15.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Puas bergosip perihal ini dan itu, Yesi dan Lia malah berakhir masak bersama. Mereka membuat beberapa kue kering dan lauk untuk makan malam bersama. Apa yang lucu bagi Yesi adalah saat Lia memanggil Jean untuk mencicipi kue kering tapi anak itu malah menolak, katanya masih marahan. Sedangkan saat Yesi yang memanggil, Jean dengan senang hati datang dan bicara santai bersama Yesi.

“Saat pertama liat Jean tadi siang, aku langsung nanya sama Jevin, ini anak siapa, kenapa mirip Nathan? Saking kagetnya karena mereka mirip banget,” ujar Yesi sambil menata beberapa lauk pauk di atas piring. Lia hanya tertawa menanggapi ucapan Yesi. “Oh ya, terus gimana?”

“Apanya?”

“Kelanjutan hubungan kalian. Kamu, Nathan sama Jean? Kamu nggak nuntut tanggungjawabnya?”

“Ya gimana mau nuntut, dia udah nikah. Tapi terlepas dari semua itu, aku emang nggak mau nuntut apa-apa dari dia. Dia tahu Jean anaknya dan Jean tahu Nathan ayahnya, itu udah cukup. Lagian aku udah bahagia sama Jean. Gimana ya jelasinnya, intinya punya Jean udah bener-bener buat aku bahagia, nggak butuh apa-apa lagi. Kamu bakal rasain nanti kalau udah punya anak,” jelas Lia.

Woah, jadi pengen punya anak.” Yesi tertawa lepas.

“Makanya cepet nikah sama Jevin, anak kalian pasti lucu nantinya.”

“Enteng ya ngomongnya. Kalau masih ada kamu di hatinya ya nggak akan bisa.”

Mereka bercanda seolah-olah itu adalah hal yang biasa. Baik Lia maupun Yesi malah menjadikan itu bahan lelucon.

Sedikitpun, Lia tidak pernah memandang Jevin sebagai seorang laki-laki. Perasaan suka sebagai seorang laki-laki tak pernah ada. Lia hanya menganggap Jevin sahabatnya karena Jevin sudah banyak membantunya.

Terlepas dari permintaan Yesi yang mengatakan bahwa Lia tidak perlu bicara dengan Jevin, Lia tetap akan bicara dengan Jevin untuk memperjelas hubungan mereka. Lia tidak mau Jevin terus berharap sesuatu darinya di saat dirinya tidak bisa memberikannya.

“Kak, aku sama Jean mau keluar bentar.” Saka menghampiri Lia dan Yesi di dapur bersama Jean yang masih saja tidak mau menatap Lia.

“Jean mau ke mana?” tanya Lia.

Jean tidak mau menjawab, dia mengguncang lengan Saka, berharap Saka yang akan menjawab pertanyaan Lia. Yesi terkekeh melihat tingkah Jean.

“Paman jawab,” bisik Jean kecil tapi masih terdengar oleh Lia.

“Kamu yang ditanya bukan Paman. Jadi kamu yang harusnya jawab.”

“Kalau gitu bilangin, kita mau beli snack.” Jean menjawab tapi tatapannya menghadap ke arah lain.

Yesi benar-benar gemas akan tingkah laku Jean. Dia menunduk dan mencubit pipi Jean dengan kekehan kecil.

“Kamu masih marah sama Mama?” Lia menunduk dan mensejajarkan tubuhnya di hadapan Jean. Sedangkan anak itu masih memalingkan wajahnya, tidak mau membalas tatapan Lia.

“Iya, masih marah. Jangan tanya aku lagi karena aku nggak mau jawab.” Jean menarik tangan Saka untuk segera berjalan.

Lia mengembuskan napas pelan dan menatap kepergian mereka dalam diam. Saat ini, Yesi benar-benar paham maksud ucapan Lia yang mengatakan bahwa intinya punya Jean udah bener-bener buat aku bahagia, nggak butuh apa-apa lagi. Karena tatapan Lia saat berbicara dengan Jean sangat-sangat lembut. Tidak ada kemarahan, tidak ada kekesalan sama sekali yang terlihat. Apalagi nada suara Lia begitu rendah dan lembut. Cara bicaranya yang keibuan terlihat jelas.

Saka pernah bilang bahwa Lia itu deskripsi dari perempuan kuat sebenarnya. Saka adalah saksi hidup, bagaimana dulu Lia berjuang sendiri akan hidupnya, bagaimana dulu Lia selalu terlihat kuat di depan orang tuanya tapi saat sendiri dia rapuh.

Rasa kesal dan benci terhadap sosok Nathan begitu mendarah daging pada diri Saka. Tapi saat Jean lahir semuanya berubah, perasaan kesal dan benci itu berubah haru.

Dulu, saat Lia mau melahirkan, saat dia akan masuk ke ruang bersalin. Lia menggenggam erat tangan Saka dengan keringat dingin yang mengucur pada keningnya juga air mata yang terus menetes dari sudut matanya. Hati Saka begitu remuk melihat kakaknya yang tak berdaya.

Seharusnya, Lia akan ditemani oleh Nathan saat melahirkan, Lia harusnya didampingi oleh suami tapi sayangnya Lia harus berjuang sendirian. Air mata Saka ikut menetes kala melihat Lia yang terus menangis. Bahkan, orang tua mereka tidak ada di sana untuk mendampingi.

Dek,” lirih Lia yang masih menggenggam tangan Saka. “Kalau sesuatu terjadi sama Kakak, kamu..”

“Jangan ngomong sembarangan!” sela Saka sebelum omongan Lia ngelantur.

Memangnya siapa yang tidak tahu kalau melahirkan itu taruhannya nyawa. Saka tidak mau berpikir negatif, dia hanya ingin berpikir positif bahwa kakak dan keponakannya yang akan lahir bisa sehat.

“Dengerin dulu, ku mohon.” Lia menatap Saka dengan tatapan sendu, keringat dingin terus mengucur dari pelipisnya. “Kalau nanti sesuatu terjadi sama Kakak, kemungkinan terburuknya kamu tahu sendiri. Kalau misalnya itu terjadi, Kakak minta tolong banget sama kamu untuk ngerawat anak ini kalau emang ibu nggak mau. Nanti kalau dia udah besar, kamu kasih tahu sama Nathan tentang anaknya. Dia harus tahu. Dia cukup tahu, nggak mau tanggungjawab juga nggak apa-apa. Intinya dia harus tahu keberadaan anaknya.

“Kak!” suara Saka meninggi. “Kakak sama bayi Kakak akan sehat. Jadi berenti menerka-nerka apa yang bakal terjadi. Kita nggak boleh mendahulukan Tuhan.

Dan akhirnya, mereka terpisahkan sebab Lia harus masuk ruang bersalin. Dari semua ibu yang melahirkan hari itu, hanya Lia yang tidak didampingi oleh suami.

Semua perasaan sakit yang Lia rasakan selama mengandung, perasaan sakit yang Lia rasakan karena harus melalui semuanya sendirian hilang seketika saat tangisan Jean begitu terdengar jelas di telinganya.

Saka yang berada di luar ruangan langsung mengembuskan napas lega begitu mendengar suara tangisan. Dia menangis haru, perasaannya benar-benar bahagia.

Dan hingga kini, ucapan Lia begitu konsisten.. Cukup Nathan tahu Jean ada dan Lia tidak perlu tanggungjawab apa-apa.

Hingga Lia dan Yesi selesai makan, Saka dan Jean tak kunjung kembali. Sepertinya Saka mengajak Jean untuk jalan-jalan di sekitar komplek rumah.

Yesi akhirnya beranjak untuk pulang. Hanya dalam waktu yang singkat, mereka mampu menjadi dekat karena pembicaraan mereka yang begitu nyambung.

“Nanti aku main ke sini lagi, ya.” Yesi melambaikan tangannya saat Lia mengantarnya ke depan. “Oh ya, Jean marah sama kamu karena kamu nggak mau jawab pertanyaan dia.”

“Pertanyaan yang mana?”

“Jean bilang pas dia nanya apa benar Nathan ayahnya, kamu nggak mau jawab jadi dia nanya sama Nathan. Mungkin karena itu dia nggak mau ngomong sama kamu.”

“Astaga!” Lia kembali terkekeh dan mengangguk kecil. “Iya, nanti aku jawab. Kamu hati-hati, ya.”

Yesi mengangguk dan begitu dia berbalik hendak pergi, dia menatap Nathan yang baru saja tiba. Yesi kemudian berbalik untuk menatap Lia yang masih berdiri di depan pintu. Sepertinya Lia masih belum sadar akan kedatangan Nathan.

“Lia, ada tamu!” seru Yesi.

Lia mengikuti arah pandang Yesi dan menghela napas berat ketika pandangannya bertemu tatap dengan Nathan yang perlahan mendekat setelah menyapa Yesi dengan sedikit senyuman.

Selepas Yesi pergi, barulah Lia masuk. Dia tidak menyuruh Nathan masuk bahkan menyapanya saja tidak. Melihat wajah Nathan benar-benar membuatnya jengkel, wajah Nathan mengingatkannya akan Hana.

Nathan menahan tangan Lia. “Ini bukan saatnya kamu marah. Kita harus ngomong.”

“Ngomongin apa lagi? Ucapanku tempo hari belum jelas?” Lia membalas dengan nada suara sinis dan menepis tangan Nathan kemudian masuk.

Nathan masih mengikuti dari belakang. Bahkan mengikuti Lia menuju kamarnya. Lia yang kaget langsung mendorong tubuh Nathan untuk keluar.

“Nat, please! Semuanya udah jelas dan nggak ada yang perlu diomongin lagi. Kamu cukup ngejauh dari kehidupanku dan nggak akan ada masalah.”

“Coba sekarang kamu pikir kalau kamu yang ada di posisiku terus disuruh ngejauh dari anak kamu, emangnya kamu mau? Nggak peduli walaupun ibuku marah-marah, aku akan tetap menemui Jean.”

Saka yang baru kembali bersama Jean langsung membeku ketika mendengar perdebatan itu. Kedua orang itu saling tatap dalam diam hingga suara gesekan kantong plastik yang dibawa Saka mengalihkan perhatian mereka.

Tatapan mata Lia tertuju pada adik dan anaknya. “Astaga, kalian kapan baliknya?” tanya Lia dan menghampiri Jean maupun Saka. Mengabaikan Nathan yang berdiri di depan kamarnya.

Dalam hati, Lia bersyukur akan kemunculan Jean dan Saka sebab dia tidak tahu bagaimana harus menimpali ucapan Nathan. Lia juga tahu betul kalau dia berada di posisi Nathan maka dia juga tidak bisa tidak menemui anaknya.

Jean menarik tangan Saka setelah pandangannya sempat bertemu tatap dengan Nathan.

Tapi Lia dengan sigap menahan tangan Jean dan menahannya. “Kasih tahu Mama kenapa kamu marah? Kalau ada yang mau kamu tanyain, tanya sekarang, Mama jawab. Jangan marah-marah sama Mama, nanti Mama sedih.”

Saka berdeham pelan dan melepas kaitan tangan Jean pada tangannya. Dia kemudian berlalu ke kamarnya, memberikan ruang untuk ketiga orang itu bicara.

Tatapan Jean beralih pada Nathan yang berjalan mendekat ke arahnya. Lia mengikuti arah pandang Jean dan menghela napas pelan. Sepertinya, ucapan Yesi ada benarnya. Jean marah sebab dia tidak mau menjawab pertanyaan Jean dari kemarin.

“Paman Nathan beneran ayahku?” tanya Jean sambil menatap Lia.

Setelah mengembuskan napas panjang. Lia akhirnya mengangguk kecil. “Iya, dia ayahmu.”

Jean diam. Tatapan matanya berubah sendu. Ada setitik air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Jean akhirnya berkedip dan air matanya meluncur mulus. Sungguh, hati Lia begitu sakit melihatnya.

“Jean..”

“Kalau aku tanya, Mama selalu bilang ayah pergi kerja. Jadi aku pikir ayah emang sibuk dan nggak ada waktu buat pulang. Tapi sekarang kenapa tiba-tiba bilang kalau Paman Nathan adalah ayahku? Dia setiap hari bisa ke sini, bisa jemput aku kemarin di sekolah, bisa jemput Paman Saka ke bandara, bisa beliin aku es krim tiap hari kalau aku minta. Terus waktu itu bisa ngajak aku ke tempat kerjanya?” tanya Jean panjang lebar sambil terus meneteskan air mata, bahkan sesekali sesegukan.

Bukan hanya Lia tapi Nathan juga begitu merasakan emosi yang meluap-luap. Laki-laki itu ikut sedih, hingga akhirnya mengalihkan pandangan sebab air matanya ikut menetes. Lia? Jangan tanya bagaimana keadaannya saat ini. Perempuan itu sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang deras.

Nathan akhirnya bersimpuh dan merentangkan tangannya, berharap Jean mau memeluknya. Berharap Jean mau menerima uluran tangannya. Matanya sudah memerah sebab menahan tangis. Jean bergeming, masih belum bergerak dari tempatnya. Terlihat ragu apakah dia harus balas memeluk Nathan atau tidak.

Saka mengamati dalam diam dari ambang pintu kamarnya. Dia jadi ikut emosional melihat mereka.

Satu langkah, dua, tiga.. Jean akhirnya perlahan mendekat dan memeluk Nathan dengan erat. Tangisan Lia semakin menjadi, begitu juga dengan Nathan yang akhirnya menangis kala Jean memeluk lehernya dengan erat.

“Jeanku, sayangku, anakku sayang. Ini Ayah, sayang. Ini Ayah. Ayah nggak akan ke mana-mana lagi, Ayah akan tetap di sini sama Jean. Ayah di..” Nathan sesegukan sambil terus mengelus punggung Jean. “Ayah di sini, sayang.”

“Iya..... Ayah.”

Tangisan Lia makin keras, pasokan oksigen rasanya menipis, begitu haru ketika mendengar Jean akhirnya bilang ayah.

“Ayah?” Jean melepas pelukannya dan menatap Nathan. Sudah tak ada raut sedih di wajah kecilnya, kini raut sedih itu berganti dengan senyuman. “Ayah.”

“Iya, sayang? Ini Ayah,” balas Nathan sambil terus menangis.

Tangan kecil Jean terulur untuk mengusap air mata Nathan. “Kenapa nangis terus. Nggak seneng ketemu aku?”

“Bukan gitu, sayang. Karena senang, Ayah jadi nangis.” Nathan mengulas senyum kecil. “Maaf ya, maafin Ayah karena sibuk terus dan nggak sempat ketemu kamu dari dulu.”

“Iya, nggak apa-apa.” Jean kembali memeluk Nathan.

Jean begitu polos, pertanyaan panjangnya yang bahkan dia tanyakan dengan tangisan, hilang seketika karena terlalu senang bertemu sosok ayah yang selalu dia pertanyakan keberadannya. Lia sudah tenang, dia saat ini menyaksikan mereka dalam diam tapi air matanya masih terus menetes.

“Mama!” Jean melepas pelukannya pada Nathan dan beralih memeluk Lia. “Mama jangan nangis. Aku nggak marah lagi sama Mama. Mama jangan nangis. Maaf ya, Mama.”

Bukannya mereda, tangisan Lia malah semakin menjadi ketika Jean dengan polosnya meminta maaf. Mengira tangisannya disebabkan oleh dirinya.

Tubuh Lia melemas, perlahan pelukannya pada Jean mengendur dan dia akhirnya pingsan. Untung saja Nathan dengan sigap menahan tubuhnya agar tidak terjatuh ke lantai.

“Lia! Azalia! Hey, Lia, bangun!” Nathan menepuk pelan pipi Lia.

Saka sontak keluar kamar saat mendengar suara Nathan. “Kak Lia pingsan?”

“Mama kenapa?” tanya Jean.

“Mama butuh istirahat, sayang. Sekarang kamu tidur sama Paman Saka dulu, biar Ayah yang jagain mama.” Nathan mengangkat tubuh Lia menuju kamarnya. “Dia masih sering gini juga? Maksudku, pingsan kalau kelelahan nangis?”

“Iya, Kak. Kak Lia kalau capek nangis bisa pingsan,” sahut Saka sambil meraih tangan Jean.

“Ya udah, kamu urus Jean biar aku urus Lia.”

**

notes:

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl. oke?

©dear2jae
2021.04.17 — Sabtu.
2023.08.22 — Selasa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top