13.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Sejak kemarin, bahkan semalam, Jean tidak mau bicara dengan Lia. Anak itu tidak mau makan, tidak mau dibantu melakukan apa-apa oleh Lia dan bahkan pagi tadi, Jean menolak sarapan.
Setelah pengakuan mengejutkan yang dia dengar dari Nathan dan Freya, Jean sepertinya butuh waktu menerima semuanya. Sebab orang yang dia pertanyakan keberadaannya selama ini malah ada di dekatnya.
Saka bahkan menggerutu kesal karena dia yang jadi repot mengurus Jean. Tapi Saka malah senang sebab sekarang Jean sudah tahu siapa ayahnya. Yang semula diantar oleh Lia, kini Jean diantar oleh Saka ke sekolah.
“Kenapa melamun?” Jevin menyentuh bahu Lia pelan ketika Lia tak kunjung menyentuh makan siangnya. “Ada masalah?”
“Jean udah tahu kalau Nathan ayahnya. Dari kemarin anak itu nggak mau ngomong sama aku.” Lia mengembuskan napas berat kemudian menyuap makanannya. “Kayaknya Jean kaget soalnya orang yang dia tanyain selama ini ternyata ada di dekatnya.”
Ada rasa tak biasa yang dirasakan oleh Jevin. Seperti rasa kesal sebab Jean akhirnya tahu siapa ayahnya. Tidak berniat jahat, hanya saja Jevin malah tidak ingin Jean tahu siapa ayahnya. Karena Jevin ingin memantaskan diri untuk jadi calon ayah pengganti.
Yang perlu Jevin lakukan sekarang adalah mendekati Jean agar suka padanya dan merestui kalau nantinya Jevin jadi ayah barunya.
“Iya sih, kayaknya Jean kaget. Nanti dia pasti ngerti. Paling cuma ngambek bentaran aja.” Jevin meneguk air minumnya sejenak. “Terus siapa yang akan jemput Jean nanti?”
“Aku udah minta tolong sama Saka. Katanya nggak janji soalnya dia juga sibuk. Tapi nanti kalau dia nggak bisa, dia akan kabarin.”
Setelah mereka makan siang, mereka kembali ke ruangan masing-masing. Tak dipungkiri kalau Lia masih memikirkan ucapan Hana kemarin. Kepalanya mendadak pusing sebab memikirkan jauh dari Jean saja dia tidak bisa. Bagaimana kalau benar terjadi, oh, dia tidak akan bisa hidup.
Lia memeriksa ponselnya, ternyata ada pesan dari Saka yang memberitahunya kalau dia tidak bisa menjemput Jean. Lia menggerutu sebal sebab dia pun sedang sibuk saat ini. Pada akhir pesan, Saka menyarankan Lia untuk menghubungi Nathan dan meminta tolong padanya untuk menjemput Jean. Jelas saja Lia kesal dan menolak. Tidak, Lia tidak mau berurusan dengan laki-laki itu lagi.
“Jev..” Lia akhirnya menyingkirkan egonya. Memang dari awal, Lia berniat minta tolong pada Jevin tapi dia tidak enak hati sebab terlalu sering minta tolong. “Jev, tolongin..”
“Jemput Jean?” terka Jevin dengan kekehan kecil. Lia mengangguk kecil. “Iya, aku jemput sekarang. Sekalian ada urusan juga nih.”
“Nggak ngerepotin, kan?”
“Nggak lah. Kamu urusin aja kerjaanmu, aku berangkat.”
“Hati-hati.” Lia melambaikan tangan tapi dia menyadari satu hal dan langsung berlari menghampiri Jevin lalu menahan tangannya, yang langsung membuat Jevin berbalik. “Jangan biarin Jean sama Nathan lagi kayak waktu itu. Kalaupun kebetulan ketemu jangan biarin Jean pergi sama dia.”
“Astaga, aku kira apa. Iya, tenang aja.” Jevin tersenyum lebar.
Urusan yang dimaksud oleh Jevin adalah bertemu dengan Yesi. Atas permintaan ibunya, Jevin akhirnya mengalah dan mengiakan suruhan ibunya untuk bertemu dengan Yesi siang ini. Untunglah, perusahaan itu milik ayahnya jadi dia bisa leluasa untuk keluar masuk.
Jevin masih belum bisa bicara empat mata dengan ibunya perihal perjodohannya dengan Yesi. Dia hanya tidak mau menyakiti hati ibunya. Tapi di satu sisi, dia juga belum bisa menerima Yesi seutuhnya. Belum bisa menyukai Yesi layaknya rasa sukanya pada Lia. Bilang saja Jevin pengecut seperti Nathan. Tapi sungguh, di sini Jevin masih akan berjuang agar ibunya berubah pikiran.
Senyum Jevin mengembang kala matanya bertemu tatap dengan Jean yang sedang menunggu di depan kelas bersama anak-anak yang lain. Jean segera berlari menghampiri Jevin dan memegang tangan besar Jevin.
“Aku kira yang datang mama. Tapi Paman Jevin.” Jean merentangkan tangannya, meminta untuk digendong.
Dengan senang hati Jevin mengangkat tubuh kecil itu ke dalam gendongan. “Emangnya kenapa kalau mama yang datang?”
“Aku mau kabur. Nggak mau pulang sama mama.”
“Loh, kenapa?” Jevin tahu sebabnya tapi dia hanya ingin terus mendengar Jean mengoceh.
“Lagi marahan.”
Jevin terkekeh kecil dan membuka pintu mobil lalu menududukkan tubuh Jean di kursi samping kemudi lalu memasangkannya seatbelt, memastikan anak itu aman. Dia kemudian masuk dan menjalankan mobil dengan pelan menuju kantor Yesi.
“Kalau ngantuk jangan tidur dulu ya, nanti kamu jatuh.” Jevin tahu kebiasaan Jean sepulang sekolah yaitu tidur di pangkuan.
“Iya.”
Jean menolehkan kepalanya ke kaca mobil, menatap kendaraan yang berlalu-lalang itu dalam diam. Sementara Jevin sesekali memeriksa keadaan Jean dengan meliriknya, memastikan Jean baik-baik saja.
Tak lama, mobil Jevin berhenti di depan kantor Yesi. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengirimi Yesi pesan, memberitahu bahwa dia menunggu di depan.
“Tunggu bentar, ya,” ujar Jevin pada Jean yang kini menatapnya. Jean mengangguk kecil. “Setelah ini kita makan. Kamu mau makan apa? Nanti Paman beliin.”
“Es kr..” Jean mau bilang es krim tapi tidak jadi ketika itu mengingatkannya pada Nathan. Biasanya kalau bertemu Nathan, tanpa meminta pun laki-laki itu akan membelikannya. Walaupun dimarahi Lia, dia tidak takut karena ada Nathan yang akan membela. Tapi sekarang, suasana hati Jean sedang buruk. “Apa aja deh.”
“Mau es krim?”
“Nggak.”
“Tadi kayaknya mau bilang es krim?”
“Nggak, nggak jadi mau.”
Suara ketukan pada kaca mobil Jevin membuat mereka menghentikan perbincangan itu. Jevin menurunkan kaca mobilnya lalu Yesi membuka pintu. Agak kaget sebab ada anak kecil duduk di dekat Jevin begitu dia membuka pintu.
“Kamu pangku ya, dia kayaknya ngantuk.” Jevin membantu Jean membuka seatbeltnya sementara Yesi hanya mengangguk kaku. Dia mengangkat tubuh Jean ke dalam pangkuannya.
“Siapa? Kok mirip Nathan?”
See, semua orang yang sudah mengenal Nathan atau bahkan tahu wajahnya akan mengatakan hal yang sama kalau melihat Jean. Seperti Yesi saat ini yang agak terkejut ketika melihat wajah Jean.
“Anaknya Nathan.” Jevin melajukan mobilnya menuju restoran. Rencananya mereka akan makan. Padahal tadi di kantor Jevin sudah makan bersama Lia. Tapi atas permintaan ibunya untuk menjemput Yesi dan makan bersama, dia hanya bisa mengiakan.
“Bukannya istrinya nggak bisa hamil, ya? Kamu pernah bilang gitu, kan? Kenapa sekarang tiba-tiba punya anak?”
“Anaknya dari Lia, bukan Elena.”
“WHAT?!”
“Paman Nathan beneran ayahku?” kali ini, suara Jean membuat perhatian mereka teralihkan. Jean menatap Jevin dan juga Yesi secara bergantian.
Ketika Jean mendongak untuk menatapnya, Yesi benar-benar takjub akan kemiripan mereka. Penuturan Jevin sangat membuatnya terkejut karena yang dia tahu selama ini adalah Elena tidak bisa hamil dan sekarang tiba-tiba dia mengetahui fakta ini.
“Mama kamu bilang apa?” tanya Jevin.
“Bibi Fey yang bilang kemarin kalau Paman Nathan ayahku. Tapi pas aku tanya mama, dia nggak mau jawab. Aku tanya Paman Saka, dia juga nggak jawab. Jadi sekarang aku lagi marahan sama mama.”
“Iya, Paman Nathan ayahmu.”
Walaupun tidak ingin Jean tahu siapa ayahnya, tapi ternyata masih ada sisi baik di hati Jevin saat wajah polos Jean bertanya siapa ayahnya. Yesi ikut merasa iba mendengar ucapan Jean, dia mengelus punggung Jean lembut.
“Tapi aku mau dengar dari mama. Soalnya kalau aku nanya, mama selalu bilang ayah pergi kerja jadi nggak bisa pulang dulu.” Jean menyandarkan kepalanya di dada Yesi dan bermain-main di lengan Yesi serta membuat pola abstrak dengan jari-jari kecilnya.
Baik Jevin maupun Yesi tidak bisa menimpali ucapan Jean. Mereka tidak tahu bagaimana cara menjelaskan situasinya pada Jean. Hingga pada akhirnya keheningan menyelimuti mereka setelah sebelumnya Jevin dan Yesi saling tukar pandang dalam diam.
Untunglah mereka akhirnya sampai di restoran. Yesi menuntun Jean untuk turun. Sebenarnya, ada rasa senang di hati Yesi saat mengetahui bahwa Jean adalah anak Nathan dan Lia. Karena kemungkinannya Lia masih menyimpan rasa terhadap Nathan yang merupakan ayah Jean. Tapi rasa senang itu tidak bertahan lama sebab Yesi disadarkan oleh fakta bahwa walaupun Lia sudah punya anak dari orang lain tapi Jevin masih menyukainya. Yesi semakin sadar bahwa dia tidak akan bisa semudah itu menggantikan Lia di hati Jevin.
“Untuk hari ini, maaf kalau aku ganggu waktumu. Aku juga dipaksa sama ibumu. Lain kali tolong, omongin masalah ini baik-baik sama ibumu. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini, maksudku, di sini cuma aku yang punya rasa sama kamu sedangkan kamu nggak. Kamu pikir aja gimana rasanya jalan sama orang yang nggak suka sama kamu. Kamunya excited tapi dianya nggak. Paham, kan?”
Love is blind. Sepertinya ungkapan itu adalah ungkapan yang tepat saat ini, di situasi mereka saat ini. Tidak peduli Jevin menyukai siapa, Yesi masih saja menutup mata dan menyukainya.
Melepaskan, melupakan, merelakan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Bisa saja mulut mengatakan aku sudah melupakannya, aku sudah melepaskannya atau aku sudah merelakannya. Tapi jika hati berkata sebaliknya maka rasa sakit itu akan terus dirasakan sebab kita tahu hatinya bukan untuk kita.
“Aku takut ibu marah terus pingsan kalau aku ngomong mau batalin perjodohannya.”
“Terus kamu maunya gimana? Di sini aku yang tersiksa sama situasi ini. Kalau ibumu minta aku buat ketemu kamu, aku excited banget tapi kamunya nggak. Dan aku mau hubungan ini cepat berakhir, aku udah nggak sanggup, aku udah nggak tahan. Lebih baik aku nggak pernah ketemu sama kamu lagi supaya aku bisa cepat lupain kamu. Please Jev, jangan egois.”
Jevin mengembuskan napas pelan. “Iya, aku akan ngomong sama ibu.”
“Bibi, kenapa nangis?” tanya Jean saat melihat Yesi memalingkan wajahnya dan mengusap air matanya yang menetes.
“Nggak apa-apa, kamu lanjut makan, ya. Makan yang banyak supaya kenyang.” Yesi mengusak pelan rambut Jean.
“Paman jangan buat bibi nangis, nggak boleh.” Jean menatap Jevin dengan wajah yang dibuat marah. Sontak Yesi tertawa kecil dibuatnya. “Bibi jangan nangis. Aku udah marahin paman.”
Suasana yang tadinya canggung dan tegang akhirnya berubah ceria karena Jean. Baik Jevin maupun Yesi sama-sama tertawa karena sikap lucu Jean.
Terselip rasa senang di hati Jevin, entah perasaan apa ini tapi yang pasti ada rasa bahagia ketika mereka bertiga tertawa bersama. Apakah ini rasanya bahagia punya anak? Entahlah. Jevin kemudian menatap Yesi dalam diam. Memperhatikan Yesi yang sedang membantu Jean makan. Perasaan bersalah tiba-tiba menyerangnya, dia paham betul apa yang dirasakan Yesi.
“Aku balik ke kantor naik taksi aja. Kamu bisa balik sama Jean.” Yesi mengusap pelan kepala Jean sambil mencubit gemas pipi Jean.
“Aku antar.”
“Nggak usah, nggak apa-apa. Lagian ibu kamu juga nggak akan tahu.”
“Aku antar!” Jevin menekankan kalimatnya dan menahan tangan Yesi. “Aku antar kamu balik kantor.”
“Nanti jangan kayak gini lagi, ya. Jangan buat aku makin berharap sama kamu.”
Jevin tidak menimpali, dia memilih diam dan menarik tangan Jean untuk menuju parkiran. Yesi hanya bisa menghela napas berat. Sulit rasanya untuk lepas dari perasaan suka yang menjeratnya.
Di parkiran, secara kebetulan, di sana ada Nathan dan Elena yang sepertinya akan makan di restoran yang sama.
Memang, restoran itu adalah restoran langganan Nathan dan Jevin sejak masih SMA hingga kuliah. Bahkan, Nathan sering mengajak Lia untuk makan di sini, dulu.
“Jevin,” panggil Nathan.
Jevin, Jean dan Yesi kompak menoleh.
Tatapan Jevin tertuju pada kaitan tangan Elena pada lengan Nathan yang terlihat erat. Laki-laki itu menyunggingkan senyum tipis. Sedangkan Jean semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Jevin dan Jevin menyadari hal itu. Yesi menyunggingkan senyum untuk membalas sapaan mereka.
Tadinya, Nathan tidak ingin menyapa tapi matanya menangkap sosok familiar yang sedang bersama Jevin.
“Kenapa Jean bisa sama lo di sini?” tanya Nathan ketika akhirnya dia mendekat.
“Gue jemput di sekolahnya tadi dan ngajak dia makan di sini.”
“Sini..” Nathan menjulurkan tangannya di depan Jean. “Pulang sama Paman nanti.”
Perasaan Elena benar-benar campur aduk, mau marah karena Nathan dengan seenaknya menawarkan untuk pulang bersama. Tapi dia tidak mungkin marah di depan Jevin dan Yesi.
“Nggak us..”
“Nggak mau. Aku pulang sama Paman Jevin.” Jean menyela ucapan Jevin yang juga hendak menolak.
Hati Nathan mencelos begitu saja ketika Jean menolak tawarannya. “Kamu marah sama Paman?” tanyanya.
“Kenapa panggilnya paman? Kenapa nggak panggil ayah?” tanya Yesi dengan wajah polosnya.
Sontak tubuh Elena menegang hebat, Nathan dapat merasakannya sebab cengkraman tangan Elena semakin erat. Nathan hanya bisa menghela napas pasrah mendengar ucapan Yesi. Begitupun Jevin, dia menatap ekspresi wajah Nathan dan Elena secara bergantian lalu mengulas senyum tipis.
Jean beralih menatap Nathan. “Paman beneran ayahku? Aku udah tanya mama tapi mama nggak mau jawab. Sekarang aku tanya sama Paman aja. Paman benar ayahku?”
Yesi, Jevin, dan Elena yang gugup, masih menanti jawaban Nathan.
“Iya, sayang. Aku ayahmu. Paman ayahmu.”
Elena melemas, napasnya tercekat.
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
misuh-misuh boleh lah, gapapa, tapi jangan sampai di bawa ke rl. oke?🥰
by the way, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. semoga lancar-lancar terus sampai selesai❤️
©dear2jae
2021.04.14 — Rabu.
2023.08.18 — Jumat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top