18.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
“Oh my god!” pekik Freya di belakang Nathan ketika melihat Jean sedang ditangani.
Oksigen terpasang di hidung Jean dan beberapa dokter sedang mencoba memberikan CPR ringan padanya. Anak itu mengalami sesak napas dan beberapa pembengkakan kulit di area leher.
Napas Nathan menggebu, matanya memerah, tangannya mengepal kuat. Begitu kalut saat melihat tubuh anaknya tak berdaya di atas ranjang. Nathan hendak memaki tapi Freya langsung menahan tangannya.
“Tahan emosi lo. Banyak orang yang liat,” bisik Freya pelan.
Hana dan Elena masih berdiri dengan kaku sambil menundukkan wajah. Menunggu dokter selesai menangani Jean yang tak kunjung membuka mata. Napas Jean pada monitor terus menurun, membuat Nathan mengerang frustasi. Dia mengusap wajahnya kasar, sedikit air mata menggenang di pelupuk matanya.
Jika sesuatu terjadi pada Jean, maka ini adalah akhir dari hubungannya dengan ibunya maupun Elena.
“Sepertinya alergi,” ujar dokter itu setelah selesai memberikan CPR ringan karena melihat bengkak yang ada di area leher Jean. Untungnya napas Jean perlahan kembali normal yang langsung membuat Nathan lega setelah sebelumnya napasnya ikut tercekat. “Tadi dia makan apa?”
Tatapan mata Nathan berubah tajam saat menatap Hana dan Elena, menunggu jawaban dari kedua orang itu.
“Dia makan es krim,” jawab Elena pelan, masih dengan kepala tertunduk.
“Kemarin-kemarin Jean sering makan es krim tapi nggak sampai begini,” sahut Nathan yang emosinya sudah diujung tanduk. Nada suaranya agak tinggi sebab dia masih dikuasai emosi.
“Aku juga nggak tahu.”
Napas Nathan kembali memburu, sungguh, dia ingin memaki saat ini. Emosinya benar-benar sudah tak bisa ditahan. Dia akhirnya memilih menepi sejenak dari bilik rawat Jean untuk meredakan emosinya. Sedangkan Freya masih mengamati dalam diam, dia saat ini duduk di samping Jean sambil memberikan elusan lembut pada pipi Jean yang masih terlelap.
Dengan napas tersengal, Lia berlari sekencang-kencangnya menuju UGD ketika beberapa saat yang lalu Freya meneleponnya dan mengabari kalau Jean masuk UGD. Pikiran Lia berkecamuk, menerka-nerka apa sebab Jean masuk UGD karena akhir-akhir ini Jean begitu sehat. Tidak ada riwayat penyakit serius yang diderita.
Matanya menelisik satu persatu orang yang ada di UGD untuk menemukan keberadaan Jean hingga akhirnya matanya bertemu tatap dengan Nathan. Lia segera berlari menghampirinya dengan air mata yang sudah berlinang.
“Jean kenapa?” tanya Lia sambil mencengkram lengan Nathan.
Kalau tidak ramai maka sudah pasti Nathan akan merengkuh tubuh Lia ke dalam sebuah pelukan. Tapi sayangnya ada banyak orang yang berlalu-lalang. Jadi dia sebisa mungkin menahan diri.
“Jean tiba-tiba sesak napas terus ada bengkak di sekitar lehernya. Kata dokter, Jean alergi tapi tadi Elena bilang Jean cuma makan es krim,” jelas Nathan sambil mengelus tangan Lia, mencoba menenangkannya.
Tahu apa yang begitu mengejutkan? Emosi Nathan seketika hilang saat melihat Lia. Hebat bukan, bagaimana hanya dengan melihat wajah perempuan itu mampu membuat emosi Nathan menghilang.
Lia mengerutkan alis bingung. “Kenapa bisa sama Elena?” tanya Lia heran.
“Ceritanya panjang. Mending kamu liat Jean dulu, kayaknya dia udah membaik.”
“Iya.”
Lia mengikuti Nathan menuju salah satu bilik di UGD. Di sana masih ada Hana, Elena, Freya dan juga dokter yang memeriksa. Seketika tatapan mata Elena berubah sinis ketika melihat Lia datang bersama Nathan. Sedangkan Freya malah diam-diam mengulas senyum tipis.
Beberapa saat yang lalu, saat dokter sibuk memeriksa kondisi Jean. Freya langsung tergerak untuk menghubungi Lia. Terserah jika Nathan nantinya akan memarahinya yang pasti Freya mau Lia tahu sebab Lia adalah ibunya.
Pandangan mata Lia dan Elena saling bertemu tatap tapi Lia langsung mengalihkan perhatiannya pada Jean yang masih terlelap.
“Napasnya udah kembali normal. Kayaknya masih tidur makanya belum buka mata,” ujar dokter itu ketika Lia menatapnya, meminta penjelasan.
“Jean tadi makan apa?” tanya Lia yang kini menatap Elena.
“Lo sengaja ya nelepon Lia sekarang?” bisik Nathan pada Freya yang berdiri di sampingnya.
Freya tersenyum kecil. “Gue suka keributan. Tapi kalau nggak ribut juga nggak apa-apa. Gue cuma mau liat wajah kaget Elena pas Kak Lia datang.”
“Dia makan es krim.” Elena segera membuang muka agar pandangannya tak saling tatap dengan Lia. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia merasa marah dan kesal. Bukan tanpa sebab, marahnya karena Lia adalah perempuan yang dicintai Nathan dan dia tahu itu.
“Rasa?”
“Strawberry.”
Ketika mendengar jawaban Elena, Lia langsung mengembuskan napas berat. Lia mendekati Jean dan duduk di sampingnya, mengelus tangan kecil Jean yang masih terlelap.
“Jean alergi perisa strawberry.. Kayak kamu.” Lia menatap Nathan. “Dia bisa langsung sesak napas dan kulit sekitar lehernya pasti bengkak.”
Nathan ikut mendekat ke samping Jean sambil memperhatikan bengkak pada area leher Jean yang mulai membaik. Ternyata alergi Jean adalah turunan dari Nathan, sebab Nathan juga tidak bisa mengonsumsi perisa strawberry. Fakta itu semakin membuat Hana yakin kalau Jean benar-benar cucunya, anaknya Nathan.
Pantas saja saat minta dibelikan es krim, Jean selalu minta yang rasa vanilla. Katanya itu favoritnya. Kalau Nathan menawari rasa lain seperti cokelat atau strawberry, Jean tidak mau. Makanya setiap Nathan membelikan Jean es krim, selalu rasa vanilla.
Sedikitpun Elena tak bergerak dari tempatnya berpijak, enggan membiarkan Nathan dan Lia berdua kalau dia keluar. Walaupun ada Hana dan juga Freya tapi tetap saja dia tidak mau melewatkan apa yang terjadi.
“Jean minta es krim makanya Ibu kasih?” tanya Nathan sambil menatap ibunya.
“Tadi Ibu beres-beres kamar terus Jean main sama Elena..”
“Dan kamu kasih dia es krim?” sela Nathan sebelum ibunya selesai bicara, dia beralih menatap Elena. “Jean minta makanya kamu kasih?”
Senyum tipis menghiasai wajah Freya kala melihat Nathan meminta penjelasan Elena dengan nada suara tinggi. Apalagi wajah Nathan kembali terlihat kesal.
“Nat, udah. Lagian dia nggak tahu kalau Jean ada alergi. Jangan marah-marah di sini, nanti orang-orang liat.” Lia menyentuh lengan Nathan agar laki-laki itu bisa menahan emosinya. Walaupun kesal tapi fakta bahwa Jean alergi tidak diketahui oleh Elena. Jadi, Lia tidak bisa menyalahkannya begitu saja.
Status Elena sebagai istri sah Nathan tidak begitu dipedulikan Lia. Bahkan tindakannya yang menyentuh lengan Nathan, yang langsung disadari oleh Elena, Lia lakukan dengan spontan. Pikiran Lia saat ini dipenuhi oleh Jean dan kesembuhan Jean.
Tangan Jean bergerak dan itu langsung disadari oleh Lia yang saat ini sedang menggenggamnya. Perlahan Jean mulai membuka matanya. Untungnya, oksigen sudah dilepas karena napas Jean mulai membaik.
Begitu Jean membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah ayah dan ibunya yang saat ini ada di samping kiri dan kanan.
“Jean sayang,” ujar Lia pelan.
“Ayah,” kata pertama yang diucapkan Jean adalah ayah dan itu membuat Lia sedikit kecewa. Tapi tidak apa-apa karena akhirnya keinginan Jean untuk bertemu ayahnya tersampaikan.
“Iya sayang, Ayah di sini.” Nathan menundukkan tubuhnya dan mengelus pipi Jean. “Ayah di sini.”
Jean menggenggam jari telunjuk Nathan dengan erat. Cukup, hanya dengan mendengar kalimat ayah di sini, itu sudah cukup bagi Jean.
Elena membuang muka, dia akhirnya memilih untuk keluar dari pada air matanya menetes di sini. Dia sudah tidak kuat, hatinya terasa sakit, bahkan rasanya teriris ngilu ketika melihat bagaimana lembutnya suara Nathan saat bicara dengan Jean. Hana sempat menahan tangan Elena tapi dia menepisnya dan berjalan keluar.
“Nathan! Jangan ngomong kayak gitu sama istri kamu!” desis Hana dan mendekat ke ranjang Jean, di mana Nathan sedang duduk bersama Lia.
“Emangnya aku ngomong apa? Aku cuma tanya Jean udah makan apa sampai bisa kayak gini? Lagian aku titip Jean sama Ibu, kenapa malah berakhir sama Elena?”
“Elena datang main-main dan Ibu cuma tinggalin bentar buat beres-beres. Nggak seharusnya kamu ngebentak dia kayak gitu.”
Lia hanya bisa diam, telinganya terasa panas sebab dia tahu marahnya Hana mungkin juga ditujukan padanya. Tapi Lia saat ini memilih diam, Lia memilih fokus pada anaknya dari pada mendengarkan ocehan tidak jelas Hana.
“Susul sana,” lanjut Hana. Mulutnya bicara pada Nathan tapi tatapan matanya tertuju pada Lia.
“Biar aku yang susulin. Nathan diem di sini aja, Jean butuh ayahnya.” Freya menimpali dan langsung berjalan keluar dari bilik rawat Jean.
“Bu, aku nggak mau berdebat di sini jadi jangan pancing emosiku, ya. Anakku lagi sakit dan butuh aku jadi tolong Ibu mengerti.” Nathan benar-benar lelah meladeni ibunya.
Hana masih dikuasi rasa belas kasihan terhadap Elena jadi emosinya ketika melihat Lia meluap. Nathan hanya perlu meyakinkan ibunya bahwa di sini, Lia tidak bersalah. Tapi nanti saja, saat ini Hana masih dikuasai emosi jadi ucapan apapun tak akan bisa dia cerna dengan baik.
Bukannya keluar, Hana malah mengambil kursi dan duduk diam di dekat Nathan. Satu sisi hatinya masih ingin melihat Jean sebab waktu bermain mereka tadi hanya sebentar. Tapi satu sisi hatinya merasa kasihan terhadap Elena yang menyaksikan semua ini.
“Kamu susul istrimu sana, biar aku yang jaga Jean. Lagian Jean juga masih tidur,” ujar Lia pelan.
“Nggak, aku mau temenin anakku di sini.”
Lia semakin merasa tidak enak pada Hana karena jawaban Nathan.
Di luar, di depan lobi, Elena duduk di kursi tunggu dengan wajah menunduk. Sesekali mengusap kasar air matanya yang terus menetes. Perempuan mana memangnya yang tidak ingin punya anak? Perempuan mana memangnya yang ingin rahimnya diangkat dan tak bisa mengandung? Kalau bisa memilih, Elena juga tidak mau memiliki garis hidup seperti ini. Dia bahkan rela mengorbankan apa saja asal kesempatan untuk mengandung dapat kembali. Tapi, itu adalah suatu kemustahilan saat ini.
Elena mendongak dan menatap Freya yang kini berdiri di depannya sambil menyilangkan tangan di dada.
“Aku nggak mau berdebat jadi lebih baik kamu pergi,” ujar Elena lalu mengembuskan napas berat.
“Emangnya siapa yang mau berdebat? Aku datang buat menghibur. Tadinya bibi nyuruh Nathan tapi Jean lebih butuh ayahnya. Jadi ya, aku yang datang.” Freya tidak bermaksud membuat hati Elena lebih sakit tapi dia memang mengatakan yang sebenarnya.
“Aku nggak butuh dihibur, kamu pergi aja.”
Dari dulu, Elena tahu kalau Freya tak pernah menyukainya bahkan sampai sekarang. Tapi dia tidak berani terlalu mendebat Freya sebab dia tahu Nathan begitu menyayangi adik sepupunya itu.
“Oh, oke.” Freya berbalik pergi. Elena menatapnya dengan tatapan sinis.
Freya kembali ke UGD dan merasakan suasana begitu dingin ketika dia masuk ke bilik rawat Jean. Dia akhirnya berdeham pelan dan membuat perhatian mereka bertiga teralihkan.
“Elena mana?” tanya Hana.
“Mau sendiri makanya aku tinggalin,” jawab Freya.
Gerakan tangan Jean membuat Nathan memposisikan dirinya semakin mendekat. Dan begitu Jean membuka matanya, yang pertama kali dilihatnya adalah wajah Nathan.
“Ayah?”
“Iya sayang, Ayah di sini.”
Nathan membantu Jean untuk duduk, Lia dengan sigap mengambilkan air minum untuk Jean dan membantu Jean meminum airnya. Freya ikut mendekat dan mengelus pelan lengan Jean.
“Udah nggak apa-apa, kan?” tanya Freya sambil mensejajarkan tubuhnya di depan Jean.
“Iya, Bibi. Tadi tenggorokanku sakit, sekarang udah nggak.”
“Kamu nggak sadar Mama di sini? Dari tadi kamu panggilnya ayah terus.” Lia menyuarakan isi hatinya yang merasa kecewa sebab Jean seperti tidak menyadari keberadaannya.
“Liat, mama cemburu sama Ayah,” sahut Nathan yang membuat Jean akhirnya bisa tertawa kecil.
“Aku sayang Mama sama Ayah jadi jangan cemburu.” Jean bilang begitu dengan tawa khasnya.
Akhir-akhir ini, kata ayah memang menjadi kata favorit Jean. Entahlah, hanya saja dia begitu senang dan bahagia saat mengucapkannya.
Sungguh pemandangan yang sangat indah di mata Freya. Hana terabaikan, seperti biasa satu sisi hatinya merasa haru melihat bagaimana Jean mengungkapkan isi hatinya dan satu sisi hatinya masih dikuasi rasa kasihan pada Elena. Dia kemudian memilih untuk keluar dari pada terus terabaikan.
“Nenek,” panggil Jean ketika melihat Hana beranjak. Sontak tubuh Hana menegang kaku. “Mau ke mana?”
“Nenek mau keluar sebentar.”
“Nanti aku main lagi ya sama Nenek. Tadi nggak sempat soalnya aku sakit.”
Nathan, Lia dan Freya menatap Hana yang masih diam. Menunggu jawaban dari wanita itu.
“Iya, besok kalau sembuh datang lagi, ya.”
“Iya, Nenek.”
Lebih baik cepat keluar dari pada Hana menangis di sini. Aneh saja ketika mendengar kata nenek, hatinya bergemuruh hebat. Terselip rasa senang yang tidak bisa dia ungkapkan.
“Apalagi yang nggak bisa dimakan sama Jean selain perisa strawberry?” tanya Nathan sambil memangku Jean.
“Itu aja,” jawab Lia. “Oh ya, tadi ngapain kamu titip Jean sama ibu kamu? Kamu bilang nggak masuk kerja?”
“Tadi ada pasien gawat darurat, dari pada aku tinggalin dia sendiri lebih baik aku titip sama ibu. Aku nggak kepikiran kalau Elena akan datang ke sana dan ngasih Jean es krim.”
“Elena nggak tahu kalau Jean ada alergi jadi nggak usah terlalu nyalahin dia, ya.”
“Kak! Bisa nggak sih sekali Kakak egois gitu atau ngelawan? Kak Lia jangan terlalu baik jadi orang, nanti dimanfaatin. Gini ya Kak, jujur aja, aku ada di pihaknya Kak Lia. Jadi kalau nanti Kak Lia mau berjuang dan pertahanin apa yang buat Kak Lia bahagia, aku akan jadi orang terdepan yang ngedukung Kak Lia.” Freya berujar dengan menggebu-gebu.
“Terlalu panjang, singkat aja?” ujar Lia sambil terkekeh pelan melihat wajah serius Freya.
“Kalau Kak Lia mau ngerebut Nathan kembali dari Elena, aku akan dukung!” Freya mengangkat kedua tangannya seolah sedang mendeklarasikan dukungan penuh terhadap couple ini. “Ya walaupun Kak Lia sekarang udah menang tapi kayaknya masalahnya masih ada pada Kak Lia.”
“Masalah?” sahut Nathan.
“Masalah karena terlalu baik. Nggak mau ngelawan, ngalah terus.”
Lia tidak menimpali, dia hanya mengulas senyum tipis sambil menunduk. Sedangkan Nathan mengangguk, menyetujui ucapan Freya.
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl. oke?
©dear2jae
2021.04.20 — Selasa.
2023.09.10 — Minggu. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top