nathan memilih berbaring di pinggir ranjang.
“Mending kamu tidurin Jean dulu setelah ini,” ujar Nathan sambil menatap Lia dari pinggir ranjang.
“Kenapa?”
“Mau berduaan aja sama kamu.”
Handuk basah itu langsung mendarat tepat di wajah Nathan.
“Ini tuh acaranya Jean, bahkan dia belum tiup lilin. Malah mikir yang aneh-aneh.” Lia mendesis sebal.
“Loh, kamu itu yang mikir aneh. Aku cuma bilang mau berduaan sama kamu, nggak bilang mau kissing or do something. Atau kamu emang mau kayak Jevin sama Yesi?”
“Heh! Nggak, ya!”
Nathan berdecih dan memilih berjalan menuju balkon kamar lalu membuka jendela yang menghadap ke laut lepas. Pemandangannya benar-benar indah dari lantai dua. Lalu, tanpa sengaja pandangan Nathan tertuju pada dua anak manusia yang sedang berduaan di pinggir pantai. Nathan hanya geleng-geleng kepala melihatnya, bagaimana Haikal mengelus tangan Freya hingga Freya yang akhirnya bersandar di bahu Haikal.
And the last one, mereka akhirnya berciuman yang langsung membuat Nathan melotot kaget dan terbatuk. Sial sekali dia harus menyaksikan dua keromantisan sekaligus sejak tadi.
“Kamu kenapa, kok batuk-batuk? Kalau nggak enak badan, masuk. Ngapain diem di situ, anginnya kencang.” Lia berteriak kecil dari belakang sambil melihat Jean yang sedang memakai bajunya sendiri.
“Ayah jangan sakit!” Jean ikut berteriak.
Hingga akhirnya, Nathan kembali masuk dan menutup pintu balkon. Dia tertawa pelan karena mendengar ucapan Lia yang mengira bahwa dia masuk angin. Tapi sebenarnya dia melihat adegan tidak senonoh di depan matanya.
“Jean, kamu nggak ngantuk? Tidur siang dulu ya sebentar, nanti pas bangun kita tiup lilin terus mandi di pantai.” Nathan mensejajarkan tubuhnya dengan Jean.
“Tapi aku nggak ngantuk. Aku mau main sama Paman Haikal.” Jean merengek dan mendekat ke arah Nathan.
“Paman Haikal lagi sibuk, masih ada urusan. Kamu tidur, ya.” Nathan masih tetap kukuh menyuruh Jean untuk tidur.
Lia mengerutkan alis bingung. “Kalau nggak mau kenapa dipaksa. Atau kamu main sama ayah aja, ya.”
Jean cemberut. Nathan menatap Lia dengan wajah datar sebab perempuan itu tidak mengerti kalau Nathan ingin berdua saja dengannya. Jevin dan Yesi sibuk berduaan begitu juga dengan Haikal dan Freya.
“Kamu ini ya..” Nathan mencubit pelan tangan Lia yang langsung membuat Lia mengaduh kesakitan. “Jevin sama Yesi udah ciuman, terus tadi aku batuk-batuk itu karena liat Haikal sama Freya ciuman. Ya, aku mau lah berduaan sama kamu terus..”
Lia sontak menutup mulut Nathan agar laki-laki itu segera berhenti bicara karena Jean mulai mencerna ucapan-ucapannya.
“Siapa yang ciuman?” tanya Jean.
Untung saja suara Nathan agak pelan waktu menyebutkan nama mereka jadi Jean tidak terlalu dengar.
“Itu, Paman Jevin cium pipinya Bibi Yesi, kayak kamu yang suka cium pipinya ayah tanda sayang.” Lia berusaha menormalkan ekspresi wajahnya yang sempat kaget akan pertanyaan Jean.
Jean mengangguk paham lalu naik ke atas ranjang. “Aku mau tidur,” ujar Jean sambil mengucek matanya yang sudah memerah karena ngantuk.
“Good job my baby boy! Ngerti aja kalau ayahnya lagi butuh energi,” gumam Nathan sambil terkekeh pelan, menatap Lia yang terlihat kesal.
Lia lebih dulu keluar dari kamar sebelum Nathan menahannya dan membuatnya tak bisa berkutik sebab ada Jean. Tentu saja seorang Nathan Adinata tidak bodoh. Sebelum meraih gagang pintu, Nathan melesat seperti roket dan langsung berdiri menghalangi jalan Lia dengan senyumannya yang sudah merekah lebar.
Nathan melipat tangannya di dada dengan tatapan yang menurut Lia perlu ditabok. “Aku kayaknya nggak ada tenaga, butuh energi.”
“Bentar,” ujar Lia dan menunduk untuk mencari sesuatu di antara barang-barang bawaannya. Tak lama, dia menemukan apa yang dicarinya lalu menyerahkannya di hadapan Nathan. “Ini, katanya butuh energi. Ini kebetulan aku bawa vitamin.”
“Aku tahu kamu ngerti maksudku tapi pura-pura nggak tahu, kan? Nyebelin banget.” Nathan menggerutu sambil meraih vitamin itu dan melemparnya ke sembarang arah. “Udahlah, malesin banget.”
Nathan kesal dan memilih menuju balkon. Tentu saja Lia sangat paham apa yang dimaksud Nathan. Tapi Lia berusaha menahan diri agar tidak kebablasan, dalam artian, dia tidak ingin terus-terusan memberi Nathan harapan di saat dirinya tidak bisa menerima laki-laki itu lagi karena Nathan dalam status menikah. Kalau statusnya bercerai maka dengan lapang hati Lia akan langsung membuka seluruh hatinya tapi keadannya saat ini berbeda. Lia masih dihantui rasa bersalah jika terus melakukan hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan di belakang Elena yang berstatus sebagai istri Nathan.
Embusan angin menerpa kulit wajah Nathan yang saat ini berdiri menghadap ke arah laut lepas. Moodnya benar-benar memburuk. Hal sepele memang tapi Nathan sadar bahwa Lia agak menjaga jarak darinya. Bahkan Nathan sadar kalau alasannya pasti Elena.
Suara pintu balkon yang terbuka tidak lantas membuat perhatian Nathan teralihkan. Laki-laki itu masih tetap berdiri membelakangi Lia yang menghampirinya.
“Nat,” panggil Lia dengan pelan.
“Hm?”
“Maaf.”
“Kenapa minta maaf?” tanya Nathan dan berbalik, menatap Lia yang sedang menunduk dalam diam. “Kamu nggak salah apa-apa, kamu juga nggak salah kok ngasih aku vitamin jadi ngapain minta maaf segala.”
Aura menyeramkan Nathan menguar. Saat ini tatapannya pasti berubah tajam jadi Lia tidak berani mengangkat kepalanya untuk sekadar mencuri pandang.
“Cuma pengen minta maaf aja,” gumam Lia.
“Oh, ya udah.” Nathan hendak pergi tapi Lia menahan tangannya dan menatapnya. “Apa lagi? Ada yang mau diomongin? Kalau nggak ada lepas, aku mau ke bawah.”
Lia menelan ludah gugup, Nathan sepertinya benar-benar marah. “Kamu marah?”
“Nggak, nggak ada alasan buat marah. Kenapa malah mikir aku marah?”
“Kamu nggak kayak biasanya. Kalau tiba-tiba berubah serius gini artinya ada yang buat kamu marah.”
“Emang aku kayak biasanya itu gimana? Gini, kan.” Nathan melepas tangan Lia yang memegang tangannya.
“Nggak, maksudku tadi kamu ceria kenapa sekarang berubah serius gini. Jangan gini dong, nanti kalau yang lain sadar sama perubahan sikap kamu mereka akan canggung. Apalagi Jean belum tiup lilin juga, nanti dia sedih kalau ayahnya bad mood.”
“Terserah lah.” Nathan kembali melangkah tapi Lia mencegatnya lagi. “Apa lagi?!”
Suara Nathan agak meninggi yang membuat Lia sedikit tekejut. Lia mendongak dan menatap Nathan dengan mata yang sudah berair.
“Makanya aku minta maaf kalau udah buat kamu marah.”
“Emangnya salah kamu apa? Nggak ada, kan. Jadi ngapain minta maaf segala, bukannya tadi aku udah bilang kalau kamu nggak perlu minta maaf.”
“Jangan ngomong pakai nada tinggi, nanti Jean bangun.”
“Terserah.”
Seperti anak kecil yang berdebat, satu dari mereka tak mau mengalah. Nathan ingin Lia sadar dan tahu bahwa dia serius akan perasaannya terhadap perempuan itu, serius ingin kembali bersama. Tapi Lia selalu berusaha menahan perasaannya dengan alasan tidak mau merusak hubungan rumah tangga Nathan.
“Jangan nangis, aku nggak akan merasa iba. Kamu tahu dan kamu ngerti gimana perasaanku tapi kamu sok pura-pura nggak tahu. Kamu ngerti apa yang aku minta tadi tapi kamu malah sok pura-pura nggak tahu dan ngasih aku vitamin. Ciuman itu bukan hanya berarti keinginan dan nafsu semata tapi bagiku ciuman bisa berarti lebih dari itu. Tanda sayang, tanda cinta, tanda kalau aku benar-benar sayang sama kamu dan cuma mau kamu. Tapi sayangnya, ternyata kamu cukup bodoh buat ngerti itu.”
“Jangan bilang aku bodoh, aku nggak suka!” Lia menangis.
“Terserah. Kayak anak kecil aja nangis-nagis, kamu kira aku bakal kasihan? Nggak, ya.” Nathan semakin mengejek Lia dengan memeletkan lidah.
Lia semakin menangis, dia memukul lengan Nathan karena kesal. Mencubit lengannya hingga Nathan mengaduh kesakitan.
“Astaga, sakit. Kamu udah dewasa, udah punya anak umur enam tahun kenapa malah tingkahmu kayak anak kecil mukul-mukul gini.” Nathan menghindar dari serangan Lia.
“Aku benci kamu.”
“Aku tahu. Emangnya kamu pernah sayang sama aku? Nggak. Cuma kebencian yang ada di hatimu.”
“Nat please, jangan gini.” Lia meraih jari telunjuk Nathan dan memainkannya seperti anak kecil yang sedang ngambek. “Kamu beneran marah kayaknya.”
“Iya, aku emang marah, puas? Jadi sekarang mending kamu jauh-jauh dari aku. Aku nggak mau dekat-dekat sama kamu.”
“Nggak.”
“Kamu bilang benci aku, ya udah pergi sana, jangan dekat-dekat. Ku suruh pergi malah nggak mau. Terus maumu apa?”
“Jangan marah lagi.” Lia memelas. “Nanti kalau Jean mau tiup lilin terus liat wajah kesal kamu, suasananya bisa canggung. Nanti Jean sedih, kamu mau anakmu sedih?”
“Kalau sama Jean aku mana mungkin marah-marah, nggak mungkin juga aku perlihatkan wajah kesalku. Aku cuma kesal kalau sama kamu.”
Bukannya mereda, Lia malah semakin menangis.
Perlahan Lia mendekat kemudian mengembuskan napas pelan, mengikis jarak di antara mereka, lalu memeluk Nathan. Lia harap dengan ini, kemarahan Nathan mereda. Kedua tangan Nathan masih menggantung, belum mau membalas pelukan Lia.
“Jangan marah lagi, aku minta maaf.”
Serius, sebenarnya Nathan benar-benar marah. Benar-benar merasa kesal sebab Lia masih saja kukuh dengan egonya. Sengaja, Nathan tidak lebih dulu luluh akan tindakan Lia yang menangis di depannya. Dia ingin melihat, sampai mana perempuan itu akan bertahan dengan egonya.
Nathan masih tidak membalas pelukan Lia, dia membiarkan Lia memeluknya. Bahkan Nathan tidak mau bicara apa-apa.
“Nat,” lirih Lia sambil mendongak. “Kamu masih marah?”
“Masih.”
Suara detak jantung mereka saling berpacu.
Lia berjinjit lalu mengecup singkat bibir Nathan kemudian mengulas senyum kecil berharap Nathan akan membalas senyumannya.
“Masih marah?”
“Masih.”
“Aku udah ngasih kamu ciuman. Itu, kan, yang kamu mau?"
“Tahu bedanya kecupan sama ciuman?”
“Nggak, sama aja.” Lia membuang muka dan menatap ke arah lain.
“Oh ya udah, sini ku kasih tahu.”
Kedua tangan Nathan menangkup wajah Lia lalu seperti kata Nathan, dia mengajari Lia cara berciuman. Kali ini Lia tidak menolak, dia langsung membalasnya. Jadi Nathan tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk membuat Lia diam.
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.
©dear2jae
2021.04.26 — Senin.
2023.09.25 — Senin. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top