07.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Cukup lama Lia terduduk di lantai sambil terus terisak. Nathan berkali-kali ingin membantunya berdiri tapi Lia menepis tangannya. Jadi, Nathan hanya duduk diam di atas ranjang Jean sambil menatap Lia yang duduk di bawahnya, di lantai.
"Kamu tadi nyuruh aku keluar supaya nggak ganggu Jean. Sekarang kenapa kamu yang nangis di sini? Nanti Jean bangun gara-gara tangisanmu." Nathan kembali meraih lengan Lia. Kali ini Lia menurut dan berdiri dibantu oleh Nathan.
Mereka kemudian keluar dan duduk di ruang tengah. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam tapi sepertinya Nathan belum mau beranjak pulang. Entah sudah berapa kali ponselnya berdering tapi tak pernah dia angkat.
Saka ikut bergabung di ruang tengah. Menyodorkan Lia tisu untuk menghapus sisa air matanya kemudian beralih menatap Nathan yang masih diam sambil menunduk.
"Nggak pulang? Nanti istri Kak Nat nyariin," celetuk Saka.
"Nanti." Nathan menatap Lia yang masih menunduk dalam diam. "Jujur, Jean anakku, kan?"
Lia masih diam menunduk, setelah mengusap semua sisa air matanya dia mengangkat kepalanya dan menatap Nathan dengan wajah sembabnya lalu menggeleng pelan.
"Bukan."
"Oh." Nathan mengeluarkan satu amplop cokelat yang teselip di saku celananya dan menyodorkannya di hadapan Lia.
Ragu-ragu Lia meraihnya dan perlahan membukanya. Mengeluarkan selembar dokumen yang ada di dalamnya. Ternyata itu adalah hasil tes DNA antara Nathan dan Jean. Mata Lia membulat sempurna ketika menatap hasilnya, 99,99%.
"Sekarang bilang, apa alasan kamu nggak mau aku tahu kalau Jean anakku? Apa karena aku udah nikah? Atau karena hal lain?" cerca Nathan pada Lia yang masih kaget melihat hasil tersebut.
Bukan kaget karena Nathan adalah ayah kandung Jean, bukan. Dari awal Lia juga sudah tahu kalau Nathan ayahnya. Tapi Lia kaget karena dia tidak berpikir sejauh ini bahwa Nathan akan sampai melakukan tes DNA.
Saka memilih diam dan mengamati kedua orang itu. Tidak berniat ikut campur, biarakan saja mereka mengurus masalah sendiri.
"Kenapa kamu tes DNA tanpa sepengetahuanku?"
"Coba kamu bilang dari awal pas aku nanya. Aku juga nggak akan susah-susah tes DNA."
Hening kembali menyelimuti ruang tengah rumah Lia. Hingga akhirnya Saka berdeham cukup keras agar mereka kembali ke alam sadar.
"Kalian mau sampai kapan diem-dieman? Sampai pagi? Kak Nat mau nginap di sini?" Saka bertanya sekaligus menyindir.
"Aku cuma mau dengar alasan kenapa Lia nggak mau ngasih tahu aku kalau Jean anakku," ujar Nathan kukuh. Ponselnya kembali berdering tapi dia abaikan, Nathan pun menonaktifkan ponselnya. Jika itu panggilan dari Elena maka dia hanya perlu mencari alasan kenapa dia tidak mengangkat telepon nanti. Sekarang dia mau fokus pada Lia dulu.
"Iya, karena kamu udah nikah. Aku nggak mau kamu terbebani sama fakta bahwa Jean anak kamu." Lia akhirnya bicara jujur setelah berkali-kali mengembuskan napas.
Nathan mengusap wajahnya frustasi, dugaannya memang benar. Kini, bebannya memang bertambah. Dalam artian setelah tahu pasti Jean anaknya, dia harus berpikir lagi langkah yang akan dia ambil ke depannya. Tapi di satu sisi, dia merasa lega.
"Aku nggak mau kehadiran Jean buat kamu tertekan. Dalam artian, kamu nggak harus tanggung jawab. Aku nggak akan minta pertanggung jawaban kamu." Lia melanjutkan bicaranya. Sungguh baik hati perempuan ini.
"Aku malah bersyukur Jean ada. Aku bener-bener seneng banget saat tahu Jean anakku karena.." Nathan menjeda kalimatnya lalu perlahan mengembuskan napas pelan dan menatap Lia. "Karena aku sama Elena nggak punya anak."
Seluruh atensi Lia dan Saka terpusat pada Nathan, menatap laki-laki itu dalam diam. Hening cukup lama karena Lia maupun Saka tidak tahu mau bicara apa setelah mendengar ucapan Nathan.
"Dia nggak bisa hamil soalnya pernah operasi histerektomi karena menderita adenomiosis," lanjut Nathan.
Saka hanya berdeham pelan kemudian beranjak menuju kamarnya. Sepertinya, dia tidak perlu lagi bergabung dengan mereka. Tak lama, Saka kembali keluar dengan menenteng jaket di tangannya. Dia masih mendapati suasana dalam keadaan hening.
"Kak, aku mau keluar." Saka pamit pada Lia.
"Mau ke mana? Emangnya kamu punya kenalan di sini?"
"Aku juga sekolah di sini dulu, kuliahnya aja di luar negeri. Kakak lupa aku punya banyak teman?" Saka berdecak pelan.
Setelah Saka pergi, Nathan kembali membuka matanya yang sempat terpejam selama beberapa saat. Dia menatap Lia yang kini menatapnya juga.
"Kamu pulang aja, ini udah malem. Nanti istri kamu nyariin. Ponsel kamu juga dari tadi bunyi terus." Lia merapikan dokumen itu dan kembali menyelipkannya ke dalam amplop lalu meletakkannya di bawah meja.
"Kenapa dulu kamu nggak ngasih tahu aku kalau kamu hamil?" tanya Nathan sambil menahan tangan Lia yang hendak berdiri.
"Nanti aja ya ngomongnya. Kita sama-sama capek." Lia melepas tangan Nathan pada pergelangan tangannya.
Nathan mengalah dan akhirnya mengangguk pelan. Sebelum pulang, dia kembali menemui Jean dan memberikan beberapa kecupan kecil pada pipi gembul anak itu. Senyum Nathan begitu merekah saat menatap Jean yang sedang terlelap pulas. Setiap dia menatap Jean, rasanya seperti sedang bercermin.
*
Bukannya pulang, Nathan malah pergi ke rumah orang tuanya. Tadi, ada pesan dari ibunya bahwa Elena baru saja pulang. Tapi, Nathan tidak langsung pulang ke rumahnya, dia ingin menemui ibunya.
Pikiran Nathan benar-benar tidak karuan saat ini. Hidup selama lima tahun bersama Elena bahkan tidak bisa menumbuhkan rasa kasih sayang yang lebih. Nathan menyayangi perempuan itu sebagai seorang adik walaupun status mereka adalah suami istri.
Sosok Lia dalam hidupnya tidak pernah bisa tergantikan. Menjalin hubungan selama hampir tujuh tahun dan berpisah tanpa sepatah kata membuat Nathan semakin tidak bisa melupakannya. Ini memang salahnya dan dia sadar akan hal itu. Kini, perempuan itu datang dan membawa sosok kecil yang begitu Nathan inginkan. Tapi sayangnya dia sudah bersama orang lain.
Tanggung jawab seperti apa yang harus dia lakukan?
"Tadi Elena pulang naik taksi. Kamu dari mana aja seharian ngilang?" tanya ibunya ketika Nathan memasuki rumah.
"Kenapa wajah kamu suntuk gitu? Ada masalah di rumah sakit?" kini giliran ayahnya yang bertanya.
Nathan menggeleng pelan dan beranjak duduk di hadapan orang tuanya sambil menunduk sejenak.
"Aku mau nanya tapi kalian jawab jujur, ya?" ujar Nathan setelah berpikir sejenak. Orang tuanya saling tatap dalam diam kemudian kompak mengangguk. "Sebenarnya Ayah sama Ibu pengen nggak sih punya cucu?"
Baik ayah maupun ibunya melotot kaget dengan pertanyaan tiba-tiba Nathan. Ini pertama kalinya Nathan menyinggung soal cucu secara terang-terangan.
"Kenapa kamu nanya gitu?" ayahnya balik bertanya, heran akan sikap Nathan yang tiba-tiba begini. "Selama ini kamu nggak pernah ngomong soal cucu, bahkan kamu ngelarang kita bahas soal cucu kalau ada Elena. Sekarang kenapa malah kamu yang tiba-tiba bahas cucu?"
"Jawab aja, Ayah. Lagian Elena nggak ada di sini. Aku mau dengar jawaban jujur dari kalian."
"Orang tua mana sih yang nggak pengen cucu dari anaknya. Tapi kita ngerti dengan kondisi Elena. Jadi sekarang kita udah nggak nuntut apa-apa dari kalian. Kalian hidup bahagia aja itu udah cukup," ujar ibunya.
Nathan hanya mengulas senyum tipis mendengar jawaban ibunya. Memang, orang tua mana yang tidak ingin menimang cucu dari anaknya. Tapi ya, takdir berkata lain.
Sejenak, Nathan mengusap wajahnya dengan kasar dan tak lama air matanya menetes begitu saja. Orang tuanya bahkan saling tatap dengan heran.
"Kamu kenapa tiba-tiba nangis gini?" ibunya berpindah tempat duduk ke samping Nathan dan mengelus punggung anaknya.
"Ayah kenapa dulu jodohin aku sama Elena?" Nathan menatap ayahnya dengan mata berair.
Ayahnya tidak menimpali, sepertinya Nathan dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Jadi, mereka membiarkan Nathan mengeluarkan isi hatinya.
"Ayah, Ibu.." lanjut Nathan, menatap orang tuanya secara bergantian. "Gimana kalau aku punya anak dari orang lain?"
Ibunya batuk hebat mendengar ucapan Nathan apalagi ayahnya yang langsung melayangkan tatapan tajam pada Nathan. Ayahnya memegang kepala, terasa berdenyut karena ucapan Nathan.
"Kamu mau lenyap dari dunia ini? Kalau sampai kamu selingkuh, Ayah nggak akan pernah maafin kamu apalagi nganggap kamu anak, nggak akan. Nama kamu akan Ayah coret dari kartu keluarga," ayahnya berdiri sambil mencerca Nathan dengan kata-katanya.
"Aku nggak selingkuh, Ayah. Maksud aku, gimana ya jelasinnya.." Nathan memegang kepalanya bingung. Masih ragu apakah dia akan memberitahu keberadaan Jean pada orang tuanya atau tidak. Tapi, Nathan memantapkan hatinya dan kembali menatap orang tuanya. "Aku emang punya anak dari orang lain, Ayah, Ibu."
"APA?! GIMANA BISA?!" ibunya berteriak heboh.
"Aku punya anak dari pacarku waktu kuliah dulu. Ayah, kan, jodohin aku sama Elena pas mau lulus kuliah jadi aku terpaksa ninggalin dia karena Ayah ngancam akan ngeluarin aku dari kartu keluarga kalau nolak. Aku nggak tahu gimana kabarnya setelah itu dan beberapa hari yang lalu aku ketemu dia lagi dan dia bawa anak yang bener-bener mirip sama aku. Aku tanya dan udah tes DNA juga, ternyata dia anakku. Umurnya lima tahun, mau enam tahun." Nathan menjelaskannya dengan detail.
Wanita itu akhirnya pingsan. Nathan mengembuskan napas pelan dan membaringkan ibunya di atas sofa sedangkan ayahnya terduduk di lantai dengan kepala berdenyut.
Cukup lama Nathan menyaksikan orang tuanya menenangkan diri. Hingga akhirnya wanita itu terbangun perlahan.
"Dasar anak nakal! Bisa-bisanya berhubungan sex sebelum menikah!" satu pukulan mengenai kepala Nathan dan Nathan hanya bisa pasrah menerimanya. Tidak sakit, hanya geplakan biasa.
"Kalau Ayah nggak jodohin aku sama Elena, aku pasti akan nikah sama dia. Tapi Ayah.. Udahlah, nggak ada gunanya bahas itu. Nggak akan balikin keadaan juga."
"Sekarang dia di mana?" tanya ayahnya.
"Siapa?"
"Ya, anakmu!"
"Oh, sama ibunya lah. Tadi aku habis dari rumahnya," jawab Nathan enteng.
"Perempuan itu tahu kamu udah nikah?" kini giliran ibunya yang bertanya.
"Iya, dia tahu. Awalnya dia nggak mau ngasih tahu aku kalau anak itu anak kandungku soalnya dia nggak mau ngerusak hubungan rumah tanggaku. Tapi aku maksa dan akhirnya dia jujur."
"Elena tahu soal ini?" ibunya tak henti-hentinya bertanya. Wanita itu ikut kalut seperti Nathan.
"Nggak tahu."
"Ya udah, jangan kasih tahu dulu. Nanti dia shock. Tadi pas ke sini dia bahas anak terus, takut kamu bakal ninggalin dia."
"Iya."
*
Nathan sampai di rumahnya pada pukul sembilan malam. Dia mendapati Elena sedang duduk sendiri di ruang tengah dalam keadaan lampu mati. Elena mengalihkan perhatian dan menatap Nathan yang baru saja pulang.
"Kenapa pulang jam segini?" tanya Elena berusaha mengulas senyum dan membantu Nathan melepas jasnya.
"Tadi di rumah sakit banyak kerjaan dan pas pulang aku mampir ke rumah ibu makanya pulang jam segini." Nathan sedikit berdusta.
Raut wajah Elena berubah masam. Dia tahu bahwa Nathan tengah berbohong karena Elena sempat mampir ke rumah sakit untuk mencari Nathan. Tapi katanya Nathan keluar sejak siang dan tidak kembali sampai sore. Jadi, Elena memutuskan untuk mampir ke rumah mertuanya sebelum pulang.
Tapi Elena tidak ada tenaga untuk berdebat. Dia memilih diam dan mempercayai Nathan. Setelah Nathan masuk ke kamar mandi, dia menangis dalam diam di kamar. Terisak pilu sebab Elena yakin Nathan habis menemui Lia.
Suara keran air begitu deras tapi Nathan belum bergerak sedikitpun untuk membasuh tubuhnya. Kebimbangan kembali menyelimuti dirinya, keputusan apa yang akan dia ambil ke depannya kembali menghantui dirinya. Nathan pusing, frustasi, tidak menyangka hari seperti ini akan datang dalam hidupnya.
"Aku nggak tega bakal ninggalin Elena. Tapi aku juga pengen hidup sama Lia, sama Jean anakku." Nathan terisak. Sungguh pilihan yang sulit. Keputusan yang akan dia ambil harus dipikirkan secara matang dengan kesadaran penuh karena salah langkah sedikit maka salah satu dari mereka akan tersakiti.
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata, jadi dibawa santai aja. Jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.
©dear2jae
2021.03.31 - Rabu.
2023.04.14 - Jumat. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top