19.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Sepanjang perjalanan pulang, Nathan hanya diam. Selain karena fokus menyetir, dia juga enggan berbicara sebab masih merasa kesal karena ulah ibunya yang tak kunjung selesai.

Tadinya, Nathan berniat mengantar Lia dan Jean pulang supaya tidak repot naik taksi. Tapi Hana bersikeras Nathan harus pulang bersama Elena. Sempat terjadi perdebatan hebat di depan lobi karena Nathan maupun Hana tidak mau mengalah. Dan pada akhirnya, Lia yang mengalah.

Freya dan Haikal datang di saat yang tepat, jadi Lia pulang bersama mereka. Karena masih merasa kesal pada ibunya maupun pada Elena yang hanya diam tak berkutik, Nathan sempat membuat suasana panas dengan ucapannya.

“Kal, pastiin Lia sama Jean pulang dengan selamat. Kalau sampai kenapa-kenapa, lo tanggungjawab. Anak gue nggak boleh lecet sedikitpun.” Nathan membanting pintu mobilnya dan masuk lebih dulu. Tak lama, kepalanya kembali menyembul keluar. “Lia juga nggak boleh lecet, Kal!

“Siap, bro!” balas Haikal yang sepertinya sudah masuk circlenya Freya untuk menjadi pendukung Nathan dan Lia.

Dan kini, Nathan diam sebab masih merasa kesal. Membiarkan suara musik menenuhi pendengaran mereka di dalam mobil. Elena berkali-kali mengembuskan napas kesal dan mencoba melakukan sesuatu agar menarik perhatian Nathan tapi laki-laki itu tak peduli. Bahkan ibunya saja yang mengajaknya bicara sedari tadi tak pernah dia tanggapi.

“Gimana kalau Jean tinggal sama kamu aja?” celetuk Hana tiba-tiba. “Kalian udah lama nggak ketemu. Jadi sekarang gimana kalau kalian tinggal bareng. Kamu bisa menghabiskan banyak waktu sama dia.”

Nathan tahu arah pembicaraan itu, kesimpulannya adalah Lia dan Jean pasti akan tinggal terpisah. Walaupun sangat ingin tapi Nathan tidak akan tega melakukan hal itu, memisahkan Lia dan Jean. Nathan tidak menimpali, dia terus saja diam. Ujung matanya menangkap kalau sepertinya Elena setuju akan usulan dari Hana.

“Kamu kalau diajak ngomong itu dijawab!” Hana mencubit lengan Nathan dari belakang tapi tindakan itu sama sekali tak mempengaruhi. Rasanya panas dan sakit tapi panas dan sakit hatinya lebih dari ini.

“Kak, Ibu ngomong sama Kak Nathan. Jangan diem gini kalau ditanyain,” sahut Elena sambil menyentuh lengan Nathan.

Tetap saja, tidak ada respon dari Nathan. Laki-laki itu terus diam hingga akhirnya mereka sampai di rumah Hana.

Tahu kenapa Elena masih bisa bersikap baik pada Nathan padahal laki-laki itu secara terang-terangan menyakitinya? Itu karena Elena takut kehilangan Nathan. Elena takut kalau dia semakin membuat Nathan emosi, Nathan akan mengucapkan kalimat yang akan membuatnya sedih. Elena takut.

Tadinya Nathan ingin langsung pulang saja sebab sepanjang hari ini sungguh melelahkan. Tapi ayahnya malah meminta untuk bicara berdua, katanya sebentar saja. Tak dapat menolak, terpaksa Nathan mengiakan.

“Kalau lupa mau ngomong apa, besok aja. Aku mau pulang, capek.” Nathan bicara begitu sebab Agung tak kunjung buka suara setelah mereka berdua memutuskan untuk menuju halaman belakang.

Bukannya tidak tahu mau bicara apa atau bukannya lupa tapi Agung masih memantapkan hatinya, merasa malu mau bicara pada Nathan.

“Ayah.. Minta maaf.” Agung akhirnya mengembuskan napas pelan setelahnya. Setelah lama berkutat dengan pikirannya. Nathan masih diam, tidak menanggapi. Dia pun terkejut akan pernyataan tiba-tiba dari ayahnya. “Maaf karena dulu Ayah udah egois mau ikut campur tentang hidupmu.”

“Maksud Ayah, Ayah menyesal udah jodohin aku?” Nathan tahu maksudnya, hanya saja dia memang ingin memastikan.

“Iya.”

Nathan memang senang ayahnya akhirnya sadar kalau tindakannya itu keterlaluan tapi apa yang bisa dilakukan sekarang? Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

“Aku mau tanya gimana pendapat Ayah tentang Lia dan Jean?” tanya Nathan. Merasa mendapat lampu hijau dari ayahnya, Nathan ingin tahu apakah Agung ada dipihaknya atau tidak. “Apa menurut Ayah aku harus tanggungjawab? Kalau iya, tanggungjawab yang kayak gimana?”

“Harusnya sih kamu nikahin terus sebisa mungkin ngisi waktu kamu sama Jean. Kamu bilang umurnya mau enam tahun dan selama hampir enam tahun kalian nggak ketemu. Bayangin aja gimana susahnya Lia ngebesarin Jean sendiri, harus cari nafkah sendiri buat Jean. Sekarang kamu harus ganti waktu yang nggak dia lalui sama kamu.”

“Harusnya?”

“Ayah udah ngomong sama ibumu tapi dia tetap kukuh nggak mau kamu cerai.” Agung menjeda ucapannya dan menatap Nathan. “Jujur ya, Ayah kecewa saat tahu Elena nggak bisa ngasih keturunan buat keluarga. Ada rasa menyesal di hati Ayah karena dulu memaksakan kehendak. Kamu liat usaha keluarga, siapa yang akan terusin nantinya. Dan saat Ayah tahu kamu punya anak walaupun dari perempuan lain, Ayah seneng banget. Kemarin Ayah hampir nangis pas Jean panggil Ayah, kakek. Masalahnya sekarang, gimana kamu mau ambil keputusan. Soalnya kalau kamu yang ambil keputusan, ibumu mungkin akan menentang kalau akhirnya kamu mau cerai tapi nanti pasti ngerti. Dia cuma kasihan aja sama Elena, nggak tega.”

Penuturan panjang Agung membuat Nathan yakin kalau pria itu ada dipihaknya. Mendukungnya kalau mau bercerai dari Elena sebab dari awal hubungan rumah tangga mereka tidak didasari oleh perasaan suka satu sama lain.

“Sekarang Ayah tanya sama kamu. Gimana perasaanmu sama Lia?”

“Ayah, aku sama Lia udah pacaran dari SMA sampai mau lulus kuliah. Sampai di mana Ayah akhirnya paksa aku buat nikah sama Elena dan aku bahkan tinggalin Lia tanpa sepatah kata. Ayah kira waktu itu aku ngasih tahu Lia kalau aku mau nikah? Nggak, Ayah. Ayah bayangin aja gimana sakitnya ditinggalin tanpa sepatah kata. Waktu itu juga Lia mau ngasih tahu aku kalau dia hamil tapi nggak jadi karena Lia liat aku jalan sama Elena. Itu bukan waktu yang singkat apalagi aku sama Lia akhirnya punya anak jadi jelas aku masih sayang sama dia, masih suka, masih cinta.”

Emosi Nathan meluap, matanya terasa panas jika sudah bercerita tentang hari itu. Hari di mana mereka berpisah tanpa sepatah kata. Agung hanya bisa mengelus pundak anaknya dalam diam.

“Maaf, maafin Ayah.”

“Iya, Ayah.”

“Tapi, sebisa mungkin bicarain masalah ini baik-baik soalnya di sini status Elena udah nggak bisa hamil. Jadi, kalau kamu mau cerai bahkan tanpa bilang alasannya, dia akan tahu kalau itu alasannya. Apalagi kamu udah jelas-jelas mau balik sama Lia dan Jean.”

Kadang menyebalkan dan egois tapi masih bisa memberikan nasihat yang baik, Nathan jadi terharu oleh ayahnya.

“Iya, Ayah. Terima kasih udah mau ngerti walaupun terlambat.”

*

Kata sibuk selalu menjadi alasan ketika Jevin dan Yesi diminta cepat menikah. Orang tua Jevin hanya bisa mengiakan, dan menunggu keputusan bagaimana baiknya.

Acara makan malam di rumah Jevin selesai beberapa saat yang lalu. Yesi dan Jevin memilih untuk bicara berdua dan menepi menuju halaman belakang. Bisa dibilang saat ini Yesi tidak punya beban apa-apa dibandingkan Jevin. Kalau pernikahannya dilanjut, Yesi dengan senang hati melakukannya sebab dia memang punya perasaan pada Jevin. Tapi Jevin saat ini punya banyak pikiran sebab masih mencari alasan jika mau membatalkan pernikahan.

Udara malam benar-benar menyegarkan, Yesi menghirupnya rakus seolah kalau dilewatkan bisa menyesal.

“Kamu bilang kalau kamu suka sama aku. Tapi kenapa jalan sama laki-laki lain?” tanya Jevin sambil memperhatikan Yesi dari belakang.

Yesi berbalik dan menatap Jevin yang kini sedang berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. So cool!

“Rambutmu mulai panjang. Nggak mau dipotong?” bukannya menjawab, Yesi malah bertanya hal lain sambil mendekati Jevin dan memperhatikan wajah Jevin dengan seksama. “Ganteng banget sih.”

“Jawab.”

“Apa?”

“Pertanyaanku.”

“Oh itu, emangnya kenapa? Aku suka sama kamu tapi kamunya nggak. Jadi kayaknya aku masih bebas mau jalan sama siapa aja.” Yesi beranjak duduk di sebuah kursi kayu. Yesi simpulkan, Jevin melihatnya saat bersama Hema kemarin. Ya, Yesi pernah bertemu dengan teman lamanya yang bernama Hema. “Mau ngelarang?”

“Nggak. Terserah kamu mau jalan sama siapa aja.” Jevin membuang muka dan menatap ke arah lain.

“Oh, ya udah.” Yesi meraih gelas minumannya yang sempat dia bawa keluar. Kemudian beralih menatap Jevin yang masih berdiri di depannya. “Jev, Karin nanyain kamu.”

Jevin tidak menimpali, dia memilih diam sambil mendongak untuk menatap hamparan bintang yang begitu terang malam ini. Akhir-akhir ini, pikiran Jevin tertuju pada Yesi. Entah kenapa, hatinya merasa jengkel saat melihat Yesi bersama laki-laki lain kemarin. Apakah ini pertanda kalau dia mulai suka pada Yesi?

“Kamu ngomong apa sama Lia?” bukannya menjawab, Jevin malah bertanya lagi.

“Astaga, padahal aku udah ngelarang Lia buat ngomong sama kamu.” Yesi menggerutu pelan. “Aku cuma ngasih tahu Lia kalau kamu suka sama dia, terus tentang perjodohan kita. Udah, itu aja.”

“Oh, terus Karin bilang apa?”

“Ya, nanyain aja, pengen minta nomor hp kamu tapi aku bilang aku perlu izin dari kamu baru aku bisa kasih dan Karin setuju. Gimana, kasih atau nggak?”

Tatapan Jevin kini beralih pada Yesi setelah sebelumnya mereka bicara tanpa hadap-hadapan. Jevin mendekat hingga mengikis jarak diantara mereka. Kemudian Jevin bertumpu pada kedua pegangan kursi kayu itu sambil mencondongkan tubuhnya.

“Mundur, kecuali kalau mau cium, sini lebih dekat.” Yesi membalas tatapan Jevin. Jantungnya memang berdetak hebat tapi dia berusaha terlihat biasa saja.

“Terserah kamu.”

“Apanya?”

“Mau ngasih atau nggak nomor hpku sama Karin.”

Yesi menunjuk dirinya. “Kenapa aku? Aku, kan, nggak ada hak atas kamu. Maksudku, aku emang suka sama kamu tapi aku nggak ada hak ngelarang kamu melakukan apa aja.”

“Kamu bilang suka sama aku, kenapa malah mau ngasih nomor hpku sama perempuan lain?” suara berat Jevin membuat Yesi mabuk kepayang. Beruntung posisinya duduk, kalau berdiri bisa-bisa kakinya melemas.

“Jangan ngomong kayak gini please, ini tuh semakin buat aku nggak bisa lepas dari kamu. Seolah-olah kamu ngasih harapan!” desis Yesi, dia hendak mendorong tubuh Jevin tapi tidak bisa. Jevin sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. “Jev please, aku mau pulang aja.”

“Akhir-akhir ini, kenapa aku sering mikirin kamu? Ucapan blak-blakanmu, tingkahmu, semuanya dan itu menganggu. Aku nggak suka!”

“Mana aku tahu, emang aku peduli?”

Jevin mengulas senyum kecil mendengar jawaban dari Yesi. Dari SMA, Jevin banyak mengenal perempuan dan semuanya tidak ada yang seperti Yesi. Yesi yang bicara semaunya dan blak-blakan. Sebab kebanyakan dari perempuan yang dia kenal akan bertingkah malu-malu di dekatnya. Dan Yesi tidak, Yesi sama sekali tidak malu-malu.

“Bantu aku cari tahu.”

“Apa?”

“Apa aku suka kamu atau nggak.”

“Males, cari tahu aja sendiri.” Yesi menolak. Untuk apa jika nanti ujung-ujungnya Jevin masih tidak menyukainya.

“Nggak bisa dilakukan satu orang.”

“Ya udah cari yang lain aja, aku males.”

“Cuma kamu yang bisa karena ini antara aku sama kamu.”

Yesi mengembuskan napas kesal. “Ya udah, apa? Mau ngapain?!”

Kissing.”

“Ha?”

Lalu begitu saja, Jevin menempelkan bibirnya pada bibir Yesi. Yang katanya mau mencari tahu apakah dia suka Yesi atau tidak. Yesi kaget karena belum sempat bereaksi dan mencerna kata-kata Jevin, Jevin lebih dulu menciumnya.

Di bawah sinar bulan dan bintang yang begitu terang, mereka saling membalas satu sama lain.

“Jev..” lirih Yesi pelan ketika akhirnya Jevin melepas tautan mereka. “Brengsek! Kamu harus tanggungjawab. Kamu emang mau pastiin apa kamu suka sama aku atau nggak. Tapi di sini aku yang jadi gila sama tindakanmu!”

Jevin tidak menimpali, bukannya menjauh dari Yesi saat perempuan itu mendorongnya, dia kembali dan mendekat dan melakukannya lagi.

Yang ada dipikiran Jevin sejak tadi adalah apa salahnya mencoba dulu. Kalau memang nantinya masih tidak bisa, ya sudah, mau diapakan lagi. Ucapan Lia begitu membekas di hatinya. Apalagi saat Lia dengan tegasnya mengatakan kalau dia masih menyimpan rasa terhadap Nathan.

**

notes:

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl.

©dear2jae
2021.04.20 — Selasa.
2023.09.10 — Minggu. (Revisi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top