12.

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

“Ma, ini di mana?” tanya Jean yang sudah mulai bosan menunggu. Anak itu mondar-mandir di depan Lia. Duduk di sofa, turun, berlarian ke sana kemari lalu kembali duduk di dekat Lia. “Aku bosan.”

Otak Lia benar-benar blank saat ini, dia tidak bisa memikirkan apa-apa sebab Nathan memaksanya untuk ikut ke rumahnya. Lia awalnya menolak keras, apa jadinya jika dia bertemu tatap dengan Hana yang jelas-jelas pingsan saat Freya memberitahunya bahwa Jean adalah anak Nathan. Jantung Lia berdegub dengan kencang, seolah siap melompat dari tempatnya.

Kalau Freya malah setuju Lia ikut, dia memberitahu Nathan untuk memaksa Lia agar mau ikut. Freya ingin Hana segera tahu bahwa Jean adalah cucunya. Sebab selama ini, seperti yang dikatakan Freya sebelumnya bahwa Hana ingin sekali punya cucu walaupun tak pernah bicara terang-terangan. Sempat kesal karena belum bisa membeli apa-apa tapi tidak apa-apa, bagi Freya masalah ini adalah yang terpenting.

“Ibu mau ketemu sama kamu,” suara Nathan membuyarkan lamunan Lia. Sempat terlonjak kaget ketika Nathan menyentuh bahunya. “Dia ada di kamar yang itu.”

“Sendiri?” tanya Lia, dia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. “Kamu nggak ikut?”

“Jangan gugup, ibu nggak gigit kok.” Nathan terkekeh geli. “Fey, temenin Jean bentar.”

Freya membentuk tanda ok dengan tangannya. Dia membawa Jean untuk bermain di halaman belakang. Sontak saja Jean antusias karena dari tadi anak itu sudah bosan hanya duduk diam.

Lia mengekori Nathan ke dalam kamar Hana, dia terus-terusan mengembuskan napas pelan untuk menormalkan degub jantungnya yang kian kencang. Begitu dia masuk bersama Nathan, senyum kecil Hana langsung menyambutnya. Seketika, semua kegugupannya hilang. Lia membalas senyuman itu kemudian beranjak duduk di dekat Hana.

Tatapan mata Hana beralih pada Nathan yang kini berdiri di dekat Lia. “Ibu pengen pukul kamu!” desis Hana.

Hatinya begitu teriris ngilu setelah melihat Lia, memikirkan bagaimana perempuan itu membesarkan Jean selama ini seorang diri.

“Ya udah, pukul aja.” Nathan mencondongkan tubuhnya ke hadapan Hana dengan wajah menjengkelkan.

Hana tidak menanggapi, kadang wanita itu heran pada anaknya. Padahal sudah dewasa tapi masih saja bertingkah seperti anak kecil.

“Ibu nggak tahu mau ngomong apa sama kamu soalnya saat ini situasinya benar-benar rumit,” ujar Hana akhirnya pada Lia yang kini duduk di depannya.

Lia membalasnya dengan senyuman kecil, sangat mengerti arah pembicaraan Hana. “Maksud Ibu soal aku sama Jean?”

“Iya.”

“Ibu tenang aja, aku nggak akan minta tanggung jawab Nathan. Maksudku, tanggung jawab yang harus nikahin aku. Aku tahu Nathan udah nikah dan aku juga nggak bakalan nyuruh dia tinggalin istrinya. Jadi, Ibu tenang aja. Nathan tahu Jean anaknya itu udah cukup.”

Nathan mengembuskan napas kesal mendengar ucapan Lia. Sedangkan Hana malah kaget mendengar penuturan Lia. Wanita itu tidak menyangkan pemikiran Lia akan setenang ini, dia kira Lia akan menuntut ini itu terhadap Nathan. Makanya Hana sempat pingsan saat tahu bahwa Nathan punya anak dari perempuan lain. Tapi nyatanya, Lia begitu tenang menghadapi semua ini.

“Tapi tetap aja ini anak bersalah..” tunjuk Hana pada Nathan yang malah diam di pojokan sambil memainkan ponselnya. Nathan masih merasa kesal sebab Lia begitu tenang. Padahal Nathan berharap Lia akan berontak di depan ibunya, agar setidaknya Nathan punya alasan kuat untuk berpisah dengan Elena. “Biar bagaimanapun juga Nathan harus tanggung jawab atas anaknya.”

“Makanya, aku mau cerai sama Elena terus nikahin Lia,” celetuk Nathan dengan wajah datarnya.

Hana mendelik sebal, anak dan keponakannya sama saja, sama-sama punya mulut pedas dan blak-blakan. Kalau Lia sih tidak kaget lagi, dia sudah terbiasa akan sikap dan sifat Nathan yang seperti itu.

“Kalau ngomong tuh dipikir dulu, jangan asal.” Hana melempari Nathan dengan bantal yang ada di dekatnya. “Nanti ibunya Elena kecewa sama kamu apalagi ayahnya yang udah tenang di alam sana. Kamu lupa pesan ayahnya Elena sama kamu?”

Hati Lia rasanya ngilu mendengar ucapan Hana. Memangnya siapa sih yang tidak mau bahagia dengan orang yang dicintainya. Tapi saat ini apa yang bisa Lia perbuat? Tidak ada. Kini Lia sadar bahwa Nathan punya tanggung jawab besar terhadap Elena dan dia tidak mungkin memaksakan kehendaknya.

Tidak apa-apa, seiring berjalannya waktu, perasaannya pasti memudar. Lia akan berusaha. Tidak apa-apa menjadi single parent, dia hanya perlu memastikan Jean bahagia dan tidak kekurangan kasih sayang. Masih ada Saka yang akan membantunya mengurus Jean.

“Ibu! Jangan bahas hal itu lagi, aku juga tahu dan ngerti,” suara Nathan agak meninggi sebab dia menyadari perubahan raut wajah Lia. “Bukannya Ibu bilang aku harus tanggungjawab? Kalau nggak nikahin Lia terus tanggungjawab yang kayak gimana maksud Ibu?”

“Udah, Nat, udah. Nggak usah marah-marah.” Lia menyela. Dia tidak mau hubungan ibu dan anak ini jadi memanas gara-gara dia. “Bu, aku nggak apa-apa. Nathan nggak perlu tanggungjawab dengan nikahin aku. Aku, kan, udah bilang, dia tahu Jean anaknya aja udah cukup. Jadi stop ya, jangan berdebat.”

Nathan mengumpat dalam hati dan mengembuskan napas kesal kemudian keluar dari kamar dan menutup pintu dengan keras.

Baik Hana maupun Lia masih sama-sama diam. Lia menunduk, merasa bersalah karena perdebatan antara Hana dan Nathan disebabkan oleh dirinya.

Sejak kecil, Lia dibesarkan oleh orang tuanya dengan kasih sayang penuh bersama Saka. Kalau Lia dan Saka salah, mereka pasti dinasihati dengan baik. Diajari caranya bersikap sopan santun terhadap orang lain. Mungkin itu sebabnya hati Lia terlalu lembut dan baik.

“Maaf, gara-gara aku Nathan jadi ngebentak Ibu. Aku nggak bermaksud muncul untuk ngebuat situasi kalian jadi rumit. Aku janji nggak akan ganggu kehidupan kalian dengan menuntut ini itu. Sekali lagi maaf.” Lia mengulas senyum tipis, berusaha terlihat tegar tapi jauh di dalam hatinya, dia retak.

“Atau gini aja, kamu biarin Jean tinggal sama Nathan. Dengan begitu Nathan bisa tanggungjawab sama anaknya. Kamu boleh sekali-kali ngajak Jean main nantinya.”

Mendengar solusi yang diberikan oleh Hana, Lia sontak menggeleng keras. Bagaimana bisa dia tinggal terpisah dengan belahan jiwanya. Satu-satunya orang yang bisa membuat Lia kuat dan bertahan hingga detik ini. Tidak. Lia tidak mau.

“Maaf, aku nggak mau. Aku nggak bisa biarin Jean tinggal sama Nathan.”

“Tapi..”

“Aku nggak bisa pisah sama Jean, Bu. Satu-satunya alasanku bertahan sampai sekarang cuma Jean.”

“Elena bisa merawat Jean, dia pasti akan sayang sama Jean. Kamu nggak usah khawatir, kamu bisa fokus sama karirmu.”

“Nggak bisa.” Lia beranjak.

“Oke, kalau gitu..” Hana menjeda ucapannya dan menatap Lia yang hendak keluar. “Kamu jangan temuin Nathan lagi. Kamu bilang sendiri dia nggak perlu tanggungjawab. Jadi ku rasa kalian lebih baik nggak ketemu lagi.”

“Iya, aku nggak akan ketemu dia lagi.”

Setelah itu, Lia keluar dan membanting pintu dengan keras. Hatinya begitu sakit, air matanya menyeruak ingin keluar tapi sebisa mungkin dia tahan.

Di halaman belakang, Freya sedang asik main kejar-kejaran bersama Jean ketika Agung, ayahnya Nathan, datang sepulang dari bermain golf bersama teman-temannya. Agung melihat Freya dan sosok anak kecil di halaman belakang makanya dia langsung datang menghampiri.

Agung sempat termangu ketika menatap Jean yang saat ini sedang tertawa lepas sambil dikejar oleh Freya.

“Fey!” seru Agung dan berjalan mendekat.

“Paman!” Freya menangkap tubuh Jean yang juga berhenti ketika mendengar suara orang. Freya menuntun Jean untuk duduk di kursi panjang sembari menormalkan deru napas.

“Siapa?”

“Paman pasti tahu tapi pura-pura nggak tahu. Iya, kan?” Freya terkekeh melihat ekspresi Agung yang tegang.

“Cuma mau pastiin aja.”

“Iya, anaknya Nathan. Ganteng, kan? Mirip banget sama Nathan,” bisik Freya pelan yang semakin membuat Agung menelan ludah gugup.

Agung beranjak duduk di dekat Jean dan mengelus pelan kepala Jean. Perasaan Agung campur aduk, antara senang dan sedih.

“Ini siapa?” tanya Jean pada Freya yang berdiri di depannya. Jean bingung karena pria ini tiba-tiba duduk dan mengelus kepalanya. “Ayahnya Bibi Fey?”

“Iya, panggil Kakek aja. Kakek Agung,” ujar Freya dan berjongkok di hadapan Jean sembari membetulkan sepatu Jean yang terlepas.

Entah kenapa, dada Agung bergemuruh hebat padahal Jean hanya mengangguk dan belum memanggilnya. Freya menyadari perubahan raut wajah pamannya dan hanya bisa mengulas senyum kecil.

Agung tak kuat berlama-lama duduk sebab air matanya menyeruak ingin keluar. Terlepas dari perbuatan fatal yang dilakukan Nathan dulu hingga menyebabkan Lia hamil, yang membuat Agung murka. Tapi entah kenapa dengan melihat wajah polos Jean, hati pria itu rasanya bergemuruh hebat. Terselip rasa senang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Ucapan Lia yang mengatakan bahwa Jean mampu mengubah rasa sakitnya menjadi bahagia, memang benar adanya dan dia tidak merasakannya sendiri melainkan Agung juga merasakannya saat ini. Sebenarnya Hana juga merasakan hal yang sama, tapi sepertinya dia juga memikirkan perasaan Elena.

“Kakek mau ke mana?” tanya Jean ketika melihat Agung beranjak.

Agung melemas, panggilan yang sangat ingin didengarnya selama ini akhirnya dia dengar. Begitu juga dengan Nathan yang baru saja datang, dia mendengar Jean memanggil ayahnya dengan sebutan kakek. Baik Nathan maupun Agung sama-sama saling tatap dalam diam.

“Kakek mau istirahat,” sela Freya sebab Agung tak kunjung bergerak.

Setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya, Agung akhirnya menoleh dan menatap Jean dengan senyuman kecil.

“Oh, ya udah.” Jean membalas senyuman Agung.

Agung menghela napas berat lalu menatap Nathan yang masih diam di tempatnya berdiri. Pria itu kemudian melangkah tanpa berniat menyapa Nathan.

Tak lama setelah Nathan datang, Lia menyusul di belakangnya dengan raut wajah kesal dan dengan langkah yang buru-buru. Bahkan dia melewati Agung begitu saja yang langsung membuat pria itu heran.

“Mama!” teriak Jean dengan wajah polosnya tanpa tahu apa-apa.

“Ayo pulang.” Lia menarik tangan Jean dan segera menuntunnya untuk keluar dari rumah ini. Air matanya menyeruak ingin keluar, sangat kecewa dengan solusi Hana.

Nathan menarik tangan Lia hingga langkahnya terhenti. “Aku antar.”

“Nggak usah.”

Lia menepis tangan Nathan dan kembali melangkah sambil terus menuntun Jean. Memastikan langkahnya tak terlalu cepat agar Jean bisa mengimbangi.

“Kayaknya bibi ngomong sesuatu yang bikin Kak Lia marah.” Freya menatap kepergian Lia. “Susul sana, ngapain malah diam di sini!”

“Kakek, aku pulang dulu. Nanti main lagi sama Bibi Fey.” Jean melambaikan tangannya begitu melewati Agung yang masih berdiri dalam diam.

Sempat heran saat Jean menyapa Agung, Lia akhirnya menghentikan langkahnya dan tersenyum pada pria itu kemudian kembali berjalan.

Nathan menyusulnya dari belakang. Hingga sampai di pintu utama, Nathan kembali mencegat Lia dengan manahan tangannya.

“Aku antar, ya.”

“Nggak usah.”

Nathan begitu terkejut ketika melihat mata Lia yang berair. Sepertinya ucapan Freya ada benarnya bahwa ibunya mungkin mengatakan sesuatu yang membuat Lia marah.

“Ibu bilang apa sama kamu sampai kamu nangis gini?”

“Lepas!” desis Lia.

“Jawab!”

“Paman, jangan marah.” Jean mendogak dan menyentuh tangan Nathan yang saat ini memegang tangan Lia.

Nathan menunduk dan mengusap kepala Jean. “Maaf sayang, Paman kelepasan.”

“Kalau bisa, jangan temui aku sama Jean lagi, ya. Kamu fokus sama keluargamu aja, nggak usah temuin aku sama Jean. Bukannya aku nyuruh kamu menjauh darinya, cuma aku nggak mau hubunganmu sama ibumu jadi panas gara-gara aku. Aku juga nggak mau hubungan rumah tanggamu rusak gara-gara aku. Berkali-kali aku bilang kalau kamu nggak perlu tanggungjawab, cukup kamu tahu dia ada. Intinya, kalau bisa, jangan temuin aku sama Jean lagi,” air mata Lia akhirnya menetes.

“Makanya, ibu ngomong apa sama kamu sampai kamu bilang kayak gini? Malah nangis lagi?” suara Nathan kali ini lebih rendah.

“Tanya aja sama ibu kamu. Intinya ku mohon, jangan temuin aku sama Jean lagi.”

Freya diam-diam mengikuti Nathan, kini dia memperhatikan dari belakang perdebatan mereka.

Nathan menghela napas pelan. “Ibu ngomong apa sama kamu?” tanyanya berusaha untuk tidak meninggikan suara. Tangannya masih memegang tangan Lia.

“Dia nyuruh aku nggak usah temuin kamu lagi dan sekarang aku minta sama kamu buat jauhin aku sama Jean. Nggak usah temuin aku sama Jean lagi. Udah? Jelas?” suara Lia agak meninggi.

“Kamu nyuruh aku buat jauhin anakku sendiri? Gimana bisa? Nggak bisa lah! Ngapain aku jauhin anakku sendiri,” suara Nathan kembali meninggi.

Jean terdiam sambil menatap Lia dan Nathan secara bergantian. Umur Jean hampir enam tahun, hampir semua ucapan sudah bisa dia cerna dengan baik. Jadi, ucapan Nathan kali ini membuatnya kaget.

Interesting!” gumam Freya dan berjalan mendekati mereka.

“Mama?” panggil Jean. “Ma..”

“Iya, Jean sayang, Paman Nathan ayah kamu. Ayah kamu, sayang.” Freya membalas ucapan Jean yang saat ini sedang kebingungan. “Paman Nathan adalah ayah kamu.”

**

notes:

ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.

©dear2jae
2021.04.12 — Senin.
2023.07.30 — Minggu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top