09.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Haikal masih saja menatap Nathan dan Jean secara bergantian setelah Freya memberitahunya bahwa Jean adalah anak kandung Nathan bersama Lia. Laki-laki itu masih terkejut sebab selama ini dia hanya tahu Lia menghilang dan Nathan menikah dengan Elena. Haikal benar-benar takjub akan kemiripan Jean dengan Nathan.
“Ini gimana bisa? Maksud gue, woah, gue masih merinding aja dari tadi.” Haikal memperlihatkan bulu tangannya yang berdiri di depan Freya dan Nathan, juga Jean yang sedang terlelap di pangkuan Freya. “Dia tahu lo ayahnya?”
Nathan menggeleng pelan. “Nggak tahu. Lia nggak pernah ngasih tahu. Tapi nanti akan gue kasih tahu, soalnya kasian anak gue. Dia kira gue selalu sibuk sama kerjaan gue. Karena Lia ngasih tahu kalau ayahnya lagi kerja.”
“Terus, Elena tahu?” celetuk Haikal. Bukan bermaksud ingin membuat Nathan semakin pusing. Tapi pada kenyataannya masalah ini bukan hal yang sepele. Menyangkut banyak hati. Ada yang senang dan ada yang tidak senang.
“Gue waktu itu ketemu sama Lia di mall. Dia bawa Jean, gue sama Elena. Pas pertama liat Jean, gue langsung bengong. Terus dalem hati gue bilang woah, ini anak kok mirip banget sama gue. Dan kayaknya, Elena juga sadar soalnya lo yang lemot aja bisa langsung sadar kalau kita mirip, gimana Elena.”
“Sialan, Nat! Pacar gue nggak selemot itu.” Freya melempari Nathan dengan bantal sofa yang ada di dekatnya. Haikal nyengir karena dibela.
“Sialan? Lo bilang sialan? Ok, mulai detik ini lo nggak usah sentuh-sentuh hp gue.” Nathan mendelik sebal.
“Stop! Kenapa malah kalian yang debat.” Haikal melerai. “Ok, terus keputusan lo kedepannya gimana? Tentang Jean dan Lia, juga Elena? Lo nggak bisa pilih dua-duanya. Mau nggak mau lo harus pilih antara mereka berdua. Tanggungjawab atas apa yang udah lo lakuin sama Lia dan jadi ayah yang baik buat Jean atau tetap sama Elena.”
“Gue masih bingung, Kal. Asli, gue nggak tahu mau ngapain.” Nathan memegang kepalanya yang terasa berdenyut.
“Ceraikan Elena terus nikah sama Kak Lia, apa susahnya? Apa yang dipusingin?” celetuk Freya tanpa rasa bersalah karena memang dari awal perempuan itu lebih memihak Lia.
Haikal tertawa kecil menanggapi ucapan pacarnya sedangkan Nathan menatap adik sepupunya dengan wajah jengkel. Kalau ngomong sih enteng, tapi actionnya yang sulit.
“Enteng bener mulut lo ngomong. Belum nanti gue digeplak ayah sama ibu. Pas gue kasih tahu soal Jean aja ibu pingsan, gimana kalau gue bilang mau cerai.” Nathan memutar bola mata malas dan menyandarkan punggungnya di sofa. Memperhatikan wajah tenang Jean yang terlelap di pangkuan Freya.
“Bibi tahu?” tanya Freya heboh hingga membuat Jean bangun. Anak itu mengucek matanya pelan dan menatap sekeliling lalu duduk perlahan di sebelah Freya dan Haikal.
“Sini..” Nathan merentangkan tangannya yang langsung disambut oleh Jean. Anak itu kini melanjutkan tidurnya di pangkuan Nathan. “Iya, ibu sama ayah tahu.”
“Lo masih ada rasa sama Lia?” tanya Haikal sembari memperhatikan wajah Jean yang kembali terlelap di pangkuan Nathan.
“Gue pacaran tujuh tahun sama Lia dan bahkan gue udah tidur sama dia. Nih, lo liat sendiri hasilnya. Ya kali gue nggak ada rasa sampai sekarang.” Nathan mencubit gemas pipi Jean.
Suara ponsel Nathan membuat perhatian mereka teralihkan. Ternyata panggilan dari Lia. Sepertinya Jevin sudah sampai di kantor dan memberitahu perihal Jean. Nathan mengangkatnya lalu mengaktifkan loudspeaker tapi dengan volume kecil agar tak membangunkan Jean.
“Jean mana?” tanya Lia di seberang.
“Halo Kak Lia, masih ingat aku?” bukannya menjawab pertanyaan Lia, Nathan memberikan ponselnya pada Freya dan Haikal.
Hening sejenak.
“Ini aku, Fey. Kak Lia ingat?”
“Oh, Freya. Ingat dong, kamu apa kabar?”
“Baik, Kak. Kapan-kapan kita ketemu ya, Kak.” Freya terlihat antusias. “Jean lagi tidur nih di pangkuannya Nathan. Kayaknya Jean nyaman banget sama ayahnya makanya tidur lelap.”
Kekehan kecil terdengar di seberang, sepertinya Lia canggung akan ucapan Freya.
“Lia, ini aku Haikal.” Haikal bersuara dan meraih ponsel itu dari tangan Freya.
“Haikal, apa kabar?”
“Baik banget.” Haikal terkekeh. “Oh ya, Jean ganteng. Kamu sama Nathan ternyata udah pro ya bikin anak.”
“Kal, sialan!” Nathan terkekeh pelan, takut Jean akan bangun. Dia kemudian meminta ponselnya lagi dari tangan Haikal sebelum laki-laki itu bicara sembarangan. “Nanti aku antar Jean pulang. Kamu kerja aja, nggak usah khawatir kalau Jean sama aku.”
Belum sempat menjawab, Nathan sudah memutuskan panggilannya. Dia kembali mengingat bagaimana hubungannya dengan Jevin yang tadi sempat berseteru. Nathan ingin sekali hubungan pertemanannya dengan Jevin kembali terjalin seperti dulu. Tapi mungkin itu akan sulit sebab perasaan Jevin pada Lia tidak main-main.
*
Raut wajah Jevin tidak pernah bagus jika bertemu dengan Yesi. Tapi perempuan itu selalu tersenyum dengan tulus. Apalagi saat ini, Yesi sedang membantu ibunya Jevin menyiapkan makan malam. Wanita itu tidak membiarkan Yesi pulang sebelum makan malam bersama padahal Yesi ingin menghindari Jevin. Menghindar agar dia tidak melihat wajah datar Jevin setiap kali bertemu dengannya karena Yesi tahu laki-laki itu masih tak mau menerima perjodohan mereka.
“Walaupun kamu tetap ngelakuin hal ini, maksud aku, ngebantu ibu aku kayak gini. Tapi maaf, perasaanku sama kamu nggak akan berubah.”
Yesi tersenyum kecut mendengar penuturan Jevin. Ini bukan pertama kalinya dia mendengar hal menyakitkan dari Jevin tapi setelah mendengarnya berkali-kali, hatinya perih.
“Aku ngelakuin hal ini karena ibu kamu nyuruh aku datang..” Yesi mengembuskan napas sembari menata lauk-pauknya di atas piring. “Aku juga nggak minta kamu buat suka sama aku. Aku udah ngomong sama ayahku supaya dia ngebatalin perjodohannya dan ayahku udah ngomong sama ayah kamu. Tapi ibu kamu tetap mau kita nikah. Harusnya kamu yang ngomong sama ibumu bukannya malah nuduh aku sengaja deketin ibu kamu supaya kamu suka sama aku. Dan aku juga sadar kok, kalau sampai kapanpun aku nggak akan bisa ngalahin Lia di hati kamu.”
Yesi meninggalkan Jevin dalam keheningan di dapur. Hatinya begitu sakit sebab Jevin terus mengatakan padanya bahwa laki-laki itu tak akan pernah bisa menyukainya sebagai seorang perempuan. Kalau bukan karena ibunya Jevin, Yesi juga enggan menapakkan kaki di rumah ini walaupun rasa sukanya pada Jevin begitu besar tapi Yesi masih bisa menahan dirinya sendiri.
Acara makan malamnya berjalan dalam keheningan. Yesi menunduk sambil menyuap makanannya dalam diam. Sengaja mengambil sedikit supaya cepat habis dan segera pulang. Yesi sudah tak tahan berada di dekat Jevin yang tidak menyukai kehadirannya.
“Ibu, aku pulang, ya.” Yesi meraih tasnya dan beranjak. Sepulang bekerja dia langsung ke sini dan belum sempat berganti baju.
“Biar Jevin antar kamu, udah malem. Jangan naik taksi,” ujar ayahnya Jevin.
Yesi menggeleng pelan. “Jevin kayaknya capek, biarin aja istirahat. Aku bisa naik taksi sendiri.”
Tentu saja Yesi menolak dari pada dia harus melihat wajah datar Jevin sepanjang perjalanan pulang, lebih baik keluar uang untuk naik taksi.
Yesi akhirnya keluar setelah pamitan. Jevin terus didesak oleh ibunya untuk mengantar Yesi jadi dia mengikuti Yesi keluar dengan wajah jengkel.
“Masuk aja, aku pulang naik taksi.” Yesi hendak berjalan tapi Jevin menahan tangannya.
“Kalau aku nggak ngantar kamu pulang, aku bisa dimarahi sama ibu.”
“Tapi lebih baik kamu nggak ngantar aku kalau terpaksa. Aku nggak tahan liat wajah datar kamu. Nanti aku ngomong sama ibu supaya nggak marahin kamu.” Yesi menepis tangan Jevin. “Tolong ya, ngomong sama ibumu supaya mau ngebatalin perjodohan ini. Kamu kira aku nggak tersiksa juga sama situasi ini? Jatuh cinta sama orang yang nggak bisa ngebalas perasaan kita itu sakit. Kamu pasti tahu betul gimana rasanya.”
Jevin tahu, bahkan sangat tahu bagaimana rasanya sebab perasaannya terhadap Lia tak kunjung terbalaskan.
Jevin menatap kepergian Yesi dengan tatapan nanar. Dia mengembuskan napas berat dan mengusap wajahnya frustasi.
*
Tangan kecil Jean menggenggam tangan Nathan erat. Satu tangannya memegang es krim. Begitu mereka masuk gerbang, wajah kesal Lia menyambut mereka di teras rumah.
“Kalau Paman dimarahi sama mama kamu, tolongin ya.” Nathan berbisik pelan kemudian Jean mengangguk kecil.
“Suka banget sih ngasih Jean es krim. Nanti kalau batuk gimana?” cerca Lia langsung begitu mereka sampai di depan teras rumah.
Tebakan Nathan benar kalau Lia mau marah-marah.
“Ma, jangan marahin Paman Nathan. Kalau Mama marah nanti aku juga marah sama Mama.” Jean melipat tangannya di dada sedangkan Nathan berlindung di belakang Jean yang bahkan kakinya saja tak bisa terhalangi oleh tubuh kecil Jean.
Nathan mengeluarkan smirknya yang kalau diartikan anak gue nih.
“Mama marah karena nanti kamu bisa batuk kalau makan es krim terus, sayang.” Lia berjongkok di depan Jean setelah melayangkan death glarenya pada Nathan.
“Mama doain aku batuk?”
“Nggak gitu, Jean sayang. Mama..”
“Jean nggak makan es krim tiap hari. Lagian tiap makan juga cuma satu aja. Kamu khawatirnya berlebihan.” Nathan menyela ucapan Lia dan menarik tangan Jean untuk masuk.
“Kayaknya Kak Nathan bakal sering dateng ke sini deh.” Saka nyeletuk dari arah dapur dengan nada sarkas. “Nggak sekalian bawa pakaiannya buat nginap?”
“Boleh?” tanya Nathan.
“Paman mau nginap?” kali ini Jean bertanya dengan nada antusias.
“Nggak, dia mau pulang. Lagian ngapain nginap di sini, dia punya istri yang nungguin dia di rumahnya. Jangan aneh-aneh deh, Jean.” Lia menyela dengan raut wajah yang masih jengkel. “Kamu juga! Ngapain bahas nginap segala.”
Saka langsung diam melihat tatapan tajam dari Lia. Dia menarik tangan Jean untuk menggantikannya baju sedangkan Nathan menghampiri Saka yang ada di dapur.
“Setiap ngeliat Kak Nat, aku pengen pukul sampai mampus. Tapi setiap malam Kak Lia selalu bilang kalau aku nggak boleh pukulin Kak Nat. Ngerti, kan, gimana sayangnya Kak Lia sama Kakak?”
“Ngerti.” Nathan meraih gelas minuman Saka dan meneguknya. “Makanya sekarang aku pusing mikirin langkah yang bakal aku ambil.”
“Kak Lia dulu nangis pas mau masuk ruang bersalin. Dia berpesan..”
“Saka!” Lia menyela sebelum Saka melanjutkan ucapannya. “Temenin Jean, dia mau tidur sama kamu katanya.”
Saka mendelik sebal sebab Lia datang sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya.
“Aku tuh benci liat orang selingkuh. Tapi kalau orangnya kalian, nggak apa-apa deh.” Saka tersenyum penuh arti dan berlari menuju kamar Jean sebelum Lia murka.
Setelah Saka pergi, keheningan menyelimuti mereka berdua. Nathan menatap Lia dengan lekat sedangkan Lia jadi salah tingkah dan memilih pergi ke kamarnya berharap Nathan segera pergi.
Lia sebenarnya tak kuat berada lama-lama di dekat Nathan sebab dia ingin berlari ke pelukan laki-laki itu. Dia begitu merindukan sosok Nathan tapi Lia masih memikirkan status Nathan yang sudah menikah.
Nathan meletakkan gelas minumannya lalu menyusul Lia ke kamar. Untungnya, kamar itu tidak terkunci. Nathan berdiri di ambang pintu, menatap punggung Lia yang saat ini berdiri di depan jendela.
Tak beda dengan Lia, Nathan juga begitu merindukan sosok perempuan itu. Nathan mengepalkan tangannya kuat, berusaha menahan diri untuk tidak menyentuh Lia.
Satu sisi otaknya bilang dia harus pulang, satu sisi otaknya menyuruhnya untuk menyalurkan rasa rindunya pada Lia. Setelah lama berdebat dengan dirinya sendiri, Nathan akhirnya melangkah mendekati Lia lalu tangannya menyentuh bahu Lia, membuat perempuan itu menoleh dengan wajah terkejut.
Lia berusaha bersikap normal, berusaha menormalkan detak jantunganya sebab jarak mereka begitu dekat saat ini. Kedua tangan Nathan masih berada di bahu Lia, menatap kedua manik itu dengan tajam.
“Lepas, jangan sampai kamu hilang kendali.” Lia berbicara tapi matanya menghadap ke bawah, tidak kuat membalas tatapan Nathan. “Kamu pulang aja, istri kamu nungguin.”
“Apa tindakan ini bisa disebut perselingkuhan?” Nathan malah bertanya. “Liat aku, jangan nunduk. Kalau kamu nggak ada perasaan apa-apa lagi harusnya kamu bisa balas tatapanku!”
Lia menelan ludah gugup. Perlahan dia mengangkat kepalanya dan mendongak untuk menatap Nathan.
“Iya, ini bisa disebut perselingkuhan jadi kamu lebih baik pergi sebelum kamu hilang kendali.” Lia mencoba menepis kedua tangan Nathan tapi cengkramannya semakin kuat. “Nat, please!”
Nathan melemah jika Lia memanggilnya dengan Nat. Persetan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, dia tidak peduli. Apa yang akan terjadi selanjutnya maka terjadilah. Nathan semakin mengikis jarak di antara mereka, membuat Lia menahan napasnya kala wajah Nathan mendekat karena mau melangkah mundur dia tidak bisa, cengkraman tangan Nathan begitu kuat.
“Nat..” lirih Lia.
“Mh-hm?”
“Jangan..”
Napas Lia terkecat.. and then..
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata, jadi dibawa santai aja. Jangan dibawa sampai ke real life. Thank you.
©dear2jae
2021.04.09 — Jumat.
2023.07.12 — Rabu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top