10.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
“Please! Jangan pikirin orang lain sekarang. Ini antara aku dan kamu. Kamu kangen aku, kan?” Nathan berbisik dengan nada suara pelan yang terkesan deep. “Aku juga kangen kamu, Azalia.”
Lia memejamkan matanya sejenak, pikirannya sedang melayang ke mana-mana. Tapi ucapan Nathan dengan suaranya yang khas mampu membuat pikiran Lia kosong saat ini. Kata-kata Saka kembali menghampiri pikirannya ketika menatap Nathan saat ini. Kedua mata mereka saling bertemu, terkunci, sorot mata yang menyiratkan kerinduan yang sudah lama terpendam.
Sekali-kali Kakak boleh egois walaupun dia udah punya istri.
Melihat Lia yang tak bergerak, Nathan semakin mengikis jarak di antara mereka. Tangan kanan Nathan perlahan menahan tengkuk Lia lalu begitu saja bibir mereka akhirnya bertemu. Tubuh Lia menegang, seperti disengat listrik begitu merasakan bibir Nathan menyentuh bibirnya. Perasaan rindu yang lama terpendam meluap-luap. Kedua tangan Lia mencengkram ujung kemeja yang dikenakan oleh Nathan.
Hanya kecupan biasa karena setelahnya Nathan berhenti. Masih dalam posisi tanpa jarak, kedua mata mereka kembali bertemu satu sama lain.
“Kalau aku bilang tetap di sini malam ini dan jangan pergi, gimana?” tanya Lia dengan nada suara pelan. Embusan napasnya menerpa kulit Nathan sebab jarak mereka masih dekat. Lia ingin bersikap egois saat ini, kerinduannya benar-benar tak bisa ditahan lagi.
“Tentu, sayang. Aku akan tetap di sini.”
Begitu mendengar jawaban Nathan, kedua tangan Lia berpindah pada leher Nathan, mengalung indah. Kini, Lia yang lebih dulu menjemput bibir Nathan. Dengan senang hati Nathan membalasnya. Ciuman mereka lebih intens, bukan hanya sekadar kecupan biasa tapi saling membalas satu sama lain.
Urusan setelah ini dipikirkan nanti saja. Lia merindukan Nathan, begitupun Nathan.
Nathan mendorong tubuh Lia hingga menyentuh dinding. Bibir mereka masih saling bertaut, berpindah ke kiri dan kanan untuk mencari posisi yang nyaman.
Cukup lama mereka saling membalas ciuman hingga akhirnya Nathan melepas tautan mereka saat dirasanya Lia mulai kehabisan napas. Lia mendongak sedikit untuk menatap mata Nathan lalu seulas senyuma terukir di wajahnya.
“Jean.. Anak itu bener-bener mirip kamu. Ngeliat kamu dari jarak sedekat ini setelah sekian lama, rasanya senang.” Lia menangis. Air matanya menetes dengan sendiri.
Tangan Nathan tergerak untuk mengusapnya. “Karena aku ayahnya, makanya mirip.” Nathan ikut tersenyum lalu mendaratkan satu kecupan pada puncak kepala Lia.
Mereka kini duduk di kursi yang ada di balkon kamar Lia dengan posisi saling berpelukan. Menatap hamparan bintang yang begitu terang. Ponsel Nathan berdering, entah sudah dering yang ke berapa, yang pasti Nathan tidak ingin ada yang mengganggu saat ini hingga akhirnya dia memilih menonaktifkannya.
“Kamu nyuruh aku nggak usah mikirin orang lain. Tapi nyatanya saat ini aku malah ngerasa bersalah sama Elena. Ini tuh udah kategori selingkuh, aku..”
Nathan membungkam Lia dengan sebuah ciuman, kali ini agresif dan agak menuntut sampai-sampai Lia memukul dada Nathan agar berhenti sebab bibir Lia jadi sakit.
“Iya, ini emang selingkuh dan aku nggak peduli. Toh di luar sana banyak yang selingkuh padahal udah nikah.” Nathan mengusap pelan bibir Lia. “Sekarang kamu cerita, kenapa dulu kamu nggak ngasih tahu aku kalau kamu hamil?”
“Mau dengar?” tanya Lia mendongak yang disambut dengan anggukan oleh Nathan. “Kalau kamu, kenapa dulu ngilang tanpa kabar dan tiba-tiba jalan sama Elena?”
“Kapan?” tanya Nathan heran.
“Dulu, seminggu sebelum wisuda. Aku mau ngasih tahu kamu kalau aku hamil. Tapi pas nyari kamu di kelas, kamu nggak ada. Aku cari kamu di kantin, nggak ada juga. Aku kirim pesan dan telepon kamu tapi nggak ada balasan sama sekali. Akhirnya aku ngeliat kamu di koridor terus waktu itu mau panggil tapi kamu jalan sama Elena. Akhirnya aku nggak jadi panggil.”
Nathan langsung ingat bahwa hari itu, hari yang dimaksud oleh Lia, dia dipaksa oleh ayahnya untuk mengantar Elena pulang setelah malamnya ada pertemuan mengenai perjodohan mereka.
Saat itu, Nathan begitu frustasi sebab ayahnya mengancam untuk mengeluarkannya dari kartu keluarga kalau tidak mau menikah dengan Elena. Dia tidak mungkin meninggalkan Lia tapi dia juga tak kuasa melawan perintah ayahnya yang sudah mutlak. Hari itu, Nathan benar-benar terpaksa mengantar Elena pulang karena dia takut Lia akan melihat tapi pada kenyataannya, Lia memang melihatnya.
Malam harinya, Nathan masih memohon pada ayahnya agar menghilangkan pemikiran kolot soal perjodohan ini. Tapi keputusan ayahnya sudah bulat, tak bisa diganggu gugat.
Ayah Elena yang saat itu sedang sakit-sakitan berpesan agar Nathan bisa menjaga anaknya dengan baik setelah dia mati. Itu juga menjadi beban bagi Nathan hingga akhirnya dia pasrah. Pasrah akan keadaan.
Awalnya Nathan memang ingin memberitahu Lia. Tapi sudah seminggu lebih Nathan menghilang tanpa kabar, jadi Nathan pikir lebih baik tidak usah diberitahu. Hingga akhirnya di hari wisuda, mereka bertemu tapi Nathan datang bersama keluarganya dan juga Elena.
Lia membeku di tempat, tak bisa berkata-kata sebab menghilangnya Nathan memang karena hal ini. Rasanya, dunia Lia benar-benar sudah runtuh.
Jevin yang menyadari perubahan raut wajah Lia langsung menarik tangan Lia agar menjauh. Begitulah, bagaimana akhirnya pertemanan mereka jadi rusak.
Pelukan Nathan semakin erat pada tubuh Lia. Seolah kalau mengendur sedikit saja, Lia akan menghilang dari dekapannya dan Nathan tidak mau itu terjadi.
Nathan benar-benar merasa menjadi laki-laki yang tak berguna. “Sayang maaf, maafin aku. Sumpah! Aku bener-bener minta maaf. Aku minta maaf karena hari itu aku nggak liat kamu.” Nathan panik dalam dekapan Lia. Rasa bersalah semakin menyerangnya kala mendengar penuturan Lia.
“Harusnya aku berani panggil kamu hari itu bukannya malah bengong liatin kamu jalan sama Elena. Tapi hari itu otakku blank, sedih banget, jadi aku diam aja.” Lia mengelus kepala Nathan yang saat ini berada dalam dekapannya.
“Aku yang salah, aku yang salah karena ngilang nggak ada kabar. Aku yang pengecut karena nggak ngasih tahu kamu apa yang terjadi.” Nathan melepas pelukannya dan menangkup wajah Lia dengan tangannya. “Maaf ya, maaf karena aku cuma bisa bilang maaf setelah ninggalin kamu tanpa sepatah kata. Maaf..”
“Udah, nggak usah minta maaf lagi. Lagian semuanya nggak akan kembali seperti semula. Semua udah terjadi dan nggak ada yang bisa kita lakuin.” Lia menyela ucapan Nathan yang terus meminta maaf. “Rasa sakit yang aku rasain hari itu emang rasa sakit yang paling sakit dari yang pernah aku rasain. Apalagi setelahnya aku harus ngurus kandunganku sendiri, ngelahirin sendiri tapi semua rasa sakit itu hilang setelah Jean lahir. Anak itu benar-benar ngubah rasa sakitku jadi rasa bahagia. Jadi, minta maafnya udahan ya.”
Nathan menggeleng dan kembali merengkuh tubuh Lia dengan erat. “Nggak sayang. Aku bakalan terus minta maaf karena kayaknya aku bakal ngerasa bersalah terus sama kamu. Kamu udah berjuang sendiri tapi aku nggak ada di sampingmu. Kamu ngerawat Jean sendiri tapi aku malah nggak tahu keberadaan anakku sendiri. Lia, maaf..”
Kali ini, giliran Lia yang membungkam mulut Nathan dengan sebuah ciuman agar laki-laki itu berhenti bicara. Sungguh, Lia tulus saat mengatakan bahwa Jean mengubah rasa sakitnya menjadi rasa haru dan bahagia.
Tautan mereka terlepas seiring dengan air mata Nathan yang menetes. Lia mengusapnya pelan dan menatap kedua manik Nathan dengan dalam.
“Semua rasa sakit yang aku rasain selama ini hilang setelah Jean lahir. Jean buat aku kuat, Jean buat aku bahagia jadi semua rasa sakitnya udah hilang.”
“Dulu..” Nathan menjeda ucapannya dan mendekap tubuh Lia. Kepala Lia bersandar pada dadanya. “Ayah nyuruh aku nikah sama Elena, perjodohan lah. Aku nggak mau karena udah punya kamu tapi ayah ngancem bakal ngeluarin aku dari kartu keluarga dan nggak mau anggap aku anak lagi kalau nolak. Ayahnya Elena juga waktu itu sakit-sakitan, dia bilang aku harus jagain Elena. Itu buat aku semakin tersiksa jadi aku pasrah dan terpaksa mau. Maaf karena aku ngilang tanpa sepatah kata, aku benar-benar menyesal karena hari itu nggak liat kamu.”
“Nggak apa-apa, toh semuanya udah terjadi.” Lia bergumam pelan.
“Kapan kamu akan ngasih tahu Jean soal aku? Kalau kamu nunda-nunda terus, aku yang akan kasih tahu dia.”
“Iya, nanti. Dia juga nggak pernah nanyain ayah lagi semenjak ada kamu.”
“Seneng dan sedih dalam satu waktu. Nggak pernah nanyain aku karena ada aku.” Nathan terkekeh sembari mengusap rambut Lia. “I still love you, Azalia. Udah lima tahun berlalu tapi aku masih sayang kamu, masih cinta. Dan akan selalu gitu.”
“Me too, Nat.” Lia mendongak dan menatap Nathan. “Tapi sekarang situasi kita nggak memungkinkan buat balik lagi kayak dulu. Kamu udah punya keluarga dan aku nggak mungkin maksa kamu buat ninggalin istrimu. Kayak yang aku bilang di awal kalau aku nggak akan minta tanggung jawab kamu. Maksudku, cukup kamu tahu bahwa Jean anakmu. Dan nanti aku juga bakal kasih tahu Jean kalau kamu ayahnya. Itu udah cukup.”
Nathan memejamkan matanya sejenak, mencoba mencerna kebaikan hati Lia yang membuatnya tersiksa. Bagaimana bisa dia hidup dengan tenang setelah tahu keberadaan anaknya.
“Dari dulu kamu kenapa baik banget jadi orang? Aku pengen liat kamu egois sekali. Maksudku, pertahankan apa yang kamu mau, apa yang kamu anggap penting. Jangan cepat nyerah.” Nathan mencubit pipi Lia dengan gemas. “Dulu juga waktu awal-awal kuliah, pas ada perempuan yang confess sama aku, kamu malah diam aja.”
“Aku diam karena mau liat apa yang bakal kamu lakuin selanjutnya.” Lia terkekeh pelan. “Maksudku gini, ya kalau kamu goyah itu artinya kamu udah nggak sayang sama aku. Tapi ternyata, kamu nolak dia di depanku jadi aku senang. Terlepas dari itu semua, aku emang nggak mau jadi pacar yang terlalu mengekang. Dan saat ini, di situasi ini, aku bukannya nggak mau pertahankan apa yang ku anggap penting atau nyerah gitu aja. Tapi situasi dan kondisinya nggak memungkinkan. Kamu udah nikah, udah punya keluarga dan aku nggak mungkin ngerebut kamu dari istrimu. Aku mau berjuang tapi sebelum itu aku sadar akan fakta kalau kamu udah nikah.”
“Apa aku harus ceraikan Elena?”
Pertanyaan Nathan sontak membuat Lia kaget. Dia melepas pelukannya dan menatap Nathan yang wajahnya datar-datar saja setelah menanyakan hal itu.
“Kamu sadar ngomong gitu?”
“Emangnya aku keliatan mabuk dari tadi?”
“Jangan ambil keputusan kayak gitu hanya karena aku atau Jean. Kalian udah lima tahun nikah dan itu bukan waktu yang singkat jadi jangan tinggalin dia.” Lia dengan segala kebaikan hatinya, berujar begitu lembut di hadapan Nathan.
Nathan mengembuskan napas frustasi dan mengusap wajahnya pelan. Dia semakin tersiksa karena Lia begitu baik.
“Aku emang udah lima tahun nikah sama dia. Tapi diantara kita nggak ada cinta, nggak ada rasa sayang layaknya suami-istri.” Nathan membalas ucapan Lia dan menekankan setiap kalimatnya. “Aku udah berusaha buat sayang sama dia tapi nggak bisa. Pikiranku dipenuhi sama kamu, bertanya-tanya kamu di mana dan lagi apa. Apa kamu udah nikah, apa kamu udah bahagia sama pilihanmu. Dan selama lima tahun ini aku tersiksa. Aku emang kasihan sama Elena kalau aku tinggalin dia, karena dia pasti bakal mikir aku tinggalin dia karena dia nggak bisa ngasih aku anak.”
“Tapi..”
“Kamu pikir cuma dia yang tersiksa? Di sini aku juga tersiksa, Lia! Aku pengen hidup normal layaknya orang lain yang udah nikah yaitu punya anak. Dengan kehadiran anak setidaknya aku bisa sayang sama dia. Tapi di sini, faktanya, Elena nggak bisa hamil. Aku..”
“Maaf.” Lia menyela dan menahan tangan Nathan yang hendak pergi. “Aku ngerti. Maaf karena udah ngomong kayak gitu.”
“Nggak. Aku yang harusnya minta maaf karena udah ngebentak kamu.” Nathan merengkuh tubuh Lia ke dalam pelukannya. Lalu menuntunnya masuk sebab angin malam mulai terasa dingin.
“Kamu nggak pulang?” tanya Lia.
Nathan mengerutkan alis bingung. “Loh! Bukannya tadi kamu nyuruh aku buat tetap di sini? Aku nggak salah dengar, kan?”
“Nggak kok, cuma nanya aja.”
“Aku nggak pulang. Malam ini kita buat adik untuk Jean aja. Sekalian olahraga malam, udah lama aku nggak gerak.”
“HEH?!!! NGOMONG APA SIH? ADA-ADA AJA!! PULANG SANA!”
**
notes:
ingat ya guys, ini hanya fanfic. terus semuanya fiktif. karangan.
hayoloh gaes, gimana nih? wkwkw.. kata Jaemin mau buat adik untuk Jean? kkkkk😄
©dear2jae
2021.04.10 — Sabtu.
2023.07.13 — Kamis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top