06.
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
"Itu Lia," tunjuk Jevin saat melihat Lia berdiri di dalam barisan orang-orang yang datang terlambat. Nathan hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Nathan kemudian menghampiri Lia setelah mendapat teguran. Wajah gadis itu terlihat suntuk namun Nathan malah menyenggol lengannya, membuat Lia agak limbung.
"Lo langganan telat deh kayaknya." Nathan berjalan beriringan dengan Lia. "Makanya jangan suka begadang, apa sih yang lo lakuin sampai-sampai tidur tengah malem. Nggak punya pacar juga buat diajak chat."
"Mending lo diem deh kalau nggak tahu apa-apa. Siapa juga yang begadang dan gue juga pacar ya buat diajak chat."
"Bohong banget. Mana coba liat pacar lo?"
Lia mendesis sebal karena Nathan terus merecokinya hingga depan kelas. Bukannya begadang tapi sungguh, Lia pun bingung kenapa dia begitu sulit bangun pagi. Padahal alarmnya sudah disiapkan tapi tetap saja suara cempreng Saka atau ibunya yang membuatnya bangun.
Ketika Lia hendak melangkah masuk ke kelas, Nathan menghadang jalannya. "Lo kenapa nggak pernah mau balas chat dari gue? Angkat telepon aja nggak pernah."
"Gue sibuk."
"Sibuk apaan, nggak usah bohong, deh. Lo nggak pandai bohong. Gue juga nggak bakal langsung confess sama lo. Jadi mending lo bales aja dulu, kita ngobrol biasa."
Lia ingin menabok kepala Nathan saat ini. Ada kalanya ucapan Nathan begitu akurat hingga Lia merasa Nathan adalah cenayang. Memang benar, bagi Lia yang belum pernah jatuh cinta dan punya pacar, saat di dekati oleh laki-laki blak-blakan macam Nathan, dia jadi takut. Takut kalau tiba-tiba Nathan confess dan dia tidak tahu mau jawab apa.
"Minggir, gue mau masuk." Lia berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Bales chat gue atau gue bakal datang ke rumah lo," ujar Nathan dan berlalu pergi dari kelas Lia.
Lia semakin menggeram kesal.
Malamnya, Nathan kembali mengirimi Lia pesan tapi itu hanya jadi tontotan belaka oleh Lia. Ucapan Nathan yang mengatakan bahwa dia akan datang ke rumah Lia kalau Lia tidak membalas betul-betul dia lakukan.
Awalnya, Lia hanya menganggap itu adalah lelucon semata. Toh Nathan tidak tahu alamat rumahnya di mana, jadi Lia tidak serius menanggapinya. Sempat ingin membalas tapi tidak jadi, mengetik sesuatu tapi akhirnya dihapus. Begitu terus hingga bel rumahnya berbunyi.
Lia sontak kaget dan melotot ke arah pintu karena saat ini dia sedang berada di ruang tengah. Bukannya membuka pintu, Lia malah kabur ke dalam kamarnya dengan mengendap-endap lalu mengintip sedikit dari balik pintu siapa yang akan keluar membuka.
Ternyata Saka yang keluar dari kamar sambil menggerutu. Lia lupa kalau orang tuanya sedang ke luar kota.
"Cari siapa, ya?" tanya Saka yang kala itu masih duduk di bangku kelas tiga SMP. "Kak Lia, ya?"
"Kok tahu?"
"Kalau bukan aku pasti Kak Lia. Soalnya nggak pernah ada anak muda yang cari ayah sama ibu."
"Iya, cari Lia. Ada?"
"Masuk dulu, Kak. Aku panggilin, kayaknya ada di kamar."
Nathan mengekori Saka untuk masuk dan duduk manis di ruang tamu setelah Saka berlalu untuk memanggil Lia. Sedangkan Lia langsung buru-buru menutup pintu dan melilit tubuhnya dengan selimut supaya dikira tidur. Dia merutuk dalam hati karena Saka mengizinkan Nathan masuk.
Saka membuka pintu kamar Lia dengan pelan dan segera mengguncang tubuh Lia.
"Kak, ada yang cari Kakak tuh di luar."
Lia tidak menjawab.
"Aku tahu Kakak nggak tidur. Tadi aja Kakak di ruang tengah tapi pas ada bel bunyi Kakak langsung masuk. Dia siapa, sih? Pacar Kakak?"
"Bilangin aja gue udah tidur," desis Lia.
"Iya, nanti aku bilang Kakak pura-pura tidur aja." Saka beranjak namun Lia menahan tangannya.
"Ngeselin banget sih jadi adek." Lia menyingkap selimutnya dan turun dari ranjang kemudian merapikan rambutnya dan pergi menemui Nathan.
Saka awalnya mau mengintip tapi rasa ngantuk menyerangnya. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Lia duduk di depan Nathan dengan wajah kesal sedangkan Nathan mengulas senyum kecil.
"Lo pura-pura tidur, ya?"
"Nggak, gue emang udah tidur tapi dipaksa bangun gara-gara ada tamu."
"Kenapa nggak balas chat gue?" tanya Nathan to the point.
"Dari mana lo tahu alamat rumah gue?"
"Lo jawab, gue juga jawab." Nathan menatap Lia dengan tatapan serius.
"Lo kenapa sih pengen banget gue bales chat lo?"
"Karena gue suka sama lo. Gue mau deket sama lo, Azalia. Sekarang mending lo jawab kenapa lo nggak pernah bales chat gue? Kalau jawaban lo masuk akal, oke, gue bakal berenti chat lo." Nathan memberi tawaran.
"Gue.. Gue nggak tahu mau bales apa soalnya gue nggak pernah chat-chatan sama cowok sebelumnya." Lia akhirnya mengaku dari pada Nathan terus merecokinya.
Nathan malah tertawa menanggapi jawaban dari Lia. Benar-benar gadis yang polos. Nathan malah tambah suka.
"Serius karena itu?"
"Iya."
"Ya, jawab sekadarnya aja. Maksud gue.. Gimana ya. Gini aja deh, gue telepon aja caranya supaya kita ngomong langsung biar lo nggak bingung mau jawab apa. Kalau gue telepon angkat, ya?"
Lia menatap Nathan, ragu-ragu dia akhirnya mengangguk kecil yang membuat senyum Nathan merekah.
"Lo belum jawab pertanyaan gue. Dari mana lo tahu alamat rumah gue?"
"Data siswa yang ada di ruang guru. Gue bela-belain tuh masuk terus bincang-bincang sama Pak Guru supaya dia nggak curiga. Gue juga bantu ngerapihin mejanya. Salut, kan, sama usaha gue?"
"Nggak."
"Oke."
*
Ketika menatap Jean makan dengan lahap, Nathan tiba-tiba teringat akan perjuangannya saat mendapatkan Lia dulu. Sampai-sampai dia rela masuk ruang guru dan pura-pura berbincang agar bisa tahu alamat Lia lewat data yang ada di atas meja guru. Sama seperti yang dia lakukan kemarin saat meminta tolong pada Juan.
Saat itu, Lia begitu polos. Hingga kini, Nathan terus merasa menjadi orang yang paling brengsek dan bajingan karena sudah meninggalkan orang sebaik Lia.
Harusnya saat pertama bertemu kemarin, Lia akan marah-marah padanya, Lia akan memaki dan mengumpat. Nyatanya, respon yang dia dapat begitu berbeda. Tidak ada kemarahan yang dia lihat pada wajah Lia walaupun sempat kesal.
"Habis ini mau ke mana?" tanya Nathan seraya membersihkan sisa makanan yang ada di sudut bibir Jean.
"Nggak ada. Nanti mama marah kalau aku nggak izin," jawab Jean.
"Paman udah ngizinin kamu tadi dan mama kamu bilang boleh. Nanti kalau sore Paman antar pulang."
"Paman kenapa nggak ngajak anak Paman aja?"
"Paman nggak punya anak, Jean sayang."
"Kenapa nggak punya anak?" Jean bertanya dengan segala rasa penasarannya. Namanya juga anak kecil yang sedang dalam tahap penasaran akan sesuatu.
"Istrinya Paman sakit."
"Oh, gitu."
"Kamu mau nggak jadi anaknya Paman?"
"Nggak deh. Nanti kalau ayah pulang terus tahu aku panggil orang lain dengan sebutan ayah, dia marah."
Nathan tersenyum sekaligus sedih dalam satu waktu. Dia mengembuskan napas berat dan mengelus kepala Jean dengan lembut. Hatinya terasa ngilu mendengar jawaban Jean yang begitu tulus. Nathan ingin menangis saja saat ini.
*
"Ibu," panggil Elena saat mereka sedang menyiram tanaman di halaman belakang. "Ibu nggak apa-apa aku nggak bisa ngasih Ibu cucu?"
Ibunya Nathan berkali-kali menghela napas ketika Elena menyinggung soal anak. Padahal selama dua tahun terakhir kemarin, Elena sudah agak mendingan, sudah tidak terlalu membahas soal anak. Tapi entah kenapa sekarang perempuan itu kembali menyinggungnya seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya.
Perempuan itu menderita Adenomiosis yaitu suatu kondisi yang ketika jaringan yang melapisi rahim tumbuh di dalam dinding otot rahim. Kondisi ini tidak menunjukkan gejala tapi rahim wanita bisa tumbuh sampai 2-3 kali ukuran normal. Jaringan tambahan tersebut dapat menyebabkan seorang perempuan mengalami rasa sakit yang berlebihan saat menstruasi dan nyeri panggul. Histerektomi (Operasi Pengangkatan Rahim) dapat membantu mengobati kondisi ini jika pengobatan lainnya sudah tidak berhasil. (Cr: google) (Ini hanya sebagai kebutuhan cerita ya guys, jangan dianggap serius. Semoga semuanya sehat-sehat selalu.)
"Ibu nggak apa-apa, sayang. Kenapa tiba-tiba bahas itu lagi? Ibu berkali-kali bilang kalau itu nggak masalah asalkan kamu sehat dan nggak ngerasain sakit lagi."
Bukannya melanjutkan kerjaannya yang menyirami tanaman, Elena malah menangis hebat. Dia terduduk di atas rerumputan itu sambil sesegukan. Ibu Nathan mendekat dan memeluk tubuh Elena, mengusap pelan rambut perempuan itu sambil terus membisikkan kalimat tidak apa-apa.
"Bu, aku ngerasa jadi istri yang nggak berguna bagi Kak Nathan. Soalnya nggak bisa ngasih dia keturunan. Siapa tahu Kak Nathan pengen punya anak tapi dia nggak pernah ngomong apa-apa."
"Sayang, berenti ngomong gini, ya. Nathan bilang kok sama Ibu kalau nggak apa-apa, dia bilang nggak apa-apa nggak punya anak. Kamu kenapa tiba-tiba bahas ini lagi, hm?"
"Aku.. Aku tiba-tiba takut Kak Nathan bakal ninggalin aku, Bu." Elena menatap ibu mertuanya dengan wajah sembab.
"Nathan nggak mungkin ninggalin kamu sayang. Pernikahan kalian udah menginjak tahun kelima, Nathan sayang sama kamu."
Tangis Elena semakin pecah ketika mendengar ibu mertuanya bilang Nathan sayang kamu. Elena sadar betul bahwa hati Nathan tidak seutuhnya untuk dirinya. Bahkan ketika dulu dia dan Nathan dijodohkan oleh orang tua mereka, Nathan saat itu masih pacaran dengan Lia. Elena bahkan sadar betul dari raut wajah laki-laki itu bahwa dia terpaksa.
Hidup mereka memang tenang-tenang saja apalagi Lia menghilang dan tak ada kabar setelah mereka menikah. Tapi sekarang, perempuan itu kembali dan sepertinya Nathan terusik akan hal itu. Apalagi Elena melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa anak laki-laki Lia begitu mirip dengan Nathan. Dia tidak mau berprasangka buruk tapi semua yang ada pada wajah anak itu mirip Nathan.
*
Saka sedang menyirami tanaman milik Lia yang ada di halaman depan ketika sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumahnya. Saka menatap dengan sengit saat melihat orang itu adalah Nathan yang sedang menggendong Jean. Jean terlelap.
"Kenapa Jean bisa sama Kak Nathan?" tanya Saka setelah melempar sembarang selang airnya.
"Aku jemput di sekolahnya tadi."
"Kak Lia tahu?"
"Tahu, udah aku kabarin."
Percayalah, Saka saat ini sedang berusaha meredam emosinya. Kalau tidak sedang menggendong Jean maka tidak peduli akan reaksi Jean, Saka sudah melayangkan pukulannya.
"Kak, Kakak tahu nggak kalau Jean.."
"Anakku? Anak kandungku? Aku tahu." Nathan memotong ucapan Saka.
Memang itu yang akan diucapkan oleh Saka. Dia memang ingin memberitahu Nathan selagi Lia tidak ada. Tapi, ternyata Nathan sudah tahu rupanya.
"Dari mana.."
"Dari mana aku tahu?" tanya Nathan dan Saka mengangguk pelan. "Cuma orang bodoh yang nggak akan sadar kalau dia anakku. Semua yang ada pada wajah Jean mirip aku kecuali matanya yang mirip Lia. Aku udah sadar pas pertama kali ketemu tapi Lia kukuh bilang kalau Jean bukan anakku."
"Kak, jujur ya, aku mau pukulin Kak Nathan karena udah ninggalin Kak Lia. Tapi Kak Lia bilang jangan." Saka mengeluarkan keluh kesahnya.
"Aku juga pengen pukul diri aku sendiri. Kamu mungkin nggak liat gimana susahnya aku sekarang. Tapi jauh di dalam hatiku, aku juga bingung, pikiranku kacau, nggak tahu mau ngapain." Nathan balik menatap Saka dengan tajam. "Sekarang mending kamu bukain pintu, biar aku tidurin Jean dulu."
Baru akan berbalik, sebuah mobil lainnya datang. Lia turun bersama Jevin yang mengantarnya pulang. Lalu akhirnya, Nathan dan Jevin saling tatap dalam diam.
Kedua sahabat itu sedang dalam hubungan yang tidak baik-baik saja setelah dulu Nathan menelantarkan Lia dan meninggalkannya tanpa sepatah kata, Jevin sempat murka. Selain karena menaruh perasaan, Jevin juga kesal sebab dia tahu bagaimana perjalanan hubungan keduanya.
Jevin mengepalkan tangannya kuat dan Lia menyadari hal itu. "Jev," tegur Lia sambil menyentuh lengan Jevin.
"Aku pulang, ya." Jevin beralih menatap Lia dan kembali masuk ke mobil. Tadinya mau mampir tapi tidak jadi.
Lia melangkah masuk dan menatap Nathan dengan wajah kesal. Saka berjalan lebih dulu untuk menunjukkan kamar Jean. Lia mengikuti dari belakang dan melihat dengan seksama ketika Nathan meletakkan tubuh Jean di atas ranjang.
"Ayah.." Jean mengigau dalam tidurnya.
"Iya, sayang. Ayah di sini," balas Nathan sambil mengelus pipi gembul Jean.
"Kamu keluar sana, nanti Jean bangun lagi." Lia memegang lengan Nathan dan menyuruhnya keluar. Air matanya tiba-tiba saja menetes medengar ucapan Nathan.
"Ayah, jangan pergi lagi."
"Iya, sayang. Ayah nggak akan ke mana-mana lagi."
"Aku sayang Ayah."
"Ayah juga sayang Jean."
Lia terduduk sambil berlinang air mata.
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata, jadi dibawa santai aja. Jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.
©dear2jae
2021.03.29 - Senin.
2023.04.14 - Jumat. (Revisi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top