22.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
“Lord!” Nathan mendelik sebal karena begitu membuka pintu rumah, di luar sudah ada Freya dan Haikal yang menunggu dengan barang-barang bawaan mereka.
Semalam, Nathan dan Lia sempat berdebat apakah mereka akan mengajak Freya atau tidak. Nathan bilang jangan soalnya Freya anaknya ribut tapi Lia malah ingin mengajaknya agar suasana jadi ramai. Lagi pula, Jevin dan Yesi juga akan ikut jadi sekalian saja mereka liburan bersama walaupun hanya sehari. Jadi keputusannya akhirnya adalah Lia menang.
Ini adalah pertama kalinya Lia bisa menang setelah perdebatan panjang dengan Nathan. Ya walaupun tetap saja ini bukan murni kemenangan. Ada saja kesempatan dalam kesempitan yang dilakukan Nathan untuk menggoda Lia.
“Gimana kalau kita ajak Freya juga, lagian Jevin sama Yesi juga mau ikut. Biar ramai gitu?” usul Lia ketika mereka sedang menyantap makan malam, semalam.
Langsung saja Nathan menggeleng keras sedangkan Jean malah mengangguk setuju. Dengan anggukan Jean, Lia merasa sudah satu langkah di depan karena Lia tahu Nathan pasti akan menuruti keinginan Jean.
“Nggak usah. Piknik kita nggak bakalan tenang kalau dia ikut,” tolak Nathan.
“Kenapa? Aku suka ada Bibi Fey, dia baik.” Jean menimpali.
“Bukan masalah baik atau nggaknya, Jean sayang. Tapi.. udahlah, kamu nggak akan ngerti gimana ributnya dia.” Nathan masih kukuh akan keputusannya.
Lia meletakkan sendoknya dan menatap Jean. “Kamu mau Bibi Fey ikut?” tanya Lia lagi dan Jean mengangguk mantap.
Oke, Lia semakin di depan.
“Bentar ya, Mama telepon dulu.” Lia meraih ponselnya tapi dengan sigap Nathan merebutnya lalu menyelipakannya ke dalam saku celana.
“Ayah kenapa ponsel mama diambil. Mama mau telepon Bibi Fey!” Jean menyodorkan tangannya, meminta ponsel Lia kembali. Senyum Lia merekah saat mendapat pembelaan dari Jean. Anak itu meraih lengan ayahnya dan bergelayut manja di sana. “Paman Jevin sama Bibi Yesi mau ikut. Jadi, kita ajak Bibi Fey juga supaya aku ada teman main.”
“Ayah akan kembaliin ponsel mama kamu tapi dengan satu syarat,” ujar Nathan dengan senyum misteriusnya. Lia bahkan sudah was-was pada apa yang akan diucapkan oleh Nathan.
“Apa?” sergah Lia.
“Syaratnya, kamu cium Ayah..”
“Itu sih gampang!” sela Lia sebab merasa itu adalah syarat paling mudah. Jean juga mengangguk setuju.
“Aku belum selesai ngomong, ngapain disela segala.” Nathan mendelik sebal. “Kamu cium Ayah dan mama kamu juga harus cium Ayah, gimana?”
Dua jempol Jean terangkat ke atas, membentuk tanda ok sebagai persetujuan kalau dia mau mencium Nathan sedangkan Lia langsung memutar bola mata malas. Lia membuang muka dan beranjak menuju westafel lalu mulai mencuci piringnya. Mengabaikan tawa puas Nathan setelah berhasil menggodanya.
“Mama, sini.” Jean turun dari kursinya lalu menghampiri Lia dan menarik tangannya agar mendekat ke arah Nathan. “Ayo cium ayah biar ponselnya Mama dikembaliin. Supaya cepat telpon Bibi Fey juga.”
“Nggak usah ajak Bibi Fey, kayaknya dia lagi sibuk.” Lia mencoba bertahan dengan egonya, dia tidak mau membiarkan Nathan merasa menang. Padahal di sini dia adalah pemenangnya sebab Jean berpihak padanya tapi kenapa dia malah merasa kalah.
“Bibi Fey sibuk?” tanya Jean pada Nathan.
“Nggak. Dia kalau diajak pasti mau, telepon aja. Tapi setelah cium Ayah ya.” Nathan masih duduk dengan santai di kursinya, menunggu reaksi Lia selanjutnya. “Jadi cium, nggak?”
“Jadiii.” Jean meminta Nathan untuk menunduk agar dia bisa mencium ayahnya dengan leluasa. Satu kecupan mendarat di pipi Nathan. “Ma, cepet. Mama mau ponsel Mama balik?”
“Jean sayang, Ya Tuhan, kenapa kamu polos banget sih.” Lia bergumam pelan, masih bergeming di tempatnya. Dia menatap Nathan dengan tatapan sengit. “Aku benci kamu, tahu nggak?”
“Tahu. Jadi cepat cium kalau mau ponselmu balik.” Nathan memajukan wajahnya, siap menerima ciuman pada pipinya dari Lia.
Kalau bukan demi ponselnya, Lia juga tidak mau. Malu lah mau mencium Nathan di hadapan Jean. Tapi sayangnya Jean juga mengharapkan hal itu jadi Lia tambah pusing.
Lia mendekat dan langsung mendaratkan satu kecupan pada pipi Nathan. Lalu setelahnya Jean bertepuk tangan dengan wajah ceria.
“Mana ponsel Mama?”
“Here, my baby boy.” Nathan memberikan ponsel itu pada Jean dan Jean menyodorkannya pada Lia. “Anyway, it’s still the same. The way you kissing my cheek.”
“I hate you.” Lia menggerutu sambil meraih ponselnya lalu mulai menghubungi Freya.
Dan sekarang, Nathan sempat kaget saat melihat ada Haikal juga di sana. Perasaan Lia hanya menghubungi Freya tapi kenapa ada Haikal juga.
“Si kembar datang.” Freya terkekeh pelan ketika melihat Nathan keluar sambil menggenggam tangan Jean. “Nanti kalau Jean udah tumbuh besar, kayaknya orang-orang bakal nganggap kalian saudara kembar.”
“Lo ngapain di sini?” Nathan menendang kecil kaki Haikal yang sedang menikmati sinar matahari pagi.
Jean langsung berhamburan memeluk Freya lalu mereka mulai bermain sendiri. Nathan beranjak duduk di dekat Haikal lalu merentangkan tangannya hingga mengenai wajah Haikal.
“Please lah, jangan buat gue ngomong kotor pagi-pagi gini.” Haikal menyingkirkan tangan Nathan yang menghalangi pandangannya. “Gue di sini karena mau pergi piknik sama keponakan gue.”
“What? Kenponakan? Nggak salah dengar gue? Nggak deh kayaknya, pendengaran gue masih baik. Terakhir periksa kesehatan telinga sebulan yang lalu.” Nathan mengorek kupingnya. “Sejak kapan anak gue bertransformasi jadi keponakan lo?”
“Dengar ya, lo cerna baik-baik nih ucapan gue. Gue pacaran sama Freya, soon to get married, terus Freya sepupu lo yang artinya otomatis Jean juga keponakan gue.” Haikal melepas sunglassesnya dan menatap Nathan dengan cengiran khasnya.
Nathan tertawa mendengar ucapan Haikal. “What? Soon to get married? What the hell, bro. Gue belum ngasih restu.”
Sebuah bola kaki mengenai kepala Nathan dengan keras. Pelakunya bukan Jean sebab ketika disuruh oleh Freya untuk melakukannya, Jean tidak mau. Dan siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Freya.
“Gue nggak butuh restu dari lo.” Freya memeletkan lidah. Sedangkan Nathan semakin dibuat kesal.
Nathan berdiri lalu melangkah menuju Freya untuk memberi sedikit hukuman. Kepalanya pusing bukan main setelah terkena bola kaki itu.
Dan terjadilah kejar-kejaran di halaman depan rumah Lia. Freya berlari dan segera berlindung di belakang Lia yang baru saja keluar dengan barang-barang bawaannya. Jean memilih menghindar dan duduk di samping Paman Haikal. Menyaksikan ayah dan bibinya yang seperti anak kecil.
“Kak Lia, tolongin.” Freya berlindung di balik tubuh Lia. “Liat, dia mau pukul aku.”
“Udah, jangan kayak anak kecil. Balik sana.”
“Nggak, dia sengaja lempar bola dan kepalaku kena. Nggak ada kata maaf kali ini. Gara-gara si Haikal dia jadi ngelawan sekarang!” Nathan masih berdiri di depan Lia sambil melipat kedua tangannya di dada. “Kamu kalau nggak menghindar, jangan salahin aku kalau kamu kena juga.”
“HEH!!” teriak Lia saat Nathan mengangkat tangannya hendak menggeplak Freya. “Balik atau nggak jadi berangkat piknik!”
Di balik tubuh Lia, Freya sedang tersenyum kemenangan setelah Lia berhasil mengusir Nathan. Usia mereka sudah dewasa tapi sikapnya masih saja seperti anak kecil, Lia heran.
Merasa tidak puas karena belum membalas Freya, Nathan beralih menggeplak kepala Haikal yang langsung membuat kepala Haikal terasa pening.
“What the fu..” Haikal tidak jadi mengumpat setelah sadar bahwa Jean sedang menatapnya. Tidak baik mengumpat di dekat anak kecil.
“Ayah, kenapa pukul Paman Haikal?” Jean memegang kepala Haikal dan mengelusnya lembut.
“Pengen pukul aja,” ujar Nathan santai dan beranjak duduk di dekat Jean.
Sedangkan Lia dan Freya hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Sementara itu, gerbang rumah Lia terbuka lebar saat Jevin dan Yesi akhirnya datang. Apa yang menjadi perhatian mereka adalah wajah cemberut Yesi. Perempuan itu datang dengan wajah cemberut dan membiarkan Jevin membawa semua barang-barang bawaan di belakang.
“Ini anak satu kenapa lagi,” gumam Nathan.
“Kamu kenapa?” tanya Lia begitu Yesi mendekat ke arahnya yang sedang meletakkan beberapa barang bawaan bersama Freya.
Jadi tadi sewaktu Jevin datang untuk menjemput Yesi ke rumahnya, kebetulan ada Karin yang sedang lari pagi di sekitaran komplek.
Lalu, bukannya masuk dan menunggu Yesi di dalam, Jevin malah bicara di depan bersama Karin.
“Hai, Jevin. Udah dari mana, pagi-pagi gini udah keluar?” tanya Karin.
Tadinya Jevin mau masuk tapi tidak enak mau mengabaikan Karin. Jadi dia meladeninya. Karin tahunya dia adalah saudara Yesi.
“Udah beli camilan di mini market sekalian ada urusan.” Jevin buru-buru menjelaskan sebab pakaiannya terlalu rapi untuk ukuran orang yang hanya pergi ke mini market.
“Oh, gitu.” Karin mengangguk. “Oh ya, aku minta nomor ponselmu dong. Soalnya Yesi bilang aku harus minta langsung sama kamu?”
Kali ini, Jevin tidak bisa menolak. Setelah berhadapan langsung dengan Karin, Jevin tidak bisa memikirkan kalimat penolakan untuknya.
“Honey, ngapain masih di luar. Kenapa tadi nggak mas..” ucapan Yesi terhenti saat matanya bertemu tatap dengan Karin.
Pandangan mata Yesi tertuju pada sebuah ponsel yang ada di tangan Jevin. Sepertinya itu ponsel Karin. Apa saat ini Jevin mau mengetikkan nomor ponselnya?
“Honey?” Karin memperjelas.
Jevin dan Yesi saling tatap dalam diam.
“Dia suka panggil aku gitu.” Jevin mengulas senyum kecil dan mengembalikan ponsel Karin setelah mengetikkan nomor ponselnya.
“Oh gitu, ya udah. Thanks, Jev.” Karin berlalu pergi dengan wajah sumringah setelah mendapat nomor ponsel Jevin.
Sedangkan Yesi lebih dulu masuk ke mobil dan membanting pintu mobil Jevin dengan keras. Jevin sempat terkejut tapi sangat paham, mungkin saja sekarang Yesi akan murka padanya.
Jevin melajukan mobilnya dengan pelan, sudah siap akan omelan yang akan dia dapat. Tapi Yesi masih bungkam.
Hingga akhirnya...
“KAMU TADI NGAPAIN KASIH NOMOR PONSELMU SAMA KARIN?!”
Jevin terlonjak kaget sebab suara Yesi begitu memekakan telinganya saat ini.
“Padahal aku udah ngasih tahu kalau kamu nggak ngizinin. Ini kenapa malah dikasih?” gerutu Yesi dengan suara pelan.
“Astaga, kamu udah bilang kalau aku nggak ngizinin?”
“IYA!”
“Karin bilang kamu yang nyuruh dia minta sendiri sama aku makanya aku kasih. Nggak enak nolak langsung di depannya, kasian.”
“Woah, ngeselin banget jadi orang. Malah ngomong lain sama kamu.” Yesi yang kesal mengepalkan tangannya dengan kuat. “Lagian kamu juga, ngapain malah diam di luar. Langsung masuk aja tadi!”
Entah sudah berapa kali Jevin terlonjak kaget karena suara nyaring Yesi. Dia harus mengelus dadanya berkali-kali agar tidak terlalu terkejut.
“Iya, maaf. Aku salah.” Jevin akhirnya meminta maaf. “Aku janji nggak akan balas chat apalagi angkat teleponnya.”
“Gimana kalau kita nggak bareng? Palingan kamu ladenin.” Yesi masih cemberut.
“Ya udah, tempelin aja aku 24/7 kalau kamu nggak bisa percaya.”
“Oke.”
Setelah mendengar cerita Yesi, Lia dan Freya langsung melayangkan tatapan tajamnya pada Jevin. Sebagai sesama perempuan, mereka juga paham akan perasaan Yesi. Sedangkan Nathan dan Haikal malah menertawai Jevin.
“Emang bentukannya gimana? Cantik nggak?” tanya Nathan masih dengan sisa tawanya.
“Ya.. Cantik. Ada tahi lalat dekat bibirnya, wajahnya kecil. Intinya dia cantik.” Jevin menjelaskan detailnya pada Nathan dan Haikal.
Setelah Nathan, kini bola kaki itu melayang mulus mengenai kepala Jevin. Pelakunya masih orang yang sama, si tengil Freya.
“Kak Jev jangan jadi brengsek. Jangan jadi playboy.” Freya melayangkan tatapan tajamnya pada Jevin. “Lo juga ngapain tanya segala gimana bentukannya. Ya, pastinya kayak manusia!”
“Nathan tanya, makanya aku jawab. Kamu ngelempar bola itu dikira nggak sakit apa!” desis Jevin pada Freya.
“Rasain!” gumam Yesi.
Nathan berdiri dan berkacak pinggang. “Liat nih! Ini nih kenapa aku nggak mau ngajak dia. Tengil, ribut, nggak bisa diam. Lebih ribut dari Jean.” Nathan marah-marah pada Lia yang sedang duduk diam.
“Pacar gue nggak tengil ya! Lo jangan asal ngomong.” Haikal berniat jadi pahlawan tapi kepalanya lebih dulu ditoyor oleh Nathan.
“Ya udah sih biarin aja. Biar rame dan seru,” balas Lia.
“Ini berangkatnya kapan? Mau berdebat sampai kapan? Kalau gini nggak akan berangkat-berangkat jadinya.” Freya meletakkan bola itu dan membantu Lia mengangkat barang bawannya menuju mobil.
Nathan tidak menimpali, sudah merasa lelah duluan karena kelakuan adik sepupunya yang tidak bisa diam.
Para laki-laki bertugas mengangkat yang berat-berat sedangkan perempuan yang ringan. Kecuali Haikal karena Jean meminta digendong olehnya.
“Jean, mau adik nggak?” bisik Haikal ketika mereka menuju mobil.
“Emang boleh?”
“Iya, boleh. Minta sama ayah dan mama kamu.”
“Ayah!” panggil Jean yang langsung membuat Nathan menoleh. “Aku mau adik.”
Nathan dan Lia sama-sama tersedak kaget.
“Kata Paman Haikal aku boleh minta adik sama Ayah dan Mama,” ujar Jean dengan polosnya.
Freya, Jevin dan Yesi menanggapinya dengan tawa keras. Sedangkan Lia hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Lo sama Freya sama aja. Sama-sama bikin pusing, sama-sama tengil, sama-sama ribut. Cocok banget kalau jadi pasangan, rumah tangga kalian bakalan ribut tiap harinya.” Nathan sepertinya sudah memberi restu pada pasangan itu.
Freya dan Haikal saling tukar pandang dan terkekeh pelan.
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.
©dear2jae
2021.04.24 — Sabtu.
2023.09.22 — Jumat. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top