21.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Pelayan datang untuk mengambil pesanan mereka, setelah tadi sempat berdebat mereka mau makan apa. Jean duduk di tengah-tengah Nathan dan Jevin sambil menikmati es krim rasa vanilla yang dia beli di Grocery Store tadi. Sekarang, sudah tidak ada penolakan lagi dari Lia kalau Jean minta es krim sebab kalau marah maka Jean akan mengadu pada Nathan lalu pada akhirnya Lia yang kena marah.
Nathan dan Jevin sibuk dengan ponselnya masing-masing, hingga Lia dan Yesi terabaikan.
“Kalian mau masak bareng ya, beli banyak bahan gini?” tanya Lia ketika mereka menunggu pesnanan datang. “Jevin itu kayaknya harus dipaksa dulu baru mau.”
“Iya, mau masak bareng. Bener, tadi aja aku bilang kalau aku datang ke rumahnya terus maksa dia makanya mau.” Yesi mengeluarkan ponselnya dan bercermin sedikit, memastikan make upnya masih on point. “Kalian juga mau masak bareng, ya?”
“Besok Jean ulang tahun, dia mau piknik. Makanya sekarang belanja buat keperluan besok.”
“Woah, pasti seru kalau piknik.”
“Mau ikut?” tawar Lia yang langsung membuat mata Yesi berbinar-binar. Tapi kepalanya menoleh pada Jevin yang saat ini sibuk dengan ponselnya.
“Jev..” panggil Yesi pelan tapi hanya dibalas dengan gumaman oleh Jevin. Matanya tidak bisa lepas dari layar ponsel dan tangannya terus bergerak ke sana kemari, jadi Yesi simpulkan dia sedang main game. “Jevin!”
Jevin langsung mendongak dan menatap Yesi setelah mempause gamenya. “Apa?”
“Besok Jean ulang tahun, mereka mau piknik. Kita ikut, ya?”
“Nggak!” tolak Jevin dan langsung melanjutkan gamenya tanpa menatap Yesi lagi.
“Bagus deh, gue juga nggak mau lo gangguin kita,” sahut Nathan yang langsung mendapat satu cubitan panas di tangannya oleh Lia. Tentu saja Nathan meringis, rasanya masih saja panas dan sakit.
Yesi cemberut dan mendengus sebal. Karena kesal, dia merebut ponsel Jevin dan menonaktifkan ponsel itu.
“Oh my god! Kamu apa-apaan sih, aku jadi kalah lawan dia!” desis Jevin sambil menunjuk Nathan dengan wajah kesal.
Nathan tertawa puas setelah akhirnya dia memenangkan permainan. Dia meletakkan ponselnya dan beralih mencubit pelan pipi Jean yang masih menikmati sisa es krimnya.
“Ayah, jangan.” Jean menyingkirkan tangan Nathan dari wajahnya.
“Kamu sih, kalau diajak ngomong itu didengerin,” gerutu Yesi sambil memasukkan ponsel Jevin ke dalam tas selempangnya.
“Aku, kan, udah jawab, nggak mau. Emangnya apalagi? Ya Tuhan!” Jevin mengusap wajahnya kasar.
“Jean, Bibi Yesi sama Paman Jevin besok mau ikut piknik, boleh?” Lia bertanya pada Jean yang terus berusaha menyingkirkan tangan Nathan dari wajahnya. Merasa kesal akan hal itu, Lia bersiap melayangkan cubitannya tapi untungnya Nathan lebih dulu melepaskan tangannya dari wajah Jean.
Pertanyaan Lia langsung membuat Jean mengangguk antusias. “Boleh.”
“Tapi Paman Jevin nggak mau.” Yesi mengadu pada Jean dengan wajah cemberut.
Jean menyerahkan stik es krimnya pada Nathan dan menatap Jevin, meminta penjelasan atas ucapan Yesi.
Jevin menghela napas berat. “Paman ikut kok.”
Jean adalah tempat mengadu terbaik memang bagi mereka. Wajah polos Jean saat meminta memang tak dapat ditolak.
*
Kehidupan normal seperti ini, yaitu melihat anak dan laki-laki yang dicintainya tertawa bersama, bermain bersama, menghabiskan weekend bersama. Itu adalah hal yang sangat diinginkan oleh Lia dan sekarang dia merasakannya. Menyaksikannya sendiri bagaimana Jean terlihat begitu bahagia saat bermain bersama Nathan. Bagaimana Jean tertawa lepas ketika Nathan menggelitiknya atau saat Jean naik ke punggung Nathan untuk bermain kuda-kudaan.
Lia pernah bilang bahwa dengan kehadiran Jean sudah cukup dan mampu membuatnya bahagia. Dia tidak membutuhkan apa-apa lagi tapi tapi saat Nathan muncul, ada secercah harapan dan keinginan untuk bisa bersama, lengkap dengan Jean. Tapi, Lia sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak bersikap egois. Lia tidak ingin merusak kehidupan rumah tangga Nathan bersama Elena. Walaupun Lia tahu, jika dia meminta Nathan untuk tetap di sisinya maka Nathan sudah pasti akan melakukannya tapi Lia tidak mau egois.
Keinginan itu berusaha dia kubur rapat-rapat tapi Nathan selalu muncul dan berada di dekatnya. Mengahabiskan waktu bersama anaknya yang sayangnya tak dapat Lia tolak sebab mendebat Nathan akan berakhir dengan kekalahan.
Keadaan rumah saat ini kacau, Jean melempar bantal sofa ke sana kemari, berusaha mengenai Nathan yang sayangnya meleset dan Nathan yang terus berlarian untuk menghindari kejaran Jean. Mereka naik ke atas sofa sambil tertawa lepas.
Hari ini, Lia tidak akan marah. Lia akan membiarkan apapaun yang mau mereka lakukan. Terserah bagaimana keadaan rumah nantinya, asalkan Jean bisa merasa puas.
“Bentar, istirahat dulu. Ayah capek, nanti lagi ya mainnya.” Nathan berbaring di atas sofa dengan napas terengah. Akhirnya menyerah setelah berlarian ke sana kemari sedangkan Jean beranjak duduk di dekatnya, masih terlihat normal. Bahkan tenaga Jean masih lebih banyak darinya.
Jean berbaring di atas tubuh Nathan sambil merentangkan tangannya. Merasa mendapat kesempatan, Nathan langsung menangkap dan merengkuh tubuh Jean ke dalam dekapannya lalu menggelitiknya hingga Jean tertawa dan meminta ampunan.
“Mama! Mama! Tolongin,” teriak Jean masih dengan sisa tawanya.
Bukannya menolong, Lia malah tersenyum melihatnya. Terasa seperti mimpi, merasa semua ini tidak nyata. Tawa Jean adalah bahagianya.
“Yes! Ayah menang, kamu kalah.” Nathan mengejek anaknya lalu keduanya tertawa lepas bersama. Detak jantung Jean begitu terasa saat Nathan memeluknya. “Astaga, rasain deh detak jantungmu.”
Jean terkekeh tapi dia malah menempelkan tangannya pada dada Nathan. “Ayah juga.”
“Sini.” Nathan meraih ujung baju Jean dan membukanya sebab keringat Jean sudah membasahi.
Setelah membuka baju Jean, Nathan juga ikut membuka bajunya. Lalu keduanya sama-sama duduk berjejer di sofa sambil menormalkan deru napas.
“Ayah, tolong ambilin itu,” tunjuk Jean pada sebungkus snack yang ada di atas meja.
Nathan beranjak dan meraihnya lalu membukakannya untuk Jean. Perhatian Jean teralihkan pada tatto kepiting yang ada di punggung ayahnya. Tangan kecilnya menyentuh tatto itu yang sontak membuat Nathan terkejut.
“Ini apa?” tanya Jean.
“Namanya tatto. Nanti kalau kamu udah besar mau buat, nggak? Kita buat tatto kembar.”
“Mau.”
“HEH!!” Lia beranjak dari dapur dan mendekati dua orang itu. Oke, ucapan Nathan yang satu ini tidak dapat ditolerir lagi oleh Lia. Anaknya masih kecil sudah diajak bikin tatto, bagaimana Lia tidak murka. “Ngajakin anak itu yang baik-baik lah. Kenapa malah ngajak bikin tatto. Astaga!”
“Kenapa pas aku udah besar, sekarang bisa. Ini gambaran, kan?” tanya Jean dengan wajah polosnya yang mau tidak mau membuat Lia dan Nathan tertawa kecil.
“Nanti aja pas kamu udah besar, ya,” ujar Nathan sambil merapikan anak rambut Jean yang menutupi kening. Jean mengangguk dan kembali memakan snacknya.
Hari ini, Lia tidak akan bertanya apakah Nathan ingin pulang atau tidak. Lia akan membiarkannya tetap di sini sampai kapanpun dia mau. Sebab entah kenapa Lia begitu merindukan sosoknya. Lia ingin menatap Nathan sepuasnya dan alasan lain adalah Lia ingin Jean terus tersenyum.
Sejak kedatangan Nathan di hidup Jean, posisi Lia memang terancam, dalam artian Jean sekarang lebih banyak mendengarkan ucapan Nathan dari pada ucapannya. Lebih sering meminta sesuatu pada Nathan sebab Jean tahu kalau Nathan akan mengabulkannya. Tapi tidak apa-apa, it’s ok, walaupun kadang Nathan mengajarkan Jean dengan agak sedikit melenceng seperti boleh lah nggak masuk sekolah sekali atau dua kali, tapi itu tidak apa-apa. Lia memang awalnya marah dan jengkel tapi sebenarnya Lia tidak apa-apa akan hal itu.
Setelah lelah bermain, Nathan dan Jean kini terlelap di sofa. Lia mondar-mandir di dekat mereka, mau membangunkan tapi mereka sangat terlelap dan terlihat nyenyak. Tapi nanti punggung mereka bisa sakit kalau lama tidur di sofa.
“Nat,” bisik Lia pelan sambil mengguncang lengan Nathan. “Tidur di kamar, nanti punggung kamu sakit.”
Bukannya menjawab, Nathan hanya bergumam pelan dan menarik Lia ke dalam pelukannya. Tentu saja Lia memberontak tapi tak berani bersuara keras karena Jean bisa bangun. Nathan sadar akan hal itu jadi dia semakin senang menggoda Lia.
“Lepas, nanti Jean bangun terus liat,” gerutu Lia sambil berbisik pelan. Posisi Jean saat ini ada di samping Nathan. Nathan masih tidak peduli dan semakin mengeratkan dekapannya. “Nat, aku marah!”
“You hear that, my heartbeat?” bisik Nathan tepat pada telinga Lia karena posisi Lia saat ini berada dalam dekapannya dengan kepala Lia yang bersandar di dadanya. Lia dengar setiap detak jantung Nathan. “It’s still beating for you.”
Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut Lia, dia memilih diam sambil terus mendengarkan setiap detak jantung Nathan yang katanya masih berdetak untuknya.
Ini yang Lia tidak sukai, saat dia berusaha mengubur perasaannya rapat-rapat, Nathan selalu bisa membawanya ke permukaan lagi, selalu bisa membuatnya gagal melakukan hal itu.
“Kenapa diam?” tanya Nathan.
“Emangnya aku mau ngomong apa lagi?”
“Kalau kamu gimana? Jantungmu masih berdetak untukku atau..”
“Not for you,” sela Lia.
Tentu saja itu adalah sebuah kebohongan yang nyata. Bahkan detak jantungnya yang setiap detik, setiap menit hanya untuk dua orang yaitu Jean dan Nathan. Itu sudah dari dulu dan tak akan bisa tergantikan. Just for her son and her loved one.
“Then, let me check.”
“What?!”
Nathan meraih kepala Lia dan membuatnya mendongak lalu begitu saja bibir mereka saling bertaut satu sama lain. Tubuh Lia sempat menegang sebab begitu kaget akan tindakan Nathan yang tiba-tiba. Tapi Lia tidak berani terlalu banyak bergerak karena Jean pasti akan bangun.
Itu hanya kecupan biasa tapi saat melihat Lia tidak bisa berontak sebab takut Jean akan bangun, Nathan jadi memperdalam ciumannya.
Tubuh Lia kembali menegang saat tangan Nathan menyentuh dadanya. Lalu merasakan detak jantungnya yang sialnya berdetak begitu kencang saat ini.
“See, it’s beating for me.” Nathan terkekeh pelan sambil mengusak rambut Lia. “Maaf dan ku mohon, tunggu sebentar ya. Aku akan selesein masalah ini dan akan segera bergabung bersama kalian.”
“No, please no. Kalau kamu mikir buat cerai dari Elena untuk bisa bergabung sama aku dan Jean, please jangan. Jangan..”
“Mau diam sendiri atau aku buat diam?”
Sorot mata Nathan berubah tajam, Lia bungkam seketika. Entah kenapa, air mata Lia malah menetes dan Nathan merasakannya. Sebab air mata Lia langsung bersentuhan dengan kulitnya.
“Ayah,” gumam Jean dengan mata setengah terbuka. Sontak Lia mengangkat tubuhnya agar terlepas dari dekapan Nathan tapi tangan Nathan langsung menahannya. “Ayah, aku juga mau dipeluk kayak mama.”
“Sini, anak Ayah.”
Tangan kanan Nathan untuk mendekap Jean dan tangan kiri Nathan untuk mendekap Lia. Kini mereka bertiga saling berpelukan seperti teletubies.
Bukan hanya Lia yang merasa emosional tapi Nathan juga. Berkali-kali Nathan mendaratkan kecupannya pada kening Jean dan Lia secara bergantian.
Selama hampir enam tahun ini, ada kalanya saat sendirian Nathan selalu ingin menangis kalau tiba-tiba mengingat Lia. Selama hampir enam tahun ini, Nathan selalu bertanya-tanya bagaimana keadaan Lia, bagaimana kabar Lia, apakah Lia hidup dengan baik tanpanya? Lalu begitu saja air matanya menetes.
Bukan hanya Lia yang merasa tersiksa tapi Nathan juga merasakan hal yang sama. Merindukan sosok Lia setiap hari yang sayangnya tak pernah Nathan tahu bagaimana kabarnya.
Berjuang bersama dari SMA hingga kuliah tapi pada akhirnya terpisahkan tanpa sepatah kata. Memangnya siapa yang tidak tersiksa.
“Pindahin Jean ke kamar, nanti punggungnya sakit. Kamu juga, tidur di kamar aja. Aku mau beres-beres, ini udah kayak kapal pecah.” Lia perlahan melepas tangan Nathan dan beranjak.
“Iya.” Nathan mengangkat tubuh Jean menuju kamar. Lalu membaringkannya di sana. “Istirahat aja dulu, bersih-bersihnya nanti aja.”
“Aku nggak ngantuk, kamu aja yang temenin Jean tidur. Nanti juga kalau dia bangun yang dicariin pasti kamu.”
“Cemburu?”
“Nggak, siapa yang cemburu.”
Nathan terkekeh pelan melihat ekspresi wajah Lia yang tidak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah jengkel.
Perhatian mereka teralihkan oleh Saka yang membuka pintu kamar Jean. Ternyata anak itu sudah pulang kencan rupanya.
“Oh my lord! Maaf, aku nggak tahu kalau kalian lagi.. ok, sorry. Lanjutin aja.” Saka kembali menutup pintu dengan senyum misteriusnya sebab melihat Nathan sedang half naked.
Tapi tak lama, Nathan maupun Lia keluar dari kamar Jean. Lia langsung membersihkan sisa peperangan antara Nathan dan Jean sedangkan Nathan bergabung bersama Saka di sofa untuk menonton televisi.
“Tumben Kak Nat belum pulang. Biasanya ponsel Kak Nathan udah penuh sama panggilan,” ujar Saka.
Pertanyaan Saka membuat fokus Lia teralihkan sebab tumben sekali tidak ada panggilan masuk di ponsel Nathan.
Nathan tersenyum tipis. “Mau nginap, makanya nggak pulang. Soal panggilan, sampai hari senin juga Elena nggak akan nelepon.”
“Kok bisa?” kini giliran Lia yang menyahut.
“Ayah bilang sama ibu dan Elena kalau aku pergi ke luar kota buat ngurus sesuatu terkait rumah sakit.”
“Astaga, kenapa bohongin mereka?!”
“Up to me, kenapa malah kamu yang jadi heboh. Lagian ayah udah baik banget mau ngebantu. Terlepas dari piknik atau nggak, aku emang berencana mau nginap dan menghabiskan weekend sama anakku.”
Saka mengacungi dua jempolnya pada Nathan. Melihat bagaimana usaha yang Nathan lakukan untuk bisa quality time bersama Jean, membuat hati Saka perlahan akan memaafkan Nathan.
Lia mendelik sebal dan kembali melanjutkan kegiatannya. Tapi dibalik penentangannya akan tindakan Nathan terselip rasa senang.
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.
©dear2jae
2021.04.23 — Jumat.
2023.09.11 — Senin. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top