20.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Ada rasa bahagia saat Lia memperhatikan Jean makan dengan lahap. Untungnya selain perisa strawberry, tidak ada lagi alergi makanan yang Jean punya.

“Kemarin waktu kamu main ke rumah nenek. Kamu ngapain aja?” tanya Lia ketika membersihkan sisa makanan yang ada di meja.

“Kata nenek, dia mau beliin aku mainan nanti kalau aku sering main ke sana. Tapi aku nggak mau soalnya aku udah besar, mau masuk sekolah dasar jadi nggak butuh mainan lagi.” Jean menepi ke arah sofa sebab Lia sedang membersihkan dapur. Tangannya meraih beberapa snack yang ada di meja, sengaja di taruh di sana supaya dia bisa leluasa memakannya. “Ada istrinya ayah yang datang terus dia ngajak aku main. Dia baik, nanya aku mau makan apa atau mau main apa.”

Lia mendekat setelah selesai membersihkan dapur. Dia mengusap kepala Jean dengan pelan kemudian mengulas senyum kecil, merasa lucu ketika Jean bercerita.

Lia tahu kalau Elena tidak akan tega menyakiti anaknya sebab Elena juga menginginkan hal yang sama. Mungkin, Elena hanya takut kehilangan Nathan makanya Elena tidak menyukai Lia yang tiba-tiba muncul dan mengacaukan semuanya. Tapi bukan niat Lia untuk mengacaukan rumah tangga mereka, Lia memang ingin kembali dan tinggal di sini bersama Jean. Siapa sangka Lia akan bertemu dengan Nathan secara tidak sengaja di mall.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian keduanya. Lia sempat heran siapa yang datang padahal Saka masih ada di kamarnya, tidak keluar untuk lari pagi di hari sabtu ini.

Ternyata yang datang adalah Nathan. Snack yang ada ditangannya terabaikan begitu saja, Jean melemparnya sembarang ke atas meja dan berlari menghampiri Nathan. Lia geleng-geleng kepala melihatnya.

“Ayah!” teriak Jean, masih dengan kebiasaan barunya yaitu merentangkan tangan minta digendong lalu memeluk leher ayahnya dengan erat.

“Cium.” Nathan mendekatkan pipinya ke wajah Jean lalu begitu saja Jean mendaratkan satu kecupan pada pipinya. “Good!”

Yang paling disyukuri oleh Nathan adalah dia bertemu dengan Jean saat umur Jean masih kecil. Bayangkan kalau bertemu setelah dewasa, maka kata maaf mungkin tak akan berlaku bagi Jean untuknya. Jika bertemu ketika Jean sudah mengerti semuanya, maka Jean tidak akan mungkin menerimanya semudah ini.

Benar-benar pemandangan yang luar biasa pagi ini. Diam-diam, Lia mengulas senyum kecil melihatnya. Tapi tak lama kemudian, Lia mengerutkan alis bingung.

“Tunggu, dari mana kamu tahu password pintunya? Perasaan aku nggak pernah ngasih tahu, gimana kamu bisa tahu dan masuk seenaknya?” tanya Lia sambil berkacak pinggang.

“Saka,” jawab Nathan polos.

“Kak!” desis Saka yang memang kebetulan baru keluar dari kamarnya dan mendengar sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh Nathan. Padahal mereka sudah berjanji untuk merahasiakan hal ini tapi.. “Woah! Oke, kalau nanti mau bantuan lagi sorry, udah nggak buka lowongan buat ngebantu orang.”

Saka memutar bola matanya malas dan berlalu pergi tapi Lia malah menarik ujung bajunya, membuat Saka menghentikan langkahnya. Pasrah saja kalau Lia memang akan memarahinya. Sedangkan Nathan hanya terkekeh pelan.

“Mau ke mana hari sabtu pagi udah rapi?”

“Kencan dong. Emangnya Kak Lia yang nggak ada kerjaan.”

Satu geplakan mendarat mulus di kepala Saka. Sontak hal itu mengundang tawa Jean yang saat ini masih berada dalam gendongan Nathan.

“Kalian nggak mau pergi jalan-jalan gitu? Ini weekend loh, kapan lagi ada waktu kumpul gini.” Saka memberika usul pada Lia.

Sebenarnya, besok Jean ulang tahun yang ke enam. Semalam, Jean sempat meminta pada Lia bahwa dia ingin pergi piknik bersama ayahnya dan Lia cepat-cepat mengangguk untuk menyetujui supaya Jean cepat tidur. Tapi sekarang, Lia malah bingung sendiri bagaimana caranya dia bicara pada Nathan akan permintaan Jean. Apalagi besok itu hari minggu, bisa saja Nathan ada kerjaan atau mau meluangkan waktu untuk istrinya.

“Ayah, besok aku ulang tahun. Aku maunya pergi piknik sama Ayah dan Mama, bisa?” tanya Jean, tanpa sepatah kata penolakan Nathan langsung mengangguk mengiakan. Hari apapun Nathan bisa untuk Jean. Apalagi besok hari minggu, tentu saja dia bisa. Sangat bisa.

“Bisa, apa sih yang nggak buat kamu.” Nathan menciumi pipi Jean dengan rakus.

“Beneran bisa? Nggak ada janji sama orang atau sama Elena mungkin. Kalian nggak menghabiskan weekend sama-sama?” tanya Lia memastikan.

Sempat bingung mau bilang apa untuk memberitahu Nathan, untunglah Jean langsung bicara sendiri pada ayahnya.

“Walaupun ada janji tapi kayaknya Kak Nat akan batalin demi Jean. Iya nggak sih, Kak?” terka Saka yang masih selonjoran di sofa. Belum berangkat sebab pacarnya masih belum siap-siap, katanya.

“Jangan gitu dong, kalau emang nggak bisa ya udah, jangan dipaksain. Lain kali aja perginya,” sahut Lia yang langsung membuat Jean cemberut.

“Aku nggak ada janji sama siapapun dan kayak katanya Saka kalau emang punya janji aku akan batalin,” ujar Nathan saat menyadari perubahan raut wajah Jean.

“Loh, jangan gitu dong.”

“Demi Jean, bukan kamu.”

Kini giliran Lia yang memutar bola mata malas.

“Gimana kalau sekarang kita pergi belanja buat keperluan besok, mau nggak?” bisik Nathan di telinga Jean. Jean langung mengangguk antusias. “Tapi kamu yang ngomong ya sama mama, soalnya kalau Ayah nanti mama nggak mau.”

“Kasian ya Kak Lia terabaikan sejak kedatangan Kak Nat.” Saka tertawa mengejek dan segera beranjak pergi sebelum Lia murka. Saka berlari secepatnya ketika berhasil membuat Lia kesal.

Lia memilih diam dan membiarkan Saka pergi, marah-marah terus juga tidak baik. Nanti darahnya naik kalau emosi terus.

“Ma, ayo pergi belanja,” pinta Jean.

“Belanja apa?”

“Belanja buat keperluan besok.”

“Nggak usah, di kulkas ada sedikit bahan. Nanti pakai yang itu aja.” Lia menolak seperti biasa.

Jean cemberut dan menyembunyikan wajahnya pada pundak Nathan. Meminta perlindungan dan pertolongan dari ayahnya. Nathan beralih menatap Lia dengan raut wajah serius, sorot mata yang tajam. Sorot mata yang selalu Lia lihat kalau Nathan serius.

“Hobi baru ya bikin anak ngambek?” Nathan berujar dengan nada suara sinis. “Mau siap-siap sendiri atau aku bantu?”

Mendebat Nathan hanya akan berujung dengan kekalahan. Jadi Lia memilih untuk mengalah dan beranjak berdiri. Seulas senyum lebar merekah dari bibir Jean saat Lia akhirnya mau. Tapi sebelum itu, Lia melampiaskan kekesalannya dengan menarik rambut Nathan keras yang langsung membuat Nathan berteriak kesakitan.

“Liat, mama kamu tarik rambut Ayah padahal Ayah nggak salah.” Nathan mengadu pada anaknya.

“Mama! Jangan jahat sama Ayah,” teriak Jean sebab Lia sudah masuk ke kamarnya untuk ganti baju.

*

Selama hampir enam tahun hidup bersama Jean, ini adalah pertama kalinya Lia melihat Jean terlihat sebahagia ini, seceria ini, seexcited ini akan sesuatu. Anak itu seolah tak ada beban apa-apa saat ini, berlarian ke sana ke mari sambil tertawa lepas. Sesekali bercanda bersama ayahnya dengan ceria.

Harusnya saat ini Lia merasa bahagia karena melihat Jean akhirnya bisa tersenyum merekah setelah bertemu ayahnya. Tapi entah kenapa hati dan pikirannya tidak sejalan sebab Nathan sudah berstatus menikah. Sempat berbahagia sebentar tapi pikirannya malah tertuju pada Elena. Bagaimana perasaan perempuan itu saat suaminya bersama orang lain.

Nathan menyentuh bahu Lia karena Lia sempat bengong. “Kenapa diam? Ayo dong pilih mau beli apa buat besok.”

Saat ini, mereka sedang ada di Grocery Store untuk membeli bahan-bahan masakan untuk di bawa piknik. Lia kembali ke alam sadarnya setelah sempat termenung. Lalu membalas ucapan Nathan dengan senyuman.

“Iya.” Lia berjalan beriringan bersama Nathan dan mulai mengambil beberapa bahan masakan. Lalu setelah itu Lia sadar bahwa Jean tidak ada di dekat mereka. “Astaga, Jean mana?”

Nathan juga baru sadar dan menatap ke sana kemari untuk mencari keberadaan Jean. “Kamu sih, so beautiful today jadi perhatianku teralihkan,” gumam Nathan dengan kekehan kecil.

Tangan Lia terangkat hendak menggeplak punggungnya tapi Nathan langsung menghindar. Terakhir kali rasanya sangat panas.

“Masih bisa bercanda ya, anakmu hilang!” desis Lia panik.

Serius, Nathan sudah mengedarkan pandangannya ke sana kemari tapi Jean tak kunjung ketemu. Wajah Nathan dan Lia mulai panik sebab orang-orang yang berlalu-lalang juga banyak. Nathan lebih panik karena melihat wajah Lia yang kini berubah sendu. Kalau sampai Jean benar-benar hilang maka tamat sudah riwayatnya, Lia pasti akan murka.

“Nat!” Lia menarik ujung baju Nathan dengan erat dengan wajah panik. Nathan hanya bisa menggenggam tangan Lia, mencoba memberikan ketenangan. “Nat, Jean mana?”

Hampir sepuluh menit mereka mondar-mandir ke sana kemari dan bahkan sudah kembali ke tempat semula siapa tahu Jean ada di sana mencari mereka tapi sayangnya Jean tetap tidak ada. Hingga akhirnya Nathan memutuskan untuk ke Pusat Informasi agar mereka membantu menemukan Jean.

“Ayah, Mama!”

Belum dua langkah berjalan, suara Jean menggema di belakang mereka. Lia segera berbalik begitu mendengar suara anaknya dan dia langsung disambut oleh senyum merekah Jean yang ada digendongan Yesi. Lia dan Nathan akhirnya bisa bernapas lega.

Lia segera mendekat begitupun Yesi yang membawa Jean ke hadapan Lia.

“Jangan tiba-tiba ngilang gini, Mama khawatir. Tadi nyariin kamu ke mana-mana sama ayah tapi kamu nggak ada.” Lia mencubit pipi Jean.

“Tadi aku mau ambil snack tapi ketemu sama Bibi Yesi dan Paman Jevin, terus Bibi Yesi tarik aku buat ikut sama dia.”

“Astaga.”

Apa yang menarik saat ini adalah Nathan dan Jevin berdiri di belakang pasangan masing-masing, saling tatap dengan wajah datar.

Lia dan Yesi kompak menoleh ke belakang saat pasangan mereka tidak bersuara sama sekali. Saat menyadari suasana berubah dingin, Yesi cepat-cepat menurunkan Jean dari gendongannya dan menghampiri Jevin kemudian menariknya mendekat. Begitupun dengan Lia yang dari awal sudah tahu kalau hubungan dua laki-laki itu tidak baik langsung menarik tangan Nathan dan mendekat.

“Kalau udah selesai, ayo pulang.” Jevin memutar arah trolinya tapi Yesi menahan.

“Gimana kalau makan siang bareng?” usul Yesi yang langsung membuat Jevin maupun Nathan melotot kaget dan kompak menggeleng.

“Ide bagus,” timpal Lia. Lia kemudian menundukkan tubuhnya dan berbisik pelan pada Jean. “Ajakin ayahmu buat makan sama Paman Jevin. Kalau nggak mau ngambek aja.”

Jean mengangguk dan menarik jari telunjuk Nathan. “Kita makan dulu sama Bibi Yesi dan Paman Jevin. Aku lapar, iya Ayah?”

Nathan membuang muka dan mencubit pelan lengan Lia karena sudah memanfaatkan Jean untuk membuatnya luluh.

“Ayah.” Jean mengguncang lengan Nathan. “Ayah..”

“Iya sayang, iya. Ayo makan.” Nathan mengangkat tubuh Jean dan menggendongnya sedangkan Lia dan Yesi merasa puas.

Melihat Jevin belanja bersama Yesi, Lia merasa senang. Akhirnya, Jevin perlahan mau membuka hatinya untuk orang yang selalu ada di sampingnya.

“Paman Jevin!” panggil Jean.

“Iya?”

“Sini, jalan sama Ayah, sama aku juga. Kita sama-sama laki-laki, jadi ayo jalan bareng.” Jean berujar antusias sedangkan Nathan merutuk dalam hati atas tindakan anaknya.

“Sana, dipanggil sama Jean itu.” Yesi mendorong tubuh Jevin.

Sebenarnya sejak berdebat dengan Lia di cafetaria perihal perasaan masing-masing, hubungan mereka jadi agak canggung. Apalagi di kantor, mereka jarang saling bertegur sapa lagi. Jadi saat ini Jevin berjalan di samping Yesi sambil mendorong trolinya. Dan pada akhirnya, Jean memanggilnya supaya mereka jalan bareng. Sumpah, lebih baik Jevin berjalan dengan para perempuan dari pada dengan Nathan yang jelas-jelas akan terasa sangat canggung. Tapi wajah polos Jean tidak bisa diabaikan.

Jevin akhirnya mendekat dan Yesi mengambil alih trolinya. Jevin, Nathan dan Jean yang ada dalam gendongan Nathan, kedua laki-laki itu kini berjalan berdampingan.

“Aku kadang merasa takjub soalnya pertemanan mereka bisa rusak karena kamu. Aku nggak nyalahin loh, cuma takjub aja soalnya itu artinya perasaan Jevin sama kamu bener-bener tulus,” celetuk Yesi.

“Makanya, aku harus buat mereka baikan lagi,” ujar Lia sambil terkekeh pelan. “Oh ya, gimana ceritanya kamu bisa jalan sama Jevin?”

“Aku paksa, tadinya dia lagi tidur tapi aku datang ke rumahnya dan bangunin dia. Tadi malam aku kira Jevin kerasukan, soalnya dia tiba-tiba bilang mau coba buat suka sama aku dan dia langsung cium aku, katanya mau tahu apa dia suka aku atau nggak. Asli, aku kaget tapi aku suka.” Yesi bercerita dengan antusias.

“Astaga, kamu nggak malu cerita hal-hal begitu sama aku?”

“Maksud kamu?”

“Soal ciuman kalian.”

“Astaga, aku kira apa.” Yesi tertawa pelan. “Udah biasa, soalnya kita udah dewasa. Makanya aku bilang kalau dia harus tanggungjawab karena udah buat aku jadi gila.”

Cerita mereka selesai ketika akhirnya mereka sampai di kasir. Baik Nathan maupun Jevin masih sama-sama bungkam. Lia dan Yesi menyuruh mereka menunggu di luar selagi Lia dan Yesi membayar. Jean turun dari gendongan Nathan lalu ikut bersama Lia karena dia mau beli es krim.

“Rencana lo ke depannya gimana?” celetuk Jevin tanpa menatap Nathan. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan.

“Gue kira lo udah nggak mau ngomong sama gue.”

“Jawab aja, jangan banyak omong.”

“Rencana apa?” tanya Nathan.

“Jean udah nyaman banget sama lo.”

“Oh soal itu. Solusinya cuma satu..” Nathan menjeda ucapannya dan menatap Jevin dengan wajah serius. “Cerai sama Elena dan nikah sama Lia, hidup bahagia sama anak gue. Simple, tapi sulit buat actionnya.”

Jevin mengembuskan napas pelan dan balas menatap Nathan. “Sampai kapanpun, gue nggak akan pernah bisa gantiin lo di hatinya Lia dan saat ini gue mau coba buka hati buat Yesi. Intinya apa yang mau gue omongin adalah lo jangan buat Lia sakit lagi, udah cukup dulu waktu lo ninggalin dia tanpa sepatah kata. Waktu itu..”

“Udah Jev, gue bukannya nggak mau dengar tapi setiap gue ingat gimana brengseknya gue waktu ninggalin dia, rasanya gue emosi sama diri gue sendiri. Jadi lebih baik jangan cerita.”

“Gue cuma mau bilang kalau waktu itu Lia pingsan karena nangis,” bukan bermaksud ingin menambah beban. Hanya saja Jevin pikir Nathan perlu tahu agar Nathan bisa terus menjaga perasaan Lia dan tidak menyakitinya lagi. “Gue harap lo bisa bijak saat mengambil keputusan.”

“Iya.”

“Ah, sial! Kenapa gue jadi ngalah gini!” gerutu Jevin.

“Lo sahabat gue satu-satunya, Jev..” Nathan mendekat dan menyentuh bahu Jevin. “Makasih karena lo udah sadar kalau lo nggak akan bisa ngalahin gue.”

“Sialan! Jauh-jauh lo dari gue!” Jevin mendorong tubuh Nathan. “Gue bisa ngalahin lo, cuma gue nggak mau aja.”

“Iya deh iya.”

“Sialan!”

**

notes:

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.

©dear2jae
2021.04.21 — Rabu.
2023.09.10 — Minggu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top